Title : Being Forgotten (Yang Terlupakan)

Writer : Chiello

Main Cast : Oh Sehan as HunHan's son

Other Cast :

EXO Oh Se Hun as Oh Sehun

EXO Lu Han as Xi Luhan

EXO Kim Jongin as Kim Kai

Genre : Family, Hurt/Comfort (or maybe angst. Idk)

Length : Twoshoot

Disclaimer : Saya tulis EXO Lu Han karena status Luhan juga masih gantung. Cerita asli milik saya, jadi jangan coba-coba plagiat yes!. Saya cuma pinjem nama member EXO. Nama cast lain murni karangan saya. Karakter tokoh tidak nyata. Dan inget cerita ini hanya fiktif belaka alias cuma imajinasi. Jika ditemukan kesamaan dengan cerita milik orang lain, saya benar-benar tidak tahu.

Terinspirasi saat saya mendengarkan lagu Noel yang berjudul Being Forgotten yang di cover oleh BTOB. Tapi ingat, ini bukan songfict yaa.


Warning! Alur Maju-Mundur cantik *lho?*. So, be careful. And SORRY FOR TYPOS

.

.

Happy Reading!


"Sehan tidak mau makan kalau tidak ada Lulu Mama!"

"Sehan, Appa mohon jangan merajuk seperti ini. Sehan harus makan biar cepat sembuh. Ayo sekarang makan yaa sayang. Appa suapi Sehan ne? Ayo buka mulutnya aaaaaa"

Oh Sehun, pria itu sedang membujuk Oh Sehan, anak laki-lakinya yang berusia tujuh tahun, agar mau makan bubur yang sudah ia masak. Sudah hampir sepuluh menit sejak Sehun masuk ke kamar Sehan, membawakannya bubur namun sang anak tidak mau membuka mulutnya. Sejak kemarin badan Sehan panas. Dan sejak kemarin pula Sehan tak mau makan. Ia hanya mau makan jika disuapi Lulu Mama.

Tidak mau menyerah begitu saja, Sehun kembali membujuk Sehan. Namun yang dibujuk tetap tidak mau. Bersikukuh hanya ingin makan dan disuapi oleh Lulu Mama.

"Ani! Sehan tidak mau makan! Sehan tidak mau disuapi Appa! Sehan maunya disuapi Lulu Mama!"

"SEHAN!"

"Huweeeee…. Sehan mau Lulu Mama, Appa huweeeee,"

Melihat anaknya yang menangis kencang, membuat hati Sehun tersentuh. Ia tidak tega melihat Sehan seperti ini. Jika tidak mau makan lalu kapan sembuhnya?. Sehun menyerah! Ditaruhnya mangkuk berisi bubur ayam di nakas samping ranjang tidur, kemudian ia merogoh ponselnya. Menekan speed dial 1.

"Yeoboseyo?"

"Yeoboseyo, Luhan-ah?"

"Ne, ada apa Sehun-ah?"

"Begini Lu, bisakah kau ke apartemen? Sudah sejak kemarin Sehan demam. Ia tidak mau makan. Ia hanya mau makan jika kau yang menyuapinya. Sehan juga sulit tidur dan terus mengigau namamu, Lu. Bisakah kau kesini?"

"Mianhae Sehun-ah. Aku tak bisa kesana. Saat ini Ken sedang dirawat di rumah sakit dan aku harus menjaganya. Ia terkena campak. Maafkan aku,"

Inilah yang membuat Sehun sebenarnya ragu untuk mengiyakan permintaan Sehan. Luhan, orang yang dipanggil Sehan dengan sebutan Lulu Mama itu belum tentu mau menuruti keinginan Sehan.

"Lu, t-tak bisakah kau kesini? Hanya sebentar saja. Demi Sehan, Lu. Kumohon,"

"Aniya Sehun. Kai sedang berada di luar kota dan otomatis aku harus menjaga Ken. Kumohon mengerti Sehun-ah. Dan tolong sampaikan maafku pada Sehan,"

"Tapi Lu, Sehan menginginkanmu. Hanya sebentar saja. Ka-kau bisa menyuruh Appamu atau Kai untuk menjaga Ken. Sehan merindukanmu Lu,"

"Sehun-ah, kumohon mengerti aku. Saat ini aku benar-benar tidak bisa meninggalkan Ken. Ia sakit campak sedangkan Sehan hanya demam biasa. Tenanglah, besok pasti akan sembuh. Bukan aku tak mau, tapi Ken lebih membutuhkanku,"

"Tapi Sehan juga membutuhkanmu Lu! Ia ingin bertemu denganmu. Tak bisakah kau mengerti dan merasakan kerinduannya?!" Sehun geram dengan perkataan Luhan. Mungkin Sehan tidak seperti Ken, tapi Sehan juga membutuhkan apa yang didapatkan Ken dari Luhan.

"Jadi kau ingin bilang ini salahku hah?! Menurutmu aku disini tak memikirkan Sehan, begitu?!"

"…."

"Ken menangis mencariku. Aku tetap tak bisa kesana! Sampaikan maafku dan semoga lekas sembuh untuk Sehan,"

Sehun terkesiap mendapati panggilannya diputus begitu saja oleh Luhan. Sehun menghela nafas, sebelum matanya kemudian menangkap Sehan yang berbaring membelakanginya.

"Hiks … Lulu Mama … hiks … bogoshipeo," adalah menyakitkan setiap kali Sehun mendengar isak tangis anaknya yang begitu merindukan ibunya. Sehun yakin jika Sehan mendengar apa yang ia dan Luhan bicarakan dan bagaimana respon Luhan.

Detik berikutnya Sehan bangun dari berbaringnya. Bagai ditusuk jarum hati Sehun melihat mata bulat nan bening milik anaknya berkaca-kaca menatapnya. Sehan mengambil mangkuk bubur dan memberikannya pada Sehun.

"Suapi Sehan, Appa" ujar Sehan pelan.

"Sehannie,"

"Lulu Mama tidak akan datang kan? Lulu Mama tidak akan menyuapi Sehan kan Appa? Geure, Sehan akan makan tanpa disuapi Lulu Mama. Sehan … hiks … tidak mau membuat Appa sedih dan susah … hiks," ucapan Sehan terbata-bata. Tercekat karena sakitnya kerongkongan akibat menahan tangis.

Sehun hanya tersenyum tipis namun sendu melihat Sehan yang membuka mulut kecilnya. Dan perlahan-lahan ia mulai menyuapi anaknya. Ibu jarinya sesekali menyeka bubur yang menempel di sudut bibir Sehan. Sehan sudah tidak menangis lagi, namun Sehun masih mendengar ia menggumamkan Lulu Mama sesekali.

Hanya lima suapan yang mampu dimakan Sehan. Meski sedikit tapi Sehun bersyukur perut Sehan sudah terisi. Lalu setelah Sehun membersihkan mangkuk di dapur, ia kembali ke kamar Sehan membawa segelas air putih dan obat sirup penurun panas.

Sehun menggendong Sehan ala koala hug. Menggoyang-goyangkan badannya dengan kepala Sehan yang menyandar pada bahu kanannya. Tak lama terdengar dengkuran halus Sehan. Ia baringkan Sehan, menyelimutinya dengan selimut bambi pemberian Luhan dan mengecup kening Sehan untuk mengakhiri malam menyakitkan kesekian kalinya.

"Jaljayo baby. Maafkan Appa yang membuatmu harus menanggung semuanya. Tidurlah dengan nyenyak. Saranghae … Chup,"


Being Forgotten


Januari 2006

Suasana dingin menguar di salah satu rumah mewah di kawasan Gangnam. Satu pria berkulit putih duduk di atas sofa cokelat sambil mengepalkan tangan di depan wajahnya. Di hadapannya, dua orang pria yang saling mengenggam tangan satu sama lain. Keduanya hanya mampu menunduk. Tidak berani membalas tatapan pria satunya lagi yang sedari tadi mengeluarkan tatapan tajam dan dingin.

Pria putih itu, Xi Junmyeon, beberapa menit lalu dikejutkan dengan kedatangan anaknya, Xi Luhan. Ia tak sendiri. Melainkan datang bersama kekasihnya, Oh Sehun. Junmyeon menatap Sehun tidak suka. Semakin mengeluarkan amarah di matanya kala membaca kalimat di selembar kertas. Kertas hasil check up medis.

.

.

Xi Luhan. Postif Hamil 1 Bulan.

.

.

"Jadi kau positif hamil dan anak yang kau kandung adalah anak namja pelayan restoran ini?!" bentak Junmyeon kasar.

"N-ne A-a-appa," Luhan takut-takut membalas gertakan ayahnya.

"Sudah Appa bilang padamu untuk akhiri hubunganmu dengan namja ini, mengapa kau tak mengerti Xi Luhan?! Sekarang jelaskan pada Appa kapan kalian melakukannya?! Mengapa bisa sampai begini?! Appa bersyukur kau diberi keajaiban dapat mengandung. TAPI BUKAN DENGAN NAMJA PELAYAN RESTORAN INI, XI LUHAN!"

"Biar saya jelaskan -…"

"Aku tak mau mendengar penjelasan dari mulut namja miskin sepertimu! Kau benar-benar membuat keluargaku malu!"

BUGGH!

.

.

Bogem mentah mendarat begitu saja, tepat di pipi kanan Sehun. Kepalan tangan Junmyeon tadi sukses mengeluarkan cairan kental berwarna merah di sudut bibirnya. Sehun meringis kesakitan, di pipinya dan hatinya.

"Beraninya kau menghamili anakku tanpa sadar diri hah?! KAU SEHARUSNYA SADAR KAU ITU SIAPA?! BRENGSEK KAU!"

"Hentikan Appa! Biar Luhan yang akan jelaskan pada Appa," Luhan mendekap dada Junmyeon agar tak memberikan pukulan lagi pada Sehun.

"Sekarang jelaskan!" Junmyeon masih menyalang melihat Sehun yang sudah timbul memar-memar di wajahnya.

"Maafkan Luhan, Appa. Kami saat itu tidak sadar karena saat itu kami mabuk karena terlalu banyak menenggak soju saat menghadiri malam perpisahan angkatan di hotel. K-kami t-tak sadar apa yang kami lakukan setelah malam itu. Esok paginya, tubuh kami sudah tak lagi terbalut pakaian, kasur hotel berantakan dan tercium bau aneh yang setelah kami sadari itu adalah spe…"

"Cukup! Aku tak mau mendengarnya lagi!" kedua telingan Junmyeon menjadi panas mendengar penjelasan Luhan yang terbata-bata. Tanpa mau mendengar kelanjutan ucapan Luhan, ia tahu apa yang menjadi sumber bau aneh itu. Sperma keduanya.

"Maafkan saya ahjussi. Sungguh saya tidak sadar saat itu," Sehun menyela keheningan. Tangannya tak lagi mengenggam tangan Luhan. Kekasihnya yang melepaskan genggaman erat mereka.

"Aku tak butuh omongan dari mulutmu!" Junmyeon menunjuk wajah Sehun.

Hening kembali menyeruak. Luhan sendiri tidak tahu harus berbuat apalagi. Ayahnya memang tidak merestui jalinan asmaranya dengan Sehun, namja teman sekelasnya. Kondisi sosial dan ekonomi menjadi penyebabnya. Sehun sudah menjadi yatim piatu sejak kelas 2 SMA. Orangtuanya meninggal akibat kecelakaan. Alhasil Sehun harus menanggung kehidupannya seorang diri. Ia bekerja sebagai pelayan di restoran –tak terlalu besar- di dekat kampus sejak ditinggal kedua orangtuanya sampai di semester akhir kuliahnya yang semua biaya ia dapatkan berkat beasiswa.

Sehun kira setelah Luhan menerimanya sebagai kekasih saat Sehun menembaknya di akhir semester 4 semua akan berjalan baik-baik saja. Namun saat Luhan mengenalkannya pada Xi Junmyeon, ayahnya, ia sadar saat itu hubungannya sudah menemui batu kerikil tajam. Junmyeon lahir dari keluarga sukses dan mapan sehingga menular padanya. Ia adalah CEO di salah satu perusahaan elektronik terbesar di Korea dan Asia. Ayahnya berasal dari Cina yang menikah dengan wanita Korea. Mengetahui latar belakang Sehun, Junmyeon kemudian meminta Luhan untuk memutuskan hubungan mereka. Mereka adalah kalangan atas sedangkan Sehun dari kalangan bawah. Strata sosial membuat ia tak mau merestui hubungan keduanya sampai kapanpun.

"Appa, k-kalau Appa tidak suka, Luhan bersedia menggugurkannya asal Appa bahagia," Luhan membuka suara yang membuat Sehun terkejut.

"Lu, kau? Ini anak kita, Lu? Mengapa kau tega sekali eoh?" Sehun meninggikan ucapannya. Tak setuju dengan keputusan sepihak Luhan.

"Tapi anak ini membuat ayahku tak akan bahagia seumur hidupnya, Sehun! Aku hanya tinggal memiliki Appa setelah ibuku meninggal! Appa prioritasku!" balas Luhan tak kalah tinggi.

"Kumohon, Luhan. Kita berjuang bersama-sama ne? Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu. Kita besarkan dan rawat anak kita bersama ne?" Sehun melembutkan ucapannya. Berharap Luhan berpikiran hal yang sama dengannya.

"Aniya! Appa tak akan pernah setuju Sehun!"

"STOP!"

Bentakan Junmyeon sukses membuat kedua pria itu terdiam. Junmyeon kemudian berdiri, melipat kedua tangannya di depan dada.

"Disini aku yang akan memberikan keputusan. Aku tak keberatan dengan kejaiban yang dimiliki Luhan. Tapi mengapa harus dengan namja miskin sepertimu eoh? Aku jelas tidak terima. Dan keputusanku adalah Luhan tidak boleh menggugurkan kandungannya,"

Sehun tersenyum lega mendengarnya. Beda dengan Luhan yang masih menatap heran ayahnya.

"Tapi Luhan tak akan kuizinkan tinggal bersama namja sepertimu. Kalian berdua harus berpisah. Luhan akan tetap tinggal disini hingga ia melahirkan sementara kau tak boleh menengoknya sama sekali. Setelah bayi itu lahir, ia akan menjadi tanggung jawabmu" seringai Junmyen yang langsung membuat senyuman di wajah Sehun luntur seketika.

"T-tapi mengapa ahjussi? Bukankah selama hamil berarti Luhan menjadi tanggung jawabku?" protes Sehun.

"Turuti saja perkataanku atau kubuat bayi itu mati. Kau tak mau kan?"

"Andwae! B-baiklah. A-aku akan menuruti keputusan ahjussi. Tapi kumohon tolong jaga Luhan dan bayi kami selama berada dalam kandungan,"

Junmyeon tak menanggapi permohonan Sehun. Ia memilih menarik Luhan pergi, meninggalkan Sehun seorang diri. Menatap pedih Junmyeon dan Luhan yang menghilang dari pandangannya. Ia lalu memutuskan kembali ke restoran, bertekad mengumpulkan uang yang banyak demi memenuhi kebutuhan anaknya kelak.


Being Forgotten


Setelah memastikan Sehan tidur dengan pulas, Sehun tak langsung pergi ke kamarnya untuk tidur. Ingatan tentang Sehan barusan terus membayanginya. Sehun menghela nafas. Memejamkan kedua matanya dan menyenderkan kepalanya di kepala kursi meja makan. Memorinya tiba-tiba kembali saat ia merasakan kebahagiaan luar biasa kala pertama kalinya melihat Sehan.

.

.

Flashback On

.

.

Sehun yang tengah membersihkan apartemen terkejut mendengar ketukan pintu oleh seseorang. Lantas ia menghentikan sejenak kegiatan bersih-bersihnya. Sehun berjalan ke arah pintu, membukakan dan ia terkejut saat mengetahui siapa pengetuk pintu itu.

"Lama tidak bertemu Oh Sehun,"

"Ju-Junmyeon ahjussi," balas Sehun sopan. Ia mengernyit melihat Junmyeon yang tidak datang sendiri. Disebelahnya ada seorang wanita yang Sehun sambil membawa sebuah buntelan kain berwarna biru di gendongannya.

"Si-silahkan masuk,"

"Tak perlu. Aku tak sudi menginjakkan kakiku di tempat kumuh seperti ini. Aku tak bisa bayangkan jika Luhan tinggal bersamamu di tempat ini. Sungguh menjijikan," ucap Junmyeon disertai nada arogan dan angkuh yang kian lama membuat Sehun sakit.

"B-baiklah Ahjussi. Eung … ada apa ahjussi mengunjungi saya?"

"Oh, aku kesini hanya ingin menepati janjiku saja. Kau tak lupa bukan?"

"Janji? Maksud ahjussi?"

"Minah, cepat serahkan bayi itu pada orang ini!"

Wanita bernama Minah itu kemudian dengan hati-hati menyerahkan buntelan alias seorang bayi mungil yang masih merah itu pada Sehun.

"A-ahjussi i-ini?"

"Ne, itu bayi yang dilahirkan Luhan dua hari lalu. Mulai sekarang ia adalah tanggung jawabmu. Dan terserah kau ingin memberinya nama siapa. Aku bahkan tak sudi untuk menyentuhnya,"

Sehun menatap haru bayi mungil yang berada dalam gendongannya. Bayi yang sedang tertidur itu menuruni mata dan hidung milik Sehun serta bibir mungil persis Luhan. Ia cium bayi itu, dan bibirnya ia dekatkan pada telinga sang bayi.

"Annyeong aegy-ya. Ini aku, Oh Sehun. Aku adalah Appa mu. Dan kuberi nama Oh Sehan untukmu. Oh Sehan, singkatan dari nama Appa dan Eommamu, SEhun dan luHAN,"

Junmyeon menatap muak pemandangan di depannya. Cih, berlebihan sekali, batinnya. Ia memutar bola matanya dan berkata pada Sehun yang masih sibuk menciumi Sehan.

"Ya ya ya, mau itu Sehan atau Sehaen atau apalah itu aku tak peduli. Urusanku sudah selesai. Dan kuingatkan padamu bahwa karena bayi itu adalah bayimu maka ia tak akan pernah jadi bagian keluargaku. Ingat itu!"

"Tapi ahjussi, biar bagaimanapun Sehan adalah anak Luhan dan otomatis cucumu juga. Mengapa ahjussi tidak mau mengakuinya?"

"Itu urusanku. Ah, terlalu membuang waktu! Aku permisi," Junmyeon langsung mengambil langkah pergi dari pintu apartemen Sehun, disertai Minah di belakangnya.

"Chankaman ahjussi. Kalau aku boleh tahu, dimana Luhan?"

"Luhan baik-baik saja dan ia sedang dalam masa pemulihan," jawab Junmyeon tanpa menoleh. Ia kemudian segera pergi dari apartemen Sehun, beserta seringai liciknya tentu saja.

.

.

Flashback Off

.

Lama mengingat memori itu sontak membuat mata Sehun terbuka tiba-tiba. Diliriknya jam dinding yang masih menunjukkan pukul 20:00 KST. Sehun beranjak menuju wastafel dapur, membasuh wajahnya dengan air dan kemudian ia memutuskan untuk mengerjakan tugas kantornya yang ia bawa pulang. Tiga bulan setelah Sehan lahir, Sehun diterima sebagai karyawan bagian pemasaran di salah satu perusahaan properti dan sekarang ia berposisi sebagai manager pemasaran.

Mengingat kembali percakapannya dengan Luhan di telepon. Jika Sehun tak salah, ini sudah hampir setengah tahun Luhan tak berkunjung ke apartemen. Luhan juga sulit dihubungi dan percakapannya dengan Luhan baru saja adalah yang pertama setelah enam bulan putus komunikasi.

"Sedari awal kau mengandung Sehan, aku paham jika kau memang enggan berjuang bersamaku, Lu. Jangan salahkan aku jika hati ini berganti menjadi dingin padamu," batin Sehun.


Being Forgotten


April 2008

Sehun baru saja pulang dari mengirimkan surat lamaran di beberapa perusahaan. Beberapa detik setelah menutup pintu dan berniat memanggil anaknya, yang ingin dipanggil tiba-tiba berlari ke arahnya dan memeluk kaki Sehun.

"Appa…."teriak Sehan manja, membuat Sehun terkekeh dan tak tahan untuk tidak langsung menggendongnya.

"Eiy, anak Appa yang tampan ini, ada apa heum? Sehan sepertinya sangat senang ne?"ujar Sehun sambil menghujani ciuman di wajah Sehan hingga ia terkikik geli.

"Appa … Appa … Cehan tadi menemukan ini. Ini ciapa Appa?" kata Sehan seraya mengulurkan sebuah lembar foto pada Sehun.

Sehun terpaku saat melihat gambar yang ada di foto itu.

"Appa, itu ciapa?"

Sehun tak langsung menjawab pertanyaan Sehan. Ia lalu membawa Sehan ke dapur dan duduk disana dengan Sehan berada di pangkuannya.

"Ini Eomma Sehan. Namanya Luhan," terang Sehun jujur. Ia tersenyum geli melihat Sehan yang memiringkan kepalanya karena bingung.

"Eomma Cehan?"

"Ne, ini Eomma,"

"Eomma ceolang laki-laki? Cama ceperti Appa dan Cehan?"

"Ne, waeyo sayang? Sehan tidak senang?"

"Aniya Appa. Cehan cenang karena bica liat Eomma. Eomma cantik. Neomu yeppeo. Hihihihi,"

"Ne, Eomma Sehan sangat cantik,"

Sehan masih mengagumi foto Luhan di sana. Sementara Sehun beranjak untuk memasakkan makan siang untuk mereka berdua. Lima belas menit kemudian, sudah tersedia telur gulung dan sup ayam untuk makan siang.

Sehun menarik kursi di samping Sehan. Ia tak langsung makan, melainkan menyuapi Sehan –yang masih menatap foto Luhan- terlebih dahulu.

"Appa, mengapa nama Eomma tidak ceperti nama Korea?" ah Sehun sungguh bersyukur. Sehan tumbuh menjadi anak yang pandai dan serba ingin tahu di usia dua tahun.

Sehun menyendokkan nasi dan telur gulung yang sudah dipotong kecil ke dalam mangkuk sup untuk mengambil kuah dan wortelnya. Ia tiup sendok itu agar tak terlalu panas di lidah Sehan.

"Karena Eomma orang Cina," kata Sehun seraya memasukkan suapan pertama ke mulut Sehan yang langsung ditangkap si kecil. Sehun membersihkan kuah sup yang mengalir di sudut bibir Sehan.

"Eomma orang Cina? Appa … Appa … apa bahasa Cina nya Eomma?"

"Mama," tanggap Sehun seraya menyuapi suapan ketiga Sehan.

"Mama?"

"Ne, kenapa sayang?"

Sehan tak menjawab. Bocah lucu sedang berpikir sepertinya dengan mengerucutkan bibir mungilnya. Tak lama berselang makanannya habis. Dan Sehun langsung membawa piring kesukaan Sehan ke tempat cuci piring.

Sehun menatap heran anaknya yang tersenyum-senyum sendiri memperlihatkan gigi putihnya.

"Eiy, mengapa Sehan tersenyum-senyum seperti itu?"

"Appa … Appa … bolehkan Cehan memanggil Eomma dengan Lulu Mama?"

"Lulu Mama?"

"Ne. Luhan .. Lu-lu … Lulu Mama … boleh ne Appa?"

"Boleh … Lulu Mama terdengar indah,"

"Yeaaaaayyyy!"

Sehun mengusak rambut halus Sehan. Ia gendong Sehan dan membawanya ke depan televisi untuk menemaninya bermain. Ia taruh Sehan di karpet, membiarkan bocah itu bermain dengan mobil-mobilannya sembari Sehun makan.

"Appa" tetiba Sehan menghampiri Sehun yang baru saja ingin menyuapkan suapan terakhirnya.

"Wae?"

"Appa, mengapa Cehan tidak pernah lihat Lulu Mama? Appa, mengapa Lulu Mama tidak ada dicini bercama kita?"

Sehun terdiam mendengar pertanyaan Sehan. Jujur ia bingung bagaimana harus menjawabnya. Selama ini ia tak pernah berbohong pada Sehan karena ia ingin mengajarkan kejujuran sejak dini pada anaknya. Tapi kali ini, haruskah ia berbohong untuk pertama kalinya?

"Appa …?"

Sehun menyambut rentangan tangan Sehan yang ingin digendong. Ia pangku Sehan menghadap ke arahnya.

"Lulu Mama sedang pergi. Nanti Lulu Mama pasti pulang. Sehan sabar ne?" dan ya! Ia merasa sakit membohongi Sehan yang hanya mengangguk polos.

"Appa, Cehan ngantuk … hoaaammm …"

Sehun menyandarkan kepala Sehan ke dadanya. Rambutnya ia usap dan sesekali menepuk pantat mungil Sehan. Sehun masih dapat mendengar gumaman
Sehan sebelum mata itu tertutup. Gumaman itu sukses menambah rasa sedih di hatinya.

"Appa, kalau Lulu Mama cudah pulang, bangunkan Cehan ne? Cehan ingin main dengan Lulu Mama,"


Being Forgotten


Tangan Sehun terhenti dari aktivitas mengetik tugas kantor. Matanya sayu saat menemukan folder foto yang ia beri nama "Ours", folder khusus foto-fotonya dengan Luhan saat masih berpacaran dulu. Tak sengaja ia temukan saat mencari folder dokumentasi untuk laporannya.

Satu foto yang membuat air bening di matanya jatuh tiba-tiba. Foto Luhan yang ditemukan Sehan lima tahun lalu. Sejak Sehan menemukan foto Luhan dan memberikan sebutan Lulu Mama, jagoan kesayangannya itu tak hentinya merengek ingin bertemu dengan Lulu Mama-nya.

.

.

.

.

Flashback On

.

.

Sehun mendapati wajah Sehan termenung sedih saat menunggu dirinya menjemput anak itu di Taman Kanak-kanak tak jauh dari universitasnya dulu. Sehan berusia empat tahun, dan selama itu ia tak pernah melihat Sehan memasang wajah muram bak langit mendung.

"Sehannie," Sehun mensejajarkan tubuhnya agar setara dengan Sehan.

Yang langsung ia dapati ialah wajah Sehan yang sembab dan jejak-jejak airmata yang sudah mengering di pipinya. Sehun menjadi bertanya-tanya, ada apa gerangan dengan anaknya ini?

"Sehannie, kau menangis sayang?" ujar Sehun lembut sembari jemarinya menghapus airmata Sehan.

"Appa … hiks …hiks"

Setiap airmata yang jatuh dari mata Sehan adalah duri bagi Sehun. Ia tak pernah bisa membiarkan seseorang membuat anaknya menangis seperti ini.

"Ada apa sayang? Mengapa Sehan menangis? Sssttt … uljima sayang,"

"Appa … kata seonsangnim besok adalah Hari Ibu. Besok sekolah akan mengadakan perlombaan dan kata seonsangnim besok harus membawa Eomma. Hiks Appa … eottokhe? Sehan … hiks … Lulu Mama tidak ada hiks … eottokhe Appa?"

Jadi ini yang membuat anaknya menangis? Hari Ibu, dan Sehan yang tak tahu seperti apa Luhan, lantas besok diharuskan membawa Eomma? Jika Sehun bisa, ia ingin memarahi kepala sekolah yang membuat aturan macam itu. Aturan yang membuat anaknya bersedih dan Sehun merasa sakit dibuatnya.

"Sehannie, dengarkan Appa ne? Meskipun Lulu Mama tidak ada tetapi besok Sehan bisa datang bersama Appa. Appa akan hadir di perayaan Hari Ibu dan akan memenangkan semua lomba bersama Sehan. Arraseo?"

"Aniya Appa. Hari Ibu adalah hari untuk Eomma. Jadi yang datang harus Eomma, bukan Appa. Jadi yang datang harus Lulu Mama, bukan Sehun Appa. Hiks … Appa, Sehan malu Appa … hiks … Lulu Mama eodiye?"

"Sehan, Sehan tahu kan kalau Lulu Mama sedang pergi?"

"Lulu Mama pergi kemana Appa? Mengapa tidak pernah pulang? Apa Lulu Mama tidak merindukan kita?"

"Bukan seperti itu, sayang. Dengarkan Appa ne? Lulu Mama pergi karena ingin membelikan hadiah untuk Sehan. Supaya Sehan semakin rajin belajar dan menjadi anak yang cerdas. Jadi, Sehan harus menjadi anak yang cerdas biar Lulu Mama cepat pulang,"

"Eoh? Benarkah itu Appa?"

Sehun hanya mengangguk pelan sembari tersenyum tipis pada Sehan. Tangannya terangkat mengelus rambut lembut Sehan.

"Jadi, Sehan jangan menangis lagi ne?" Sehun berkata halus yang dibalas anggukan dari anaknya.

Pada akhirnya Sehan tak mau masuk sekolah karena merasa malu pada teman-temannya. Tak sedikit teman-temannya yang mengejek ia karena tidak pernah melihat Sehan diantar oleh seorang yang diakuinya sebagai Eomma-nya. Sehun tak mau memaksa Sehan. Ia biarkan anaknya itu memandang foto Luhan seharian di kamarnya. Menyalurkan rasa rindu yang terasa semu baginya.

.

.

Flashback Off


Being Forgotten


Dua hari berlalu dan Sehun bersyukur demam Sehan sudah turun. Hal yang menyenangkan bagi hatinya kala melihat sang buah hati kembali ceria dan dapat beraktivitas seperti biasa. Seperti biasanya, setelah sarapan, Sehun akan terlebih dahulu mengantarkan Sehan ke sekolah sebelum ia berangkat ke kantor.

"Appa, Sehan masuk kelas dulu ne?"

"Ne, dan ingat selalu kata-kata Appa?"

"Ne, Sehan harus menjadi anak yang baik dan pintar,"

"Pintar anak Appa yang tampan ini. Kajja, Sehan segera masuk heum?" Sehun mengusak rambut Sehan. Namun yang dituju malah diam tiba-tiba. Membuat Sehun mengernyit heran.

"Appa"

"Hmm? Ada apa sayang?"

"Kapan yaa Lulu Mama bisa mengantar Sehan ke sekolah seperti teman-teman Sehan?"

Ah, pembahasan ini lagi. Kalau Sehan sudah membahas hal ini, Sehun rasanya ingin menarik paksa Luhan dan meneriakkan sekencang mungkin di depan wajah Luhan betapa besarnya keinginan dan kerinduan Sehan padanya.

"Nanti yaa sayang. Appa akan bicarakan pada Lulu Mama. Sehan sabar ne?"

"Jeongmalyo Appa?"

Maka tak ada jalan lain selain Sehun lagi-lagi harus membujuk Luhan agar menuruti keinginan Sehan. Meski hanya satu kali saja seumur hidup Sehan, tapi Sehun yakin kebahagiannya sepanjang ia tumbuh.

"Ne, yang penting Sehan harus belajar dulu yang rajin. Arraseo?"

"Arraseo Appa. Cha! Sehan masuk dulu ne? Gomawo Appa. Saranghae,"

"Hmm … Nado saranghae, chagiya,"

Sehun menatap sendu punggung Sehan yang mulai menghilang dari pandangannya. Raut wajahnya menjadi sulit ditebak. Pikirannya melayang memikirkan cara apa lagi yang harus ia tempuh untuk dapat membujuk Luhan.

Kemudian didengarnya bel sekolah berbunyi tanda masuk, Sehun melangkah kembali ke parkiran tempat dimana mobil sedannya ia parkirkan. Sehun tak langsung menyalakan mesin. Teringat olehnya kala ia kembali bertemu Luhan setelah lima tahun tanpa kabar.

.

.

.

Flashback On

.

.

24 Oktober 2011. Hari ini adalah hari ulang tahun Sehan yang kelima. Sehun merayakan ulang tahun anaknya itu secara kecil-kecilan. Hanya satu buah kue tart ukuran sedang dengan lilin angka 5 di atasnya, dua terompet kecil dan dua topi ulang tahun. Selalu sama setiap tahunnya.

"Appa, Sehan ingin jalan-jalan ke pasar malam. Boleh ne Appa?"

"Pasar malam?"

"Ne. Nanti Sehan ingin beli bermain bianglala dan beli permen kapas dan boneka bambi. Boleh ne Appa? Bbuing-Bbuing," rengek Sehan dengan jurus aegyo terampuhnya untuk meluluhkan Sehun.

Sehun hanya tertawa renyah melihat bagaimana cara Sehan membujuk dirinya. Sehun, apapun akan ia lakukan demi membuat Sehan tersenyum.

"Tentu saja sayang. Tapi ada syaratnya?"

"Mwo? Apa itu syaratnya, Appa?"

"Poppo,"

Dan secepat kilat Sehan langsung mengabulkan syarat Appa-nya. Tidak hanya satu kali, Sehan memberikan ciuman bertubi-tubi di seluruh wajah ayahnya.

"Sudah Appa,"

"Kalau sudah, saatnya untuk apa?"

"Ke pasar malam!" ujar Sehan gembira dengan nada seperti kartun Dora The Explorer yang selalu ia tonton setiap hari Minggu.

Sehun tersenyum melihat Sehan yang bahagia sepanjang mereka berada di pasar malam. Saat mereka ingin ke konter minuman, Sehan menarik-narik kemeja Sehun. Matanya menangkap sesuatu yang menjadi daya tariknya selama ini.

.

.

.

"Lulu Mama!"

.

.

Sehun terkejut mendengar teriakan Sehan. Ia mengikuti arah mata Sehan. Sehun terpaku. Tak jauh di hadapannya, seorang yang selalu ia rindukan berada disana. Sehun bisa melihat jika Luhan juga sama terkejutnya dengan dirinya. Terlebih lagi saat Sehan berlari menuju Luhan dan langsung memeluknya.

"Lulu Mama, bogoshipeo," Sehan mengeratkan pelukan pada kaki Luhan. Membuat sang empunya terkejut. Begitu juga dengan Sehun.

Sehun langsung menghampiri Sehan. Tubuhnya membeku melihat Luhan dengan jarak sedekat ini.

"Luhan-ah,"

"Sehun-ah, k-kau mengapa kau ada disini?"

"Aku? A-aku sedang menemani Sehan bermain di pasar malam ini,"

"Sehan?"

"N-ne. Sehan, dia a-anak kita, Lu. Oh Sehan"

"A-anak kita?" tubuh Luhan menegang mendengar perkataan Sehun. Sebuah memori masa lalu berputar di pikirannya. Tersentak saat ia tahu jika ada sebuah memori yang tak pernah ia sentuh. Memori tentang Sehun, dan apa yang terjadi pada mereka di masa lalu.

"Lulu Mama, mengapa baru pulang? Sehan kangen Lulu Mama,"

Luhan terbengong mendengar sebutan untuknya dari mulut anak yang baru saja ia ketahui bahwa itu adalah anaknya.

"Ah, maafkan Sehan, Lu. Ia menanyakan padaku apakah ia boleh memanggilmu dengan sebutan Lulu Mama. Karena ia bertanya apa arti Eomma dalam bahasa Cina. Dan kujawab dengan Mama, benar begitu bukan? Lagipula menurutku sebutan Lulu Mama tidaklah buruk," jelas Sehun.

"Lulu Mama, ayo kita pulang. Sehan kangen Lulu Mama. Nanti Lulu Mama bacakan cerita untuk Sehan sebelum tidur ne? Nanti Lulu Mama memeluk Sehan saat tidur ne?"

"Pulang?"

"Lu, kau bisa jelaskan nanti saat kita berada di apartemen. Sekarang, ayo kita pulang. Luhannie?"

"T-tapi a-aku …"

.

.

"Luhannie!"

.

Sehun baru saja ingin menggenggam tangan Luhan, namun sebuah suara menginterupsi kegiatannya. Ia melihat siapa yang menganggu acara pertemuannya dengan Luhan. Seorang laki-laki berkulit tan dengan seorang anak kecil memakai topi rusa di gendongannya.

"Kai?" Luhan menengok ke arah laki-laki berkulit tan yang sudah berada di sampingnya.

"Ken menangis mencarimu," ujar seorang yang bernama Kai itu sambil menyerahkan anak kecil bertopi rusa itu pada Luhan.

"Kau siapa?" tanya Kai, memandang Sehun heran.

"A-ku,"

"Dia teman lamaku, Kai,"

.

.

.

Teman lama? Begitukah cara Luhan menyebutnya di depan Kai? Lagipula, siapa Kai ini? Ada apa hubungannya dengan Luhan? Dan siapa pula anak kecil itu? Pertanyaan-pertanyaan itu bergulir bagai bola salju di otak Sehun.

"Oh, teman lamamu? Ah, kenalkan. Aku Kim Kai, suami Luhan. Dan ini anak kami, Kim Keanu atau Ken,"

.

.

.

JEGERR!

Bagai disambar petir di siang bolong, Sehun merasakan tubuhnya menjadi lemah tiba-tiba. Apa yang dikatakan Kai barusan? Suami Luhan? Bukankah hubungannya dengan Luhan belum ada kata berpisah? Lalu apa maksudnya dengan pengakuan Kai barusan? Mungkinkah …?

.

.

Flashback Off

.

Sehun masih ingat dengan jelas malam itu. Malam dimana ia harus menerima kenyataan mengejutkan dan pahit. Malam dimana ia harus bekerja keras untuk mendiamkan Sehan yang menangis dan berontak karena tak mau berpisah dengan Luhan. Malam dimana ia mendapati satu luka baru yang digoreskan Luhan.

Luhan-nya. Apakah masih pantas ia sebut Luhan sebagai miliknya? Jika pada akhirnya dua hari setelah pertemuan itu Luhan datang ke apartemen Sehun, menjelaskan keadaannya saat ini. Keadaan yang membuat hatinya terpecah berkeping-keping. Keadaan yang membuat hidupnya dengan Sehan berubah, menjadi terlalu sering mendengarkan tangisan rindu Sehan pada Luhan. Keadaan yang menjadi alasan Sehun tak menemukan Luhan saat berkunjung ke rumahnya saat Sehan berusia dua minggu.

Luhan, seorang yang menjerat hatinya terlalu dalam, telah menikah. Bukan dengan dirinya, melainkan bersanding dengan pria bernama Kim Kai, CEO K-Entertainment. Dan mereka telah dikaruniai anak bernama Kim Ken, yang berjarak dua tahun lebih muda dari Sehan.

Selalu yang menjadi teka-teki bagi Sehun. Semudah itukah Luhan melupakan dirinya? Apakah Luhan sudah tak lagi mencintainya? Dan apakah selama ini Luhan tak pernah mengingat bahwa ia memiliki anak hasil hubungannya dengan Sehun?

Tanpa ia bertanya pada Luhan, ia sudah tahu jawabannya. Air mata Sehan menjawab semua teka-teki itu.

Saat Sehan melihat tayangan televisi dimana saat itu sedang menyiarkan acara ulang tahun anak Kai dan Luhan yang keempat, dimana Luhan memberikan ciuman di pipi Ken, saat itu Sehun sebisa mungkin menguatkan hati dan menahan sekeras mungkin agar tidak menangis.

"Appa, mengapa Lulu Mama mencium adik kecil itu?"

"Eoh? Itu adalah cara Lulu Mama menyampaikan rasa sayangnya pada adik kecil itu. Lulu Mama mencium adik kecil itu artinya Lulu Mama sayang pada adik kecil itu,"

"Appa, berarti Lulu Mama tidak sayang pada Sehan yaa?"

"Mwo?"

"Iya, Appa. Kata Appa kalau kita memberi ciuman pada seseorang, itu tanda bahwa kita sayang pada orang itu. Lulu Mama tidak pernah memberi ciuman pada Sehan. Berarti Lulu Mama tidak sayang pada Sehan kan?"

"…"

"Appa, benarkah Lulu Mama tidak sayang Sehan?"

"…"

"Appa, apakah Sehan bandel sehingga Lulu Mama tidak sayang pada Sehan?"

"…"

"Sehan sayang Lulu Mama. Tapi mengapa Lulu Mama tidak sayang pada Sehan?"

Sejak saat itu Sehun tahu, Sehan-nya telah terluka. Terluka karena Luhan, seorang yang selalu dikagumi Sehan, seorang yang selalu ingin dipeluk Sehan, dan seorang membuat perasaanya Sehun terasa kebas terbawa angin. Hampa, mati rasa, dan tak tersisa.

.

.

TBC/END ?


Haloo sayang datang bawa FF baru di sela-sela waktu luang sayang. Oke, tolong jangan bash saya karena FF ini bergenre Family dan MPREG … lagi. Maafkan saya yang buat tokoh Sehan tersakiti lagi.

Ini adalah chapter pertama dan hanya akan dibuat Twoshoot. Tapi tergantung readers. Jika kurang minat maka ini END sampai disini, tapi kalau minat maka statusnya TBC. Bohong deng, sedikit atau banyak review akan tetap lanjut.

.

.

So, Mind to Review? ^^ Gomawo ^^