Hi, everyone!
Anne muncul lagi, nih! Hai pada kangen sama Anne? Hehe sok iyessss ya Anne. Btw, Anne kangen nulis fic lagi. Setelah ujian teater Anne selesai dan menikmati sisa pertambahann usia Anne (Anne habis ultah, loh), akhirnya Anne coba nulis lagi. Dan tema yang Anne ambil adalah time-travel. Walaupun udah banyak yang nulis soal ini, bahkan Cursed Child juga, Anne pengen aja buat lagi (dulu pernah, sih). Semoga fic kali ini bisa menghibur aja.
Udah ah.. masih bingung mau kasih pembukaan apa.. Jadi chapter pertama ini semoga bisa mengawalinya. Dibaca, ya. Kalau mau lanjut, tulis review.
Happy reading!
Rencananya, Harry akan membawa ketiga anaknya mengunjungi Grimmauld Place untuk melihat kondisi markas tua order phoenix malam ini. Sayangnya, bayi sebelas bulan yang kini ia gendongan tak hentinya berteriak tak mau diturunkan. Lily masih betah bergelayut manja dengan sang ayah, menolak mentah-mentah tawaran ibunya untuk mengajak melihat burung di halaman belakang rumah. Jika Lily tak mau lepas, Harry tak bisa mempersiapkan beberapa hal sebelum mendatangi rumah warisan Sirius itu. Harry belum mandi dan berganti pakaian, sangat susah jika mengingat ia juga belum menyiapkan mobil. Sebagai ayah, Harry tahu berpergian bersama anak kecil tidaklah mudah.
Lily uring-uringan setelah seharian ia dikerjai James. Dua gigi kecil di gusi bawahnya tumbuh membuat sang kakak, khususnya James, gemas untuk tidak menyentuhnya. James akan membuka paksa mulut Lily dengan telunjuknya dan memainkan gigi Lily sampai bayi itu menangis kejang. Tentu saja, James akan melakukannya jika Lily sendirian ketika ibunya memasak atau bekerja. Meski berkali-kali James harus mendapat omelan Ginny, anak sulung Potter itu belum juga kapok.
"Dadada!" seru Lily sambil terus menggeleng. Ia diberdirikan di samping sofa oleh Harry agar mau berdiri dengan dua kakinya. Lily belum bisa berjalan sendiri tanpa berpegangan , hanya mampu merangkak dengan lututnya atau menggeser-geser tubuhnya untuk sekadar bergerak.
Satu tangan Lily terus berpegangan erat di pinggiran sofa sementara satu tangan yang lain menggenggam erat jempol ayahnya waspada. Kakinya sudah bergoyang ke kanan dan kiri takut akan ditinggal. "Oh, Lilyku sayang. James tak akan menganggumu lagi. Kita cari Mummy, ya, kau pasti lapar menangis berjam-jam. Kita akan ke Grimmauld Place, sayang. Kau belum pernah ke sana, kan?"
Belum sempat Harry menggendong Lily kembali, Ginny akhirnya terlihat di pintu kamar mandi lantai bawah sambil membawa satu kantung kecil berisi perlatan mandi.
"Ayo, ikut Mummy dulu. Sudah sore ini, nanti kemalaman sampainya." Teriak Ginny berusaha mengambil alih Lily dari Harry. Kantung kecil yang ia bawa segera diserahkan pada Harry sebagai ganti Lily. "Mandi di sana saja, ya. Sudah sore. Bukannya kita janjian dengan yang lain jam tujuh di sana? Lebih baik kita sampai duluan, kan. James dan Al sudah siap di atas. Tinggal kau, ganti bajulah dan ajak mereka turun."
Untungnya, Lily mau setelah diancam tak akan diberi ASI oleh Ginny. Harry segera bergegas menuju kamarnya dan berganti pakaian. Teriakan Albus menggema masuk ke lubang angin kamarnya dan Ginny. Ada terikan nama James di sela kalimat penolakan. Harry paham betul apa yang sedang terjadi.
Harry siap menarik napas mengambil ancang-acang. "Kalau kau masih mengganggu adikmu, kau Daddy tinggal sendirian di rumah, James!"
Teriak Harry langsung menghentikan aktivitas kedua putranya.
"Good, boys!"
Pasangan Hermione dan Ron sampai lima belas menit lebih awal dari Harry dan Ginny. Tak ketinggalan Rose dan si kecil Hugo turut datang bersama kedua orang tuanya. Disusul kemudian dua pasang lain ikut datang seperti George-Angelina dan Neville-Hannah. Mereka mendapat tugas membantu membersihkan ruangan untuk sebuah acara mengenang perkumpulan besar yang didirikan Dumbledore itu. Meski telah banyak anggota yang tiada, Arthur dan Molly Weasley ingin sekali melakukan sebuah pesta kecil demi mengingatkan kembali para generasi baru tentang masa-masa berat bersejarah itu.
"Para cucu-cucuku harus mengenalnya, jika kau tak keberatan, Harry!" pinta Molly ketika mengutarakan pendapatnya pada Harry tentang acara di Grimmauld Place.
"Tentu, kita bisa bersihkan agar anak-anak nyaman di sana. Beberapa dari mereka juga belum pernah berkunjung ke sana, bukan?"
Dan jadilah, semua keluarga dan sahabat order setuju akan acara tersebut. Begitu juga anak-anak.
"Hugo alergi debu kan, Mione?" ujar Ginny melihat gelagat tak nyaman dari keponakan kecilnya. "Kita bisa tempatkan dia di salah satu tempat yang bersih dulu untuk istirahat." Ginny mengedarkan pandangan ke penjuru sudut Grimmauld Place. Beberapa ruangan yang ia tahu memang belum pernah dibuka.
Ginny ingat, ia pun belum sempat memberikan ASI untuk Lily sebelum berangkat. Para suami sibuk membersihkan ruangan yang akan digunakan untuk pesta. Mantera-mantera saling bersahutan bersamaan dengan meja-kursi yang terbang bergerak menuju tempat posisi baru. Harry sedang mengayunkan tongkatnya membenahi gorden dan lukisan yang berdebu ketika suara Ginny terdengar memanggilnya.
"Anak-anak harus segera dicarikan tempat, Harry. Kalau tidak mau James dan Fred menghancurkan hasil kerja kita." Ginny menoleh sejenak ke wajah Lily di dadanya. "Lily juga belum menyusu. Dan mata Hugo sudah mulai memerah karena debu."
"Merlin," Harry menepuk jidatnya keras-keras, "aku lupa dia alergi. Begini, Ron membawa kunci beberapa ruangan yang telah bersih. Beberapa pintu harus dibuka dengan kunci karena mereka dipasangi mantera khusus, tak bisa dengan tongkat."
Harry lantas memanggil Ron yang sibuk mencicipi kue khas Prancis yang baru dibawa oleh Fleur. Dengan kesal karena acara makannya diganggu, Ron berjalan lemas menghampiri Harry dan Ginny. "Apa-apaan, sih. Kau tak lihat aku sedang makan?" protes Ron.
"Kau juga yang apa-apaan. Kau tak tahu banyak anak-anak di sini. Lihat putramu sudah menangis karena matanya merah?"
Pembalasan Harry langsung mengalihkan perhatian Ron. Ia mengamati Hugo bersama Hermione di salah satu kursi. Putra bungsunya menangis lencang. Tangannya terus mengucek kasar kedua matanya dengan keringat membasahi sekujur tubuhnya. Hermione sampai harus berdiri dari tempatnya duduk untuk memberikan kenyamanan bagi Hugo. Wajah Ron pucat. Ia lupa putranya alergi debu.
Ron mengangguk paham lantas mencari kunci di saku celananya. "Ayo, mungkin ruangan di atas bisa ditempati anak-anak." Ajak Ron pada Ginny.
"Dasar, Ronald!" gerutu Harry.
Ada beberapa ruangan di lantai ke tiga. Bersih dan tertata rapi karena Ron dan Harry sempat menggunakannya ketika mereka, teman-teman, dan para pria Weasley lain mengadakan pesta kecil tersembunyi tanpa sepengetahuan para istri mereka. Hanya sebuah acara berkumpul bersama dengan topik-topik pembicaraan laki-laki dewasa. Ya, bagi mereka waktu singkat setelah lepas dari kesibukan kerja dan keluarga sangat perlu diapresiasi. Setidaknya itu alasan yang digunakan para pria itu.
"Sedikit bau wiski api, ya," seru Ginny pelan. Hermione ikut mengangguk.
Ron pun turut menciumnya. Jejak kenakalannya dan para pria lain masih tertinggal. Ia lupa membuang botol sisa wiski api di salah satu sudut. Ada sekitar tujuh botol kosong berjajar di bawah meja sudut. Cepat-cepat, Ron mengayunkan tongkatnya untuk menghilangkan botol-botol itu sebelum para anak masuk. "Ahh yang penting tempat ini yang paling bersih. Sudah, ajak anak-anak masuk." Kata Ron berusaha menutupi kegugupannya.
"Aku masih mau di sini dulu, Mione. Aku belum sempat memberi ASI Lily. Tak apa jika kau tinggalkan Hugo di sini. Aku akan menjaganya." Ginny menawarkan diri setelah Ron ijin kembali turun.
Pada sebuah ranjang besar, Hugo ditidurkan perlahan dengan diapit guling dan bantal besar oleh Hermione. Ia sendiri harus segera turun karena makanan yang ia bawa belum sempat di keluarkan. "Kalau begitu aku titip Hugo, ya. Aku harus membantu menyiapkan makanan di bawah." Pesan Hermione menyerahkan Hugo pada Ginny.
"Tentu, sebentar lagi aku akan menyusul kalian." Jawab Ginny.
Baru beberapa anak yang masuk ke kamar itu, di antaranya adalah James, Albus, Rose, Fred Jr, Teddy, Louis, dan tentu saja Lily dan Hugo. Sementara para anak yang lain belum tampak masuk. Ginny memilih mengambil posisi nyaman di sisi Hugo berbaring untuk menyusui Lily. Sembari menjaga anak-anak bermain, ia sesekali memperingatkan James yang menemukan sebuah buntalan kecil terikat tali panjang seperti kalung di bawah kursi.
"Jangan di ambil, James. Banyak debunya. Letakkan!" perintah Ginny.
"Tapi ini ada logo toko Uncle Ron dan Uncle George, Mummy. Ini mainan!"
Larangan Ginny seperti tak didengar James. Anak laki-laki itu malah memainkannya dengan Fred Jr di dekat Albus dan Rose yang sibuk menyusun lego. James memegang ujung tali kantung berdebu itu untuk bisa diputar seperti koboy.
"Debunya terbang, Jamie! Biru! Keren!" seru Fred Jr.
Bulir-bulir debu dari dalam kantung berhamburan keluar mengotori lantai. Anehnya, debu itu berbau manis seperti buah-buahan. Albus dan Rose sampai teralihkan dengan mainannya. Begitu juga Teddy dan Louis ikut mendekat untuk melihatnya.
"Astaga!" Ginny harus melepas paksa kepala Lily dari dadanya untuk mencegah James dan Fred Jr lebih mengotori ruangan. "Kasihan Hugo, dia tak boleh kena debu, anak-anak!"
Ginny berusaha menahan napas dan menutupi mulutnya sebelum menghirup terlalu banyak debu berwarna itu. Segera, ia mengambil kantung kecil dari tangan James dan menggantungkannya di pengait pakaian sisi ranjang. Suara tangisan Lily pecah tak suka makan malamnya diganggu. Tubuhnya berguling-guling kasar di sisi Hugo hingga ikut terbangun. Ginny semakin panik. Semua anak berteriak bersamaan.
"Tenanglah, anak-anak. Lihat, karena ulah kalian lantai jadi kotor. James, Al, Rose, Louis tutup hidung kalian. Teddy, jaga Lily dan Hugo sebentar. Auntie mau ambil sapu dulu. Jangan dikotori lagi."
Sementara Ginny keluar, Teddy menjadi pimpinan para anak di ruangan itu. Teddy naik ke atas ranjang untuk mencegah Lily bergerak menepi. Takut jatuh, Teddy segera menarik pundak Lily dan mendudukkannya bersandar pada tembok. "Jangan ke sana, Lily. Nanti kamu jatuh." Larang Teddy susah payah menenangkan Lily.
"Baunya harum, ya. Coba cium yang di lantai!" Louis sibuk memunguti debu-debu di atas lantai dan mendekatkannya ke lubang hidung. Sisa-sisa debu tampak menempel di ujung hidung mancungnya. Tangan James dan anak-anak lainnya mulai kebiruan dan berkelip. Bau berry dan apel secara bergantian tercium di ruangan itu. Entah mengapa, mereka merasakan ketenangan setiap menghirup dalam-dalam debu dari buntalan itu.
"Ini apa, ya?" Ujar Teddy mengamati kantung coklat berlapis debu biru yang digantung di sisi tembok tempat Lily bersandar.
"Kau tak tahu itu apa, Teddy?" Louis menggerakkan telunjuknya memberi isyarat agar Teddy segera mengambilnya namun Rose segera berteriak untuk menahan.
Rose merangkak naik ke atas ranjang meninggalkan Albus, James, dan Fred Jr yang masih sibuk memunguti bubuk biru di atas lantai. "Jangan diambil," cegah Rose, "nanti Auntie Ginny marah."
Gadis yang akan menginjak usia empat tahun itu dengan tegas mencegah tangan Teddy mengambil kantungnya. Meskipun digantung rendah, kantung itu bisa diambil jika diambil di pangkal pengaitnya. Karena jika langsung ditarik, sisa debu yang masih ada di dalam kantung dapat berhamburan keluar lebih banyak bahkan kantung bisa rusak.
"Ini mainan dari toko Uncle kita, Louis!" seru Rose.
Mata Louis terbelalak, "lalu kenapa?" jawabnya.
"Itu artinya ini mainan, Rosie," potong Fred Jr tak ada rasa khawatir sedikitpun.
"Dan pasti akan seru sekali!" Lanjut James ditutup dengan adu tos dengan Fred Jr.
Sementara mereka berdebat, tanpa sempat mengamati Lily, bayi perempuan berambut merah itu mulai tertarik dengan kantung yang tergantung di sisinya. Bau manis nan menggoda yang tercium dari dalamnya membuat Lily tak tahan untuk segera mengambil. Lily sejenak menoleh ke arah anak-anak yang lebih tua. Ia tak diperhatikan.
Tanpa pikir panjang, dengan sekuat tenaga Lily bangkit dengan kedua kakinya sendiri sambil terus berpegangan ditepian tembok. Tangan kecil Lily bergerak perlahan, melepas dari pinggiran tembok dan meraih kantung berdebu dengan sekali tangkap. Cepat, Lily menariknya kencang hingga tali terputus. Sontak, seluruh isi kantung berhamburan keluar. Kabut biru dengan cepat menyebar memenuhi ruangan tempat para anak beristirahat.
"Harum sekali, tapi.. kenapa jadi mengantuk, ya?" Teddy merasakan matanya semakin berat. Namun, bukan dirinya saja. James, Albus, Louis, Rose, dan Hugo sudah lebih dulu tergeletak tak sadarkan diri.
Sampai akhirnya, Teddy merasakan ruangan tempatnya duduk seperti berputar. Mata Teddy menggelap ketika ia menyadari Lily telah tergeletak tak sadar sambil membawa kantung berlapis debu biru berlogokan WWW, toko lelucon Ron dan George.
"Li—Lily!" suara Teddy semakin mengecil, sampai semuanya mengabur hilang dan gelap.
"Aku benci kucingmu, Hermione!"
"Sorry!"
"Sudahlah, sekarang kita masuk saja sebelum semuanya tahu kita menguping."
George menarik kembali tali penguping yang tersisa karena Crookshanks, kucing Hermione yang bengkok kakinya, berhasil menarik paksa penangkap suara sihir berbentuk daun telinga dan membawanya lari entah kemana. Baik George ataupun Fred tidak lagi mempermasalahkan rusaknya alat mereka. Bagi mereka, itu adalah sebuah pelajaran. Bahwa suatu hari mereka akan membuat mainan yang jauh lebih baik dari itu.
Harry, Ron, Hermione, dan si kembar Fred—George berniat kembali ke ruangan mereka sembari menunggu makan malam dimulai. Ginny sendiri mengatakan jika masakan sudah siap beberapa menit lalu hanya saja ditahan sebelum rapat rahasia para orang dewasa selesai.
"Bloody hell, apa mereka tidak tahu aku sudah kelaparan? Apa sih yang dibicarakan mereka di bawah? Kenapa ada Snape juga?" gerutu Ron.
Ginny berjalan mendahului mereka sambil memberikan iming-iming cemilan yang sengaja ia ambil dari dapur Grimmauld Place sebagai pengganjal perut. Ada beberapa potong cake dan pie ukuran sedang ia masukkan dalam sebuah keranjang kecil.
"Kau memang pintar, adik manis." Puji Fred dan George bersamaan.
"Thanks, tapi jika kalian tak mau ketahuan, makan di dalam dan jangan buat suara. Aku membawa tak terlalu banyak, jadi berbagilah. Kasihan Harry pucat sekali."
Ginny melirik singkat ke arah Harry malu-malu. Ia baru sadar jika Harry terlihat sedikit pucat ketika mereka sampai di tempat terang.
Belum selesai mereka membahas pembagian kue, tiba-tiba saja Ginny menjerit kencang setelah ia membuka pintu kamar. "Aaggghhh.. si—siapa mereka?" pekiknya ketakutan.
Ron terlonjak saking kagetnya. "Bloody hell, Ginny, kau sendiri yang bilang untuk tidak membuat suara tapi kenapa kau berteriak begitu kencang! Ada apa—"
"Ma.. ma.. ma..!"
Suara kecil menggemaskan seketika menghentikan ocehan Ron. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya kini. Seorang bayi perempuan dengan rambut merah cukup tebal, berdiri sambil bergoyang-goyang mencari keseimbangan. Langkahnya perlahan, berjalan mendekati posisi Ginny berdiri. Tangan kecilnya terangkat seperti meraih angin yang lewat. Rambutnya ikut bergoyang seiring kakinya terus digerakkan maju.
"Ma.. ma.. ma..!" celotehnya lagi.
"Dia lucu sekali." Pekik Fred.
"Seperti kau saat bayi dulu, Ginny." Sambung George.
Mereka akui, kelucuan bayi itu sempat mengalihkan mereka berenam. Sampai akhirnya sebuah suara lain terdengar memanggil. "Auntie Ginny.. kepalaku pusing." Seorang anak usia sepuluh tahun menggeliat pelan di atas ranjang. Memeluk bayi laki-laki berambut merah tipis yang masih tertidur pulang.
"Astaga, ada lagi. Dan.. yang ada di lantai juga—" tunjuk Hermione pada dua anak berambut hitam yang tergeletak tak sadarkan diri di atas lantai.
"Aw—sakit."
Anak laki-laki itu kembali mengerang. Dengan ajaib, warna rambut ungunya berubah menjadi biru tua. Perubahan warna itu langsung menarik perhatian Fred dan George untuk segera mendekat. "Apakah ini wig aura keluaran terbaru, Georgie?"
"Entahlah, Fredie. Kita ambil saja wignya, kita coba lihat."
Tanpa permisi, George seketika menarik paksa rambut anak laki-laki itu hingga terbangun dan menjerit. Dia marah dengan cepat memukul pundak George dan Fred bergantian tak suka rambutnya dijambak. "Lepaskan! Sakit tahu! Lepas—hah?"
Betapa terkejutnya ia, melihat dua sosok pria kembar berambut merah berjongkok sambil menatap wajahnya tajam. Begitu mirip, bahkan cara berbicaranya pun sama. "Uncle George.. kenapa kau ada dua?" tanyanya kebingungan. Rambutnya berubah hijau.
"Lihat, rambutnya berubah lagi." teriak Ginny spontan.
"Auntie Ginny? Kantungnya pecah karena ditarik Lily. Aku tak tahu sampai semuanya tidur lalu—sebentar, kau terlihat jauh lebih muda, Auntie. Rambutmu panjang. Lalu.. siapa di belakangmu? Mirip Uncle Harry, lalu seperti Uncle Ron, dan ah—Auntie Hermione. Tapi jauh lebih kurus."
Ron memekik tertahan karena geli. Dengan cepat, Hermione menatapnya tajam berusaha meminta penjelasan. "Kau dengar sendiri, kau dipanggil Auntie. Lalu.. dia bilang kau lebih kurus. Artinya selama ini kau gemuk—"
"Tentu saja gemuk, Uncle Ron. Auntie Ginny kan juga pernah gemuk. Tapi Auntie Ginny sudah mulai kurus setelah melahirkan Lily, sedangkan Auntie Mione masih terlihat gemuk setelah melahirkan Hugo. Aku mendengarnya sendiri ketika Auntie Ginny dan Uncle Harry membicarakan berat badan Auntie Mione, haha—ups."
Hermione naik pitam. Menatap Ginny dan Harry siap membunuh. "Kalian—"
"Sebentar—"
Harry meminta semua untuk diam. Ada sebuah kejanggalan ketika sejak anak laki-laki itu berbicara, semua yang dibicarakannya seperti tidak masuk akal. "Kau bilang melahirkan?" tanya Harry.
"Tentu Uncle, Auntie Ginny dan Auntie Hermione, kan—Oh demi Dumbledore, Lily sudah bisa berjalan!" ia lantas berlari menuju si bayi perempuan dan memeluknya erat. Membawanya berputar sambil bernyanyi girang mengucapkan selamat.
"Kau bisa berjalan, tuan putri Potter. Kau bisa berjalan, tuan putri Potter." Ujarnya terus bernyanyi.
"POTTER?"
Rambut si anak laki-laki kembali berubah warna menjadi ungu. Ia menurunkan si bayi perempuan ke lantai ketika Harry, Ron, Hermione, Ginny, Fred, dan George mendengar bayi itu dipanggil Potter. Di antara mereka, Harrylah yang paling terkejut. "Kau bilang—Potter?" ulang Harry meyakinkan.
"Ya, kau menamainya Lily Luna Potter, kan, Uncle?"
Harry menelan ludahnya susah payah. "Lily Luna Potter?" batinnya tak paham.
"Harry—" bisik Hermione menyadari banyak kejanggalan di antara mereka, "aku rasa mereka adalah—"
"Siapa namamu?" sela Ginny.
"Teddy. Aku Teddy. Teddy Lupin. Edward Remus Lupin."
Semua orang masih tak percaya hingga satu persatu anak mulai sadarkan diri.
TBC
#
Mau Anne lanjutkan fic ini? Fav dan beri review! Maaf kalau masih banyak typo! Semoga terhibur, ya! Anne akan lihat, ada yang mau baca lanjutannya nggak. Sampai jumpa!
Thanks,
Anne xoxo
