SOBA DAN PIYAMA SUTRA

.

.

Disclaimer: Copyright Kamen Rider 555 ada pada Toei dan Ishimori Productions. Tulisan ini hanyalah fanfiction belaka, tidak dimaksudkan untuk dikelirukan dengan karya asli serta tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan komersial.

Fanfic ini dibuat dalam rangka mengikuti Challenge Dialog Bahasa Daerah 2016.


Takumi menceklikkan kuncinya, mendorong pintu apartemen yang ditinggalinya membuka. Terlihat sosok yang familiar duduk di sofa sambil membaca.

"Lho, Mas wis nang omah? Tak kira arep nglembur tekan wengi banget," Takumi melepas sepatunya dan menaruhnya di rak.

"Wis rampung kok gaweyane. Saiki mangan sik yo. Wis mateng kabeh," balas Kiba.

Takumi menggantung jaketnya di kamar dan berjalan ke meja makan, "Ana apa wae?"

"Kuwi, delengen dhewe," Kiba tersenyum.

Di meja, terlihatlah dua kotak berisi soba, dua cangkir tsuyu, irisan daun bawang, potongan nori tipis-tipis, juga wasabi.

Takumi duduk di seberang Kiba. Dia tersenyum, teringat kejadian bertahun-tahun lalu.

"Mas, aku ra isa mangan sing panas lho," kata Takumi saat Kiba mengajaknya makan berdua, yang mungkin boleh dibilang kencan pertama mereka berdua. Kencan seperti di pikiran banyak orang, maksudnya.

"Iya," Kiba tersenyum.

Tidak lama kemudian mereka sampai di sebuah kedai soba di gang kecil. Kedai yang sederhana dan nyaman.

Takumi menghela napas lega.

Takumi dengan gembira mengambil sumpit dan mulai makan. Dicelupkannya Sobar ke dalam tsuyu lalu dimakannya. Sobanya kenyal dan dingin. Rasa tsuyu-nya pas di lidah. Daun bawang dan wasabinya membuat kombinasi keseluruhannya terasa segar.

"Tur nuwun ya Mas."

"Senenganmu kan sing ngene Dik."

Takumi tersenyum tipis.

Kiba memecah keheningan, "Ana apa wae mau nang laundry?"

"Sakjane biasa-biasa wae. Ditelepon dioyak-oyak ben ndang kumbahane diterke lah, digruduk ibu-ibu kesusu lah. Pokoke ngono kuwi."

"Digruduk ibu-ibu meneh?" Kiba tertawa.

"Iya. Mas kan ngerti aku rak tahan nek digruduk ngono. Rasane sumpek suwarane mbrengengeng. Ya wis aku langsung mlebu njaluk diganteni Keitarou."

"Ora gampang ya kerjamu kuwi."

"Nek diarani angel banget ya ora, ning kuwi lho, kudu ngadepi wong semono akehe. Kesel tenan."

"Kepikir arep nggolek gaweyan liya?"

"Ora. Sakjane panggone ya enak. Tur nggolek gaweyan anyar kan ya ra gampang," Takumi meminum sisa tsuyu-nya. "Mas ya wis rampung ta? Kene takasahane kabeh."

Takumi membawa semua piring dan peralatan makan ke tempat cuci piring. Selama ini sepanjang dia hidup berdua dengan Kiba memang begini pembagian kerja mereka. Kiba memasak, dia cuci piring. Kemampuan memasaknya sungguh sangat pas-pasan, jadi lebih baik Kiba yang memasak, daripada berujung mereka berdua sengsara soal makanan.

Takumi tersenyum. Hidupnya dan Kiba selama sepuluh tahun ini relatif baik-baik saja.

***O***

Piyama sutra.

Piyama sutra yang dipakainya ini Kiba yang membelikannya. Betapa lembut terasa tekstur sutra itu di ujung jarinya.

Ini kesekian kalinya Takumi ada di apartemen Kiba. Dan sialnya, ah, bajunya basah lagi.

"Wis, nganggo piyamaku wae," Kiba menyodorkan piyama sutranya.

Ini bukan pertama kalinya Takumi memakai piyama itu. Piyama Kiba agak sedikit kedodoran kalau dipakainya. Takumi menyentuh lengan piyama yang dipakainya. Teksturnya terasa begitu menyenangkan di ujung jari. Kiba tersenyum melihatnya.

Seminggu setelahnya, saat dia menginap di tempat Kiba lagi, Kiba sudah menyiapkan piyama sutra baru untuknya.

Sejak saat itu dia selalu punya beberapa.

Takumi membuka pintu kamar. Kiba sudah berbaring di tempat tidur.

Kibe tersenyum memberi isyarat agar Takumi tidur di sebelahnya.

"Mmmm …, kuwi, maksudku …," Takumi duduk di tempat tidur, terlihat salah tingkah.

"Ora perlu isin Dik. Kaya lagi pisan turu bareng wae."

Takumi merebahkan diri. Selama sepuluh tahun belakangan ini, dia nyaris selalu tidur dan bangun di sebelah Kiba. Saat-saat mereka tidak setempat tidur bisa dihitung dengan jari. Tapi entah kenapa, kadang rasanya masih canggung. Barangkali karena Kiba kadang terasa kelewat romantis.

Takumi sedikit mengubah posisi tidurnya, sekarang dia berbantal lengan Kiba.

Tangan Kiba sekarang mengelus-ngelus rambutnya, "Saiki rambutmu luwih kerep cendhak ya?"

"Iya. Luwih penak ngene."

"Cocok kok."

Takumi tersenyum mendengarnya.

Dulu dia pikir hidup seperti ini mungkin cuma khayalan. Tapi sepuluh tahun ini nyata. Dulu dia kira dia tidak punya impian apa-apa, tapi kalau dipikir-pikir, impiannya adalah hidup tenang dan cukup bahagia seperti ini.


Oke, kelar. Masih belum lewat deadline.