Shouto terbangun ketika mendengar sebuah suara memanggilnya.

"Todoroki-kun, sudah waktunya masuk."

Lelaki berambut dwiwarna segera membuka mata selebar yang ia bisa dan melihat sekeliling. Mendongak, melihat rimbun pohon di atasnya. Di pahanya ada sebuah buku—yang mungkin ia baca sebelum ketiduran.

"Ah, maaf membuatmu repot, Midoriya."

Teman yang memanggilnya hanya mengulas senyum. "Ayo, sebelum Aizawa-sensei datang."

Tangan Shouto ditarik mendadak. Meski pemuda yang lebih tinggi bisa mengikuti, seketika itu pula jantungnya berdebar lebih kencang daripada yang tadi. Ada semburat merah tipis mampir ke pipi putihnya, untung tak terlihat oleh teman. Iya, teman. Teman merangkap gebetan.

Hint sekecil ini saja sudah membuat Shouto ingin jungkir balik empat ratus lima puluh kali. Tangan Izuku yang lebih kecil terasa hangat baginya.

.

.

.

.

.

Boku no Hero Academia © Horikoshi Kouhei

Story© Panda Dayo

semi-canon setting. Boys Love. OOC. alur cepet. Typo(s), etc.

Playlist :

SKE48 - Koi wo Kataru Shijin ni Narenakute (3rd Album Coupling Song—Seifuku no Me)

Nostalgia sama lagu ini, hepi2 ngenes *gak. Sungguh bagus lagunya buat aku klen kalo mau dengerin aja XD wkwkw

[1/2]

Don't like don't read don't worry be happy

Happy reading


Siang itu cukup rusuh karena Aizawa-sensei tidak bisa hadir lantaran terkena encok tak terduga. Meski menurut muridnya sendiri, mungkin saja guru mereka habis berkelahi entah dengan penjahat mana.

Terima-terima saja dengan alasan seperti itu, dan terima-terima saja dengan tugas pengganti. Siang ini mereka belajar mandiri, ditambah dengan esai mengenai analisis mereka mengenai organisasi penjahat. Setiap dari mereka telah memulai menulis.

Shouto hanya bisa melihat punggung Izuku dari sini. Sedikit menyedihkan, sebenarnya. Ia juga ingin melihat bagaimana pendapat Izuku mengenai organisasi penjahat. Siapa tahu mereka bisa bertukar pikiran—itu hanya alasan.

Shouto lebih ingin melihat wajah Izuku dari dekat. Ah, ia iri dengan Katsuki yang bisa duduk di depan pemuda hijau itu. Apa besok Shouto perlu melakukan sabotase pada kursi Katsuki? Seperti membakarnya?

Terdengar bagus.

"Todoroki-san," panggil Momo di sebelahnya. "Err—apa ada sesuatu yang bagus? Kau tersenyum."

Sebenarnya, menyeringai, batin Momo.


Pukul tiga, sekolah dibubarkan. Murid-murid membereskan tas mereka dengan gesit. Ini adalah waktu yang disukai para siswa karena bisa segera pulang ke rumah—meski untuk kelas 1-A, pulang ke asrama. Selalu bersama dua puluh empat jam dalam seminggu demi menghindari serangan penjahat seperti yang telah lalu.

Maka tidak heran ketika melihat beberapa murid membentuk kumpulan sendiri, bercakap dengan kawan karib sembari berjalan riang.

Shouto ingin sekali mengajak Izuku pulang bersama, berdua. Bergandengan tangan tanpa adanya kutu pengganggu. Apa impiannya terlalu muluk-muluk?

Memang.

Shouto melihat Izuku berbicara dengan Ochako dan Tenya, membahas hasil analisis mereka siang tadi yang membutuhkan durasi dua jam penuh. Shouto sadar ia sedikit berbeda. Dia bukanlah orang yang suka berbasa-basi, apalagi sok akrab pada orang lain. Terasa sulit baginya untuk memulai pembicaraan.

"Todoroki-kun, kau belum pulang?" Izuku menoleh ke arahnya, entah sengaja menyadari keberadaannya atau tidak.

"Aku akan jalan." mulut sialan. Berhentilah berpura-pura tidak peduli.

"Tidak bersama kami?"

Shouto ingin memasang wajah ceria nan berbinar seperti murid Taman Kanak-kanak. Tetapi hasilnya hanyalah visualisasi wajah datar tanpa emosi.

"Aku bisa sendiri. Sampai jumpa."

Ah kampret! Isi hati dan ucapan sama sekali tidak sinkron!

"Wah, dingin sekali." tanggap Ochako. "Kupikir dia berteman denganmu?" sambil melirik Izuku yang memasang wajah bingung.

"Mungkin dia lebih suka sendiri. Ayo, kita juga harus bergegas."


Jadwal memasak makan malam selalu bergiliran. Hanya yang bisa memasak, mendapat giliran. Semua anak perempuan ditambah dengan Eijiro, Tenya, Sero, dan Izuku.

Hari ini adalah jadwal Eijiro, Izuku, dan Mina. Mereka bertiga sudah sibuk sedari pulang untuk memasak. Bahan-bahannya sendiri selalu tersedia dari pihak sekolah, lengkap. Jadi mereka tidak perlu berbelanja keluar. Alasan keamanan juga yang mendasari tindakan ini.

Makan malam ini, mereka membuat kare. Meski membutuhkan waktu lama, tapi semuanya telah setuju dengan menu ini. Yang tidak bisa memasak hanya membantu menata piring, gelas, membersihkan meja dan peralatan lain. Juga tukang cuci piring yang bergiliran seperti memasak. Jadi, pekerjaan mereka akan lebih cepat selesai.

Semua sudah menunggu makan malam dengan tampang lapar. Mineta sudah meneteskan air liur sedari tadi. Demikian pula dengan Denki dan Ojiro. Tokoyami pun penasaran. Meski kare dimanapun sama saja, tetapi jika yang membuatnya berbeda maka rasanya jelas tak sama. Sesuatu yang mungkin bisa disebut dengan 'aura koki'.

Ochako dan Momo membantu membawakan piring dalam jumlah banyak untuk makan malam. Aroma lezat sudah menyapa indera penciuman mereka, sangat tak sabaran untuk segera menyicipi.

Shouto berada di antara Hagakure dan Aoyama, menerima piring secara langsung dari Izuku. Ia masih berusaha menyembunyikan dag dig dug der hatinya. Kalau-kalau Izuku bisa mendengarnya. Siapa tahu.

"Todoroki-kun, semoga suka." si bocah matahari tersenyum tipis, begitu cerah hingga menyingkirkan kelabu yang sempat menghantui pikiran Shouto selama menunggu.

"Iya."

Shouto menelan ludah setelah Izuku berlalu. Hampir saja. Nyaris. Shouto kemudian bernapas lega, lalu berdoa sebelum menyantap makanannya.

"Todoroki." Aoyama angkat bicara. "Kau ada rasa sama Midoriya, ya?"

Kalau saja Shouto tak terlahir dari keluarga beradab, sudah ia sembur satu sendok nasi dan kare yang baru saja masuk ke mulutnya. Tenang, Shouto. Tenang. Tanggapi pertanyaan Aoyama dengan kepala dingin.

Shouto baru menjawab setelah menelan suapan pertamanya. "Kenapa kau berpikir seperti itu?"

"Aku sering melihatmu menatap punggungnya di kelas."

"O-oh." Shouto terbata. Tidak ia sangka akan terciduk oleh Aoyama. Efek gabut atau bagaimana?

"Kau salah lihat, aku menatap papan tulis—"

"Todoroki, aku tidak tahu harus bilang apa. Tapi, jangan sampai menyesal kalau kau tidak segera confess padanya." Aoyama berkedip silau.

Kenapa dari sekian orang, ia justru harus diceramahi oleh Aoyama?

"Midoriya itu punya banyak fans, kau tahu."

"Semua cantik-cantik,—"

Yah wajar sih. Dia kan laki-laki. Bukan hal baru bila menyangkut fanbase dari murid kelas 1-A.

"—dan ganteng-ganteng."

Shouto menjatuhkan sendoknya dengan wajah terkejut. Hagakure menoleh sebentar dan menanyakan keadaannya, tapi percuma. Pikiran Shouto sudah tak lagi berada di dunia nyata.

"Todoroki? Ah, Todoroki!"

Seorang Todoroki Shouto pun bisa ngehang karena masalah asmara.


Bukannya Shouto ingin meragukan dirinya sendiri jika dia benar-benar ingin menembak Izuku. Ganteng? Sudah. Tajir? Malah sampai melintir. Masa depan? Sudah sangat menjanjikan. Shouto sudah punya semua poin sebagai seorang menantu idaman.

Yang dia takutkan adalah sebuah penolakan.

Bagaimana jika Izuku tidak memiliki perasaan yang sama dengannya? Apa mereka akan tetap bisa kembali sebagai 'teman'? Atau mungkin Izuku menganggapnya aneh karena ternyata doyan batangan? Tidak ada yang tahu, termasuk Shouto sendiri. Maka dari itu ia was-was ketika Aoyama berbicara kemarin.

Dia ini bukanlah Mineta yang ceplas-ceplos melancarkan gombalan pada semua wanita. Bukan pula Denki atau Eijiro yang kadang mengajaknya berbuat nista; seperti menerbangkan sedikit rok para siswi kelasnya. Ia juga tak bisa seperti Mina yang selalu saja berbicara tentang harapan jodohnya yang akan datang suatu saat.

"Midoriya, kau dipanggil Hatsume dari kelas sebelah, tuh." Denki berjalan santai dari arah pintu kelas sebelum nimbrung bersama dengan teman yang lain.

"Terima kasih, Kaminari-kun, aku pergi dulu!"

Izuku pun pergi.

Shouto berusaha menenangkan pikirannya. Kenapa Hatsume memanggil Izuku dengan perantara Denki? Tidak mungkin ia tidak curiga. Hatsume adalah orang yang blak-blakan soal dedikasinya, tidak mungkin ia sampai memakai perantara untuk memanggil Izuku kalau tidak ada alasan lain di baliknya.

"Hei, si Hatsume itu mau menyatakan cinta, ya?" Sero dalam kerumunan Denki dkk memulai konversasi.

"Jelas sekali." timpal Kyouka. "Hatsume kan yang paling jelas menyukai Midoriya di sekolah kita."

Deg.

Shouto merasakan dadanya bagai dihujam sesuatu. Sakit, sakit sekali. Apa yang harus ia lakukan untuk mengatasi ini? Apa yang sedang terjadi padanya?

Apa ia mengalami serangan jantung mendadak?


Sore itu, Shouto pulang dengan wajah kusut.

Kalau omongan teman sekelasnya benar, berarti mungkin sekarang mereka sudah jadian. Shouto menutup pintu kelas dengan bumbu dramatis. Lalu melangkah pergi. Lorong sudah sepi karena sekolah sudah selesai sepuluh menit lalu. Betapa cepat mereka semua pergi.

Siklus remajanya juga akan berakhir dengan cepat tanpa ia sadari. Ia mencoba berpikir logis di awal, mungkin saja yang ia rasakan hanyalah kagum berlebihan. Tapi mendengar ada yang menyatakan cinta pada Izuku membuat ia sendiri tidak menentu.

Mungkin Izuku hanyalah bagian dari fase remaja yang disebut dengan cinta monyet? Shouto pernah mendengarnya, itu adalah suatu keadaan dimana seseorang jatuh cinta tanpa alasan di masa mudanya.

Hal seperti itu tidak akan pernah bertahan lama, bukan? Mungkin ia bisa melupakan Izuku di waktu mendatang, entah kapan. Siapa tahu perasaannya telah memudar dan menghilang tanpa ia sadar.

Tes

Brssss

Hujan mendadak turun dengan deras. Shouto sudah sampai di halaman depan, berhenti entah karena apa. Rasanya kakinya lengket dengan tanah. Apa-apaan ini? Kenapa ia justru menunduk begini?

Seragam dan tasnya basah kuyup dalam sekejap, tetapi Shouto masih tidak beranjak. Sekolah yang telah sepi, membuat Shouto sedikit lega karena tidak akan ada siapapun yang melihatnya.

"Aku ini kenapa?"

Shouto memandangi tanah basah di bawah kakinya. Perkataan Aoyama malam itu terbayang di benaknya.

"Todoroki, aku tidak tahu harus bilang apa. Tapi, jangan sampai menyesal kalau kau tidak segera confess padanya."

Begitu.

Dia yang terlalu pengecut.


"Eh, Todoroki-kun belum kembali?"

Jam sudah menunjuk pukul tujuh malam, dan anak-anak sedang memasak. Hujan deras belum berhenti sejak mereka menapakkan kaki ke asrama. Sebagian mengabaikan Shouto, berpikir bahwa dia akan kembali tanpa harus ditunggu.

"Aku akan mencarinya!"

Izuku melesat ke kamarnya di atas. Mengambil jas hujan miliknya dan juga payung bergambar All Might bersamanya. Tidak peduli dengan teman-temannya yang berusaha mencegah karena ada kemungkinan terjadi badai berdasarkan berita.

"Midoriya, kau tidak dengar sebentar lagi akan ada badai? Sekitar jam delapan."

"Kalau aku pulang sebelum jam delapan, tidak masalah, 'kan? Aku pergi dulu!"

Apa. Percuma kalau Izuku sudah keras kepala. Mereka semua melamun sebentar sebelum Katsuki memecah keheningan.

"Kalian semua cari si setengah sialan itu! Kita akan hajar dia nanti! Tch!"

"Tapi Bakugou—"

"Kembali sebelum jam delapan. PAHAM?!"

"YESSIR!"


Izuku berkali-kali harus memegang erat payung miliknya karena embusan angin yang begitu kencang. Teman-temannya tidak berbohong soal badai yang akan datang. Sudah lima belas menit Izuku mondar-mandir mengitari sekolah, tapi sama sekali tidak menemukan jejaknya.

"Kemana perginya Todoroki-kun?"

Izuku hampir saja menyerah, tetapi ia teringat untuk apa dia bersusah payah keluar menjelang badai. Dia harus menemukan Shouto bagaimanapun caranya!

Izuku pergi dari sekolah, menuju kota yang mulai sepi. Berlari kesana-kemari sambil meneriakkan nama temannya. Meski sedikit berat karena hujan semakin deras dan angin kian kencang. Izuku tidak boleh menyerah di tengah jalan!

Izuku berlari lagi ke arah yang lebih jauh. Menuju sungai yang tak jauh dari sana. Semua kemungkinan harus dicoba, Shouto bisa berada di mana saja.

Izuku menemukan siluet temannya di jembatan. Berdiri sambil menatap luapan air dari aliran di bawah penghubung kayu.

"Todoroki-kun!"

Shouto menoleh, melihat Izuku datang menghampiri. Ia bergeming, bahkan tak berniat menolong Izuku yang terpeleset saat berlari ke arahnya. Hidungnya berdarah karena terbentur tanah tanpa sengaja.

"Ayo kita pulang, Todoroki-kun."

Shouto diam ketika payung yang dibawa Izuku berada di atas kepalanya. Ia bisa melihat Izuku yang berjinjit demi bisa memayungi dirinya. Shouto menghela napas, mengambil tarikan sebelum berbicara.

"Midoriya ... bagimu, aku ini apa?"

Izuku terpaku.

Pertanyaan Shouto bukanlah hal yang bisa dijawab secara sederhana. Meski terkesan demikian, Izuku tahu bahwa pertanyaan dari pemuda dengan quirk ganda itu adalah resultan dari berbagai simulasi kompleks di dalam otaknya. Tidak mudah bagi orang sepertinya untuk bertanya, apalagi kepada orang yang baru ia kenal beberapa bulan belakangan.

Merasa mendapatkan jawaban terbaik, Izuku menjawab dengan senyum lebarnya. "Tentu saja kau temanku, teman yang sangat memotivasiku untuk terus berkembang."

Rinai hujan masih menjadi latar suara. Guntur yang terdengar pelan tiba-tiba menjadi menyeramkan. Kilat terjadi selama beberapa detik. Angin pun membuat awan semakin menghitam di atas sana.

Shouto memegang bahu Izuku.

Ia tidak pernah menganggap lebih dari teman sekelas. Shouto hanya seorang pemain figuran di dalam hidup si tunggal Midoriya. Meski Izuku bilang mereka teman, nyatanya hal itu membuat hatinya makin terasa sakit. Lebih sakit daripada tadi siang.

"Todoroki-kun? Apa kau pusing? Ayo, pulang."

Shouto menepis tangan Izuku yang berusaha meraihnya. Izuku menatap heran, tetapi Shouto enggan memberikan ia jawaban yang diinginkan.

"Todoroki-kun?"

"Jangan temui aku lagi."

"Todoroki-kun, apa maksudmu?"

Shouto berpaling, memilih melepaskan diri dari teduhan payung Izuku. Pemuda hijau hendak mengejar, tetapi dinding es keburu jadi penghalang.

"Todoroki-kun, apa yang terjadi denganmu?" Izuku enggan menggunakan quirknya disaat tidak penting seperti ini. Tetapi di lain sisi ia merasa, waktu ini adalah hal yang penting agar tetap menahan Shouto bersama dengannya—dengan teman-teman lain.

"Kau tidak dengar perkataanku tadi?"

"Teman-teman mengkhawatirkanmu!"

Krakkk

Dinding es yang dibuat Shouto pecah tak beraturan ketika terkena tendangan Izuku. Shouto berbalik, kembali menyerangnya dengan es tebal seperti saat di festival olahraga.

"Jangan menghalangiku, Midoriya!"

"Todoroki-kun, kuharap kau tidak keberatan jika kubawa pulang dengan paksa!"

Izuku maju, tetapi Shouto gesit menghindar dan memanfaatkan lahan yang sempit untuk membatasi pergerakan Izuku. Izuku melompat dengan bertumpu pada es milik Shouto daripada jatuh ke sungai—ingatkan dia sebentar lagi akan ada badai.

"Midoriya!"

"Todoroki-kun!"

Keduanya saling menyerang tanpa henti. Berapa kalipun Izuku menghancurkan dinding es milik Shouto, tidak ada habisnya. Izuku pikir Shouto sudah sampai batasnya, melihat tangan kirinya gemetaran sejak tadi.

Kehujanan dan menggunakan quirk esnya saja, mungkin kombinasi yang buruk baginya.

"Kenapa kau tidak menggunakan apimu, Todoroki-kun? Kau ingin melawanku setengah-setengah seperti waktu itu?!"

Deg

Kilas balik itu tersirat sesaat. Dimana ketika pertandingan ia mendadak ingin menggunakan apinya menghadapi Izuku, orang yang sama. Orang yang berdiri di hadapannya tanpa rasa gentar. Yang pertama mengakui kekuatan miliknya setelah sekian lama ia terjebak dalam tragedi masa lalu.

"Aku tidak akan menggunakan api ini untukmu!"

"Todoroki-kun!"

Karena lengah, tinju Izuku mendadak sudah berada di depan mata kirinya. Shouto membola, refleks mengeluarkan api miliknya guna menghempaskan Izuku. Izuku yang tak waspada terkena telak dan terlempar beberapa meter ke belakang.

Shouto terengah. Sebagian seragam dan tasnya terbakar. Tapi yang membuat ia terpukul adalah kondisi Izuku di depannya.

"Midoriya?"

Kenapa Izuku tidak menjawab? Apa serangannya terlalu besar karena tak terkontrol?

"Mido—woi, Todoroki! Kami mencarimu!"

Shouto melihat ada beberapa orang datang dari kejauhan. Secepat mungkin Shouto melarikan diri ke arah berlawanan. Ia tidak mungkin kembali bersama mereka ...

setelah melukai Izuku.