"Baca halaman pertama di bab 5,

disitu Aristoteles mengemukakan gagasannya tentang 'zoonpoliticon'. Zoon berarti hewan, sementara politicon dengan artian bermasyarakat, hewan bermasyarakat. Dia hanya mengibaratkan kita semua yang berada di permukaan bumi ini sudah dikodratkan tidak dapat hidup sendirian, saling berinteraksi satu sama lain dengan yang lainnya, otomatis berbaur dalam masyarakat. Dalam maksud lain, kita semua ini makhluk sosial."

Salah satu tangan terangkat, "Saya tidak setuju, sir."

"Apa maksudmu berkata begitu?" kepala-kepala menoleh penasaran.

"Gagasannya tentang kita tidak dapat hidup sendiri."

Sebatang kapur melesat, telak mengenai dahi murid yang mengajukan protesannya tadi, "Bodoh! Kau berkata begitu, MEMANGNYA KAU BISA APA HAH?" kening berkerut tak suka, suaranya menggelegar sampai luar sana.

Burung-burung di atap langsung beterbangan.

Tatapan prihatin dari belasan murid lain tertuju pada murid tadi. Satu-dua sibuk berbisik.

.

.

.

.

.

Zoonpoliticon

SnK © Hajime Isayama

Rated : T

Genre : Romance/Drama

Pairing : Levi x Petra

Warning! : AU, OOC, Typo (?), dan mungkin banyak kesalahan.


Shinkansen. Nama lainnya, kereta peluru.

Kecepatan tertingginya bisa mencapai 300 km/jam. Menjadi sarana utama angkutan antar kota selain pesawat terbang.

Helaan napas tertahan begitu memasuki kereta super cepat, memilih diam sebentar sementara penumpang lain berdesakan sibuk mencari kursi yang masih kosong. Matanya melirik kursi paling ujung di bagian belakang, masih kosong. Tak butuh waktu lama, pantofel hitamnya dilangkahkan melewati desakan penumpang, melewati celah kecil diantara desakan, membiarkan ransel hitamnya tanpa sengaja menyenggol penumpang lain, membiarkan seruan protes di belakang.

Ransel hitamnya diletakkan asal, kemudian menghempaskan pantatnya di kursi paling ujung, dekat jendela. Favoritnya.

Manik hitamnya sibuk sendiri melihat pemandangan di luar kereta, tak peduli dengan penumpang lain yang entah apa yang disibukkannya. Beberapa juga memilih diam membaca koran, atau membuka handphone, mengabari keluarga bahwa akan segera berangkat, ada juga yang langsung memejamkan mata.

"Hhh.." sepanjang perjalanan kemari, entah sudah keberapa kalinya ia menghela napas.

Kalau bukan permintaan dari teman dekatnya, ia sekarang ini pasti sedang menyeruput secangkir kopi hitam favoritnya di beranda apartemen. Hei, ini Minggu pagi, satu-satunya hari dimana ia bebas tanpa suara-suara berisik teman-temannya yang sering datang untuk meminta bantuan dengan janji 'sekali ini saja', 'ini yang terakhir', padahal esok lusa masih melakukan hal serupa.

Dan juga, entah kerasukan apa ia kali ini, ketika dini hari panggilan masuk yang mengganggu tidurnya dengan suara memohon yang sepertinya dibuat-buat dan saat itu juga ia langsung mengiyakan. What the hell.

Tapi setidaknya ia bersyukur, tiket dan segala keperluannya ditanggung oleh pihak berwajib—memang berwajib menyediakan itu semua untuknya.

Kening di dahinya langsung berkerut tiba-tiba, 'Sekalipun ia meminta bantuan, lancang sekali menyuruhku sementara dirinya sibuk berkencan dengan si gadis berkaca mata.' ia mendengus kesal.

"Permisi, boleh aku duduk disini?" suara lembut menginterupsinya, ia lantas menoleh ke sumber suara. Untuk sesaat, ia terhenyak. Bibirnya seakan terkatup rapat tak membuka celah, napasnya tertahan.

Dunia seakan menelannya begitu dalam.

'Hentikan waktu ini walau sesaat.'

.

.

.

.

.

.

.

"Kau tak seharusnya berkata seperti itu, Rivaille." ranting pohon digerakkan kesana kemari membentuk gambar yang dibayangkan di atas permukaan tanah.

Berdecak pelan, "Kau tahu sendiri, Petra. Buktinya, aku selama ini hidup sendiri di rumah tua itu. Paman yang seharusnya mengurusiku entah kemana sejak enam bulan lalu. Tak sepenuhnya gagasan itu benar, kan?"

Gadis kecil itu menggelengkan kepalanya, membuat rambutnya yang diikat dua bergoyang. "Tapi pamanmu selalu rutin mengirimkan bahan makanan dan uang untuk keperluanmu, kan? Ia masih mengurusmu secara tidak langsung, Rivaille."

"Tetap saja aku hidup sendiri, Petra."

Menggelengkan kepala lagi, "Aku sering main ke rumahmu, Rivaille. Kau juga sering diajak keluar jalan-jalan oleh kakek baik hati di depan rumahmu. Kau tidak pernah sendiri."

"Kau tidak tahu, Petra." masih keras kepala.

"Rivaille, aku bahkan lebih tahu daripada dirimu sendiri." pipinya digembungkan, mulai sebal.

"Yang menemaniku hanya kau dan kakek itu saja, berarti aku hanya membutuhkan kalian." menarik sebuah kesimpulan sendiri,

"Aku tak bisa hidup tanpamu dan kakek itu, Petra." digenggamnya tangan kecil sang gadis, "Kalau bukan zoonpoliticon, berarti aku apa?"

Keduanya sibuk berpikir masing-masing.

.

.

.

.

.

.

.

"Etto.." dikibaskan tangannya di depan wajah pemuda yang masih terdiam, sontak membuat si pemuda tersadar dari lamunannya. "Bolehkah aku disini?"

Menggigit bibir bawahnya, hanya anggukan sebagai jawaban.

"Arigatou." ujarnya tersenyum riang. Senyuman khasnya.

Ia tak pernah lupa itu.

"Petra." mulutnya membuka tiba-tiba. Tanpa aba-aba dari hatinya yang terus berkecamuk.

Rambut oranye yang menghalangi pandangan disingkirkan, "Kau masih ingat aku? Yokatta ne."

Ia hanya bisa menelan ludah, mungkin saat ini wajahnya sudah entah seperti apa. Dirinya yang selalu pandai berbicara, presentasi di depan ratusan orang pun selalu berhasil, kini seakan lupa dengan ribuan kosa kata yang sudah dikenalnya.

"Apa kabar?" begitu pelan seakan ia berbicara sendiri.

"Kau bertanya padaku?" untungnya kedua telinga sang gadis begitu peka, "Sejauh ini baik-baik saja. Walaupun cukup sulit meninggalkan kenyataan pahit yang sempat kualami dulu. Ah, ada dirimu juga, bukan?" senyum cerah masih terpampang.

Ada dirimu juga, bukan? bagaimana bisa mengatakan sedemikian dengan wajah tenang dan tersenyum seperti itu?

Tiga tahun sepertinya telah mengubah segalanya.

'Tenangkan dirimu, bersikap seperti biasanya. Pasang wajah datar.' menghela napas pelan. Merubah posisi duduknya senyaman mungkin.

'Semoga tidak banyak pembicaraan yang kami lakukan.'

Semoga.

"Kau sering menulis di blog, kan? Aku pernah membacanya. Menarik sekali, Rivaille. Kau bahkan sempat menulis pendapatmu tentang zoonpoliticon, kau sudah menyetujuinya, bukan?" kalimatnya seakan sebuah batu yang menghantam telak.

Agak kikuk walaupun sudah berusaha sewajarnya, "Hn. begitulah."

"Dulu kau keras kepala sekali membantah gagasan itu." tertawa riang mengingat masa lalu.

Hanya bisa tertegun. Entah apa maksud gadis disampingnya ini, entah menyindir atau memang sedang ber'nostalgia'.

"Itu.. Itu sewaktu kita masih SD, wajar saja aku masih begitu keras kepala." lumayan lancar.

"Masih SD, ya.." gadis itu terlihat berpikir sejenak, "Kupikir itu masih menjadi sifatmu ketika SMA."

DUAGH! pukulan telak menghantam lagi.

"Ya, kau tahu banyak soal itu."

'Bodoh, apa yang kubicarakan.' merutuk dalam hati.

"Tapi aku tak habis pikir, ternyata kau cukup jago membuat puisi, aku membaca salah satunya." menoleh ke samping, "Aku tidak begitu ingat judulnya."

Oke, bagus. Apa yang akan dibahasnya kali ini?

"Entah aku yang terlalu percaya diri atau bagaimana, aku merasa kau membicarakanku di dalamnya." tersenyum lagi.

"Aku tidak ingat itu tentang siapa." mengucapkannya begitu saja,

sial.

Ekor matanya melirik jam di pergelangan tangan, 'Lama sekali. Kapan kereta ini akan sampai?' Dalam hati ia memaki kereta yang 'padahal' super cepat ini.

"Yah, membuat begitu banyak puisi bisa saja membuatmu lupa bagaimana perasaanmu ketika menuliskan bait-bait itu." mengangguk memaklumi.

'Sedikit' bisa bernapas lega.

"Tapi, pada bagian catatan puisi itu, kau menuliskan jika dapat bertemu dengannya, kau akan mengatakan sesuatu yang sudah lama ingin kau katakan. Boleh aku tahu apa itu?"

Merubah posisi duduknya, "Mungkin lain waktu." jantungnya masih berdebar tak karuan.

Helaan napas terdengar, "Sama seperti dulu. Kau pandai mengalihkan pembicaraan." beberapa helai rambut menutupi wajah manisnya jika dilihat dari posisi Rivaille saat ini.

"Tunggu, kau bilang apa tadi?" ingin mendengar lebih jelas.

"Ah, tidak. Bukan apa-apa." menggeleng meyakinkan.

Kemudian keduanya terdiam.

"Ah ya, aku belum menanyakan kabarmu." mencoba mencairkan suasana, "Jadi, bagaimana kabarmu setelah malam.." mata karamelnya seketika melebar, sadar bahwa itu pertanyaan yang salah, benar-benar salah.

Rivaille yang mengerti tak menganggap itu masalah, "Kabarku setelah malam itu? Begitu yang kau maksud."

Senyum cerah Petra hilang, setelah bermenit-menit terlewati, pertama kalinya ia menggigit bibir.

'Celaka.' pikirnya.

.

.

.

.

.

.

.

TBC

Saya kembali dengan fic baru.. Untung-untungnya ada ide yang mo mampir :'D

Mampirnya pun pas lagi buka buku -w- Ide yang mampir ke saya emang ga ke duga-duga kalo mo dateng xD

Gimana? Maap gak begitu panjang, saya gak mikir jauh soalnya..

Mind to Review? Kritik dan saran saya terima ^^