Disclaimer: Dari ribuan Author yang ada di fandom Naruto tampaknya belum ada yang berani mengambil alih Naruto dari Masashi Kishimoto

Rated: T atau M?

Pair: SasuNaruHina (ini pair?)

Wanted: segala jenis yang buruk-buruk dan jelek-jelek ada di sini.

.

.

.

Gadis itu langsung terjatuh di hadapan altar Tuhan. Menyesali takdir yang datang pada dirinya. "Bunda Maria… kenapa ini harus terjadi padaku…?" tangisnya pedih sambil meraung mengeluarkan segala beban yang ditanggungnya.

Dia tak sadar jika selama dia menangis dan meraung seseorang telah hadir di balik punggungnya dan mendengarkan tangis yang dikeluarkannya

"Ini adalah rumah Tuhan, nona. Jika kau meminta pasti Tuhan akan mengabulkannya." Kata seorang Pastor yang berdiri di belakangnya.

Gadis itu menoleh sebelum kembali menjerit dan menangis. "Father, Tuhan membenciku! Dia tak membutuhkanku! Sebanyak apapun aku memujinya dan memuliakannya, dia selalu saja mencampakanku! Aku sudah muak! Bahkan dia tak mau mengabulkan satu-satunya permintaanku! Hiks… "

"Nona…"

Hinata POV (FLASH BACK)

Namaku Hinata Uzumaki, seorang istri dari Naruto Uzumaki, seorang pekerja kantoran biasa yang sebelum meminangku telah menjalin hubungan persahabatan denganku selama lima tahun. Selama itu aku mengira jika perasaanku padanya hanya bertepuk sebelah tangan semata, dan au tak akan dapat mengira seberapa besar kebahagiaanku saat Naruto-kun datang ke rumahku dan meminta pada ayahku agar dia dapat memilikiku selamanya.

Dan jika kau bertanya bagaimana perasaanku saat ini, setelah menjalin mahligai rumah tangga bersamanya selama empat tahun, tentu saja aku akan menjawab:

"Aku adalah wanita paling bahagia di dunia ini."

Itulah jawabanku.

Memang terdengar klise dan naif, namun memang itulah yang kurasakan. Aku memiliki seorang suami yang telah kunikahi selama empat tahun, dia adalah pria yang sangat baik hati dan selalu mampu membuatku tersenyum. Meski kami belum memiliki momongan, aku merasa hidupku sudah sangat sempurna sekarang.

Tak ada lagi yang bisa kuminta lagi pada Tuhan saat ini, hanya ada satu hal saja yang kuharapkan.

'Semoga kebahagiaan yang kurasakan saat ini akan berlangsung selamanya dan tak akan pernah berakhir.'

Pagi ini aku berkunjung ke rumah kedua orangtuaku di Kyoto. Tak seperti kunjungan-kunjungan sebelumnya dimana Naruto-kun akan dengan senang hati menemaniku pergi, hari ini berbeda, karena alasan pekerjaan, aku terpaksa menelan kekecewaan dan pergi seorang diri ke kampung halamanku di Kyoto.

Pukul dua belas siang, aku sampai di rumahku yang besar dan bergaya Jepang klasik, rasa lega memenuhi hatiku begitu tiba di tempat di mana aku dibesarkan sebagai tuan putri sebuah keluar kaya. Rasa lelah yang amat sangat segera melanda tubuhku, tak heran selama empat jam terakhir aku baru saja menaiki dua transportasi umum untuk sampai ke tempat ini.

"Kaasan, Tousan, Hanabi-chan. Aku pulang." Kataku sambil membuka pintu geser rumahku sambil memasang senyum rindu karena sudah sejak dua bulan sejak terakhir kali aku datang untuk berkujung.

Hanabi yang mendengar seruanku langsung keluar dan memelukku dengan erat. "Nee-chan, aku rindu!" katanya riang. Dia melepas pelukannya pada tubuhku sambil berkata lagi. "Nee-chan sedirian? Naruto-nii tak menemani ya?" tanyanya saat menyadari jika aku hanya seorang diri di sini.

"Iya, dia ada pekerjaan penting yang memaksanya untuk tetap di Tokyo. Namun dia menitipkan salam untuk kalian semua dan berharap kalian sehat-sehat saja." Jawabku sambil membelai surai kecoklatan adikku dengan sayang. Lalu aku kembali bertanya padanya. "Di mana Tousan? Apa dia tak ada di rumah?"

Hanabi mengangguk. "Ya, dia sedang menemui Kaasan. Sejak Nee-chan meninggalkan rumah empat tahun lalu, Tousan jadi semakin sering datang ke tempat Kaasan dan juga semakin protektif kepadaku. Dia seolah tak rela membiarkan Nee-chan menikah." Terangnya panjang lebar. "Nanti bagaimana denganku ya?"

"Hihihi, kau pasti akan semakin kesulitan nanti Hanabi-chan." Kataku sambil melepas alas kaki yang kupakai. "Kiba-kun harus benar-benar pandai merayu Tousan agar Tousan rela melepasmu."

Gadis berusia dua puluh dua tahun itu merona. "Kakak bisa saja…" katanya malu-malu. "Lagipula itu tak akan sesulit yang dilakukan Naruto-nii, dia tak hanya harus membujuk Tousan, tapi juga Nii-san yang juga sangat protektif pada Nee-chan."

Aku mengangguk. "Dia memang hebat.." lirihku, sebelum Hanabi sempat menggodaku aku menambahkan, "Aku akan berada di sini selama empat hari. Kurasa kamarku yang lama masih juga belum berubah kan?

"Tak ada yang berubah, Tousan melarang siapapun untuk memindah dan mengutak-atik kamar Nee-chan. Dia berkata 'Hinata memang sudah menikah, namun ini tetap adalah rumahnya dan kamar ini tetap adalah kamarnya. Suatu saat nanti dia akan pulang dan menempatinya.'." Kata gadis itu panjang lebar. "Tapi…"

"Tapi?"

"Tapi kurasa kamar itu akan terasa dingin. Soalnya kan tak ada Naruto-nii yang akan memeluk Nee-chan di sana." Katanya jahil sambil berlari masuk rumah sebelum aku sempat mencubit pipi gembilnya.

Aku tertawa melihat tingkahnya. "Dasar jahil!" seruku sambil ikut masuk ke dalam rumah.

Rumah ini belum berubah banyak, masih sama seperti sejak terakhir kalinya aku berkunjung dan di sini aku merasa… tenang.

"Aku pulang…"

"Hinata, sebaiknya kau tak terlalu sering datang kemari." Tegur ayahku saat malam mulai menjelang. Dia memintaku untuk duduk di hadapannya sambil bersimpuh di ruang keluarga Hyuuga bersama dengan Hanabi. "Kau tahu kan, akan menjadi aib bagi keluarga jika putrinya yang sudah menikah terlalu sering kembali lagi ke rumah orang tuanya." Katanya tegas.

Aku mengangguk pelan. "Maafkan aku, Tousan…" aku meminta maaf sambil menunduk.

Namun tampaknya Hanabi tak semudah itu mengalah, "Tousan kenapa berkata seperti itu pada Nee-chan?!" protes Hanabi jengkel saat melihat gesturku yang tak ingin atau mungkin tak bisa melawan Tousan. "Nee-chan kan datang untung menghadiri acara pernikahan Nii-san! Tak seharusnya Tousan bicara seperti itu padanya!"

"Su…sudahlah, Hanabi-chan…" bujukku agar adik perempuanku itu kembali duduk dengan tenang dan menghentikan perlawanannya. "Aku juga yang salah karena terlalu sering berkunjung kemari."

Hanabi tampak tak percaya mendengar kata-kataku dan akhirnya memutuskan untuk kembali duduk meski raut wajahnya tampak belum terlalu ikhlas menerima pengakuan kekalahanku. "Aku masih berpendapat jika Nee-chan tak bersalah." Gumamnya lirih.

"Kau akan pulang besok, Hinata, setelah resepsi kakakmu selesai kau akan langsung kembali ke Tokyo." Tousan mengambil keputusan sepihak sambil bangkit berdiri dan keluar dari ruangan itu tanpa menoleh lagi padaku atau Hanabi.

"Tunggu Tousan! Kau tak bisa…" aku langsung menarik bagian belakang Tsumugi yang dikenakan Hanabi untuk mencegahnya melangkah lebih jauh. Dia menoleh dan menatapku dengan pandangan mata tak percaya. "Kenapa Nee-chan tak membantah?!"

Aku menggeleng pelan. "Tousan benar, aku hanya akan membuat nama keluarga kita buruk jika terlalu lama di sini." Kataku sambil berusaha tersenyum lembut pada adik yang empat tahun lebih muda dariku itu. "Aku akan pulang esok setelah resepsi pernikahan Niisan dan Tenten-san selesai."

Hanabi masih tampak tak menerima keputusanku. "Terserah Nee-chan sajalah! Karena sifat Nee-chan yang seperti itulah Nee-chan selalu dihina dan direndahkan oleh warga desa tahu!" teriaknya marah sambil meninggalkanku sendirian di ruang keluarga yang sudah berusia ratusan tahun itu untuk merenungi keputusanku.

Aku mendesah, "Apa menuruti nasehat Tousan merupakan sesuatu yang salah?" tanyaku pada diri sendiri.

Aku menoleh ke sudut ruangan demi melihat altar yang dibangun Tousan untuk mengenang dan menghormati para leluhur kami yang telah tiada, di paling depan sekumpulan foto tua itu kulihat foto yang lebih baru, foto seorang wanita yang memiliki wajah serupa denganku, dia memiliki mata bulan khas keluarga Hyuuga dan rambut indigo yang diturunkannya padaku.

Wanita itulah orang yang telah melahirkanku, ibuku.

"Kaasan maafkan aku. Kurasa aku tak akan sempat berkunjung ke makam Kaasan esok." Bisikku pelan sambil menyentuh bingkai foto itu lembut. "Ah. Sebaikya aku mengabari Naruto-kun tentang perubahan kepulanganku…"

"Nee-chan, aku mau minta maaf mengenai sikapku kemarin. Kemarin aku benar-benar lepas kendali sampai-sampai berkata sekasar itu pada Nee-chan." Kata Hanabi sambil mencengkram erat bagian samping irotomesode yang dikenakannya untuk menghadiri pernikahan kakak sepupu kami hari ini. "Tapi aku tetap berpendapat jika sifat Nee-chan yang terlalu naif dan penurut itu bukan suatu hal yang baik, suatu saat nanti Nee-chan pasti akan menghadapi masalah jika Nee-chan tak merubah sikap Nee-chan."

Aku mengangguk sambil tersenyum padanya, "Aku mengerti, Hanabi-chan." Kataku lembut sambil membelai rambutnya pelan.

"Oh ya, Nee-chan kelihatan cantik sekali dengan Kurotomesode itu. Sayang sekali lambang keluarga kakak sudah berubah menjadi spiral sekarang." Pujinya sambil menggandeng tanganku menuju ke pusat acara tempat Neji Hyuuga dan istri barunya Tenten Hyuuga menunggu sambil menyapa para tamu.

Tenten langsung memelukku sambil tertawa lebar saat melihatku menghampirinya. "Aku senang kau datang, Hina-chan. Sendirian saja? Mana Naruto?" tanyanya riang.

Aku tersenyum pelan membalas tawa riang gadis itu. "Naruto-kun tidak bisa datang, ada proyek penting yang harus dilakukannya di Tokyo. Namun dia titip salam pada kalian, dia berharap kalian akan bahagia." Kataku dengan nada setenang mungkin.

"Hinata-san, kau akan tinggal di sini lebih lama kan? Kemarin Hanabi-san menelphonku mengatakan jika kau akan tinggal di sini selama empat hari?" tanya kakak sepupuku masih dengan menggunakan bahasa formal.

Aku menggeleng. "Maaf, Nii-san. Aku tak bisa. Tousan melarangku sehingga aku akan pulang sore ini juga."

"Sayang sekali, padahal aku ingin kau tinggal lebih lama di sini." Tenten bergumam dengan nada lirih. "Kau sudah mengabari Naruto kan, tentanng perubahan rencanamu ni?" kembali dia bertanya.

"Sudah kucoba, namun dia tak mengangkat telephoneku. Mungkin dia lembur semalam." Aku berkata dengan nada lirih, namun sebuah senyum kusunggingkan agar mereka tak menghawatirkanku. "Namun aku akan menghubunginya lagi sore ini sebelum berangkat ke Tokyo."

Tenten tersenyum puas mendengar kata-kataku. "Syukurlah jika pernikahanmu bahagia, Hina-chan. Aku juga lega kalau ternyata gosip yang sempat berhembus itu hanya bualan si Lee semata. Mungkin dia terlalu banyak minum sake sampai matanya berkunang-kunang."

Aku mengernyitkan alis tak mengerti. "Gosip? Gosip apa?"

"Ah, Lee bilang saat dia ke Tokyo dia melihat Naruto sedang ber… HMP!"

Kata-kata Tenten terhenti saat Nii-san membengkap mulutnya. "Jangan dengarkan Tenten, Hinata-san. Anda tahu jika dia terlalu banyak bergosip dengan Yamanaka Ino sehingga terkadang tak dapat membedakan khayalan dan kenyataan."

Aku mengangguk mengerti, "Oh, begitu ya." Kataku sambil tersenyum, lalu dari kejauhan aku melihat teman semasa SMAku sedang mengobrol di sudut gereja, dan kuputuskan untuk menyapa mereka. "Nii-san, Tenten-san semoga pernikahan kalian diberkati Tuhan. Aku mohon diri dulu, sepertinya masih bayak tamu yang ingin menyapa." Kataku berpamitan.

"Ya, terimakasih juga, Hinata-san." Jawab Nii-san lembut. Setelah aku melangkah beberapa meter menjauhi sepasang pengantin baru itu, aku sempat mendengar Nii-san berbisik sedikit pada Tenten. "Kau hampir saja membuat masalah Tenten, kaupikir bagaimana perasaan Hinata-san jika mendengar suaminya dan sahabatnya melakukan 'itu'."

Aku tak mengerti maksud di balik kata-kata mereka, dan aku jga tak terlalu memikirkannya. Setidaknya saat itu aku memang tak peduli.

Karena aku masih percaya jika suamiku adalah yang terbaik.

Aku mendengarkan HPku yag masih saja menyampaikan pesan dari sang wanita di sebrang sana. "Maaf nomor yang anda tujui sedang sibuk atau di luar jangkauan." Itulah bunyi suara wanita di sebrang sana yang ternyata merupakan operator HP yag dipakai suamiku, bukan selingkuhannya. Aku mendesah kesal, baik HP ataupun Telephone rumah tak ada yang dijawab Naruto-kun. Apa dia lembur lagi ya?

Kulirik jam di bandara Tokyo yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam, aku tak punya pilihan lain selain mencari taxi untuk mengantarku pulang malam ini. Di luar hujan badai yang telah turun berubah semakin buruk sejak setengah jam lalu. Di saat seperti ini aku hanya dapat bersyukur karena saat pendaratan tadi, cuaca masih dapat dikatakan mendukung.

Aku bersyukur saat mendapati masih ada sebuah taxi kosong yang beroperasi meski jam hampir menunjukkan tengah malam. Aku memberikan alamatku pada sang supir taxi. Dan kami mulai meluncur menuju kediaman keluarga Uzumaki.

Keluargaku.

Rumahku sudah terang benderang, berarti Naruto-kun sudah pulang. Namun jika memang sudah pulang, mengapa ia tak menjawab telephoneku?

Kuambil kunci cadangan yang ada di dalam tas kecil yang kusandang, kubuka pintu rumahku sendiri dan kuseret koper yang kugunakan untuk membawa barang-barangku. 'Mungkin Naruto-kun kelelahan dan tertidur hingga tak mendengar suara telephone.' Pikirku sambil menuju kamar yang kupakai berdua dengan Naruto-kun.

Saat tanganku sudah nyaris menyentuh pegangan pintu, aku mendengar suara-suara aneh semacam e… desahan? Dan e… erangan? Dari dalam kamarku. Aku langsung menghentikan gerak tanganku yang sdah setengah memutar pegangan itu.

'Siapa? Siapa yang ada di kamarku?' tanyaku dalam hati saat menyadari jika tak hanya ada suara satu orang saja di dalamnya. 'Apakah ada pencuri? Dan dia menyekap Naruto-kun di kamar sehingga Naruto-kun tak bisa menjawab telephoneku?' berbagai macam firasat dan pikirann buruk mulai mengahantuiku.

Kubuka pintu kamarku hingga tak menimbulkan deritan yang biasanya muncul.

Aku mengintip sedikit untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, namun karena pencahayaan temaram yang ada di kamar, aku terpaksa menyipitkan mataku sedikit agar dapat melihat denga jelas. Dan…

Dan aku nyaris saja menjerit andaikata aku tak membungkam mulutku sendiri dengan tangan kananku.

Apa ini?

Apa?

Apa?

APA?!

Aku mundur beberapa langkah sambil menenteng tas mungilku dan menyeret koperku.

Ini pasti mimpi buruk! Tidak mungkin… tidak mungkin…

Tidak mungkin Naruto-kun sedang bercinta dengan Sasuke-kun! Aku menutup mataku berusaha menghilangkan gambaran mengerikan saat tubuh kecoklatan yang biasa menindihku itu ditindih orang lain. Saat wajahnya yang selalu terlihat tegas dan ceria berubah sayu dan memerah akibat perlakuan orang yang bergender sama dengannya.

Perselingkuhan…

Dengan sesama pria…

Aku menangis perih sambil menyeret barang-barang yang kubawa keluar rumah, tak kupedulikan udara yang kian ekstrem dan terpaan angin yang mampu mematahkan dahan-dahan pohon. Aku tak peduli! Aku hanya ingin pergi! Pergi!

FLASH BACK END (Hinata POV End)

Badai datang di tengah malam. Tetes-tetes dingin air hujan jatuh tanpa ampun di permukaan bumi bagian timur ini, diiringi tiupan angin kencang yang menimbulkan suara seperti anjing melolong, menerbangkan apapun yang menghalangi jalannya. Bulan bersembunyi di balik gulungan awan hitam dan suhu udara terasa lebih dingin dari biasanya.

Bagi mereka yang sedang berada di dalam gereja, suara tetesan air hujan itu bagaikan koor paduan suara yang mengiringi kesedihan seoang gadis yang duduk sinambi menangis pedih di sana. Air yang biasanya begitu lembut dan rapuh kini menampar-nampar ganas jendela kaca patri besar di gereja menguatkan kemarahan sang gadis. Cahaya remang-remang dari luar menyusup ke dalam melalui warna-warni kaca, membuat altar gereja terlihat bagai dalam kaleidoskop. Cantik, namun tak cukup untuk menenangkan gadis bermata salju itu.

"Tinggallah di sini selama beberapa hari, dan biarkan dirimu tenang karena kedamaian Tuhan." Kata sang pastor yang masih saja setia mendengarkan kemarahan sang gadis.

Gadis itu, Hinata masih menangis pelan dan tak menggubris kata-kata sang pastor yang memiliki rambut berwarna maroon itu.

Tiba-tiba dua orang biarawati masuk sambil mengernyitkan alis tak mengerti melihat sang pastor sedang berdiri diam bersama seorang wanita yang basah kuyup dan menangis sesenggukan di depan altar gereja di tengah malam. Awalnya mereka masuk ke dalam Gereja hanya untuk memastikan ke mana perginya Pastor yang biasanya selalu memberikan pencerahan kepada mereka sebelum melakukan ibadah malamnya yang pada hari itu tak muncul jua.

Sang pastor tanpa berbalik langsung berkata pada dua biarawati yang masih tak mengerti dengan keadaan ini. "Shion, Sara, bawa Nona ini ke asrama biarawati dan berikan dia pakaian yang kering dan segelas coklat yang hangat. Rawat dia sebaik-baiknya dan dengarkan ceritanya dengan tulus." Kata pastor itu tenang.

"Ba…baik, Father."

Dua Tahun Setelahnya.

Seorang gadis bersurai indigo panjang yang mengenakan sebuah gaun indah dari kain velvet duduk menatap cermin yang menampilkan wajahnya di usia dua puluh delapan tahun itu.

Dia memejamkan matanya mengingat-ingat kejadian dua tahun silam.

Di masa di mana dia sedang menerima cobaan terbesar dari Tuhan akibat rasa sombong yang tumbuh di hatinya. Di masa di mana dia mulai melupakan keberadaan Dia yang seharusnya terus diingatnya.

Dia sedang duduk di belakang sebuah gereja kecil di sudut kota Tokyo. Entah mengapa, gadis itu tersenyum. Pertama kali dia datang ke gereja ini adalah dua tahun lalu, dan dia tinggal selama dua hari di sana untuk menenagkan batinnya. Setelah dia mendapatkan ketenangan yang dicarinya, gadis bermata salju itu memutuskan untuk menemui suaminya.

Masih diingatnya jelas ketika dia berbicara dengan pemuda bersurai pirang itu saat dia menyerahkan surat gugatan cerainya.

"Kenapa kau lakukan ini, Hinata-chan? Apa salahku sebenarnya?"

"Aku melakukan ini juga demi dirimu, Naruto-kun… aku tak mau menjadi penghalang hubunganmu dengan Sasuke-kun. Karena… aku inginmelihat rang yang aku cintai dan sahabatku sendiri bahagia."

"…Hinata-chan… kau tahu soal itu…?"

"Iya, aku juga tahu kalau Naruto-kun menikahiku hanya karena Nii-san dan Tousanyang meminta kan? Terimakasih karena sudah mau bersamaku dan memberikanku kehidupan sempurna seperti yang kuimpikan. Namun sekarang… raihlah kebahagiaanmu sendiri, Naruto-kun…."

Sebulan kemudian mereka resmi bercerai, dan sejak saat itu Hinata memutuskan untuk memulai kehidupannya sebagai seorang biarawati di gereja kecil yang didatanginya pada malam itu.

Dia berusaha berdedikasi agar dapat menjadi seorang biarawati mumpuni.

Tapi siapa sangka? Dua tahun setelah dia bersumpah di hadapan bapa, dia harus melepas gelarnya sebagai pelayan Tuhan melalui acara ini…

"Kenapa kau melamun? Tidak rela melepas gelar Biarawatimu, Hinata?" seorang pemuda bersurai maroon dengan jas hitam mendatangi gadis yang kini melamun itu.

Hinata tertawa. "Bukankah kau yang harusnya merasa sayang, Father?"

"Tidak." Jawab sang pemuda sambil menyematkan setangkai mawar di jasnya. "Tuhan yang telah mempertemukan kita, meski aku harus menghianati sumpahku sendiri, aku sadar jika jalan hidupku bkanlah untuk menjadi pelayanNya."

Hinata tertawa kecil. "Ya, dan sudah saatnya kita masuk ke Gereja, acara akan segera dimulai."

…dalam ikatan pernikahan.

.

.

.

END

.

.

.

Terinspirasi dari sebuah percakapan absurd yang dilakukanku dan Kak Widya a.k.a Sachi Alcase dalam komentar di FB.

Maaf jika ada yang tak sesuai dengan unsur agama yang sedikit kusinggung dalam FF ini, soalnya Mai Narazaki bukanlah seorang umat Kristiani, pengalaman masuk Gerejaku juga sangat terbatas, jadi maaf ya..

Jika ada komentar atau kritik (Asal bukan flame) tolong review ya?