Disclaimer: Karakter dalam cerita ini milik Masashi Kishimoto. Ceritanya punya saya.


Chapter 1

Pepper Spray and Pocari

Tetes air hujan perlahan turun dari langit.

Hinata Hyuuga mendongak ke atas dan memaki.

Ia mempercepat langkahnya sambil menaikkan tudung pada jaket abu-abunya. Ketika rintik hujan mendadak berubah deras, ia langsung berlari. Untungnya tempat tujuan gadis itu hanya tinggal berjarak seratus meter. Meskipun dengan kecepatan larinya yang biasa-biasa saja, tidak sampai semenit kemudian gadis itu sudah sampai di stadion tempat pertandingan sepak bola antara SMA Konohagakure dengan SMA Sunagakure sedang berlangsung.

Dia menghembuskan napas lega dan langsung masuk ke stadion. Setelah sampai di dalam, gadis itu tidak terkejut melihat kedua tim yang tetap bermain di tengah derasnya hujan. Meskipun ia bukanlah seorang penggemar sepak bola, namun ia bisa melihat bahwa pemain dari kedua tim sama-sama mengalami kesulitan bermain di tengah lapangan yang basah tersebut.

Hinata tersenyum saat kedua matanya jatuh di papan skor. SMA Konohagakure memimpin dengan skor 2-1. Ia melihat ke tribun tempat para pendukung tim sepak bola SMA-nya berada, lalu buru-buru berlari ke arah sana untuk bergabung dengan kehebohan. Saat itu sudah babak kedua, dan tidak banyak waktu yang tersisa sampai peluit tanda pertandingan berakhir dibunyikan.

Salah satu alasan mengapa pertandingan tersebut sangat ramai dengan penonton adalah karena pertandingan itu adalah pertandingan penting untuk memperebutkan juara daerah. SMA Konohagakure dan SMA Sunagakure keduanya memiliki klub sepak bola terbaik di seluruh wilayah Kanto. Dua tahun lalu pemegang juaranya adalah SMA Konohagakure, sementara tahun lalu juara tersebut direbut oleh SMA Sunagakure. Tahun ini SMA Konohagakure berniat merebut kembali reputasi mereka sebagai yang terbaik.

Walaupun sedang bermain di tengah hujan, Hinata tetap bisa mengenali orang yang menjadi alasannya datang ke pertandingan tersebut. Tidak, bahkan Hinata akan selalu mengenalinya meskipun ia sedang berada di tengah keramaian dan mereka terpisah sejauh sepuluh kilometer. Baiklah, mungkin dia sedikit berlebihan, namun dia tidak akan mungkin bisa salah mengenali rambut hitam dan badan tegap tersebut.

Sasuke Uchiha.

Sasuke Uchiha adalah lelaki impian dari semua gadis yang sedang, ingin, atau pernah bersekolah di Konohagakure. Ia berasal dari keluarga yang sangat kaya, tampan, bertubuh atletis, dengan sepasang mata gelap dan dalam yang dapat membuatmu menggelenyar apabila ia menatap matamu lebih dari lima menit. Ia juga sangat cerdas, anggota OSIS, dan pemain andalan tim sepak bola Konohagakure. Meskipun tahun lalu SMA Konohagakure tidak meraih juara pertama, namun Sasuke Uchiha berhasil memperoleh gelar sebagai MVP (Most Valuable Player).

Tidak ada gadis yang tidak jatuh cinta padanya.

Termasuk Hinata Hyuuga.

Gadis itu tersenyum saat melihat lelaki pujaannya menggiring bola menuju gawang yang ia asumsikan adalah gawang lawan. Ia bisa mendengar banyak perempuan yang memekik dan menjeritkan nama Sasuke. Hinata tidak heran bila tujuh puluh persen dari pendukung SMA Konohagakure yang hadir di tengah hujan ini adalah fans-nya Sasuke.

Hanya saja teriakan-teriakan tersebut berhenti ketika seorang pemain Sunagakure dengan nomor punggung 19 merebut bolanya. Hinata tidak bisa melihat wajah para pemain tersebut dengan baik dari tempatnya berada. Namun tidak diragukan lagi si nomor 19 ini sangat jago karena dengan lihai ia bisa melewati tiga, tidak, empat, dan bahkan lima pemain Konohagakure dengan mudah lalu mencetak gol.

Dan menyeimbangkan kedudukan Konoha dan Suna.

Hinata bisa mendengar keriuhan dari pendukung Sunagakure dan beberapa suporter ekstrim Konohagakure yang melemparkan caci maki ke si pemain bernomor punggung 19.

"AYO KONOHAGAKURE!" dan para suporter aliran ekstrim tersebut pun mulai menyanyikan mars sekolah Konohagakure, membuat para pendukung lain ikut bernyanyi. Di bawah sana, di tengah hujan, para cheerleaders tidak mau kalah dan tetap dengan semangat menunjukkan kebolehan gerakan serta teriakan-teriakan mereka pada para pemain Konohagakure.

Dan seperti keajaiban, mendadak pemain Konohagakure dengan nomor punggung 99, atau yang Hinata tahu adalah Naruto Uzumaki mendadak mencetak gol ketiga dan membalikkan kedudukan Konoha. Tidak berapa lama kemudian peluit terakhir dibunyikan dan pertandingan hari itu selesai.

Jeritan-jeritan kemenangan meledak dari kerumunan pendukung Konohagakure. Luapan kegembiraan itu berujung dengan para suporter yang membanjiri lapangan. Hujan sudah mulai mereda menjadi gerimis. Hinata Hyuuga tetap duduk di tempatnya, dan sambil tersenyum menonton keramaian yang kini berpindah ke lapangan.

Ia sangat senang sekolah mereka menang. Ia sangat senang Sasuke menang. Lelaki itu pantas mendapatkannya. Ia selalu berlatih dengan keras.

Setelah hujan reda, panitia kejuaraan memberikan piala kemenangan kepada tim Konohagakure yang diwakili oleh Sasuke. Semua orang kembali bersorak sorai, dan bahkan tim Sunagakure pun memberikan selamat kepada tim Konohagakure. Kemudian panitia melanjutkan acara dengan upacara penutupan serta pengumuman para pemain terbaik dari tiap posisi dan tentunya...MVP.

Orang-orang Konohagakure semua sangat yakin bahwa MVP tahun ini pasti Sasuke atau Naruto yang barusan mencetak gol terakhir dengan sangat indah.

Namun ternyata nama MVP tahun ini adalah...

"Sabaku Gaara dari SMA Sunagakure."

Teriakan-teriakan heboh pecah dari kerumunan pendukung Sunagakure. Mereka semua dengan serempak berseru, "Gaara! Gaara! Gaara!". Dan Hinata melihat saat seorang pemuda berambut merah dengan wajah seram menaiki podium. Ternyata Sabaku Gaara ini adalah pemain bernomor punggung 19 yang tadi mencetak gol kedua bagi Sunagakure. Dari bisik-bisik orang di sekitarnya, Hinata mengetahui bahwa pemuda berambut merah itu meraih gelar MVP salah satunya karena merupakan pencetak gol terbanyak dalam kejuaraan musim itu.

Ia menerima penghargaan MVP-nya lalu hanya mengucapkan terima kasih saat diminta memberikan kata sambutan. Hinata hampir tertawa melihatnya. Pemuda itu bersikap cool dan dengan tampang seramnya pasti membuat orang tidak berani macam-macam padanya. Namun satu patah kata terima kasih itu membuat dirinya terlihat seperti orang yang sangat pemalu. Hal itu sangat lucu menurut Hinata.

Setelah semua acara pemberian penghargaan dan foto-foto selesai, kerumunan di stadion itu pun mulai menipis. Hinata kembali ke tribun dan duduk di bangku terendah sambil menontoni arus orang-orang yang keluar dari stadion.

Karena memiliki masalah kepercayaan diri, Hinata tidak pernah datang ke acara olahraga seperti ini paling awal, untuk menghindari mata-mata tertuju padanya. Dan ia pun selalu pulang paling akhir karena alasan yang sama. Oleh karena itu, saat ini ia sedang menunggu hingga semua orang pulang sebelum ia sendiri juga keluar.

Selain itu dengan keluar paling terakhir ia juga bisa melihat Sasuke lebih lama.

Lelaki yang baru saja memperoleh juara itu sedang sibuk berfoto bersama banyak orang. Semua orang pasti ingin berfoto bersamanya. Maklum saja, dia kapten tim sepak bola Konohagakure, orang yang paling berjasa membawa tim mereka sampai ke tempat itu dan meraih piala tersebut. Dia adalah pahlawan Konohagakure di lapangan.

Hinata tersenyum melihatnya.

Entah mengapa hanya dengan mengamati Sasuke saja bisa membawa perasaan hangat dan nyaman di dadanya.

Senyumannya sedikit memudar saat melihat Sakura Haruno, anggota cheerleaders yang merupakan salah satu orang yang paling populer di sekolah, menempeli Sasuke. Mereka berdua keluar dari stadion bersama-sama diikuti oleh teman-teman Sasuke yang lain serta beberapa cheerleaders lain. Mungkin akan merayakan kemeneangan di salah satu restoran terdekat.

Hinata menghela napas. Ia selalu membayangkan dirinya menjadi seperti Sakura. Cantik, populer, pintar, dan penuh percaya diri. Jika ia memiliki itu semua, ia pasti tidak akan perlu menguntit Sasuke seperti ini. Ia akan cukup berani menghampiri lelaki itu untuk memperkenalkan diri. Setelah itu mungkin mereka akan pergi ke suatu tempat untuk minum kopi dan makan kue.

Namun itu semua hanya dapat terjadi di dalam imajinasinya.

Setelah stadion mulai benar-benar sepi dan yang tinggal hanyalah petugas kebersihan yang sedang membersihkan tribun, Hinata pun mulai beranjak dari tempat ia duduk.

Hinata Hyuuga bukanlah anak yang populer. Ia juga bukanlah orang yang paling menonjol di antara teman-temannya. Dan orang yang bisa dia panggil teman pun sangat sedikit. Mungkin hanya bisa dihitung dengan sebelah tangan. Semua itu terjadi karena ia tidak terlalu pandai berinteraksi dengan orang lain, dan selalu memilih untuk sendirian dibandingkan berada di keramaian. Ia selalu mengalami kesulitan apabila dihadapkan pada situasi dimana ia harus berkomunikasi dengan orang lain.

Salah satu hal yang paling ahli ia lakukan adalah membuat dirinya tidak terlihat.

Meskipun di tahun keduanya saat ini ia sudah jatuh cinta setengah mati pada Sasuke Uchiha, namun ia tahu bahwa cintanya tidak akan pernah terbalas. Karena ia yakin Sasuke mungkin bahkan tidak tahu bahwa dia ada.

Hinata menghela napas saat menuruni tribun dan berjalan keluar stadion.

Saat itulah hujan kembali turun, kali ini tanpa gerimis, langsung turun dengan deras tanpa ampun.

Hinata menghela napas dan bersandar pada dinding di dekat pintu keluar stadion. Padahal langit sudah mendung dari sebelum ia meninggalkan apartemennya tadi. Namun karena ramalan cuaca hari itu mengatakan bahwa Tokyo tidak akan hujan, Hinata pun meninggalkan payungnya.

Dia seharusnya lebih memercayai instingnya.

Mungkin setelah hujan reda nanti ia bisa menghampiri restoran tempat tim sepakbola sedang merayakan kemenangan mereka, lalu menyelinap masuk dan mungkin jika ia mengumpulkan cukup keberanian ia akan menghampiri Sasuke dan memberi selamat padanya. Setelah itu mungkin mereka akan mengobrol. Hinata menimbang-nimbang pemikiran tersebut, lalu mendengus dan menggeleng-gelengkan kepala. Sampai kapan pun ia tidak akan berani memperkenalkan dirinya pada Sasuke. Lelaki itu tidak pernah sendirian. Mendekati Sasuke sama artinya dengan mendekati teman-temannya yang lain. Dan Hinata bukanlah orang yang pintar bersosialisasi dengan orang banyak. Ia hanya akan terlihat seperti seekor rusa di tengah-tengah kerumunan singa betina.

Setelah beberapa lama berdiri di sana, mendadak Hinata merasa haus. Ia lalu berjalan menyusuri lorong stadion untuk mencari sebuah mesin penjual minuman. Kerika menemukan satu, ia mengeluarkan beberapa recehan sepuluh yen dan memasukkannya ke mesin tersebut sebelum menekan tombol minuman yang ia inginkan.

Ketika ia membungkuk untuk mengambil minumannya, dari ekor matanya Hinata melihat seseorang berdiri persis di belakangnya. Gadis itu terkesiap dan secara otomatis meraih kantong jaketnya untuk mengeluarkan pepper spray yang memang tak pernah lupa ia bawa ketika berpergian. Dari tadi Hinata tidak mendengar ada orang yang mendekatinya, jadi orang ini pasti mengendap-endap di belakangnya dan berniat jahat padanya.

Sialnya karena ia sangat terburu-buru, Hinata menjatuhkan kaleng pepper spray dan minumannya. Dengan panik ia langsung merangkak di lantai untuk meraih kaleng pepper spray-nya, kemudian setelah tangannya memegang benda itu dengan mantap, ia langsung berbalik dan dengan posisi duduk di lantai mengacungkan pepper spray-nya ke arah siapapun orang yang dari tadi berdiri di belakangnya tanpa membuat suara sedikit pun itu.

Hinata terbelalak ketika melihat orang yang ternyata adalah seorang pemuda berambut merah tersebut juga ikut membungkuk seperti berusaha meraih sesuatu di bawahnya. Melihat gerakan yang tiba-tiba itu, Hinata pun spontan menjerit dan menyemprotkan pepper spray-nya. Tidak lupa menutup matanya sendiri karena gas dari pepper spray juga bisa melukai penggunanya.

Orang tersebut berteriak, "FUCK!" lalu mengerang, sebelum berteriak lagi dengan sederetan makian kasar yang hanya bisa orang temukan tertulis di toilet sebuah bar kumuh. "KEPARAT! APA YANG KAU SEMPROTKAN ITU!" raung pemuda tersebut.

Hinata mundur pelan-pelan menjauhi pemuda yang kini sudah berdiri dan dengan panik berlari kesana kemari tersebut. Sambil tetap memaki-maki, pemuda itu memukuli dinding dan bahan mesin penjual minuman tempat Hinata tadi mendapatkan minumannya. Hinata lalu terkesiap dan matanya kesana-kemari mencari kemana minumannya.

Ia menemukan botol minumannya persis di samping mesin penjual minuman dan hendak meraihnya ketika si pemuda berteriak lagi, "AKU HANYA MAU MENGAMBILKAN BOTOL KEPARAT ITU! KENAPA KAU MENYERANGKU?"

Hinata sekarang panik. Ia cepat-cepat mengambil botolnya, lalu berdiri dan siap melarikan diri. Ia menjerit ketika sebuah cengkeraman besi menangkap lengannya dan menariknya. "Dasar kau perempuan sialan," dengan penuh horor Hinata menoleh dan mendapati wajah pemuda itu sangat dekat dengannya. Kedua matanya terpejam serta terlihat merah dan bengkak, "kau pikir kau bisa langsung kabur?" desisnya, membuat Hinata merinding dan berkeringat dingin.

"M-m-m-maaf...kan aku," kata Hinata dengan terbata-bata. "Kau...kau...tiba-tiba...ada...di-di...belakangku...k-k-kupikir..."

"AKU ADA DI BELAKANGMU KARENA AKU SEDANG MENUNGGUMU MEMBELI MINUMAN TOLOL ITU!"

"K-k-kenapa kau sangat diam?" cicit Hinata, lalu meringis karena merasa cengkeraman pemuda itu padanya making mengencang.

"APA YANG KAU HARAPKAN, HAH? AKU BERTERIAK-TERIAK DAN MENYURUHMU MENJAUHI MESIN KEPARAT ITU SUPAYA AKU BISA MEMBELI MINUMANKU? HAH?"

Hinata pucat pasi sekarang. Jantungnya berdentum-dentum keras dengan kecepatan yang tak pernah ia ketahui. Dari sekian banyak ia bisa menyemprotkan pepper spray -nya, kenapa semprotan pertamanya harus mengenai seseorang yang tidak bermaksud jahat padanya? Dan orang yang tidak bermaksud jahat ini kini terlihat kesakitan dan marah, sangat marah.

Ia meringis, "umm...r-r-rumah sakit. B-bagaimana kalau kita k-ke rumah sakit?" Hinata yakin kalau pemuda ini tidak segera melepaskan tangannya, ia mungkin juga harus mengunjungi rumah sakit karena patah tangan.

Meskipun masih kesal, tapi pemuda itu sepertinya merasa itu adalah ide yang bagus karena ia melonggarkan cengkeramannya kemudian menarik Hinata untuk mengikutinya. Beberapa saat kemudian ia berhenti, lalu memerintahkan gadis itu untuk menuntunnya menuju ruang ganti para pemain.

"T-tapi aku tidak tahu d-dimana..."

Dan sebelum Hinata bisa menyelesaikan protesnya, lelaki itu sudah menyelanya, "belok kiri di ujung koridor, pintu paling ujung di sebelah kanan."

Ketika mereka sampai di ruang ganti, pemuda itu menyuruh Hinata mengumpulkan barang-barang dari dalam lokernya dan memasukkanya ke dalam tasnya. Setelah itu mereka berdua meninggalkan ruang tersebut dengan Hinata membawakan tasnya sambil memandunya.

Untungnya saat itu hujan sudah reda. Kedua orang itu pun berjalan meninggalkan stadion menuju rumah sakit yang lagi-lagi untungnya berjarak hanya beberapa blok dari stadion. Meskipun mereka berjalan berdampingan, namun dari cara si pemuda mencengkeram lengan si gadis, orang-orang bisa melihat bahwa si gadis sedang menuntun pemuda itu berjalan.

Setelah sampai di rumah sakit, Hinata memandu pemuda itu ke UGD, masih membawa tas miliknya, gadis itu berdiri mengamati saat dokter jaga memeriksa mata si pemuda dan memberikan pertolongan pertama untuknya.

"Biasanya efeknya akan cepat hilang bila anda banyak berkedip, untuk memproduksi air mata yang akan membersihkan sisa semprotannya," kata si dokter lalu memanggil seorang perawat untuk mengambilkannya shampoo bayi, "dan akan lebih cepat apabila dicuci dengan shampo bayi."

Ketika si perawat datang membawa shampoo bayi, dokter memerintahkan perawat itu untuk membantu si pemuda berambut merah mencuci matanya dengan shampoo tersebut. Hinata hanya menonton dalam diam saat pemuda itu berteriak, memaki, dan meringis selama proses pencucian matanya berlangsung. Setelah semuanya selesai, dokter dan perawat tersebut meninggalkan mereka dan menyuruh si pemuda untuk mengedip-ngedipkan matanya sampai sakitnya tidak terasa lagi. Jika setelah 15 menit sakitnya masih terasa, maka dia disuruh memberitahu perawat terdekat.

Hinata berulang kali membungkuk dan mengucapkan terima kasih pada si dokter dan perawat. Setelah mereka pergi, detak jantungnya kembali meningkat saat ia berbalik untuk menatap si pemuda berambut merah.

Napasnya tercekat ketika ia menyadari bahwa pemuda itu ternyata adalah pemuda yang sama dengan pemuda yang berdiri di podium juara sore tadi sambil memegang penghargaan MVP. Pemuda dengan nomor punggung 19 yang Hinata lupa siapa namanya.

"Kau..." Hinata berbisik tanpa sadar.

Pemuda itu tidak melihat ke arahnya, karena masih dengan semangat mengerjap-ngerjapkan matanya. "Apa?"

"T-tidak...tidak apa-apa. M-maafkan aku," jawab Hinata dengan berbisik.

Pemuda itu menghela napas, lalu memejamkan mata. "Ini melelahkan sekali," lalu ia melanjutkan kedipannya lagi.

Hinata menelan ludah, merasa canggung dan makin merasa bersalah karena berdiri di sana. Bolehkah ia berdiri di sana? Atau haruskan ia berdiri di luar menunggu pemuda itu menyelesaikan kedipannya?

"Umm..."

Pemuda itu masih mengabaikannya, membuat Hinata makin gugup. Gadis itu menggigit bibir bawahnya lalu memainkan rambutnya.

Beberapa menit yang hening kemudian, mendadak pemuda itu bertanya, "Siapa namamu?"

Hinata yang seakan-akan tidak memercayai apa yang ia dengar sontak mendongak dan bertanya, "A-apa?"

"Namamu."

"H-Hinata."

"Apa yang kau lakukan sendirian tadi di sana?"

Hinata kembali memainkan rambutnya. "T-tadi hujan...aku...berteduh."

"Semua orang sudah meninggalkan stadion setengah jam sebelum hujan. Apa yang kau lakukan sendirian tadi di sana?" Pemuda itu mengulangi pertanyaannya, masih tidak melihat ke arah Hinata.

Hinata menemukan dirinya tidak tahu harus menjawab apa. Apa yang harus ia katakan? Kalau ia memang tidak bisa ikut merayakan kemenangan SMA-nya dan harus menunggu semua orang keluar dari stadion lebih dulu? Atau fakta bahwa ia merasa canggung dan takut berjalan keluar dari stadion bersama teman-teman dari SMA-nya sendiri? Bisa-bisa pemuda ini mengirimnya ke bagian kejiwaan di rumah sakit itu. "B-b-bagaimana denganmu sendiri?"

Untuk pertama kalinya, pemuda itu menatap Hinata. "Apa?"

"S-siapa namamu? D-dan a-apa yang kau lakukan sendirian di sana?"

Pemuda itu kembali ke kedipannya. "Gaara. Dan apa yang kulakukan bukan urusanmu."

"M-maafkan aku," cicit Hinata.

Gaara hanya menggeram.

"A-apa yang tadi mau kau beli dari m-mesin?" tanya Hinata takut-takut.

Gaara terdiam selama beberapa saat, ia mengernyit seolah-olah pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang sulit. "Aku tidak sempat memutuskan karena kau keburu membutakanku," katanya dan membuat Hinata meminta maaf lagi. Ia menghela napas, "Sudahlah dengan semua minta maaf itu. Semua sudah terjadi dan mataku juga sudah lebih baik."

Hinata mengangguk, lalu perlahan-lahan dia mundur, "a-aku akan segera kembali." Secepat kilat gadis itu keluar dari ruang UGD, lalu berlari di sepanjang koridor mencari mesin penjual minuman. Ketika menemukan satu, ia langsung memasukkan beberapa koin sepuluh yen dan memencet tombol Pocari.

Ketika ia kembali, ia menemukan Gaara masih mengedip-ngedip, meskipun dengan kecepatan lebih lambat dari sebelumnya, dan sedang mengetik sesuatu pada layar iPhone-nya. Ia mendongak ketika melihat Hinata mendekatinya.

Dengan malu-malu gadis itu menyodorkan botol Pocari yang tadi dibelinya. Gaara tidak mengucapkan apa-apa saat mengambil botol tersebut. Ia membuka tutupnya dan meminumnya.

Dalam sekali minum, ia langsung mengosongkan botolnya, dan mengembalikannya pada Hinata. Gadis itu menerima botol kosongnya lalu celingak-celinguk mencari keranjang sampah.

Setelah Hinata kembali dari membuang sampah, Gaara sudah berdiri. Matanya tidak lagi sebengkak dan semerah ketika Hinata pertama kali melihatnya. Malahan sekarang setelah Hinata perhatikan, warna mata lelaki itu adalah salah satu warna hijau yang paling indah yang pernah dilihatnya. Hinata langsung menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir pikiran tersebut lalu memarahi dirinya.

"Aku akan menyelesaikan administrasinya," kata lelaki itu. Hinata harus mendongak untuk melihatnya. Ketika bertemu dengannya di stadion tadi, lelaki itu membungkuk karena kesakitan, sehingga Hinata tidak tahu tingginya yang sebenarnya. Sekarang setelah matanya kembali normal, lelaki itu menjulang di hadapannya.

Hinata mengangguk-angguk.

Gaara terdiam selama beberapa saat seperti menunggu Hinata mengatakan sesuatu. Ketika gadis itu tidak mengatakan apapun, ia meninggalkannya dan keluar dari ruang UGD untuk mengurus administrasi.

Hinata mengikutinya.

Setelah selesai, Gaara berbalik dan memaki karena kaget menemukan Hinata berdiri di belakangnya. "Kau sengaja melakukan itu?"

Hinata menggeleng.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"M-menemanimu?"

Gaara memutar matanya. "Saat tadi aku bilang aku akan mengurus administrasi, itu artinya aku menyuruhmu pergi," kemudian ia menambahkan dengan gusar, "Lagipula aku bukan bocah lima tahun yang harus ditemani kemana-kemana!"

Hinata terkesiap. "B-begitukah? Ummm, o-oke...m-maafkan aku, sekali lagi," ucapnya sambil membungkuk beberapa kali.

Gaara hanya mengangkat bahu. "Ya, ya," katanya lalu berjalan meninggalkan Hinata.

Hinata tahu itu adalah akhir dari perjumpaan mereka, dan Hinata sama sekali tidak ada niat untuk mengikutinya. Namun karena mereka sama-sama ingin keluar dari rumah sakit, mereka pun berjalan ke arah yang sama. Gaara di depan, sementara Hinata di belakang. Ketika sampai di luar, Gaara berbalik dan memelototi Hinata. "Mengapa kau mengikutiku?" desisnya.

Hinata menggeleng-geleng. "A-aku tidak mengikutimu. A-aku ingin ke halte bus."

Halte bus stadion terletak persis di seberangnya, sehingga secara otomatis Hinata harus berjalan ke arah stadion, membuatnya terlihat seperti mengikuti Gaara yang tujuannya adalah stadion.

Ketika sampai di depan stadion, Hinata berjalan lurus menuju tempat penyeberangan, sementara Gaara berbelok ke kanan masuk ke stadion, menuju ke tempat parkir.

Hinata menunggu lampu bagi pejalan kaki berubah menjadi hijau di tempat penyeberangan. Insiden dengan Gaara si MVP tadi selama beberapa saat membuatnya melupakan kemenangan Konohagakure serta rencananya untuk menyelinap ke restoran tempat perayaan kemenangan diselenggarakan. Ia melihat jam pada ponselnya dan menyadari saat itu sudah sangat sore. Dimanapun perayaan kemenangan tersebut diselenggarakan pasti tempatnya sudah berpindah ke suatu bar dimana mereka bisa melanjutkan pesta sampai tengah malam nanti.

Hinata menghela napas. Saat ia mendongak, lampu telah berubah menjadi hijau dan ia pun melangkah untuk menyeberang.

Langkahnya terhenti ketika ia merasa lengannya ditarik ke belakang. Hinata berteriak, hanya saja saat ia menoleh untuk melihat siapa yang mendadak menariknya, teriakannya langsung berhenti.

Gaara berdiri di sana, mengernyit memandang Hinata.

"Kau ini orangnya kagetan, ya?"

Hinata berbalik menghadapnya, dan Gaara langsung melepaskan pegangannya. "A-ada yang bisa kubantu?"

"Biar kuantar kau. Bus baru datang..." Ia melihat jam tangan di lengan kirinya, "...setengah jam lagi."

Hinata terlalu syok mendengat tawaran tersebut. Bibirnya hanya bergerak-gerak tanpa suara selama beberapa saat sebelum akhirnya bertanya, "D-dari mana kau tahu?"

"Aku beberapa kali naik bus dari sini." Ia berbalik lalu berjalan kembali ke stadion. Hinata yang masih terlalu syok menemukan dirinya mematung di tempat. Karena merasa si gadis tidak mengikutinya, Gaara pun menoleh ke belakang. Saat menemukan gadis itu masih berdiri di tempatnya semula, ia berteriak, "CEPATLAH!"

Seakan-akan sebuah alarm baru saja berbunyi di kepalanya, Hinata langsung bergerak dan berlari mengejar si pemuda berambut merah.

Mereka berdua berjalan menuju motor Gaara yang merupakan satu-satunya motor yang masih terparkir di stadion jam segitu. Hinata tidak pernah naik motor seumur hidupnya, dan sampai beberapa menit yang lalu ia yakin bahwa seumur hidupnya ia tidak akan pernah naik motor karena dari apa yang ia ketahui motor selalu diasosiasikan dengan suatu tindakan kriminal dan berbahaya.

Hinata menelan ludah, ia sudah hampir berkata pada Gaara bahwa ia tidak apa-apa menunggu setengah jam untuk naik bus, namun lelaki itu sudah mendahuluinya. "Aku cuman punya satu helm," ia pun menaruh helm tersebut di tangan Hinata.

Gadis itu mematung di sana dengan helm di tangannya saat Gaara menaiki motornya, memundurkannya, dan menyalakan mesinnya.

Ia mengernyit melihat Hinata yang masih berdiri dengan posisi yang sama. "CEPATLAH! Kau tidak bisa pakai helm?"

"B-b-bisa, kok," jawab Hinata terbata-bata saat mengenakan helm-nya. Begitu helmnya terpasang dengan benar, Hinata dengan takut-takut menaiki motor tersebut. Ia harus berpegangan pada bahu Gaara karena bangku motor tersebut sangat tinggi. Ketika ia duduk, ia baru menyadari bahwa tempat duduk tersebut sangat sempit dengan posisi menukik, sehingga mau tidak mau tubuhnya menempel pada Gaara.

"Kau pernah naik motor sebelumnya?"

"T-t-tidak," cicit Hinata dari dalam helm-nya.

Gaara mendengus, "sudah kuduga," katanya lebih kepada dirinya sendiri. "Kau harus berpegangan yang erat. Mengerti?"

Hinata mengangguk. Ketika sadar bahwa Gaara tidak bisa melihat anggukannya, ia cepat-cepat berkata, "Mengerti."

"Rumahmu dimana?"

Hinata memberitahu Gaara alamat gedung apartemennya, yang sebenarnya cukup jauh dari stadion. Ia harus menaiki dua bus berbeda serta melewati lima stasiun kereta api untuk mencapai tempat tersebut.

Gaara melaju dengan kecepatan normal saat keluar dari stadion, namun begitu mereka memasuki jalan raya, segala teror yang dirasakan Hinata soal motor mulai menjadi kenyataan. Akibat inersia ia nyaris terpelanting ke belakang. Dan Gaara tidak bercanda saat ia tadi memperingatkan Hinata untuk berpegangan dengan erat. Gadis itu mencengkeram jaket lelaki itu seolah-olah itu adalah harapan terakhir hidupnya. Dan dalam kondisinya saat itu metafora itu sepertinya cukup sesuai.

Di hadapan mereka lampu hijau berubah menjadi kuning, dan bukannya memelankan kendaraan, Gaara malah menaikkan kecepatan motornya. Hinata nyaris menangis dan saking cepatnya Hinata bisa merasakan cengkeramannya pada jaket lelaki itu perlahan-lahan hampir terlepas. Sebelum cengkeramannya benar-benar terlepas, Hinata langsung memeluk tubuh lelaki di depannya dengan erat lalu memejamkan mata. Dalam hati ia berdoa pada apapun yang ada di atas sana agar perjalanan ini bukanlah perjalanannya menuju surga, sebab masih banyak hal yang ingin ia lakukan di dunia ini yang belum sempat ia lakukan.

Hinata bisa merasakan pelupuk matanya basah karena air mata, namun ia tidak peduli. Ia menghitung setiap detik yang lewat dan berharap detik selanjutnya Gaara akan memelankan motornya dan mereka sudah tiba di depan gedung apartemennya. Namun harapan Hinata tersebut tak kunjung datang karena ia merasa seperti mengalami perjalanan tersebut selama bertahun-tahun.

Hinata nyaris tidak sadar ketika Gaara telah menurunkan kecepatannya hingga akhirnya mereka benar-benar berhenti. Gadis itu masih memeluk Gaara dengan sekuat tenaga dan memejamkan mata. Pemuda itu sudah menegakkan tubuhnya, ia menoleh ke belakang dan nyaris tertawa melihat Hinata menolak melepaskan pelukannya.

Ia pun meletakkan tangannya di atas tangan Hinata. Dan hampir seketika perempuan itu langsung membuka mata melepaskan pelukannya. Wajahnya memerah ketika melihat Gaara memandangnya dengan geli. Ia nyaris terjatuh ketika hendak turun dari motor dengan terburu-buru. Ketika kakinya akhirnya menginjak tanah, Hinata berusaha menahan dirinya agar tidak langsung terduduk di tanah dengan lega. Ia melepaskan helm-nya lalu mengembalikannya pada Gaara dengan gerakan menghentak agar lelaki itu tahu bahwa ia kesal.

Gaara menyeringai melihat wajah merah Hinata yang basah karena air mata serta usaha gadis itu yang menunduk untuk menyembunyikan wajahnya.

Dengan malu-malu, Hinata membalas pandangan Gaara, dan saat itulah ia sadar. "K-kau sengaja melakukannya?"

Lelaki itu terus menyeringai, sebelum akhirnya terkekeh. Dia memang sengaja! Hinata menggertakkan gigi lalu mengepalkan tangannya, namun tidak tahu harus melakukan apa. Ia tidak yakin bisa melukai lelaki yang jelas-jelas bertubuh lebih besar darinya itu. Jadi Hinata langsung berbalik dan menemukan bahwa ia bukan di blok tempat gedung apartemennya berada.

Ia menengok ke kanan dan ke kiri lalu menyadari bahwa ia hanya beberapa blok dari rumahnya. Mengapa Gaara menurunkannya di sini?

Lelaki tersebut turun dari motornya dan mengunci kendaraan tersebut. Dan seakan-akan bisa membaca pikirannya, Gaara berkata, "Waktu kau menjelaskan alamat rumahmu, aku teringat kalau di dekat situ ada kedai ramen yang sangat enak. Aku lapar jadi aku mau makan."

Hinata hanya memberinya pandangan ganjil.

"Kalau kau mau langsung pulang silahkan. Gedung apartemenmu harusnya dekat dari sini, 'kan?"

Hinata mengangguk.

Ya, Hinata memang sama sekali tidak berniat makan bersama lelaki yang nyaris mengambil nyawanya ini. Ia lebih baik pulang ke kehangatan apartemennya yang kecil dan nyaman lalu menikmati semangkuk mie instan.

Meskipun saat itu ia sangat kesal pada si pemuda berambut merah pemarah dan kasar itu, namun Hinata tidak bisa menyangkal bahwa perjalanan dengan motor memang sangat cepat. Bila tadi ia naik kendaraan umum, mungkin ia baru sampai rumah sekitar jam delapan malam. Namun dengan motor, mereka hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk menyeberangi kota Tokyo dengan segala kemacetannya.

Jadi menelan semua perasaan kesalnya, Hinata pun berbalik dan membungkuk pada Gaara. "T-terima kasih t-tumpangannya," katanya sebelum menegakkan tubuh lagi dan berbalik untuk meninggalkan lelaki itu, mungkin untuk selamanya.

Mereka tidak berasal dari sekolah yang sama. Lelaki itu sekolah di Sunagakure yang terletak di Perfektur Suna yang berada di sebelah utara kota Tokyo. Sementara Hinata sekolah di Konohagure yang terletak di Perfektur Konoha yang terletak di sebelah selatan kota Tokyo. Rumah mereka juga pasti sama jauhnya, ditambah lagi mereka tidak bergaul di lingkungan yang sama. Kemungkinan yang sangat-sangat-sangat kecil apabila mereka akan bertemu lagi.

Namun ternyata alam semesta berkata lain. Karena nampaknya "selamanya" seperti yang dipikirkan oleh Hinata itu hanya berlangsung...tiga detik.

Sebab baru saja Hinata melangkahkan kakinya ke arah yang berbeda dari Gaara, seorang gadis berambut cokelat mendadak menghadang jalannya.

"Hinata Hyuuga! Kemana saja kau? Aku mencarimu setengah mati! Aku meneleponimu tapi kau tidak menjawab. Aku mendatangi apartemenmu tapi kata orang gila di seberang kamarmu itu kau pergi dari siang! Apa kau tidak tahu kalau ini hari Sabtu?! Hari tersibuk kedai kita! Dan kau memutuskan untuk ambil libur hari ini?!"

"Eh...A-Ayako..." Belum lagi Hinata bisa menjelaskan bahwa ia telah mendapat izin dari Ichiraku, pemilik kedai tempat Hinata bekerja, Ayako sudah menarik Hinata ke arah kedai yang hendak dituju Gaara.


Review, Please!