"…jangan pergi. Hanya kau yang satu-satunya kumiliki."


Allende

.

Naruto © Masashi Kishimoto. Tidak mengambil keuntungan materiil apapun dari fanfiksi ini.


"If only I have one chance to something to you, I will give you the ability to see through my eyes

just so you know how precious you are to me."


Dunianya hancur sejak hari itu.

Ia berjalan dengan langkah berat menuju ke kantor Hokage pagi itu, angin dingin bergesekkan dengan kulitnya yang pucat. Matanya yang tampak buram memandang ke depan dengan tak fokus, hingga pandangannya menangkap sosok dua orang teman setimnya yang tengah melintas di ujung gang.

Ia mengangkat tangannya, memberikan lambaian singkat seraya memanggil nama mereka.

Dua temannya itu tampak berhenti sejenak, sebelum kemudian berbelok ke arah lain.

Ia terdiam sebentar, sebelum kemudian berpikir bahwa mungkin mereka tak mendengar suaranya tadi. Ia melambai sekali lagi, kali ini dengan suara lebih keras.

Mereka tidak menoleh.


Ia melanjutkan perjalanannya dengan pikiran yang berkecamuk, rasa malu yang sangat menusuk dadanya. Semakin ia berusaha untuk melupakan hal itu, semakin kuat perasaan tadi menghujam dirinya.

Ia memasuki kantor Hokage tanpa suara.

Pandangannya bertemu dengan mata penjaga yang berdiri di depan pintu. Ia tersenyum, lalu menyapa penjaga itu—yang dikenalnya dengan cukup baik.

Namun ia tak memperoleh balasan.

Rekannya itu hanya memalingkan pandangannya ke arah lain dengan buru-buru, seolah ia tak lebih dari udara kosong yang tak ada wujudnya. Ia memanggil penjaga yang berdiri di sisi lain—temannya yang cukup akrab sewaktu di akademi—namun temannya itu hanya memicingkan matanya sebelum kemudian melempar pandangannya ke jendela.

Ia tak memperoleh balasan apapun.

Mencoba untuk tak mengacuhkan hal itu, ia mengangguk sopan sebelum kemudian melanjutkan perjalanannya memasuki koridor. Di tengah kesunyian, telinganya yang tajam menangkap suara percakapan yang diucapkan dengan suara rendah.

"Bagaimana mungkin ia masih bisa bersikap seperti itu setelah mengkhianati desa kita, Hachi?"

"Aku tak tahu. Mungkin ia tak punya malu lagi, Tetsuya."


Ia memperhatikan putranya yang baru pulang dari akademi, mata anak itu berkilat-kilat riang.

"Tou-san," anak itu menghampiri ayahnya dengan wajah berseri-seri, sebelum kemudian tersenyum padanya. "Tou-san sudah pulang dari misi? Cepat sekali."

Ia hanya membalas dengan anggukan kecil, sebelum kemudian mengacak rambut putranya dengan sayang.

"Ya, misi hari ini berjalan lancar, Kakashi," ia berkata dengan senyum yang tak mencapai mata. "Kau sudah makan siang?"

Putranya, Hatake Kakashi, mengangguk segera, lalu membuka tasnya untuk mengambil sesuatu.

"Aku beli yakisoba untuk Tou-san tadi," katanya ceria.

Ia mengambil bungkusan berisi yakisoba yang diserahkan putranya itu, dan menaruhnya di meja. "Terima kasih," katanya pelan—nada suaranya tampak seolah terdengar dari kejauhan. "Aku akan membuat teh, ya."

Ia tak memakan yakisoba-nya sama sekali setelah itu.


Sayangnya, ia tak mengetahui kalau Kakashi menyadari bahwa yakisoba yang dibelinya tadi masih tersimpan utuh di lemari makan.


Malam itu, ia memasak teppanyaki untuk Kakashi dan dirinya. Ia menyajikan teppanyaki panas itu dengan senyum yang tak mencapai mata, gerakan tangannya tampak kaku seolah sendi-sendinya terserang radang dingin.

Kakashi menatap masakannya dengan wajah berseri-seri. "Wah, kelihatannya enak. Terima kasih, Tou-san," putranya mengambil sumpit, sebelum kemudian mengucapkan 'itadakimasu' dan menyantap makanannya dengan lahap.

Ia hanya tersenyum kaku tanpa membalas apapun, hanya menyentuh nasinya dengan sumpit namun tak menyuapnya sama sekali.

"Tou-san," Kakashi meletakkan sumpitnya mendadak, memecah keheningan tiba-tiba. Matanya menatap Ayahnya dengan ekspresi yang menyiratkan sorot cemas. "Tou-san tidak… makan?"

Ia segera tersadar dari lamunannya. Diangkatnya wajahnya perlahan, sebelum kemudian tersenyum pada putranya dengan gerakan kaku yang dingin.

"Aku…." Ia berhenti sejenak, seolah mencari-cari jawaban yang tepat. "…sedang menikmati makanannya, Kakashi. Jadi aku makan pelan-pelan," ia tertawa pelan, lalu menyuap nasinya sedikit.

Ia tak menyadari bahwa di telinga Kakashi, suara tawa tadi terdengar seperti gumaman serak yang kosong dan tak berjiwa.

"Oh…" Kakashi mengangguk, lalu melanjutkan makannya lagi.

Namun lima menit kemudian, anak itu mengangkat kepalanya lagi, dan menatap Ayahnya lekat-lekat.

"Tou-san…"panggilnya dengan suara pelan. "Apa ada… hal yang mengganggu Tou-san?"

Ia terpaku sejenak, namun berhasil menguasai dirinya lagi. Ekspresinya tampak tenang seperti biasa ketika ia memandang putranya itu dengan senyum yang tak mencapai mata.

"Tak ada," balasnya lembut. "Semuanya baik-baik saja, Kakashi."


Ia tak menyadari bahwa Kakashi sudah tahu tentang hal itu.


Ketika ia membuka pintu, ia mendapati Kakashi yang tengah tertidur di sofa—sebuah komik yang terbuka menutupi wajahnya. Ia tersenyum kecil, lalu menutup pintu dan menghampiri putranya itu.

Disingkirkannya komik yang menutupi wajah anak itu perlahan, lalu ia mengangkat Kakashi untuk memindahkannya ke kamar. Anak itu hanya menggerakkan kepalanya sedikit begitu menyentuh kasur, tak terbangun sama sekali. Sepertinya ia sudah terlelap sepenuhnya.

Ia tersenyum dalam hati, sebelum kemudian menyelimuti putranya itu dengan hati-hati. Wajah Kakashi yang tengah tertidur tampak begitu damai.

Bayangan Kakashi yang mendengar apa yang diucapkan orang-orang tentangnya melintas di kepalanya, dan ia melihat wajah damai itu berganti dengan ekspresi malu dan jijik.

Ia mundur selangkah, rasa nyeri yang dingin perlahan menusuk dadanya.

Apakah Kakashi akan membencinya jika ia mengetahui tentang hal itu?

Ia menggelengkan kepala perlahan, tak bisa membayangkan jika mata putranya yang selalu menatapnya dengan ekspresi ceria berubah menjadi sorot kebencian. Ia tak bisa.

Dunianya sudah hancur sepenuhnya, dan satu-satunya hal yang membuatnya masih bisa bernapas hingga hari ini sejak kejadian itu adalah Kakashi.

Putranya tersayang.

Ia mencondongkan badannya, lalu mengusap rambut putranya lembut dan mengucapkan 'oyasumi, Kakashi', sebelum kemudian mematikan lampu dan menutup pintu.

.

Ia sama sekali tak tahu bahwa ketika pintu sudah ditutup, Kakashi menurunkan selimutnya dan membalas 'oyasumi, Tou-san' dengan senyuman kecil di wajahnya.


Malam itu, ia mengasah tanto-nya—pedang pendek itu terasa dingin di genggamannya.


Pagi tiba seperti biasa. Kakashi, yang baru saja menyelesaikan sarapannya, mengambil tasnya dan berjalan ke pintu.

"Aku berangkat, Tou-san!"

Ia mematikan keran di wastafel, lalu menghampiri putranya dengan ekpsresi tenang seperti biasa. Namun Kakashi tak segera berjalan keluar, matanya memandangi Ayahnya lekat-lekat seolah tengah mengawasi sesuatu.

"Tou-san…"

Ia terdiam, dadanya terasa dingin begitu mendengar nada suara putranya tadi. Kakashi tampak… ketakutan sekaligus waspada di saat yang bersamaan.

"Ada apa, Kakashi?"

Anak itu menggerakkan kakinya perlahan, matanya menatap ke arah lain selama beberapa detik—sebelum kemudian beralih padanya lagi.

"Waktu aku pulang nanti… Tou-san akan tetap disini, kan?"

Kakashi mengatakannya dengan nada seolah hidupnya bergantung pada jawaban dari pertanyaan itu.

Rasa dingin yang hening melingkupi dadanya sesaat, namun ia segera menguasai dirinya lagi dan menatap putranya dengan senyum samar. "Tentu saja. Hari ini aku sedang tidak ada misi."

Kakashi memiringkan kepalanya, seakan tak yakin pada apa yang dikatakannya barusan.

"Maksudku…" anak itu menggigit bibir bawahnya sejenak, sebelum kemudian menatapnya lagi dengan mata yang melebar. "Tou-san tidak akan pergi, kan?"

Ia membeku.

"Tidak," balasnya pada akhirnya. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya, meskipun lidahnya terasa seolah baru saja ditusuk oleh sebilah kunai yang beracun.

Kakashi memandanginya tanpa suara selama beberapa detik. Akhirnya, anak itu mengangguk dan membuka pintu dengan gerakan perlahan.

Ia menggenggam tangan putranya itu sebelum pintu terbuka sepenuhnya.

"Tou-san?" Kakashi mengangkat wajahnya, memandanginya dengan tatapan bertanya. Ia tak menjawab, hanya merendahkan badannya sebelum kemudian merangkul putra satu-satunya itu dalam sebuah pelukan tanpa suara.

"Kakashi…" bisiknya pelan, suaranya tertahan oleh helaian rambut Kakashi yang menutupi separuh wajahnya. Anak itu tampak terpaku sejenak, namun segera membalas pelukannya.

"Tou-san?"

Ia menghela napas panjang, sebelum kemudian meletakkan dagunya lembut di atas kepala putranya. "Mungkin aku terlambat mengatakan ini," katanya serius, "tapi aku ingin kau mengetahui bahwa…"

Hening. Kakashi menajamkan telinganya, menunggu dengan dada berdebar-debar.

"Aku bangga padamu, Kakashi."

Ia melepas pelukannya perlahan setelah itu, namun tangan Kakashi menahannya—dan mereka berdua tetap berada dalam posisi itu selama beberapa menit, keheningan yang hangat melingkupi mereka seperti selimut di musim dingin.


("Aku menyayangimu, Tou-san.")


.

.

Bersambung.