A Gift © Soulless-Fariz

Naruto © Masashi Kishimoto

Genre : Romance, Friendship

Rated : T+

Warning : AU, OOC (dikit), Typo(s), ABALness, GAJEness, alur maksa/kecepetan/kelambatan, dll yang tak bisa disebutkan :D


Sebuah Fict yang saya persembahkan untuk para reader-sama,

A Gift.


~0~

...Disini adalah tempatku biasa bermain dengan sahabatku, Naruto.

Kami selalu duduk disini saat siang hingga sore, melakukan apa saja untuk menghabiskan waktu.

Dialah lelaki yang mau menemaniku setiap saat, lelaki yang sangat ceria.

Seorang yang mencintaiku dengan tulus, bukan karena kelebihanku, bukan juga karena kekuranganku...

~0~

Sayup-sayup sinar matahari menembus melalui celah-celah daun pohon maple yang terlihat besar itu, disana ada seorang gadis berusia sekitar 23 tahun-an sedang duduk dan mendengarkan MP3 Player-nya dibawah pohon itu, lagu dari sebuah band Jepang yang lumayan terkenal. Siang hari itu memang terkesan lebih panas daripada siang-siang sebelumnya. Hinata, adalah nama gadis yang sedang duduk disana.

Hinata terlihat seperti menunggu seseorang, siapakah itu?

Dia duduk termenung disitu, memikirkan sesuatu, tak terlihat dari raut wajahnya yang masih tenang itu. Pikirannya bertambah bingung kesana kemari. Beberapa kali ia menyentuh sebuah goresan di batang tubuh pohon itu, sebuah goresan lama. Goresan yang pernah mereka buat.

'Apakah dia akan datang seperti janjinya sepuluh tahun lalu?' Hinata menghela nafas panjang, dia merebahkan bahunya di sisi pohon maple yang sudah terlihat sangat tua itu. Pohon yang ia tanam bersama sahabatnya, menjadi saksi bisu persahabatan mereka.

.

-0-

FLASHBACK

-0-

.

...Satu Juli 2004

Sepuluh tahun lalu...

"Hei Hinata!" teriak seorang lelaki berambut kuning emas kepada seorang temannya yang sedang terduduk dibawah sebuah pohon maple yang belum terlalu besar, dia melambai sambil menebarkan sebuah senyum lebar yang sangat khas. Dia berjalan tidak terlalu cepat, namun juga tidak terlalu lambat. Siang itu sekitar jam dua, saat matahari masih begitu terik memanggang kulit bumi, namun tidak untuk Naruto, itulah namanya, dia sudah terbiasa dengan terik matahari yang sangat panas itu.

Gadis yang dia panggil dengan sebutan Hinata itu menoleh, dia terlihat sudah menunggu temannya itu, mungkin masih belum terlalu lama. "Naruto," dia tersenyum kecil. Naruto menghampirinya dan duduk tepat disebelah Hinata, membawa sebuah kotak kecil yang ingin dia perlihatkan kepada Hinata, "Apa itu, Naruto?" Hinata bertanya penasaran melihat kotak kecil itu.

"Ini adalah sebuah kotak kenangan yang akan kita isi dengan sebuah memori tentang kita, tanda persahabatan kita, Hinata!" jawab Naruto bersemangat, Hinata masih belum mengerti dengan kata-kata Naruto barusan.

"Seperti kapsul waktu?" tebak Hinata yang dibalas dengan anggukan kecil dari Naruto, sekarang Hinata sedikit mengerti maksud dari Naruto, tapi untuk apa Naruto melakukan itu? Hinata masih bertanya-tanya dalam hati.

"Jadi, darimana aku akan memulainya?" gumam Naruto pelan namun terdengar sedikit oleh Hinata, Hinata menolehkan kepalanya kearah Naruto dan memiringkannya. Dia tatap dalam-dalam sahabatnya yang berumur dua tahun lebih tua darinya itu, ia tatap Naruto penuh dengan tanda tanya di kepalanya. Lalu tidak lama kemudian Naruto mengambil nafas sebelum akhirnya memulai kata-katanya, terlihat sedikit rumit, mungkin "Jangan terkejut ya..." dia mengambil jeda nafas lagi, terlihat sedikit ragu-ragu "...aku akan pindah."

"Pi-pindah?" Hinata sedikit kaget, kemana dia akan pindah? "Tapi, kemana?"

"Entahlah." Naruto memasang sebuah keraguan pada satu kalimatnya barusan. Hinata semakin cemas, jantungnya berdetak semakin cepat, dia bingung. Apakah Naruto akan meninggalkannya? Atau itu hanya sebuah lelucon yang dibuat oleh Naruto, karena Naruto sangat suka membuat lelucon, namun tidak seperti kali ini.

"Uhm, berapa lama?" Hinata mencoba terlihat untuk tetap tenang, walaupun ada segurat kegetiran muncul dalam benaknya. Hinata benar-benar takut kehilangan Naruto, dia takut tidak akan bertemu Naruto untuk waktu yang lama. Dalam fikirnya, dia mencoba menebak-nebak berapa lama dia akan pergi. Dua bulan? Empat bulan? Delapan bulan? Setahun?

"Se..." Naruto tidak yakin akan mengucapkannya, dan Hinata berharap kata-kata Naruto itu akan berhenti dalam kata 'setahun'. Tidak lebih, "...puluh tahun." Hinata terbelalak, ia berharap salah dengar dengan kata-kata Naruto, "Ya, sepuluh tahun, Hinata." Naruto kembali meyakinkan kata-katanya, memberi tanda yakin itu dengan anggukan kecil dengan sedikit senyum simpul, dalam hati Naruto tahu, bahwa Hinata sangat benci jika Naruto meninggalkannya sendiri, begitu juga dirinya.

Hinata berusaha menahan diri, "Lalu apa yang harus aku lakukan dengan sepuluh tahun itu tanpamu?" Hinata menunduk, memainkan kedua jemarinya yang kini bertautan satu sama lain, tetes air matanya jatuh perlahan melewati jemarinya, satu demi satu. Naruto dengan kedua tangannya memegang kedua pipi Hinata, menghapus air mata yang jatuh dari mata amethys Hinata, memeluk tubuhnya secara perlahan dan membisikkan sesuatu di telinga kiri Hinata.

"Aku ingin berjanji padamu, aku akan kemari lagi untuk menemuimu. Namun kamu juga harus berjanji padaku..." isak tangis Hinata sedikit mereda, pelukan Naruto terasa begitu hangat dan nyaman. Hinata melilitkan tangannya di punggung Naruto, seperti tak ingin melepaskan pelukan yang begitu berarti bagi dirinya itu, "...kau harus berjanji untuk bisa melewati sepuluh tahun itu tanpaku." Hinata mengangguk pelan, bibirnya gemetar, wajahnya pucat.

"Hmm... Baiklah, hapus air mata itu Hinata. Kau terlihat jelek jika bersedih seperti itu," ledek Naruto melepas pelukannya, dia tersenyum, tersenyum kecut melihat Hinata begitu sedih, "Aku sudah memasukkan beberapa barangku di dalam kotak ini dan menyisakan beberapa ruang untukmu..." Naruto mengambil kotak kecilnya yang ia letakkan di tanah, lalu memberikannya pada Hinata, "...setelah kau masukkan barangmu, kita kubur kotak ini di bawah pohon ini. Saat kita bertemu kembali, kita akan menggalinya dan melihat memori kita yang berada dalam kotak ini." Hinata menggenggam gemetar kotak kecil berwarna silver dengan motif garis-garis berwarna ungu, warna favoritnya, "Ee... Aku akan berangkat satu jam lagi." tambah Naruto menggaruk-garuk kepalanya, terlihat sedikit canggung.

"Sa-satu jam?" Hinata mengalihkan pandang kearah Naruto lagi, 'itu terlalu mendadak, Naruto'

"Iya."

"Tapi, kemana kamu akan pergi, selama sepuluh tahun?"

"Ke suatu tempat," Naruto kembali memeluk Hinata, "Baik-baiklah selama sepuluh tahun kedepan, kita akan bertemu lagi disini. Aku berjanji."

"Sepuluh tahun, kamu sudah berjanji, sepuluh tahun lagi, tepat hari ini." Naruto mengangguk, kemudian memberi sedikit jarak terhadap pelukannya. Naruto perlahan mendekatkan wajahnya dengan Hinata, sedangkan Hinata hanya bisa menutup mata, mencoba menahan pilu yang menyakiti hatinyam Naruto memberi sebuah kecupan di dahi Hinata, bisa ia rasakan kecupan itu begitu hangat di dahinya. Tak begitu lama, Naruto melepaskan kecupannya dan meninggalkan Hinata, sebelum meninggalkan Hinata, Naruto membisikkan sesuatu pada Hinata.

"Aku menyayangimu, Hinata."

Hinata tertegun sejenak, melihat Naruto berjalan meninggalkannya dibawah pohon itu.

.

-0-

FLASHBACK END

-0-

.

Seorang pemuda berjalan menyusuri jalan setapak yang menanjak kearah sebuah bukit kecil, dia berjalan santai, tidak ada beban sama sekali. Dia mengenakan celana jeans panjang berwarna hitam dengan kemeja silver bermotif kotak-kotak hitam, terlihat juga dia membawa sebuah tas selempang kecil berwarna hitam, dia pandang rumput-rumput yang tumbuh liar disepanjang jalan yang ia lewati, sejumlah bunga mawar merah juga terlihat samar-samar dibalik rerumputan yang hijau itu. Pemuda itu menghentikan langkahnya sejenak, berjalan mengambil setangkai bunga mawar itu, ia pilih dengan hati-hati, setelah ia menemukan bunga yang sempurna, dengan hati-hati dia petik bunga itu agar tidak melukai jemarinya. Dia tersenyum simpul.

Pemuda berambut kuning itu melanjutkan jalannya melalui jalan setapak tadi, tidak jauh dari situ, dia bisa melihat sebuah pohon maple yang familiar, namun sudah sedikit berbeda, tepatnya lebih tua dan lebih besar. Samar-samar dia melihat seorang gadis yang sedang duduk disana, Naruto tersenyum lagi melihatnya, 'Ternyata dia tidak melupakannya' batinnya. Secara perlahan dia berjalan, ia melihat gadis itu menggunakan shirt putih berbalu jaket hoodie berwarna indigo menyerupai warna rambutnya yang sepanjang punggung itu.

'Hah?' Naruto terkejut ketika melihat Hinata yang ternyata tertidur disitu, masih menggunakan MP3 Player-nya, sebuah MP3 Player yang ia berikan kepada Hinata melalui kiriman paket sekitar dua tahun lalu. Niat untuk membuat sebuah kejutan kepada Hinata ia urungkan. Pada akhirnya Naruto hanya duduk disebelah Hinata, menunggunya untuk bangun, daripada membangunkannya.

Naruto memandangi Hinata yang sedang tertidur dari ujung hingga ujung, tak satupun detail yang ia lewatkan. Naruto terkadang berfikir ketika ia akan menemui Hinata, 'Apakah dia akan berubah? Atau malah melupakanku? Seperti apa dia menjadi?' pikiran itu terus muncul dalam benaknya.

Naruto menopangkan dagunya pada salah tangan kirinya, masih memandang Hinata lekat-lekat, 'Ternyata Hinata lucu juga kalau tidur, sudah lebih dari sepuluh tahun aku tidak melihatnya tertidur seperti ini.' batin Naruto sedikit tertawa, tangan kanan Naruto perlahan terangkat, menyentuh pipi Hinata. Masih lembut seperti dulu, Hinata tidak sedikitpun berubah, masih seperti gadis berusia tiga belas tahun yang dia kenal dulu.

Tak berapa lama kemudian, Hinata terbangun. Kini Naruto sedang mengambil foto pemandangan beberapa meter dari tempatnya tadi menggunakan kamera SLR. Hinata menatap Naruto sembari mencari nyawa untuk sepenuhnya sadar, mengucek-ucek kedua fotonya, MP3 Player yang sedari tadi masih menyala pun ia matikan. Ia tatap Naruto yang sedang asyik dengan pekerjaannya itu, Hinata masih meyakinkan diri tentang apa yang sedang ia lihat. Apakah dia Naruto? Atau hanya orang lain yang kebetulan lewat?

"Ehm," Hinata berdeham, suara dehamannya terdengar canggung. Naruto mendengarnya, namun dia pura-pura tidak mendengarnya dan tetap berkutat pada pekerjaannya, memotret. "Ehem!" kali ini Hinata berdeham lebih keras, walaupun tetap saja suaranya itu terdengar lucu jika dibuat-buat seperti itu. Dan tebak, Naruto masih berkutat pada kegiatannya, perlahan dia memutar tubuhnya, berpura-pura masih memotret dengan kameranya itu.

Hinata mengangkat tangannya, "Apa kau tidak mende-"

CKRIK~!

Suara kamera itu terdengar, sebuah foto telah diambil oleh Naruto. Hinata terdiam, menghentikan kata-katanya. Dia melihat seseorang yang sudah sepuluh tahun tidak dia lihat berada tepat beberapa meter didepannya. Hinata masih terdiam, Naruto kini menurunkan kameranya, tersenyum melihat Hinata yang berada didepannya.

"Hei Hinata!" suara itu terdengar masih sama seperti sepuluh tahun lalu ketika Naruto memberikan salam terakhir pada Hinata. Sesaat kemudian Hinata langsung berlari kearah Naruto, memeluk tubuh yang ada didepannya itu dengan erat. Naruto membalas pelukan rindu Hinata dengan hangat. Hinata menangis.

"Apa kabarmu, Hinata?" Naruto melepaskan pelukan satu menitnya itu, menghapus air mata kebahagiaan Hinata yang tumpah. Naruto tertawa "Kau masih cengeng seperti dulu, Hinata." seketika raut wajah Hinata menjadi merengut cemberut, Naruto mengacak-acak poni rambut yang menutupi dahi Hinata.

"kau juga masih seperti dulu, tetap menyebalkan!" protes Hinata yang sedang merapikan poni rambutnya.

"Memang, aku adalah sahabatmu yang paling menyebalkan dan paling kau sayangi!" Naruto menjulurkan lidahnya tanda meledek Hinata, itulah kebiasaan Naruto saat meledek Hinata. Hinata makin cemberut, dia mundur beberapa langkah untuk memberi jarak pada Naruto, menyilangkan kedua tangannya didepan dadanya.

"Kita baru saja bertemu dan kau sudah membuatku jengkel, Naruto!" seru Hinata, Naruto tidak menggubrisnya, tawa Naruto malah semakin keras.

"Baiklah, ketika kau jengkel, hanya ada satu cara untuk dapat membuatmu ceria lagi." ucap Naruto enteng.

"Dan apakah itu?"

"Tapi sebelumnya aku ingin bertanya padamu dulu..." Naruto merapikan rambutnya yang terkena terpaan angin liar, "...apakah kedai es krim di dekat rumahku dulu masih ada?"

"Ha?" Hinata bingung, mencoba mengingat-ingat sebuah kedai es krim yang berada di dekat bekas rumah Naruto dulu, "Kukira sudah tidak ada."

"Apa kau bercanda? Yang benar saja..." ujar Naruto nampak kecewa.

"...tapi kedai itu sekarang sudah berubah menjadi sebuah cafe."

"Eh? Cafe?" Naruto tidak percaya, kedai menjadi sebuah cafe? Perubahan macam apa itu?

"Kukira begitu, sebuah renovasi di kedai itu terjadi ketika aku mau kuliah, kata paman Jiraiya sih, kedai miliknya mau dijadikan sebuah cafe, aku meninggalkan kota ini lima tahun lalu saat aku tahu aku mendapatkan kuliah di luar kota, bagaimana aku bisa tahu bagaimana dan seperti apa cafe itu sekarang. Apakah aku terlihat seperti dukun?" Ekspresi konyol terlihat dari tingkah Hinata.

Naruto berjalan mendekati Hinata, menarik lengan kirinya, "Aku tahu..." Naruto berhenti sejenak sebelum mengambil langkah selanjutnya, "...ayo kita kesana. Kita lihat apakah aku masih bisa membuatmu tidak marah padaku!" seru Naruto semangat dengan cengiran khas terpatri di wajahnya, benar-benar seorang yang pantang menyerah. Hinata tersenyum dalam hati, bagaimana bisa dia memiliki sahabat seperti Naruto?

~0~

...Bertemu denganmu adalah hal terindah yang pernah kualami.

Aku tak pernah membayangkan jika aku tak pernah mengenalmu.

Mengerti arti sebuah cinta, mengerti arti sebuah persahabatan.

Dan orang yang mengajariku tentang semua hal yang belum kuketahui...

~0~

Tak lama kemudian mereka berjalan menyusuri jalanan di kota kecil yang indah itu, namun semua pemandangan itu nampak berbeda bagi Naruto yang sudah sepuluh tahun tidak berkeliling dengan Hinata seperti dulu. Mereka berdua tidak akan pergi kemana-mana selain menuju kedai es krim itu -yang kini sudah berubah menjadi cafe, tak jarang mereka berpapasan dengan kendaraan roda empat, jika sepuluh tahun lalu jalanan itu masih jarang ada kendaraan yang melewati kota itu, kini sangat banyak kendaraan yang lewat, suatu pemandangan baru yang akan ia lihat sehari-hari.

Tak butuh waktu lama bagi mereka berjalan menuju cafe yang mereka tuju, Naruto pun masih hafal jalan menuju cafe dekat rumahnya, walaupun sudah sepuluh tahun, tapi memori itu masih melekat pada ingatannya, sebuah memori yang ia lakukan berulang dengan Hinata, sepulang bermain di bukit pohon maple -sebutan untuk bukit tadi, mereka selalu mampir di kedai itu, membeli es krim pada seorang kakek berusia 60 tahun-an, Kakek Jiraiya mereka panggil. Ia sangat ramah, walaupun sedikit nyentrik dan konyol, dari kekonyolan Kakek Jiraiya lah Naruto belajar menjadi seorang yang selalu ceria dan bertingkah konyol.

"Ehm, aku rindu pada Kakek itu," Naruto berjalan diatas pinggiran pembatas trotoar, sambil menaruh kedua tangannya di belakang kepala, sebuah kebiasaan. "Apakah dia masih akan ingat dengan kita berdua?"

Hinata berhenti sejenak, berfikir, mungkin, "Aku rasa masih..." Hinata meneruskan jalannya yang sempat tertinggal beberapa meter dengan Naruto, "...mana mungkin Kakek itu akan melupakan seorang bocah bodoh sepertimu?" Hinata terkikik kecil yang disambut dengan wajah sweatdrop Naruto.

"Bodoh?" Naruto menoleh kearah Hinata dengan masih menggunakan ekspresi wajah seperti itu, ekspresi horor bagi seorang Hinata jika melihat Naruto menggunakan ekspresi itu, "Mungkin." tambah Naruto singkat, sebuah senyum tanpa alasan kembali terukir di sudut-sudut bibirnya. Selang beberapa detik, kedua tangannya bersilang didepan dadanya, dengan ekspresi yang tidak biasa, berfikir, mungkin.

Tepat di sudut jalan, sebuah pertigaan terlihat semakin dekat. Naruto turun dari jalannya diatas pembatas trotoar, bersiap akan menyebrang dan belok di penghujung pertigaan itu. Naruto menggandeng pergelangan tangan Hinata, masih sama seperti kebiasaan Naruto jika menyebrang, selalu menggandeng tangan Hinata. Namun kini rasanya sudah berbeda, dulu yang Hinata rasakan hanya tangan seorang sahabat, namun kini ia merasakannya berbeda. Suasana diantara mereka seketika hening, sunyi. Tak satupun dari mereka membuang sebuah kata, kalau dulu mereka selalu berceloteh di setiap langkah, sekarang menjadi canggung, mungkin mereka belum terbiasa sejak sepuluh tahun lalu, mungkin.

Aksi pegang tangan itu tak kunjung lepas, momen itu bukan menjadi momen yang biasa, mungkin terasa sebagai momen spesial bagi mereka berdua.

"Hmm, Hinata." tak berapa lama Naruto akhirnya memecah keheningan dengan memanggil nama Hinata, Hinata menoleh.

"A-apa?" Gugup hinggap di tubuhnya, suara Naruto sedikit berbeda dari biasanya, Hinata sedikit tegang. Tak biasanya Naruto bersuara seperti itu.

"Apa kamu pernah berfikir tentang, err, ...hubungan kita?" Naruto canggung mengatakannya, mungkin baru pertama kali ini dia bertanya hal seperti itu kepada Hinata yang walau notabene sebagai sahabatnya itu. Setitik keringat menetesdi pelipis wajahnya, segera ia usap dengan tangannya yang daritadi menggantung mengikuti irama langkah kaki mereka berdua.

"Hu-hubungan? Seperti apa, Naruto?" Hinata sedikit menunduk, melihat langkah kakinya yang berjalan seirama dengan langkah kaki Naruto, jantungnya berdetak lebih kecang dari biasanya, ia mencoba agar terlihat biasa saja. Namun yang ada malah sebuah rona merah sedikit terlihat di wajahnya, dia bingung.

"Y-ya, seperti jika ki-"

Belum sempat melanjutkan kata-katanya, sebuah suara terdengar. Suara yang sangat familiar bagi Naruto.

"Hei, Naruto!" suara itu terdengar dari sebuah kursi yang terjejer mengelilingi sebuah meja, orang itu tidak sendirian, dia bersama dengan dua orang lainnya.

Naruto mengingat-ingat siapakah dia? Dia mengenalnya, namun dia lupa dengan namanya. Diam.

"Kau Naruto, kan?" teriak lagi seorang temannya, perempuan.

"Kemari!" orang tadi kembali berteriak, wajar dia berteriak, ia berada di seberang jalan. Naruto yang sedikit bingung melangkah menyebrang jalan, Hinata hanya mengikuti dari belakang, tangannya terlepas saat suara tadi memanggil Naruto.

"Apa kau sudah lupa dengan kami?" perempuan tersenyum melihat Naruto dan Hinata, 'bisa-bisanya mereka lupa dengan kami' batinnya.

Tiba-tiba Naruto teringat, rambut merah muda sebahu, "Sakura?" sambil menunjuk jari telunjuknya pada perempuan yang ia sebut Sakura itu, "Kiba?" sebuah tato segitiga merah di pipinya mengingatkan Naruto tentang seorang temannya yang sangat jahil, "Lalu, kau... Pasti Shikamaru!" Naruto menebak yakin, ketiganya tertawa melihat ekspresi Naruto.

"Ternyata kau masih ingat dengan kami."

"Y-ya begitulah." Naruto sedikit salting dihadapan mereka, canggung.

"Hmm, Naruto, siapa dia?" Kiba bertanya pada Naruto tentang Hinata yang daritadi berada di belakang Naruto. Naruto menoleh kearah Hinata.

"Oh, aku hampir lupa, perkenalkan, ini Hinata." Hinata malu-malu bersalaman dengan mereka bertiga, teman Naruto yang tidak ia kenal.

"Salam kenal, aku Hinata." Hinata membungkuk, salting juga, seperti Naruto.

"Salam kenal juga Hinata!" seru ketiganya kepada Hinata.

"Ah, tidak sopan membiarkan teman kita berdiri seperti itu, silahkan duduk disini Naruto, Hinata." Shikamaru berdiri dan mempersilahkan Naruto dan Hinata untuk duduk di dua kursi kosong. Kini meja itu lengkap dengan tidak menyisakan satu kursi kosong diantaranya.

"Karena momen ini tak terduga, aku akan menraktir kalian!" ucap Sakura bersemangat sesaat setelah Naruto dan Hinata duduk, Sakura melirik tajam ke kedua temannya yang tak lain adalah Shikamaru dan Kiba, "Bukan kalian yang aku traktir, tapi Naruto dan Hinata." seketika dua orang itu ketakutan, memang, Sakura dikenal sedikit tomboy dan galak, wajah kalau Shikamaru dan Kiba sedikit takut.

"Sifatmu tidak pernah berubah, Sakura." ucap Shikamaru lemas.

"Sudah-sudah jangan bertengkar lagi." Kiba menengahi. Hinata dan Naruto terdiam, bingung mau mengucapkan apa.

Cukup lama mereka ngobrol hingga menjelang malam. Pertemuan itu ditutup dengan sebuah acara berfoto kecil, karena yang kebetulan Naruto membawa kamera SLR. Setelah itu Naruto dan Hinata berpamitan, sedangkan ketiga temannya tadi masih kerasan di cafe tadi, bukan cafe yang tadi dimaksud Naruto tentunya.

Naruto dan Hinata berjalan sejajar, melewati trotoar dengan penghias lampu jalan yang sangat terang, malam itu tidak terlalu sepi, masih ada beberapa orang yang lalu lalang disana. Suara deru kendaraan juga masih terdengar di setiap penjuru jalan, Naruto tiba-tiba menatap Hinata, samar-samar namun masih terlihat. Hinata yang menyadarinya langsung membuang muka kearah lain, rona merah tampak sedikit menghiasi wajahnya, lagi. "Kau terlihat sedikit berbeda, Hinata." sekilas Naruto memperhatikan rona merah itu, namun hanya sebentar.

"B-beda yang bagian mana?" Hinata sedikit gugup, entah ada hawa apa, Hinata kini selalu gugup ketika Naruto berbicara kepadanya, 'hanya perasaan atau apa ya?' batinnya sambil menerawang langit-langit, malam itu tak banyak bintang yang muncul, tidak seperti dulu, banyak bintang yang muncul setiap malam hari.

"Apa ya?" Naruto berfikir sejenak, tiba-tiba angin dingin datang, sama seperti Hinata yang juga kedinginan, ia raih tangan Hinata, menggenggamnya agar terasa hangat, "Sekarang kamu lebih dewasa, menurutku..." Naruto melanjutkan, "...cantik." Lagi-lagi Naruto tersenyum, Hinata sedikit salting oleh kata-kata Naruto, kalau dia dulu suka meledek Hinata, sekarang dia malah menggombal didepannya.

"Eee..." Hinata tak tahu harus berkata apa.

"Malam ini kamu akan kuantar pulang, tidak aman berjalan sendirian di malam hari."

"Tapi rumahmu kan lebih dekat, tidak usah repot-repot." tolak Hinata sambil menggelengkan kepala, 'Naruto sekarang lebih dewasa'

"Nggak, pokoknya aku antar sampai rumah." tegas Naruto, "Tidak ada kata tapi-tapi-an." tambahnya. Hinata hanya bisa menuruti kata-kata Naruto.

Naruto menghela nafas lega, tersenyum simpul melihat Hinata yang sedang berjalan memperhatikan langkah kakinya, 'Aku sungguh beruntung mempunyai sahabat sepertimu, mungkinkah kau juga merasakan hal yang sama sepertiku?' batin Naruto, "Umm, tentang temanku tadi..."

"Eh?"

"Mereka teman SMA-ku dulu..." ucap Naruto nyengir, "...dan maaf untuk acara kita tadi yang tertunda, besok saja kita kesana, aku juga ingin melihat-lihat kota ini lagi." Hinata mengangguk mengerti, ia sangat paham sifat Naruto yang tidak pernah ingin mengecewakannya, selalu menjaga perasaan Hinata, walau terkadang juga kelewatan kalau bercanda.

Hari itu adalah malam pertama mereka bertemu semenjak tepat sepuluh tahun, satu Juli 2004.

~0~

...Disinilah kita, memadu kasih persahabatan yang takkan pudar oleh waktu.

Akan selalu menjadi kekuatan cinta yang kekal abadi, tanpa menghiraukan perbedaan.

Walau sebuah pagar tak kasat mata menghalangi perasaanku padamu.

Aku takkan menyerah begitu saja untuk mendapatkan seluruh jiwa cinta itu...

~0~


To Be Continued ~