Matahari bersinar dengan terang, langit biru dengan awan putih yang berarak-arak, burung-burung yang berkejar-kejaran di langit seolah tak kenal lelah, sementara yang hinggap di atas pohon-pohon bercicit menyandungkan lagu yang indah.
Pada pagi yang cerah itu, disanalah ia berada.
Duduk di kursi taman berwana putih, tangannya memeluk erat boneka beruang putih yang memang selalu ia bawa kemana-mana sementara mata sewarna lavender itu menatap langsung ke sekumpulan remaja yang berada tidak jauh darinya.
oOo
I'm used to being alone.
Hetalia belongs to Hidekaz Himaruya
This story belongs to me (Misaki Younna)
Rate : T
Fanfic ini dibuat untuk merayakan hari ulang tahun Canada /Matthew Williams yang terlewat satu hari.
Hope you like it~ .
oOo
Samar-samar, ia bisa mendengar suara tawa yang menggelegar, perdebatan antara satu dengan yang lainnya, suara tamparan, suara yang menyerukan permintaan untuk menikah dan diikuti oleh teriakan sengsara, seru-seruan yang mengakui bahwa pemilik suara yang bersangkutan adalah orang paling hebat, ada juga yang mengakui bahwa dirinya adalah seorang pahlawan.
Oh, untuk yang terakhir, ia tahu persis siapa itu.
Tentu saja itu adalah Alfred F. Jones, kakak laki-lakinya.
Ia menatap sekumpulan remaja itu dengan sedih.
Ia ingin bergabung dengan mereka semua. Ia ingin ikut tertawa dengan mereka.
Namun ia tidak bisa, karena ia tahu, bahwa mereka pasti tidak akan merasakan keberadaannya.
Ia sering mencoba bergabung dengan mereka, tapi percuma. Tak ada yang menyadarinya.
Meskipun ia mencoba memanggil nama mereka berkali-kali, pasti berakhir dengan seruan 'HANTU!', atau pertanyaan 'Kamu siapa?'.
Meski begitu, ia selalu tersenyum. Seperti saat ini, ia tersenyum sebelum akhirnya berdiri dan berjalan menjauhi sekumpulan remaja itu. Memutuskan untuk pulang ke rumahnya dan membuat beberapa pancake dengan sirup maple untuk menenangkan rasa sakit yang kembali ia rasakan.
Rasa sepi karena ia sendirian. Lagi.
Ya. Seorang Matthew Williams memang selalu sendirian. Mungkin ia memang terlahir untuk itu.
.
Hari ini tanggal 30 Juni. Matthew tersenyum. Itu berarti besok adalah hari ulang tahunnya. Dengan cepat ia pergi untuk berbelanja. Berencana untuk membuat sebuah kue untuk hari ulang tahunnya. Tidak peduli tentang siapa yang akan menghabiskannya nanti ia akan tetap membuatnya.
Meskpun itu berarti ia harus membuat dan menghabiskannya sendirian.
Yah, sama seperti tahun kemarin, dan tahun kemarinnya lagi, dan kemarin kemarinnya lagi.
Dan entah kenapa, Ia menjadi terbiasa. Terbiasa untuk merayakan sendiri hari ulang tahunnya. Membuat kue sendiri. Membeli hadiah untuk dirinya sendiri. Menyanyikan lagu ulang tahun sendiri. Meniup lilin ulang tahun setelah mengucapkan permohonan. Memotong kue lalu memakannya sendiri. Dan berakhir dengan membersihkan semuanya sendiri.
Ia sudah terbiasa dengan hal itu.
.
"Hm.. Tepung, cek. Telur, cek. Mentega, cek. Gula, garam, cek...Lalu... Apa lagi ya?" Berjalan menyelusuri rak-rak berisikan bahan makanan, Matthew bergumam dengan kecil, mengingat-ingat resep kue yang akan ia buat nanti.
" Ah iya, vanili... Ehm, dimana ya?" Mata sewarna lavender itu menyusuri botol-botol kecil, mencari-cari keberadaan bahan yang cukup sering ia pakai setiap kali membuat kue. Sesekali ia mengeratkan dekapannya pada boneka beruang putih kesayangannya agar tidak terjatuh.
Dan ia menemukannya, tangannya terjulur, hendak mengambil botol kecil yang ternyata cukup susah dicari itu. Namun, belum sampai ia meraihnya, ada tangan lain terjulur dan tanpa sengaja tangan miliknya bersentuhan dengan tangan orang lain itu, refleks, Matthew berhenti dan menarik tangannya kembali, lalu menatap pemilik tangan lain itu.
Ungu lavender bertemu dengan merah darah.
"W-whoa! Mattie! Sedang apa disini?" Ucap pemuda didepannya, Matthew mengenalinya. Gilbert Beilschmidt. Salah satu teman satu kampusnya.
"Ah.." Matthew terdiam sejenak, lalu menunjuk kearah keranjang belanja miliknya. "Berbelanja tentu saja, kau sendiri sedang apa disini?" Bertanya kembali, menghiraukan fakta bahwa pemuda di depannya mengingat namanya.
"Aku? Oh! Aku juga sedang berbelanja! Kesesesese~ memangnya salah dengan itu?", Matthew tersenyum kecil. "Yah, rasanya aneh melihat orang sepertimu berbelanja." Dibalas dengan tepukan keras di punggung oleh Gilbert yang langsung membuat Matthew meringis. Pemuda albino disebelahnya tidak main-main saat menepuk punggungnya sampai terasa panas.
Gilbert melihat kearah keranjang belanja Matthew, bingung karena isinya tidak terlihat seperti belanjaan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari melainkan...
"Mau buat kue ya?" Tanya Gilbert sambil menatap Matthew yang tersenyum seraya menganggukkan kepalanya.
"Iya.", Gilbert terlihat memasang wajah kebingungan. "Buat apa?".
"Buat besok." Jawaban Matthew membuat Gilbert semakin bingung,
Pasti ia lupa. Pikir Matthew dengan sangat yakin.
" Eh? Memangnya besok ada apa?" Tanya Gilbert membuat Matthew berkata 'benarkan..' Dalam hati.
Menggeleng pelan, sebuah senyum manis kembali terpasang di wajahnya.
"Tidak. Tidak ada apa-apa."
.
Keesokan harinya, Matthew bangun pada pukul 7 pagi. Seperti biasanya, ia langsung membersihkan tempat tidurnya, setelah itu ia berjalan ke kamar mandi, 15 kemudian ia keluar dari dalam kamar mandi, berjalan menuju cermin besar yang bisa menunjukkan seluruh tubuhnya, rambut dirty blonde nya masih sedikit basah, handuk tergantung di lehernya, ia memakai kaus putih dengan jaket berwarna merah dan celana jeans.
Matthew tersenyum, matanya melihat langsung kearah bayangan dirinya sendiri yang ada di cermin.
Ia membuka mulutnya,
"Selamat ulang tahun, Matthew."
Hanya untuk mengucapkan selamat pada dirinya sendiri.
.
Untung saja hari ini kuliahnya sedang diliburkan dengan alasan para dosen akan mengadakan pertemuan untuk membahas tentang hal-hal yang tidak ingin Matthew ketahui.
Melihat kearah jam, ia tersenyum saat mengetahui bahwa waktu masih menunjukkan pukul setengah sembilan, itu berarti ia mempunyai cukup waktu untuk membuat kue.
Sambil menyiapkan bahan-bahan yang telah ia beli kemarin, ia memikirkan apa yang sedang dilakukan teman-temannya saat ini. Apakah mereka sedang mengurusi urusan mereka masing-masing, atau mereka sedang berlibur entah itu pergi bertamasya atau sekedar tidur selama seharian penuh mengingat yang namanya 'hari libur' adalah hal paling langka yang bisa ditemui dalam hidup ini karena adanya tugas berupa skripsi yang terus menghantui.
Waktu berjalan cukup cepat, entah sejak kapan adonan yang tadi baru ia buat kini sudah di dalam oven sementara ia duduk di kursi tak jauh dari oven untuk berjaga-jaga agar kue'nya tidak hangus.
Melihat ke arah jam di dinding, 15 menit lagi. Daripada ia menunggu sambil berdiam diri, ia pun berdiri, mengambil boneka beruang putihnya yang tadi ia letakkan di atas kulkas lalu memutuskan untuk berkeliling rumah sebentar.
Ia berjalan perlahan, suara langkah kakinya yang seharusnya pelan menjadi sangat terdengar karena kini, di rumah Matthew, tidak ada suara lain yang terdengar. Saat ia melewati jendela, ia terhenti. Berjalan mendekati jendela agar bisa melihat lebih jelas pemandangan di luar sana.
"Langitnya mendung... Mau hujan ya?" Gumam Matthew pelan.
Menghela nafas kecil, ia kembali berjalan, masuk kedalam ruang tamu, menelusuri ruangan dengan dinding bercat putih dengan 2 sofa kecil dan 1 sofa panjang yang mengelilingi sebuah coffee table, beberapa tanaman diletakkan di beberapa tempat, sebuah rak besar yang diisi dengan berbagai macam buku yang tersusun dengan rapi, semuanya terkesan minimalis tapi menenangkan. Saat sedang melihat-lihat, matanya terhenti pada sebuah foto yang tergantung di dinding.
Foto dua orang anak kecil yang berwajah serupa sedang tersenyum sambil membuat pose 'peace' kearah kamera.
Itu foto dirinya sendiri bersama kakaknya saat bermain di lapangan yang berada tak jauh dari rumahnya dulu saat ia masih kecil.
Setidaknya dulu kakaknya-Alfred-masih bisa merasakan kehadirannya, namun entah kenapa kini jangankan merasakan kehadirannya, mengingat bahwa Matthew itu ada saja terdengar sangat mustahil.
Tiba-tiba saja, Matthew merasa sakit itu kembali menyerang dadanya, sontak ia mencengkram bajunya tepat diatas tempat dimana jantungnya berada.
"Ukh..." Ringisan kecil keluar dari mulutnya, menarik nafas panjang lalu membuangnya perlahan. Melakukannya berulang kali sampai ia kembali merasa tenang.
TING!
Matthew mendengar bunyi itu dengan jelas. Itu pasti bunyi dari oven dan itu berarti kuenya sudah matang.
Berjalan kembali ke dapur, memakai sarung tanggan khusus lalu mengeluarkan loyang kue dari dalam oven.
Mencium aroma yang keluar dari kue tersebut membuat senyum kembali terkembang di wajah Matthew.
"Sudah jadi, aku akan menghiasnya."
.
Di sinilah ia sekarang, duduk di meja makan. Di depannya terdapat kue ulang tahun berlapisi krim vanilla, beberapa buah ceri tersusun dengan teratur, dengan beberapa lilin kecil diatasnya. Selain kue itu, ada beberapa botol minuman bersoda, beberapa piring kecil, dan tumpukan gelas plastik, ada juga beberapa toples berisi kue kering.
Matthew melihat berbagai benda di atas meja, ringisan kecil kembali terdengar.
"Aduh... Sepertinya aku berlebihan ya?"
Dan lagi, Matthew tersenyum manis untuk kesekian kalinya.
"... Aku kan hanya sendirian."
.
Matthew melihat kearah kue di depannya, lalu beralih ke arah jam di dinding. Pukul 2 siang. Beralih lagi ke arah jendela yang menampilkan langit yang semakin dipenuhi oleh awan hitam. Matthew berani bertaruh tak lama lagi hujan pasti turun.
"Haah... Apa aku mulai sekarang saja ya?" Tangannya mulai meraih pematik dari saku bajunya, ia menyalakan lilin-lilin kecil di atas kuenya, lalu mulai bernyanyi sambil bertepuk tangan.
"Selamat ulang tahun~ selamat ulang tahun~ selamat ulang tahun Matthew~ semoga panjang umur~"
Matthew terus bernyanyi, tepukan tangannya terdengar bergema di seluruh penjuru ruangan. Sementara itu, di luar sana, suara gemuruh mulai terdengar.
Tak lama kemudian, suara nyanyian terhenti. Kini Matthew berdiri, bersiap-siap ke acara selanjutnya 'meniup lilin ulang tahun'.
"Baiklah, saatnya meniup lilin, tapi sebelum itu, ayo buat permohonan"
Matthew menutup matanya. Mengucapkan dalam hatinya permohonan yang selalu sama dengan yang ia ucapkan pada tahun-tahun sebelumnya.
Kini terdengar suara angin yang berhembus kencang. Membuat pepohonan mengeluarkan bunyi gemerisik secara beramai-ramai.
Membuka matanya, Matthew pun bersiap-siap untuk meniup lilin di depannya, dan...
FYUUHH
Semua lilin mati dalam satu tiupan. Meninggalkan Matthew yang tersenyum.
Namun..kini bukan senyum manis seperti yang biasanya ia tunjukkan.
Melainkan senyuh lirih yang sarat akan kesedihan.
.
.
"Selamat ulang tahun, Matthew, aku menyayangimu"
. Matthew selalu sendirian. Ia tahu hal itu. Dan ia sudah terbiasa dalam kesendirian.
Ia sudah terbiasa tak dihiraukan. Ia terbiasa tidak dianggap ada.
Ia terbiasa menjalani kehidupannya yang penuh dengan kesendirian dan kesepian.
Tapi bukan berarti ia tidak merasa sakit karenanya.
.
.
TES... TES..
dan seketika, air hujan pun berjatuhan, turun menuju bumi. Membasahi setiap benda yang ia lewati.
.
. Bersamaan dengan jatuhnya air mata dari kedua bola mata sewarna bunga lavender yang biasanya terlihat hangat dan menenangkan.
Biasanya Matthew bisa menekan rasa sakit itu. Tapi entah kenapa kali ini ia tidak bisa melakukannya. Air mata itu terus berjatuhan, tak peduli berapa kali ia mengusapnya dengan kedua tangannya. Sampai akhirnya Matthew menyerah untuk menghentikan air matanya.
Biarkan kini ia menangis, hanya untuk kali ini saja, biarkan ia mengeluarkan semua rasa sakit yang selalu ia rasakan lewat air mata.
Ia kesepian. Dan ia membenci hal itu.
.
Tak lama, Matthew pun mulai beranjak pergi. Memutuskan untuk pergi ke kamarnya dan tidur hingga malam tiba. Jangankan untuk membersihkan bekas 'pesta' kecilnya tadi, untuk berjalan saja kepalanya sudah pusing luar biasa.
Ia berjalan ke kamarnya yang ada di lantai dua dengan perlahan. Saat sudah berada di depan pintu bercat putih bersih, Matthew memegang knop pintunya, memutarnya perlahan lalu mendorongnya.
Gelap.
Matthew mengernyitkan keningnya. Ia tidak ingat kalau ia mematikan lampu kamarnya. Dan setahunya, tadi ia tidak menutup jendela kamarnya.
Ia berjalan perlahan, berhati-hati agar tidak tersandung apapun. Tangannya meraba dinding, mencari dimana kiranya sakelar lampu berada.
"Hm... Dimana ya?" Gumamnya perlahan, "Ah, ini dia." Dan saat Matthew menekannya, tiba-tiba saja.
DAR! DAR!
"SELAMAT ULANG TAHUN MATTHEW!"
Mata ungu itu membelalak lebar, mulutnya terbuka kecil saat melihat apa yang ada di depannya.
Ruangan yang seharusnya hanya berisikan satu tempat tidur, satu lemari, satu meja belajar, satu rak buku, kini dipenuhi oleh banyak sekali orang.
Ada Alfred, Gilbert, Arthur, Francis, Ivan, Natalia, Katyusha, Roderich, Elizaveta, Kiku, Yao, Feliciano, Ludwig, Antonio, Lovino, Basch, Lily, Lukas, Emil, dan masih ada banyak lagi teman satu kampusnya yang kini berdiri di depannya, dengan ciri khas mereka masing-masing mengucapkan selamat ulang tahun padanya.
"A-apa yang..." Matthew tidak bisa berkata-kata lagi. Ia menatap semua teman-temannya, meminta penjelasan.
"Kesesesese~ ada apa Matthew? kenapa diam saja? Kami sudah membuat pesta untukmu loh! Bahkan kami sudah bersusah payah masuk kesini melewati jendela itu" ucap Gilbert sambil menunjuk jendela yang ada di dekatnya.
"Hm? Matthew, kamu tidak berpikir kalau kami melupakan ulang tahunmu kan, da?" Kali ini Ivan yang berbicara.
Matthew terdiam. Entah kenapa ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Lalu tiba-tiba saja Alfred dan Arthur yang memegang sebuah kue datang menghampirinya.
"NYAHAHAHAHA~ Ada apa dengan wajahmu itu huh?! Ayo tiup lilinnya!" Seru Alfred sambil menunjuk kearah kue yang di pegang oleh Arthur.
"Ah! Jangan lupa buat permohonanmu dulu aru!" Seru Yao, Matthew menganggukkan kepalanya.
Memejamkan kedua matanya. Matthew pun mulai mengucapkan apa yang ada di hatinya.
Namun bukan permohonan yang Matthew buat,
'Terima kasih. Terima kasih sudah mengabulkan permohonanku.'
Melainkan sebuah ucapan terima kasih.
Membuka matanya, Matthew pun melihat kearah teman-temannya yang sedang menatapnya-menunggunya untuk meniup lilin ulang tahun-, menarik nafas, lalu...
FYUUUHH
Semua lilin mati dalam satu tiupan.
Disusul dengan ucapan selamat yang memenuhi ruangan.
"SELAMAT ULANG TAHUN MATTHEW! KAMI MENYAYANGIMU!"
Dan kini, Matthew tidak bisa menahan air mata bahagia disertai senyuman paling tulus yang belum pernah ia berikan sebelumnya.
.
.
'Aku ingin agar teman-temanku bisa berada disini, merayakan hari ulang tahunku bersamaku, membuat pesta dan bersenang-senang bersama, meskipun hanya sekali, itu sudah cukup untukku.
karena bagiku yang selalu sendirian dan dilupakan ini, itu sudah lebih dari cukup.'
End
Nyahahaha~ halo para penghuni fandom Hetalia~ Saki adalah orang baru disini~ salam kenal! Yah, karena Saki juga nggak tahu banyak hal soal Hetalia, jadi mohon dibantu ya, senpai-tachi!
Btw, fic ini Saki buat untuk merayakan hari ultahnya Canada~ happy birthday Canada~ yah udah lewat sehari sih~ XDD
Ah iya, untuk typo atau segala OOC, Saki minta maaf.
Dan jika berkenan, review please?
