disclaimer: characters isn't mine, no profit taken.
warning: au/ooc/YAOI/typos/diksi abal /cerita pasaran/dsb.
length: chaptered.
genre: romance/angst(diusahakan)
a/n: disini main pairnya Sulay; tapi SuDo bakal mendominasi juga. well, DLDR deh ya XDD. Oh iya, disini saya buat umur Suho, DO, sama Lay sama (23 tahun)

.

.

"ketika ia mencintai dua orang di waktu yang sama..."

.

.

"ketika tiga pria terjebak dalam sebuah labirin yang mereka buat sendiri..."

.

.

Dan Ketika...

.

"dan ketika cinta harus memilih..."

.

.

"dia atau dia..."

.

.


Bab 1

.

Joonmyun buru-buru membawa tubuhnya keluar dari mobil, berjalan dengan langkah tergesa. Ia berhenti di hadapan seorang pemuda yang telah berdiri menunggunya di depan pintu. Nafasnya tersengal,

"Maaf aku terlambat."

Alih-alih marah, Kyungsoo tersenyum lembut. Ia mengangkat kedua tangannya untuk membenarkan helai-helai rambut Joonmyun yang terjatuh tak beraturan, dan memperbaiki kemeja pemuda itu yang tampak sedikit berantakan. Masih dengan kedua tangan mengenggam kerah, Kyungsoo berkata,

"Tidak apa. Aku mengerti," Kyungsoo tersenyum lagi, "Aku tahu kantor membutuhkanmu."

Selalu begitu. Kyungsoo selalu bisa mengerti Joonmyun. Apapun itu, bagaimana pun, dan kapan pun itu, ia selalu begitu memahaminya. Joonmyun tak tahu lagi bagaimana ia harus mengekspresikan rasa terima kasihnya.

Kyungsoo mengenggam tangan Joonmyun, menarik sang empunya untuk masuk ke dalam rumah. Joonmyun mengikuti langkah Kyungsoo yang menuntunnya memasuki ruang makan keluarga. Ia merasa seolah ia sedang memasuki ruangan untuk jamuan makan kerajaan.

Ruang makan itu memiliki luas layaknya lapangan sepakbola, dimana meja makan besar berbentuk persegi panjang terbuat dari ebony yang sangat mengkilap dikelilingi kursi-kursi dari bahan yang sama berukir dengan sandarannya yang tinggi. Lampu Kristal yang besar dan indah tergantung dengan anggun di langit-langit atas meja makan itu.

Rak kaca berhias aneka pajangan dari kristal dan porselen tertata rapi di pojok ruangan—Joonmyun yakin Kyungsoo yang menaruhnya disana—sementara di pojok lain berdiri sebuah jam bandul kuno yang sangat besar. Salah satu dinding ruangan itu terbuat dari kaca tebal dimana kini gordennya yang putih berenda di singkap dan diikat rapi dengan pita.

Joonmyun mengedarkan pandang. Di ruang makan itu ia bisa melihat kedua orangtua Kyungsoo sudah menunggunya. Ia membungkuk dengan taklim menyapa keduanya.

"Selamat malam, Ayah, Ibu." Sudah menjadi kebiasaan bagi Joonmyun memanggil kedua orangtua Kyungsoo dengan sebutan 'Ayah' dan 'Ibu'. Bahkan Ibu Kyungsoo sendiri yang memintanya begitu. Beruntunglah kedua orangtua Kyungsoo mau menerimanya dengan tangan terbuka. Yah, meskipun pada awalnya memang tidak mudah.

Ayah Kyungsoo di ujung meja hanya membalas dengan menganggukan kepala, namun bibirnya tetap membentuk senyum bijaksana sepatutnya seorang kepala keluarga yang berwibawa.

"Ah, selamat malam, Joonie! Akhirnya kau datang juga," sahut Ibu Kyungsoo dengan riang, "Daritadi Kyungsoo sudah tak sabar ingin bertemu denganmu, lho." goda wanita itu, diiringi dengan sebuah kerlingan mata.

"Ibu!" Kyungsoo memekik, wajahnya memerah. Masih sambil merutuki tingkah sang Ibu yang balak-blakan, Kyungsoo segera membawa Joonmyun ke salah satu kursi di sudut meja, berseberangan dengan kedua orangtuanya. Berbisik bahwa ia akan segera kembali, pemuda itu lantas pergi memasuki dapur diikuti oleh sang Ibu.

"Bagaimana keadaan kantor, Joonmyun?" Sang kepala keluarga akhirnya membuka pembicaraan, "Menjadi seorang CEO diusiamu yang masih semuda itu pasti melelahkan ya?" Beliau terkekeh pelan.

Joonmyun membenahi posisi duduknya, lalu tertawa kecil, "Sejauh ini baik, Ayah. Dan yeah, bohong kalau aku bilang itu bukan pekerjaan yang berat."

Kemudian obrolan antara 'Ayah' dan 'anak' itu pun terus berlanjut sendirinya dengan subjek yang sama. Sampai kemudian Kyungsoo dan Ibunya keluar dari dapur dengan membawa berpiring-piring makanan lezat dan menatanya di atas meja makan.

Berbagai makanan, mulai dari menu tradisional seperti kimchi spaghetti, bakpao, dan onigiri, sampai dengan menu modern seperti steak, ayam panggang, tumis, dan aneka seafood, serta red velvet cake sebagai menu pencuci mulut. Minuman yang dihidangkan pun demikian. Ada segelas red wine, teh, orange juice, atau cukup dengan air mineral.

Makan malam kali ini memang sengaja dirancang privat dengan kesan seakrab mungkin. Jadi Kyungsoo dan ibunya yang terjun langsung untuk menyiapkan semuanya tanpa bantuan para pelayan. Begitu beres, Kyungsoo langsung mendudukkan diri di sebelah Joonmyun. Keduanya bertukar senyum barang sesaat, sebelum akhirnya Ayah Kyungsoo membuka acara makan malam hari itu.

"Cobalah kimchi spaghetti ini, Joonie. Kyungsoo sendiri lho yang membuatnya! Dia benar-benar calon istri yang baik, bukan?"

"Ibu!"

Joonmyun tersenyum simpul. Ia tahu betul akan hobi kekasihnya yang memang suka memasak itu, dan ia mengakui bahwa masakannya pun hampir sekelas dengan seorang chef bintang lima. Kyungsoo memang laki-laki yang luar biasa. Walau dibesarkan sebagai seorang putra konglomerat, tak lantas membuatnya besar kepala. Sedikit pendiam, baik hati, dan juga ramah pada siapa saja. Kehadirannya selalu membawa suasana tenang dan nyaman bagi orang-orang di sekelilingnya.

Acara makan malam sejauh ini berjalan menyenangkan. Sesekali diselingi dengan candaan dan obrolan ringan disana-sini. Sampai kemudian, Ibu Kyungsoo menanyakan pertanyaan yang cukup sentimentil,

"Jadi, kapan kalian akan menikah?"

"—Ohok!" Joonmyun yang saat itu tengah menegak air minumnya langsung tersedak. Sementara Kyungsoo disampingnya menepuk-nepuk punggungnya dengan wajah merona bercampur khawatir.

Masih dengan terbatuk-batuk, Joonmyun berusaha menjawab, "Eum… itu..eum…"

"Ibu, kurasa ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakannya," gumam Kyungsoo pelan, namun masih sanggup didengar oleh seluruh meja. Dan Joonmyun tak melewatkan pancaran bola mata Kyungsoo yang sedikit meredup.

"Tapi kurasa Ibumu benar, Kyungsoo, Joonmyun," Ayah Kyungsoo menasihati, "akan lebih baik kalau kalian mulai membicarakannya dari sekarang."

"Nah, aku benar 'kan?" Sang Ibu mengangguk antusias, "Menurut Ibu, kalian sudah cukup matang untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Maksudku, usia kalian sudah hampir menjelang dua puluh empat tahun, dan... kalian juga sudah berpacaran selama kurang lebih tiga tahun 'kan? Apa salahnya?"

Ya, apa salahnya? Apa yang mereka tunggu—tidak.

Apa yang sebenarnya ia tunggu?

Apakah waktu tiga tahun tidak cukup untuk meyakinkannya?

Entahlah, dibalik segala kesempurnaan yang bisa ia temukan dalam diri Kyungsoo, Joonmyun merasa masih ada sesuatu yang hilang.

.

Sesuatu yang janggal. Sesuatu yang masih belum bisa Joonmyun temukan dari sosok sempurna Kyungsoo…

.

.

…dan ia sendiri juga tidak tahu 'sesuatu' apa itu.

.

.

Acara makan malam selebihnya berjalan lancar, terlepas dari suasana canggung barusan. Kini Kyungsoo tengah mengantar Joonmyun ke gerbang depan, dimana mobil sedan metalik milik Joonmyun berada. Joonmyun akan masuk ke dalam mobil, ketika tiba-tiba ia berbalik, mau tak mau mengejutkan Kyungsoo.

"Ada apa?"

"Dio,"

Dio.

Panggilan khusus dari sang malaikat untuknya. Hanya untuknya.

Joonmyun menghela nafas, "Apa kau… benar-benar ingin menikah?"

"Kau bertanya begitu karena perkataan Ayah dan Ibu tadi ya? Tidak perlu dipikirkan—"

"Dio," Joonmyun memotong. Nadanya tegas, "Aku serius."

Kyungsoo menggigit bibir, "Well," ia memulai, kepalanya tertunduk dalam, "Siapa sih yang tidak kepingin menikah?"

Keduanya lantas terdiam. Keheningan hanya diisi oleh sunyi langit malam, dan desir angin yang menyapa dan membelai raga dua insan yang saling beridiri berhadap-hadapan itu.

Joonmyun mengangkat dagu Kyungsoo yang tertunduk dengan satu tangan. Ia tatap sepasang bola mata besar berkilauan yang ternoda dengan sorot kekhawatiran di tengah kelamnya malam. Ia menjulurkan kedua lengannya, menyelimutkannya di sekeliling tubuh mungil pemuda itu, membenamkan ujung hidungnya pada untaian surai Kyungsoo.

"Jika itu maumu… baiklah," Joonmyun berbisik pada sang partikel-partikel udara. Ia tidak mau Kyungsoo terluka. Pemuda itu begitu rapuh, dan Joonmyun sudah berjanji pada dirinya sendiri ia akan selalu menjadi guardian angel-nya...

...Suho-nya.

Apapun yang membuatnya bahagia… Joonmyun pasti akan melakukannya.

.

Joonmyun memejamkan mata dan berkata,

.

"Kita akan menikah."

.


.

"Cheers untuk Joonmyun dan Kyungsoo!"

Luhan mengkomando seisi ruangan begitu sesi tukar cincin selesai, diikuti suara puluhan dentingan gelas yang saling beradu di udara. Sorak-sorai dan siul-siul heboh terarahkan kepada sepasang insan manusia yang kini tengah berbahagia.

Kyungsoo dan Joonmyun telah sepakat untuk menikah, dan mereka juga telah mengumumkan rencana mereka ini ke keluarga masing-masing.

Dan kini, mereka tengah berkumpul dalam acara pertunangan keduanya, yang diselenggarakan di sebuah hotel berbintang lima. Acara itu sendiri berkesan tertutup, cukup dihadiri oleh sanak keluarga, teman-teman, serta beberapa rekan bisnis yang punya relasi khusus.

Lantunan musik jazz mengalun lembut dari mulut speaker, diiringi dengan obrolan dan canda tawa para tamu memecah udara. Hall itu dipernis dengan meja-meja bundar berselimut kain putih berhias pita di sekitarnya. Sementara di sudut-sudut ruangan yang lain, dekorasi tampak ditata minimalis dan sederhana, namun tetap menampilkan kesan mewah.

Dengan satu tangan memegang segelas wine, Kyungsoo berjalan mendekati teman-temannya yang sepertinya menjadi kerumunan paling berisik di ruangan itu.

"Kyungsoo!" Baekhyun—sahabatnya sejak sekolah menengah—tampaknya menjadi yang pertama yang menyadari kehadirannya. Pemuda itu melompat-lompat antusias di tempatnya dengan kedua tangan melambai-lambai ke udara.

Kyungsoo terkekeh, dan begitu ia sampai di kerumunan itu, ia langsung dihadiahi pelukan erat oleh sahabat-sahabatnya.

"Selamat ya! Tidak kusangka ternyata kau yang akan menikah duluan!" rajuk Minseok, seniornya dari universitas sambil memukul bahunya man-main.

"Benar! Kau jahat sekali, mendahului kami!" Kedua mata Luhan menyipit jenaka, ia menunjuk-nunjuk Kyungsoo dengan wajah dibuat garang.

Kyungsoo memutar mata, "Oh, ayolah, ini tidak seperti aku akan melupakan kalian saja."

"Yeah, siapa tahu kan, setelah menikah kau akan jadi terlalu sibuk 'melayani' Tuan Kim," Baekhyun menyeringai nakal, dagunya bergidik ke kanan, ke tempat dimana Joonmyun berada. Kemudian tawa mereka pun pecah menyadari wajah Kyungsoo yang kini berubah merah padam.

Pandangan Kyungsoo menuntunnya ke arah tunangannya yang tengah sibuk berbincang-bincang dengan para tamu di sudut ruangan, tampak terlibat dalam sebuah pembicaraan yang serius. Joonmyun terlihat semakin tampan dan berkharisma hari ini. Rambutnya yang tertata rapi, dengan tuxedo abu-abu yang membalut tubuhnya. Pemuda itu memang selalu tampak sempurna di matanya.

"Oh iya, bagaimana dengan persiapan pesta pernikahanmu?" Luhan menginterupsi, ia menyuapkan sepotong cake ke mulutnya.

Kyungsoo angkat bahu, "Belum tahu, masih nol persen kurasa."

"Kalau kau mau, aku bisa merekomendasikan wedding organizer untukmu," Luhan menelan gumpalan cake-nya terlebih dulu sebelum melanjutkan, "Tenang saja, dia professional. Dan dia juga teman baikku di China."

"Benarkah?" Kyungsoo bertanya, bola matanya berbinar-binar, "Kurasa itu ide yang bagus! Kebetulan aku tidak terlalu punya banyak kenalan seorang wedding planner. Mungkin aku bisa mendiskusikannya dengan Suho nanti."

Luhan mengangguk dan menepuk-nepuk bahu Kyungsoo sejenak, sebelum kemudian ia, Baekhyun, dan Minseok undur diri entah kemana, Mereka bilang sih mau berkeliling sebentar, sekalian berburu-cowok-ganteng-siapa-tahu-ada-yang-kecantol —meninggalkan Kyungsoo seorang diri di tempatnya.

Dengan wajah bertekuk, ia menegak kembali wine di tangannya, tanpa menyadari seseorang telah berdiri di sampingnya,

"Have fun?"

Suara berat itu mengagetkan Kyungsoo, membuatnya hampir saja tersedak liquid keemasan itu. Ia menoleh cepat,

"Jongin?"

"Hai, calon kakak ipar," Jongin nyengir lebar, ia menggoyang-goyangkan gelas wine di tangannya, "Mari bersulang."

Suara dentingan gelas beradu dan kedua pemuda itu pun menghabiskan wine di gelas mereka dalam sekali tegak. "Kenapa aku baru melihatmu sekarang? Darimana saja kau?" Kyungsoo bertanya, heran.

Jongin mengedipkan sebelah mata, "Biasa. Berburu gadis-gadis cantik," ujarnya, yang langsung dihadiahi jitakan manis dari Kyungsoo yang tak habis pikir kenapa orang-orang terdekatnya suka sekali memanfaatkan situasi.

Jongin atau Kai—adalah adik satu-satunya Joonmyun yang seminggu lalu baru tiba di Korea setelah tiga tahun lamanya menempuh studi di Paris untuk meraih gelar sarjana. Pemuda berbakat dengan tinggi diatas rata-rata, kulitnya tan eksotis—Jongin bilang karena terlalu lama berjemur di pantai—dengan surai berwarna pirang dan wajah tampan bergaris rahang tegas.

Sebelum Jongin berangkat ke Perancis, Kyungsoo memang sudah dekat dengan adik Joonmyun tersebut, bahkan sebelum ia resmi menjalin hubungan dengan kakak lelakinya itu. Kyungsoo tersenyum sendiri membayangkan Jongin yang suka sekali bersikap kekanak-kanakkan, terutama padanya. Bahkan sampai sekarang pun, ia tak pernah berubah.

"Hyung?"

Suara Jongin kembali membuyarkan lamunan Kyungsoo. Ia mengerjap, "Apa?"

"Kau melamunkan aku ya? Sampai tersenyum-senyum begitu," goda Jongin.

"Dasar narsis!" Ia mendorong bahu pemuda yang lebih tinggi darinya itu, kemudian tertawa bersamanya.

"Selamat ya hyung," Jongin berkata, menatap Kyungsoo dalam-dalam. Ia memegang kedua bahu pemuda itu sebelum kemudian membawa tubuh Kyungsoo dalam pelukannya, "Aku turut berbahagia untukmu dan Joonmyun-hyung."

Kyungsoo membalas pelukan Jongin, mengeratkan lengannya di sekitar pinggang pemuda itu. Meletakkan dagunya di bahu Jongin, ia memejamkan mata.

.

"Terima kasih, Jongin."

.

Dan ia tak ingat sejak kapan pelukan pemuda itu terasa begitu nyaman.

.


Shanghai, China.

.

Ruangan itu sudah sepi sejak satu jam yang lalu. Langit sudah menggelap. Lampu penerangan sudah hampir semuanya dimatikan kecuali yang terdapat di sebuah ruangan dekat jendela karena masih ada seseorang disana.
Pemuda itu tampak begitu berkonsentrasi mencorat-coret berlembar-lembar kertas di mejanya. Menggambar sebuah bidang kemudian disisipi dengan tulisan disana-sini.

Zhang Yixing menyandarkan punggungnya ke kursi dan meletakkan penanya ke meja, menghela nafas panjang.

"Gege masih disini?"

Ia mengangkat wajah dan menoleh. Rekan kerjanya yang dua tahun lebih muda darinya—Huang Zitao—masuk ke ruangan dengan alis terangkat tinggi.

Yixing mengangkat bahu, "Yah, hanya sekedar iseng menyusun konsep," jawabnya santai. "Kau sendiri?"

Tao memberinya wink, "Aku baru saja pulang dinner dengan Yifan-ge, tahu!" Ia berbicara dengan pekikan tertahan, membuat Yixing tertawa kecil melihatnya, "Lalu aku kembali kesini karena baru sadar ada barangku yang tertinggal," Ia berjalan ke meja kerjanya yang letaknya tepat berseberangan dengan meja Yixing.

Yixing mengangguk. Ia membereskan kertas-kertasnya yang berserakan di meja ke dalam tasnya, memutuskan untuk mengakhiri jam kerjanya hari ini. Ia berdiri dari kursinya dan menoleh ke arah Tao, "Sudah menemukan barang yang kau cari?"

Tao menganggukkan kepala. Ia menggoyangkan bantal panda di tangannya dan berjalan mendekati Yixing yang menunggunya di ambang pintu.

"Sebuah... bantal?"

Tao nyengir, "Hehe. Gege tahu kan, aku tidak bisa tidur tanpa bantal panda ini?" ujarnya, menepuk-nepuk bantal persegi bermotif wajah panda tersebut kemudian memeluknya erat.

Yixing memutar mata,

"Siapa juga yang membawa bantal ke tempat kerja? Dasar."

.

.

"Aku dengar gege dapat dapat proyek kerja di Seoul?"

Yixing mengangguk membenarkan. Kedua tangannya beralih mengeratkan mantelnya ketika angin malam datang mendesir pori-pori kulitnya yang sensitif.

Ia dan Tao kini tengah berjalan menyusuri jalan sempit menuju apartemen mereka yang kebetulan searah. Jalanan itu cukup gelap dan sepi. Lampu-lampu jalan yang berdiri tak semuanya menyala, hingga membuat penerangan di jalanan itu menjadi minim dan remang-remang.

"Pasangan artis?"

Pemuda itu menoleh pada Tao, dan menggeleng, "Kurasa tidak. Tapi temanku bilang keduanya memang sama-sama berasal dari keluarga terhormat disana."

"Kenapa gege menerimanya?" Tao bertanya polos, "Maksudku, Seoul kan jauh sekali."

"Tentu saja untuk cari pengalaman. Selain itu... " Yixing tersenyum. Ia mendongak, menatap angkasa kelam dengan tatapan menerawang dan senyum terkembang, memperlihatkan cekungan kecil di pipi kanannya,

.

"Aku punya firasat, ada sesuatu yang besar sedang menungguku disana."

.


.

"Kenapa jadi kita yang harus menjemput sih?"

"Oh ayolah, Suho. Tidak seburuk itu, kok."

Joonmyun mengerang pelan untuk yang kesekian kalinya. Pandangannya menyapu airport yang penuh disesaki lautan manusia, mondar-mandir berlalu kesana kemari.

Ia melirik jam tangannya, satu jam sudah ia dan Kyungsoo menunggu di gerbang kedatangan. Ini hari minggu, dan seharusnya pada jam-jam ini ia tengah menikmati waktu istirahat di rumah. Berbaring di kasur empuknya, menonton acara televisi dengan secangkir kopi di tangan.

Bukannya menunggu seseorang yang belum jelas kedatangannya begini. Ini semua karena Kyungsoo yang memaksa untuk menemaninya menjemput si wedding organizer dari China itu. Alasannya sih, karena Kyungsoo ingin berkenalan secara langsung dengannya. Joonmyun tak habis pikir, tunangannya itu ternyata punya jiwa sosialis yang luar biasa.

Sampai kemudian segerombolan orang terlihat berbondong-bondong keluar dari gerbang kedatangan. Menandakan bahwa pesawat yang mengangkut penumpang dari China itu telah mendarat.

Kyungsoo langsung berdiri dari kursi, berjalan mendekat dengan menyeret Joonmyun yang berjalan lesu dibelakangnya. Kyungsoo dengan semangat menggebu-gebu mengangkat banner beraksara China di tangannya tinggi-tinggi, berharap menemukan orang yang ia cari.

.

.

Sementara Zhang Yixing berjalan tenang melewati 'arrival gate' dengan headset terpasang di telinga dan koper di tangan. Sesekali bibirnya ikut mendendangkan melodi lagu yang mengalun lembut dari telinganya. Ia berhenti sebentar, melongokkan kepalanya kesana kemari. Luhan sempat memberitahunya di telepon bahwa sang klien lah yang akan menjemputnya langsung disini.

Hal ini mau tak mau membuat Yixing gugup setengah mati. Ada satu hal mengejutkan yang ia sadari. Pesta pernikahan yang akan ia tangani nanti adalah pernikahan pasangan gay. Tunggu, ia bukanlah seorang homophobic. Bahkan kalau ia boleh jujur… ia juga punya orientasi seksual yang sama.

Tapi bagaimana pun juga orang-orang yang akan dihadapinya nanti adalah kalangan keluarga terpandang, dibandingkan dirinya, Yixing tentu bukan apa-apa.

Atensinya teralihkan saat kedua hazel-nya menangkap banner putih yang dibawa seorang pemuda di ujung antrean. Ia tersenyum kecil menyadari beberapa kesalahan kecil disana-sini dalam penulisan huruf hanzi namanya. Yixing berjalan mendekat ke arah orang itu sambil menyeret kopernya. Ia bisa melihat bola mata pemuda pembawa banner itu membulat ketika pandangan mereka bertemu. Ia mengerjap, "Apa kau..." keningnya berubah berkerut-kerut,

"...Chang Yishing?"

Yixing tertawa pelan, kemudian membungkukan badan, "Zhang Yixing," koreksinya dalam bahasa korea dengan aksen china yang kental, "Dan yeah, kurasa aku orang yang kau cari."

"Ah!" Pemuda itu memekik. Kedua bola matanya tampak berkilauan. Ia balas membungkuk cepat-cepat, "Selamat datang di Seoul, Yishing—err… Yixing-ssi! Mohon kerjasamanya!"

Yixing balas tersenyum simpul. Satu yang bisa ia simpulkan dari pemuda ini. Ia adalah orang yang ramah. Dan Yixing yakin, mereka bisa menjadi teman baik nantinya.

Pemuda itu kembali menegakkan tubuh dan tersenyum sambil menjulurkan tangan—yang langsung dijabat Yixing cepat-cepat, "Kenalkan, aku Kyungsoo, dan.." kemudian ia menggeser tubuhnya ke samping, menampakkan seorang pemuda lain di belakangnya. "…kenalkan, ini Kim Joonmyun…"

Yixing dan Joonmyun mendongak bersamaan.

.

Dan detik ketika kedua bola mata mereka bertemu, Yixing dan Joonmyun tahu mereka tak bisa berpaling. Atau tepatnya, tak mau berpaling.

Dan mereka menyadari…

.

"…dia…"

.

…bahwa hidup mereka tidak akan pernah sama lagi.

.

.

.

"…tunangan-ku."

.

to be continued.


a/n: aneh ya? Gak dapet feelnya ya? -_- iya, saya tahu. beneran gak pede publish nih ff, karena saya orangnya kadang gak konsisten. Tapi karena ada beberapa yg minta buat Sulay multichapter ya, saya iseng-iseng bikin XD hehe. Diusahin sih ff ini gak terlalu punya banyak chapter, mungkin sekitar 8 chapter? yah, kita liat aja nanti /slaps. Oh iya, di review kemarin ada yg minta saya bikin couple lain ya, err... mungkin kalau ada waktu, diusahain dibikinin deh XD

Thanks banget bagi yang sudah nyempetin baca *muah*

Emm, Boleh minta pendapat? ada kritik, saran, atau unek-unek lain? Boleh kok disampein di kotak Review, hehe ^^

See ya in the next chapter!