Sugantea presents;
.
[Prologue]
Malam sebelas September, cuaca agak dingin.
"Baju tidur, kaos tipis, celana boxer."
Terdengar suara benturan kain yang mampu meniupkan debu. "Lengkap."
"Alat mandi, sebentar, akan kurinci. Sabun cair, sabun batang, sikat gigi, shampoo, pasta gigi, krim cukur, facial wash, busa mandi."
"Oke. Checked."
"Laptop, iPod, charger, dan oh jangan lupa power bank!"
"siap boss! Bahkan semua dalam keadaan full battery."
"Good." Seorang lelaki yang sejak tadi mengeja perlengkapan melalui daftar yang ia tulis dengan rapi dalam kertas gulung memanjang, terhenti sebentar. Napasnya agak terkuras karena mendikte semua barang yang pikirnya akan diperlukan nanti. Ia menatap temannya yang sibuk mengepak barang tengah memasukkan barang-barang yang telah lolos dikte kedalam koper kemudian menarik resletingnya.
"Ada lagi yang harus ku periksa?" usai menyingkirkan koper hitam besar, ia mendongak dan meminta ketegasan pada sahabatnya yang masih meraup oksigen banyak-banyak. "Aku lelah, mau tidur."
Pemuda itu kemudian memeriksa catatannya lagi dan berkata, "Bagaimana dengan alat tulis?"
"Aku hanya menyiapkan beberapa buku referensi, buku novel, dan note. Untuk pena, aku mengambil milikmu karena lengkap sekali."
Ia mengangguk pelan. "Yah, jujur saja kalau kau memang malas menyiapkan segala sesuatu. Hm, mari kita lihat, kau sudah periksa peralatan makan?"
Pemuda yang satu lagi memainkan alisnya. "Kurasa kita sudah membicarakan ini, Park Jimin. Aku tidak pernah setuju dengan ide membawa seisi perabotan rumah ke flat. Kita bisa membelinya disana, kau paham betul aku tidak suka merumitkan diri."
"Kau itu keras kepala." Jimin berkacak pinggang. "Bukan soal merumitkan, ini tentang persiapan. Kau pula paham betul aku suka segalanya teratur. Dan membawa satu dua piring gelas bukankah tidak menyentuh beban satu kilo? Jika kau harus pergi membeli, aku berani bersumpah atas nama Lucifer, bahwa kau akan melontarkan setidaknya dua puluh alasan untuk menghindar."
"Cut it off. Ini sudah malam, lanjut yang lain saja."
Park Jimin mendumel dengan suara selemah tikus. Memeriksa catatannya lagi kemudian mendikte barang yang langsung direspon sahabatnya itu dengan beberapa kuapan sebab ia tidak tidur siang. Katanya, tidur siang itu penting untuk stamina dan meremajakan wajah. Dia bilang bahwa rahasia wajah mulus dan tampan miliknya yang longlasting adalah buah dari tidur siang rutin. Bleh. Sahabatnya itu memang suka makan angin dan buang angin saja selama hidup.
"Pembalut?"
"Sudah –HEI! KAU PIKIR KITA PEREMPUAN, APA?!" suaranya jadi memekik. Sedikit terkejut karena sahabatnya mendikte barang bulanan kepemilikan wanita. Memang terkadang Park Jimin itu sulit ditebak.
"Ups, maaf. Terbiasa mendikte nunaku," Jimin tertawa renyah. "Lagipula kau bilang sudah. Ah, jangan-jangan sebenarnya kau –"
Pemuda itu buru-buru mendelik. "Jangan asal bicara kalau kau belum siap kehilangan keperawananmu."
"Ah, takut sekali, Mama."
Jimin tertawa setelah mendramatisir responnya pada pemuda itu. Ia melipat catatannya dan membuangnya kedalam saku jeans coklatnya yang tebal dan hangat. Melangkahkan diri mendekat pada sahabatnya yang tengah berbaring saking lelahnya. Ada suara desahan kepenatan di deru napasnya. Sejenak membuat Jimin menegak ludahnya berat, sebab tidak peduli dalam kondisi apapun, suara sahabatnya akan selalu dan memang seksi. Dalam dan mengintimidasi. Serak dan basah.
"Berbaringlah," pemuda itu menepuk lantai kayu yang kosong di sisinya. "Kau pasti capek."
Jimin tersenyum sebentar. "Bilang saja kau ingin meraba-raba tubuhku yang montok ini, brat. Tidak usah pakai pick-up line yang sok perhatian itu. Kau sungguh bukan Kim Taehyung yang biasanya urakan dan suka bicara kotor."
"Wah, kau." Mata Taehyung menyalang, suaranya menggeram sampai Jimin merinding. "Mau mengucap maaf, sebelum aku benar-benar memperkosamu disini, Sayang?"
Beruntung ada celah waktu bagi Jimin untuk menghindari serangan Taehyung yang mendadak. Bukannya takut, ia malah tertawa girang sebab menjahili Taehyung memang selalu menyenangkan dan tak akan pernah menjadi suatu hal yang membosankan. Sampai akhirnya ia menyerah dan berakhir dalam tumpuan lengan kokoh Taehyung yang bahkan sanggup menangkup wajahnya hanya dengan satu telapak tangan. Jimin benci mengakuinya tapi Taehyung memang tumbuh lebih pesat dibanding dirinya, badannya lebih berpostur dan kuat, lebih besar dibanding tubuh mungilnya, dan nampak lebih jantan dibanding lemak-lemak yang bersarang dibawah kulitnya.
"Hm, Tae." Jimin memulai perbincangan usai mampu mengontrol respirasinya. "Menurutmu, apa Seoul akan semenyenangkan Busan?"
Ada jeda beberapa detik sampai Jimin sadar Taehyung tersenyum. "Busan dan Seoul itu kota yang berbeda dan jawabannya, aku tidak tahu. Kita sudah belasan tahun hidup di Busan, Jimin. Dan Seoul adalah pusat dari segala muara Korea Selatan. Fashion, teknologi, kesehatan, jenis musik, bahkan makanan, segalanya menuju ke kota besar itu."
"Aku tahu itu, brat. Maksudku, apa kita akan bahagia di Seoul? Maksudnya, kau tahu, Big city means big threats. Big city means big criminality. Semakin besar sebuah kota, akan semakin besar pula hal buruk terjadi disana, tidak ada yang bisa menjamin segala sesuatunya akan aman."
"You got it." Taehyung dan aksen Inggrisnya yang aneh. "Tidak ada yang bisa menjamin segalanya, kau sudah tahu. Jadi apa bedanya kau berdiam di Busan jika kau pun tahu tidak ada yang menjamin, kota kecil kita aman dari kriminalitas sekejam New York, Tokyo, atau Jamaika?"
Dapat Taehyung rasakan tubuh sahabatnya itu menegang meski hanya beberapa detik. Ia tersenyum lagi, menanggapi raut wajah Jimin yang nampak kesal dengan jawabannya. Sejujurnya ia ingin sekali mecubit pipi tembam Jimin tapi ia lebih memilih mengusap surai kelabu peraknya yang halus dan semakin diusap wanginya akan lebih menguar sampai Taehyung mabuk.
"Kau takut?"
Ia sudah siap untuk meledakkan tawa jika Jimin melontarkan ketidak-setujuannya. Berteriak nyaring dengan wajah yang merengut lucu, kemudian membantah omongannya. Tapi ketika Jimin justru mengangguk pelan dengan air muka yang serius, Taehyung termangu sejenak. "Aku takut,"
"Kuliah. Seoul. Kota besar, Tae. Kita akan kuliah di kota besar, metropolitan. Melihat banyak kasus kejahatan di TV yang delapan puluh persen disiarkan live dari Seoul, aku ragu. Aku tidak yakin apa kita bisa bersenang-senang seperti ini. Aku bertanya-tanya, apakah cara orang Seoul bermain sama dengan kita, sebab satu kata yang berteriak dalam kepalaku jika mendengar Seoul,"
" –Bar. Memang terdengar klise dan seperti aku terlalu banyak menonton drama." Meski memang benar, dan diamini oleh Taehyung sebab kadang ia kewalahan menanggapi Jimin jika sudah terlampau emosional dengan adegan drama yang menurutnya berlebihan. "Bukannya sok suci tapi Tae, selama sekolah kita ini siswa teladan, tahu? Kudengar tujuh puluh dari seratus siswa di Seoul sudah melakukan seks atau paling tidak narkoba. Demi Tuhan, kita menyentuh rokok saja sudah gemetaran sampai ke ubun-ubun, aku benar?"
Jimin memijat pangkal hidungnya. "Tidak juga aku berprasangka negatif, hanya saja, aku ragu. Takut dan khawatir bila kutub negatif mampu menggerus kewarasan kita sampai akhirnya mengecewakan dua malaikat yang telah melahirkan dan mengayomi kita. Aku –aku agak paranoid, sebenarnya."
Adalah sebuah kesenangan tersendiri bagi Taehyung melihat wajah Jimin yang merengut karena kebanyakan berpikir. Segala yang diucap Jimin barusan memang benar, Seoul memiliki satu titik lemah yang mampu membuatnya merinding ketakutan. Pergaulan bebas. Taehyung memang suka bicara kotor tapi ia tidak pernah setuju dengan paham melakukan hal gila yang melanggar norma hukum dan agama.
Sejujurnya mereka berdua sama saja, begitu mengetahui bahwa mereka lolos ke Universitas Negeri Seoul (incaran sejuta umat penuntut ilmu pendidikan tinggi di Korea Selatan dari ujung barat ke timur), tidak ada yang berteriak atau meneriakkan rasa suka cita. Mereka terdiam, terpasung oleh kenyataan yang agak membuatnya mengira dunia ini hanyalah mimpi. Berangan-angan sekejam apa mereka akan dipandang di kota sebesar itu. Big city with high class society, mereka pikir. Mereka agak takut berimajinasi bahwa pembullyan itu benar adanya. Dan diskriminasi halal hukumnya. Serta bunuh diri adalah pilihan hidup yang sesuai. Mereka takut.
Tapi mereka sudah terperangkap, dan tidak bisa lari.
Mereka sudah kepalang basah harus hidup di Seoul. Mau tak mau, mereka harus mengadu nasib dan menantang skenario Tuhan di kota besar itu. Dan besok pagi, adalah jadwal keberangkatan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Sebab jika mereka diberikan kesempatan untuk berpikir barang sedetik saja, maka jawabannya adalah tidak. Mereka ingin tua dan mati di tanah Busan, menghabiskan waktu untuk keropos dan membiarkan cacing tanah menggerogoti kulit mereka sampai tersisa tulang belulang saja dan membusuk disana sampai jadi fosil bahan penelitian manusia modern di ribuan tahun masa depan.
"Jangan jadi pengecut, Jim." Taehyung tenang sekali. "Apalah arti sebuah ketakutan jika kita bisa menantang maut. Maksudku, oke, selama ini kita jadi murid tauladan, kesayangan guru sampai petugas kebersihan. But it's an old, kawan. Kupikir masa muda kita justru begitu monoton dan tak berarti. Dengan kesempatan sebesar ini, kita bisa mewarnai hidup dengan hidup urakan dan sedikit nakal. Bukan artinya kita wajib mengikuti arus kemudian seks dengan puluhan wanita sambil memakai narkoba –"
"Akan kupenggal kepalamu sampai kulihat kau bercinta didepan mataku."
"Hm," Taehyung memasang pose berpikir yang kasual. "Kalau begitu akan kupikirkan bagaimana caranya aku seks tanpa ketahuan kau."
"Bangsat jahanam!"
Taehyung hanya tertawa riang begitu Jimin mencubit pinggangnya. Mendapati sahabatnya dalam mode garang yang biasa agak membuatnya lega, ia tidak pernah bisa tahan dengan Jimin yang menjejakkan kaki di fase melodrama dan penuh derai airmata. "Bercanda. Begini, selama ini kita hanya jadi boneka saja, tahu? Datang ke sekolah pagi-pagi buta, bersaing mendapat rangking, ikut olimpiade ini itu, ikut kegiatan sukarela, acara amal, dan menjadi ambassador; dengar, aku sudah muak."
Ada sebuah keterkejutan dalam manik coklat Jimin.
Muak? Tak pernah ia sangka Taehyung tidak menyukai ini. "Bukan pula aku bermuka dua untuk mengatakan aku suka dan dibelakangmu aku memaki. Aku hanya bosan, Jimin. Aku bosan menjadi panutan, pusat dari segala tatapan binar penuh kagum dari setiap mata. Aku lelah dengan beban dibahuku yang selalu berbisik untuk mengingatkanku tentang batasan dari sebuah kebebasan. Aku tidak bisa absen dari kelas, peringkat turun, nilai turun bahkan untuk nol koma satu poin, perilaku tercela, ucapan tidak senonoh, bahkan aku tidak bisa mengumpat di status facebook. Demi Tuhan, aku harus jadi sempurna untu semua orang dan kau yang paling tahu aku tidak akan tahan dengan semua omong-kosong ini."
"Bagimu ini hanya –omong kosong?"
"Tidak berarti aku muak denganmu, Jimin. Aku hanya muak pada diriku sendiri sebab kupikir aku takut mendua. Aku takut mengecewakan semua pihak, terutama kau. Aku tahu kau senang menjadi ketua departemen kedisiplinan selama tiga tahun berturut-turut, aku tahu kau girang mendapat mandat langsung dari Pak Kepala untuk menjadi ambassador sekolah tanpa tes, dan bahkan mendapat puluhan piagam tetek bengek dengan ribuah prestasimu."
Yah, mereka berdua memang panutan tapi Taehyung yang sejak awal memang tidak menyukai untuk jadi sebuah tauladan, mengajukan Jimin untuk jadi cerminan bangsa. Mereka memang sering ikut olimpiade tapi Jimin yang selalu membawa pulang medali emas bahkan untuk tiga lomba yang ia ikuti dalam satu hari yang sama. Taehyung sering meninju wajahnya, memastikan sahabatnya ini bukan dan tidak ada DNA Einsten atau Isaac Newton dalam darahnya.
Ada semburat malu di wajah Jimin. "Tidak usah bahas itu, brengsek. Aku malu."
Lucunya, Taehyung hanya bisa membatin. Takut juga ia dicakar Jimin. "Pokoknya dengarkan aku, sesekali kita perlu jadi nakal. Kau tahu, hidup harus penuh tantangan. Kau tidak bisa membiarkan dirimu terhanyut aliran deras sungai, kau tidak boleh menganut prinsip let it flow, Park Jimin. Tidak boleh."
Suara tawa Jimin sampai ke pendengaran Taehyung, membuatnya mengerang sebal sebab alunan tawa milik sahabatnya itu semanis madu namun memikat seperti racun. Halus namun memabukkan, ia benar-benar suka suara sahabatnya yang ringan seperti kapas dan sehangat musim semi.
"Terdengar seperti kau menghasutku pada sebuah keburukan."
Taehyung menimpali dengan tawa, "Kuanggap sebagai caramu mengatakan ya."
"Well," Jimin mengendikkan bahu. "Seberat apapun aku menolak, pada akhirnya memang kita akan kesana dalam hitungan jam. Hanya saja, aku tidak bisa memendam ini, aku masih takut pada segala macam probabilitas tentang kita nantinya,"
"Kita?"
Jimin mengangguk mantap dan menatap mata Taehyung yang sepekat darah. "Besar kemungkinan paham di Seoul membuat kita menjadi berbeda Taehyung, maksudku, come on, Seoul dan segala macam kemewahannya. Seoul dengan hedonisme, foya-foya, penghamburan, kau jelas tahu itu bukan hal yang baik. Dan jika membakar uang Ayahmu dengan menghisap sebatang rokok adalah yang kau sebut nakal, aku akan membakar dirimu yang sebelumnya telah aku salib."
"Whoa, santai, bruh." Taehyung mencekal jemari gemuk Jimin yang sudah mencengkeram kuat kerah kaos polonya, memberi cengiran polos untuk merespon tatapan garang dari Jimin. "Tidak akan, ya ampun. Kau tahu betul aku seperti apa, astaga, menghirup asapnya saja aku bisa pingsan, kau ingat?"
"Tenanglah, Park. Kau tidak sendiri, ada aku. Kita tidak akan terjerumus jika itu maumu, sebab ada kau yang mampu memberi batasan untukku dan karena hanya kau pula yang mengerti mana yang baik dan buruk untukku. Maksudku, kita sudah bersahabat sejak sekolah menengah dan hanya kau yang tahu sifat busukku ini. Bahkan yang mengajarimu mengumpat adalah aku, nyatanya kau senang sekali mengumpati aku, bodoh. Faktanya, kau sudah terjerumus satu keburukan olehku,"
Ada sedikit keraguan dalam deru napas Jimin yang tenang. Beribu macam adegan dramatis yang hanya mampu ia imajinasikan, mengira-ngira dan menimbang, memikirkan jika sebenarnya apa yang Taehyung katakan memang benar adanya. Selama ini ia juga lelah dengan pamor baik dan etiket yang sudah seperti bangsawan jaman Victoria, ia lelah jika melulu dituntut untuk sempurna. Semakin banyak manusia yang tercipta, semakin ketat persaingan di dunia, dan semakin nyaman kita berada dalam zona nyaman maka akan semakin lemah strategi kita dalam penyerangan. Tidak akan ada ujung dalam sebuah penderitaan, tidak akan pernah ada yang namanya kemenangan dalam penyiksaan, dan tidak akan mampu seseorang menemukan keajaiban jika ia lemah. Seseorang harus menjadi kuat atau mereka akan mati sia-sia. Jimin tahu pasti hal itu.
"Because life starts when you're out from comfort-zone."
Selalu ada hal yang menarik dalam diri Kim Taehyung, menurut Park Jimin, sahabatnya adalah satu dari sekian juta umat yang luar biasa aneh. Dia dituntut untuk sempurna tapi sesungguhnya dia tak lebih dari seorang pembangkang, tidak bisa diatur, urakan. Tapi keteguhannya dalam membuktikan pada sekian manusia diluar sana bahwa Taehyung bisa menjadi seseorang yang mereka minta, membuat Jimin membuka matanya lebar-lebar, tidak mau berkedip untuk melewatkan satu detik momentum betapa gigih Taehyung berusaha. Meski tidak selalu berhasil dengan kemenangan mutlak, ia bangga.
Kim Taehyung dengan logat bahasa asingnya yang aneh, membuat Jimin menganga karena pria itu tahu banyak tentang life quotes atau beberapa kalimat motivasi yang menantang. Atau bagaimana baiknya ia dalam mengungkapkan sesuatu yang melibatkan emosi, jangankan Jimin, bahkan security yang kebetulan menonton Taehyung membacakan puisi sampai menangis tidak jelas selama dua jam. Juga tentang hal-hal menantang yang suka dilakukannya, hal kotor yang dia pelajari, cara mengumpat, berkelahi, bahkan menjadi jahat. Jimin tidak mengerti mengapa dia tidak bisa marah sebab entah mengapa Taehyung dalam mode nakal sangatlah seksi dan keren tiada banding.
Dan satu hal yang membuatnya haru, bahwa Taehyung tidak pernah lupa padanya.
Taehyung selalu mengingat Jimin, mengajarinya hal-hal baru diluar kebiasaan mereka sebagai pelajar baik hati tauladan seribu lima ratus siswa di sekolah. Entah itu tentang beladiri atau hanya berkelahi seperti street fighter amatiran, mengumpat, menggoda seperti jalang; tapi Jimin menyukainya. Sebab ia tahu bahwa begitulah cara Kim Taehyung menyayanginya, caranya lain dan menantang.
"Nah," suara bass Taehyung menampar lamunan Jimin. "Sudah tentang debatnya? Sekarang nikmati hembusan angin malam meski bisa membuatmu masuk angin. Ah, harus kuakui aku benar-benar suka rancangan kamarmu tentang jendela di langit-langit kamar. Karena posisinya sungguh pas dengan bulan, sumpah demi Tuhan, rasanya seperti di planetarium. Tapi lebih keren, bonus, gratis makan minum."
Taehyung tertawa renyah saat Jimin mencibirnya dengan 'idih, dasar manusia gratisan'.
"Rasakan betapa sejuknya lantai kayu kamarmu, juga aroma yang sangat manis dari vanilla. Suatu saat aku yakin, kau akan merindukan kamar mewahmu ini, Jimin."
Tanpa sadar dan semacam reflek, Jimin langsung melakukan yang Taehyung katakan. Ia menyesap aroma kamarnya yang nyaman, sampai pelupuk matanya menghangat dan basah. Sebab benar, ia akan dan selalu akan merindukan kamar ini. Bagaimana ia sejak masih kecil sampai besar tidur dan bersenang-senang di ruang pribadinya yang lembut, menghabiskan malam bersama Taehyung, ia tidak mengira akan berpisah dengan rumahnya untuk waktu yang lama. Atau kemungkinan terburuknya, ia tidak akan pernah kembali kemari. Dan untuk alasan yang cukup mendasar, Jimin ingin sekali menangis.
"Menangis saja," Taehyung mengusap pelipis Jimin sampai pemuda itu terisak. "Aku tidak akan lihat, pun mengejekmu menjadi cengeng. Sebab aku tahu, kau sangat perasa, Jiminie. Kau peduli pada apapun dan well, bahkan pada hal yang seharusnya bukan urusanmu. Nah, karena ini malam terakhir kita di Busan, habiskan saja dengan tangisanmu. Tidak apa, suaramu menangis saja mampu membuatku mabuk."
"Aku tidak mau menangis, jerk."
Taehyung tertawa. "Ah, kau mengalihkan pembicaraan, Sayang."
"Cih," kadang Jimin sebal bagaimana Taehyung selalu tahu tentangnya. "Kau tahu? Aku terpikir hal menarik untuk menghabiskan malam daripada menjadi melankolis, ck, kau itu yang kebanyakan nonton drama, tong kosong."
" –nyaring bunyinya," Taehyung tertawa, separuh menyeringai. "Hm, apa pikiran kita sama?"
Alis Jimin bertaut, "Apa?"
"Aku tahu, kau ingin tidur denganku malam ini. Aku benar?"
Jimin tidak akan pernah tahu sampai kapan Taehyung berhenti menggoda seperti setan. "Hah, ide bagus, dengan syarat, aku yang memasukimu."
"Ide ditolak." Taehyung menimpali. "Suaramu yang semanis madu lebih cocok mendesah keenakan dibawahku, dalam kendaliku, meneriakkan namaku sampai suaramu serak."
"Bleh. Suaramu yang seberat macan akan memekik seperti kucing kalau kau tahu seberapa hebatnya aku memegang kontrol atas dirimu yang kerempeng,"
"Ah, kerempeng," Taehyung sengaja menurunkan nada bicaranya. "Dan aku suka yang montok, sebenarnya. Jauh lebih seksi jika aku membuatmu menungging dengan berpeluh dan tubuh gemetaran sebab kau sudah sangat ingin aku setubuhi. Dan tidak tahan untuk segera melihat angkasa."
Kesal dengan ucapan Taehyung yang sangat ahli dalam menggoda, Jimin bangkit dan menindih tubuh Taehyung yang masih tidak siap hingga pemuda itu terkesiap. Menimbulkan Jimin dengan kepercayaan dirinya untuk menyunggingkan smirk nakalnya yang terbaik. "Bahkan aku bisa membuatmu orgasme hanya dengan sebuah ciuman panjang sebab lidahku akan mengobrak-abrik mulutmu sampai rusak. Aku mampu membuatmu tergila-gila untuk minta digauli hanya karena aku menyentuh tubuhmu. Aku dapat dengan mudah membuatmu mengangkang penuh harap dan memohon padaku untuk segera menghujammu tanpa ampun sampai pagi dan kita ketinggalan kereta."
" –dan bahkan aku mampu membuatmu lupa kalau kau sedang ditempat umum dan segera memperkosamu di lorong kereta dengan kau yang mampu melihat betapa murahnya kau memohon padaku melalui bayangan dirimu di cermin."
"Whoa," Taehyung mencengkeram rahang Jimin. "Bicaramu seperti jalang,"
Jimin tersenyum suci, "Terima kasih kembali, jalang."
Dan mereka tidak berhenti saling mengumpati sampai tertidur karena lelah berbicara tanpa ujung. Pada akhirnya tidak ada siapa menindih siapa, siapa memasuki siapa, siapa memohon siapa. Mereka hanya senang bercanda dengan gaya mereka, berperan seperti bintang porno, saling menggoda dan kemudian candaan itu menguar ke udara. Hanya sebuah lelucon yang dimengerti kedua belah pihak. Dan hanya dilakukan jika tidak ada oranglain. Sebuah cara bagi mereka untuk berperang dan bermain, melupakan segala problematika kehidupan yang sanggup membuat kepala meledak hanya dengan kasih sayang.
Malam itu, Jimin dan Taehyung tertidur di lantai kayu dengan saling berpelukan. Seperti kakak adik yang kelelahan sehabis bermain. Bermandikan pantulan cahaya rembulan yang temaram dan semilir udara malam, diiringi pekikan jangkrik yang menggema, juga dentuman jam dinding yang menjadikkannya sebuah harmoni.
Seoul, kami datang.
.
.
Trapped
Vmin;
Kim Taehyung
Park Jimin
.
Sebuah tantangan tak tertulis dalam kisah persahabatan Taehyung dan Jimin yang tiada menemukan ujung. Problematika kehidupan yang membuat jalan cerita sahabat sempurna ini terombang-ambing dipermainkan oleh nasib. Sebuah janji yang penuh pengkhianatan dan omong-kosong. Serta pengorbanan tanpa pamrih yang tiada berbalas sebab tidak ada yang meminta, dan tidak ada yang sudi untuk sekadar berterima kasih atas jasa luar biasa secara cuma-cuma.
.
Content mature with some dirty talk.
.
To be continued
.
