a/n: halooo tiba juga di musim favorit saya ouo ini lanjutan dari fanfik yang sebelumnya alias summer, saya mau bikin ceritanya lanjut terus hauhau

soal judulnya, jadi ienakatta (いえなかった) itu karena 1) dari reff di lagunya choutokkyuu yang refrain (tolong jangan ketipu sama nadanya yang baik-baik saja) (sesungguhnya liriknya sangatlah kampret) (lalu baper lagi) dan 2) pada dasarnya saya emang suka aja sama kata kerja bahasa jepang yang bentuk negatif, apalagi kalau past tense, karena lebih beraura (?) penyesalan, HAHAHAHA /SESUKAMUAJA /PERGISANA


Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki dan saya tidak mendapat keuntungan materiil apa pun dari menulis fanfiksi ini.

二 いえなかった


.

.

.

couldn't say

.

MIDOAKANTOLOGI #2 - fall

[now playing: refrain;超特急]


1. Bandara

Ada alasan kenapa bandara dibangun, dan kenapa orang-orang menangis atau berpelukan di sana.

Akashi juga pergi melalui bandara, tapi Midorima tidak melihat. Ia ada kerja paruh waktu malam itu dan Akashi tidak mau ia membolos hanya untuk mengantarnya. Bukannya Midorima ingin sekali mengantarnya atau apa, bukan juga ia takut tidak bisa menahan air mata. Pun bukan ia takut merasakan sesak kalau sampai perlu melambaikan tangan atau menyaksikan punggung si rambut merah menghilang di balik pintu kaca.

Sama sekali bukan.

2. Hujan

Dunia di luar jendelanya buram. Titik-titik air sisa hujan perlahan menuruni kacanya, membawa sisa dingin dan sepi dari malam yang penuh rintik.

Midorima meraih ke sisi kepalanya, setengah berharap ia tidak menghancurkan kacamatanya selagi tidur. Ponselnya kemudian menyala, membunyikan alarm pagi yang seharusnya mengguncangnya dari alam mimpi. Tapi tidak, Midorima lagi-lagi bangun lebih dulu dari bekernya. Ia perlahan bangkit ke posisi duduk, kelasnya hari itu lumayan siang, namun sekilas ia masih mengecek waktu hanya untuk memastikan; ia punya empat jam sebelum harus keluar dan menaiki kereta yang akan membawanya ke kampus.

Pikirannya melambung ke sisi lain bumi; tempat Akashi berada selalu mendung atau hujan, dan pemuda itu tidak pernah begitu suka hujan. Ia mendapati dirinya sendiri hampir tersenyum, membayangkan bagaimana Akashi akan mengerutkan dahi ketika mantelnya jadi lembab atau air menembus sepatunya.

3. Musim

Satu musim telat lewat sejak terakhir kali ia melihat Akashi Seijuurou. Mendadak kelasnya kembali dimulai dan dunianya sudah menghabiskan setengah musim gugur. Awalnya ia kira akan lebih berat, tapi hari-harinya terlalu disibukkan oleh tugas dan Midorima, dengan agak sedikit terkejut, tidak mendapati dirinya sendiri berlama-lama menatap langit seperti orang yang putus cinta sambil memikirkan Akashi.

Tidak, ia lumayan yakin sesuatu yang seperti itu tidak terjadi.

Tapi tahu-tahu saja, ke mana pun ia mengarahkan mata, semuanya jadi bernansa kuning, oranye dan merah. Warna-warna yang sulit diabaikan. Setiap kilaunya mengingatkannya pada rambut Akashi, atau mata Akashi, atau bahkan kemeja yang Akashi kenakan saat mereka pergi keluar berdua. Lucu, kadang-kadang, bagaimana ia merasa bahkan musim pun berkonspirasi untuk menciptakan hantu baginya.

4. Memori

Setengah tahun sudah berlalu sejak kelulusannya dari Shuutoku; tapi hari-hari itu masih terasa seperti memori yang baru, sekaligus mirip potongan film lama yang mengendap di bagian belakang kepalanya. Ada banyak yang terjadi di sepanjang tahun-tahun itu, mulai pertemuannya dengan Akashi di lapangan semifinal Winter Cup tahun pertama mereka, hingga ke pertandingan bersama atas nama Vorpal Swords. Midorima tahu ia memercayai lebih dari siapa pun, dan sky direct mereka waktu itu menjadi bukti bahwa keduanya membagi keyakinan yang sama.

Tiga setengah tahun sudah berlalu sejak kelulusannya dari Teikou; namun setiap detailnya terasa bahkan lebih segar lagi di kepalanya. Ada lebih banyak momen-momen yang dihabiskannya bersama Akashi; itulah waktu yang mereka gunakan untuk saling mengenal, menumbuhkan pertemanan serta persaingan, menyetujui tanpa kata-kata bahwa mereka membutuhkan satu sama lain. Midorima ingat, pertama kali ia menyadari perasaannya untuk Akashi di tahun pertama SMP mereka, jendela di luar juga sedang menunjukkan daun-daun yang berguguran.

Sekarang yang tersisa untuknya hanyalah keraguan; apakah ia harus menyimpan semua memori yang ia lewati bersama Akashi, atau justru ia harus menyimpannya lebih dari apa pun?

5. Momiji

Akashi selalu bilang, bahwa dedaunan musim gugur di Kyoto adalah yang paling indah. Di masa SMA, dua kali ia berkata seperti itu lalu mengundang Midorima untuk datang melihat, dan dua kali pula Midorima terpaksa menolak dengan alasan yang sama; sekolah sudah dimulai dan ia tidak bisa melakukan perjalanan sehari-dua hari saja ke Kyoto hanya untuk menonton daun-daun yang berubah warna.

Sekarang ia rela membolos berapa hari pun hanya untuk melihat daun-daun konyol itu bersama Akashi. (Meski tentu saja, ia tidak akan pernah berkata begitu—karena untuk apa mengucapkan kata-kata yang sudah terlambat?)

6. Harapan

"Jangan banyak-banyak berharap," Akashi pernah memberitahunya, suatu hari ketika mereka sedang berjalan pulang di sisi jalan yang penuh guguran daun, "harapan tidak ada gunanya, punyailah target."

Midorima bisa mengingat dengan jelas, bagaimana mata rubi Akashi menatap ke depan tanpa emosi. "Kalau berharap, kau hanya akan menginginkannya, dan sampai kapan pun hanya akan tetap jadi harapan semata. Kalau mempunyai target, kau pasti melakukan sesuatu untuk mendapatkannya—dan itu yang akan jadi realita."

Ia tidak menjawab, karena ia tidak tahu apa sebenarnya kemauannya sendiri. Apakah menginginkan Akashi untuk menyadari dan mengerti perasaannya itu termasuk harapan? Apakah pikiran tentang bagaimana jadinya jika perasaannya terbalas itu terhitung harapan? Haruskah ia menjadikan pernyataan akan cintanya sebuah target?

Pada akhirnya Midorima, seperti biasa, tetap tidak berkata-kata. Mungkin ia memang tidak memiliki harapan.

7. Alasan

Biarkan Midorima berpikir sekali (kalau bukan dua kali, sepuluh, seratus, seribu—) lagi tentang alasan sebenarnya ia menyukai Akashi. Apa karena Akashi orang yang begitu sempurna? Apa karena ialah satu-satunya yang bisa mengimbangi topik yang Midorima minati dalam konversasi? Apa sebenarnya ini hanyalah perasaan anak muda konyol, yang muncul hanya karena mereka sering bersama?

Saat ia menyadari bahwa ia tidak memiliki alasan untuk perasaannya, Midorima menjadi takut, mungkinkah sebenarnya rasa sukanya hanya musiman, yang mekar sesaat kemudian gugur dan terinjak-injak? Seberapa dalam sebenarnya ia mencintai Akashi? Seberapa tinggi ia bisa memandang perasaannya sendiri?

(Ada hal-hal tertentu yang ada pada Akashi Seijuurou dan tidak akan bisa ditemukannya di orang lain; Akashi yang menerima Midorima apa adanya tanpa mempermasalahkan sifat nyentriknya, Akashi yang tidak terganggu oleh kepercayaannya pada takhayul zodiak, Akashi sendiri yang kerumitannya selalu membuatnya penasaran. Ketika bersama Akashi, Midorima sangat menikmati waktu yang mereka bagi bersama; ia merindukan setiap percakapan mereka, setiap permainan shogi, setiap one-on-one basket, setiap duet musik, setiap hal kecil remeh yang pernah mereka lakukan.)

(Akashi begitu tidak tergapai dan hampir mustahil dikejar—karena itulah ia menjadi motivasinya, tolak ukurnya, pusat dunianya. Midorima yang berputar dengan Akashi sebagai poros. Ia tahu, satu-satunya saat ketika ia sungguhan puas akan hidupnya adalah ketika ia mampu mengimbangi si rambut merah.)

(Sebenarnya pun, tidak aturan yang menyatakan bahwa cinta harus memiliki alasan.)

8. Ironi

Mereka selalu bermain shogi di samping jendela. Dari persegi yang membingkai dunia di luar itu pula, Midorima mengamati musim yang berganti di antara tirai yang terembus angin. Akashi selalu suka tinggal agak sedikit lebih lama di ruang kelas setiap musim gugur datang, dan ia selalu lebih sering memandang ke luar jendela di sela-sela langkah bidaknya. Ia penasaran apakah musim itu punya arti tertentu bagi si rambut merah. Lalu pernah sekali ia bertanya, saat bendung rasa ingin tahunya sudah runtuh.

Akashi yang waktu itu kedua matanya masih berwarna merah, menolehkan matanya ke Midorima dengan kilau yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Ujung-ujung bibirnya naik sedikit (tapi Midorima tidak mau mengartikannya sebagai penunjuk rasa senang, karena begitulah cara Akashi memisahkan dirinya dengan orang lain—dengan menampilkan ekspresi wajah yang tidak sesuai dengan isi hatinya). "Bukankah musim gugur indah?"

Ia tidak mengiyakan, tidak juga menyangkal, maka Akashi melanjutkan, "Musim gugur ironis dengan caranya tersendiri, Midorima, kau lihat bagaimana banyak orang menganggap dedaunan yang berguguran itu cantik? Padahal daun-daun itu mati."

9. Refrain

Bayangan Akashi pada malam musim panas itu selalu kembali padanya, potongan-potongan memori yang pernah mereka lewati bersama terputar dalam ingatannya, sementara kalimat-kalimat yang ingin ia katakan (namun tidak terucap) terulang-ulang dalam kepalanya. Seperti refrain dari sebuah lagu.

10. Jejak

Sekali, ia mendapati kakinya sedang menjejak di jalan-jalan yang dulu biasa mereka lewati berdua. Di bawah sepatunya, daun-daun yang kering terinjak dan hancur menjadi kepingan. Bagian-bagian dari daun kecil itu seperti dirinya, dunia, serta Akashi. Midorima hanya sedang berusaha untuk mencari dan mengumpulkan pecahan-pecahan yang tepat. Soal apakah ia bisa menyatukannya kembali atau tidak, ia tidak tahu. Barangkali ada alasan tersendiri kenapa benda keberuntungannya hari itu pita perekat (semoga saja tidak menjadi ironi lain).

Mungkin kalau ia terus melihat ke depan, suatu hari ia akan menemukan sesosok kecil punggung yang ia cari-cari di kejauhan.

(Tapi jejak-jejak kaki mereka berdua ada di belakangnya, bukan di depan.)

11. Gugur

Midorima tidak jarang disamakan dengan pohon—tentu saja, karena ia menjulang dan berambut hijau. Tapi mungkin banyak yang lupa kalau pohon juga meranggas di musim tertentu, dan hanya dirinya yang menyadari hal itu. Mari anggap saja daun-daun di luar itu adalah representasi dari perasaannya, yang mengering, jatuh, mati.

Hingga musim gugur yang kedua, Akashi tetap tidak pernah pulang ke Jepang. Ia melewati musim-musimnya sendiri di belahan bumi yang lain dan Midorima belum pernah melihatnya lagi sejak mereka pergi ke festival musim panas setahun yang lalu. Percakapan mereka yang selanjutanya kurang-lebih berkisar antara kabar serta ucapan selamat di kesempatan-kesempatan tertentu, dan Midorima tidak pernah mengatakan yang lebih dari itu. Tidak pernah sekali pun.

Tentu, dirinya memang pohon, sama teguhnya sekaligus sama diamnya. Bahkan saat semua daunnya telah gugur, Midorima tetap berdiri di sana, menunggu sesuatu yang ia tidak tahu apa.


a/n 2: btw ada yang bisa nebak ga kenapa angkanya cuma sampe 11? :^)