A/N: Hooolaaa~ author baru di sini :v huehue, ini fanfic pertama yang saya buat, jadi agak gaje, maapkeun. Yah saya ga bisa basa basi sih jadi gatau mau ngomong apa lagi (ngomong?) ini AU nya kaya di desa-desa Eropa lama gitu lah, kaya suasana desa cerita aslinya gitu cuma ga ada tembok 50 meter sama titan. Bila ada typo bertebaran, ceritanya gaje, OOC, dan kesalahan lain maapkan. Pinginnya sih ga OOC, tapi kalo OOC yasudalah (kok gue ngeselin ya) yaaah OOC dikit lah. Ya, yaudah. (canggung)
Shingeki no Kyojin (c) Hajime Isayama
OOC, AU, JeanMika
Selamat membaca~
"Mi-ka-sahhh,"
Sejak lima menit yang lalu, hanya nama seorang gadis bermarga Ackerman itulah yang keluar dari mulut remaja empat belas tahun bernama Jean Kirstein. Ditemani sahabat baiknya, Jean yang lebih layak disebut berandal daripada remaja itu terbaring bahagia di atas rerumputan halus yang membelai geli setiap kali angin bertiup. Wajahnya bersemburat merah tipis dan diiringi senyum manis yang tak berhenti mengembang.
"Marco, aku sungguh melihatnya dengan jelas!" ini adalah kalimat jelas pertama yang diucapkan dari bibirnya setelah beberapa menit terbuang percuma hanya untuk menggumamkan nama sakral Mikasa. Marco, sahabat sejatinya yang ia temui semasa nama panggilannya masih 'Jean Cengeng', hanya duduk sambil menekuk lutut di samping Jean yang tidak henti-hentinya menyunggingkan senyum.
"Aku melihat dengan jelas bagaimana dia membalas senyumanku," Jean mencengkeram rumput-rumput halus yang bergoyang, berusaha menetralisir rasa aneh dalam perutnya yang kian menggelitik. Efek dari senyuman Mikasa ternyata membuat anak ini seperti orang kecanduan. Ya, otak seseorang yang sedang jatuh cinta akan melepaskan suatu hormon yang menyebabkan orang tersebut sama gilanya dengan orang mabuk.
Marco ingin sekali berkata 'Jean, mungkin saja Mikasa membalas senyumanmu hanya karena dia jenuh dengan wajahmu dan ingin segera mengenyahkanmu, lihat saja bagaimana ia berpaling dengan kesal setelah tersenyum' tapi sayangnya, Marco tidak tega dan tidak akan pernah tega untuk mengatakan itu dan menjatuhkan hati sahabatnya yang sedang terbang ke sana kemari. Jika ia boleh jujur, selama mereka berteman delapan tahun, Marco tidak pernah melihat Jean sebahagia ini.
Jean menatap langit biru cerah yang berawan. "Oi Marco," anak itu memberi jeda sebelum melanjutkan."Kenapa kau diam saja?" tanyanya pelan tanpa menoleh ke sebelah kirinya di mana sang sahabat terduduk.
Marco menarik napas. "Kau memendam perasaanmu sejak usiamu sepuluh tahun lho, Jean."
Jean terdiam sejenak. "Sembilan."
"Ya, dan kurasa, menahan perasaan selama lima tahun itu menyakitkan, bukan?"
Senyum Jean hilang. Benar juga kata si Marco sialan itu. Bagaimana kalau Mikasa akhirnya berjodoh dengan Eren yang pada dasarnya tidak ada hubungan darah dengannya? Eren memang saudaranya Mikasa, tapi jangan lupakan kata angkatnya.
"Jean, sudah saatnya kau mengungkapkan perasaanmu pada Mikasa."
Jean Kirstein terdiam sejenak lagi. "...Ya."
Anak itu bangkit dari rebahannya, duduk dengan menyilangkan kaki di sebelah Marco. Jean kemudian menghadap sahabatnya, menatapnya lekat penuh keyakinan dengan latar belakang imajiner api. "Marco, ku mohon, bantu aku untuk mengatakannya pada Mikasa." Jean dengan tekad keyakinan yang membara seolah-olah ialah yang pasti akan menjadi suaminya Mikasa suatu saat nanti.
Marco tersenyum dan menangguk pelan. "Ya. Ayo, katakan sekarang." Marco beranjak berdiri dan menarik lengan Jean-
"J-jangan sekarang."
Bret. Musik sok heroik yang melatar belakangi adegan tadi lenyap ditelan cengiran Jean dan wajah Marco yang menggambarkan ekspresi 'what the hell'.
Jean terduduk di bawah pohon besar di ladang desanya, tempatnya kemarin bersama Marco. Tempat itu bagaikan surga baginya; bisa menatap langit biru cerah yang menemaninya setiap hari, langit yang seolah menghadirkan wajah imajiner Mikasa setiap Jean menatapnya. Rumput berayun di sekitarnya. Hembusan angin lembut yang membelainya terkadang membuat rasa kantuknya menang.
Ia seringkali didapati sedang tertidur di bawah pohon besar itu, dan membuatnya harus menerima ocehan ibunya yang mengaku tidak pernah mendidik anaknya menjadi anak yang pemalas. Dan Jean selalu bersumpah untuk menunjukkan pada ibunya bahwa dia bukan anak pemalas, meski ibunya lebih sering menang karena selalu mendapati Jean yang tertidur pulas di bawah pohon.
Jadi kali ini, ia ditemani beberapa lembar kertas dan pensil untuk mengusir kantuknya.
Menggambar. Jean hobi menggambar, dan gambarnya bisa disebut bagus. Terkadang, ia menggambar suasana desanya dengan rumah-rumah penduduk dan pegunungan sebagai latar belakangnya, atau terkadang ia hanya menggambar gunungnya saja. Namun kali ini, ia menggambar Mikasa Ackerman yang sedang tersenyum. Ah, ternyata dia benar-benar mabuk.
Goresan demi goresan ia goreskan dengan pelan pada kertas pertamanya. Angin membelai pelan rambut berantakannya. Sesekali ia menguap dan kekuatan matanya perlahan menurun.
Rasa kantuk memang tidak pernah kalah.
"Hai, Jean!"
Sapaan biasa itu membuat Jean yang sudah 7 watt tersentak kaget.
"Sialan kau, mengagetkan saja." Jean mendesis dan ketika menyadari siapa anak itu, ia makin menyipitkan matanya. Seseorang yang selalu ia anggap sebagai saingan. Saingan payah. Saingan bodoh dan merepotkan.
TBC
A/N: tch, chapter 1 kok pendek banget ya. udah gitu bahasanya susah dingertiin yakan? maapkan ana ye (=_=) beri reviewnya yaa ^^ smoga chapter 2 lebih panjang :p Arigatou,
SF
