Come Back Although isn't Easy
Genre : Hurt, Drama
Rate : T+
Pairing : Sasunaru as Maincast.
Length : Twoshoot
Chapter : 1/2
Warning : Yaoi (always)
Disclaimers : Saya hanya meminjam nama dari mereka untuk menemukan inspirasi dan membaginya dalam bentuk karya sastra. Ini hanya sebuah fanfiction dari fans untuk fans dengan kemampuan menulis yang normal. Hargai kerja keras author dengan mengklik tombol review dan tulis beberapa tanggapan. Muak dengan cast atau plot cerita? Just click a close button on your web browser, guys. Wanna chitchat? Click on PM button. Don't bash any cast or other, please.
BGM : 또운다또by Davichi
.
.
Bagaimana perasaanmu ketika mantan kekasihmu muncul kembali setelah tujuh tahun tidak pernah bertemu?
Padahal kau sendiri tidak pernah berharap jika akan kembali bertemu.
Karena dengan menatapnya, maka kenangan buruk yang diciptakannya akan kembali terkenang.
Selama tujuh tahun belakangan aku sudah melupakan semua yang berhubungan dengannya.
Tetapi setelah itu, dia justrumuncul sebagai bosku.
Apa yang diinginkannya?
Kenapa dia melempar tatapan yang sama seperti tatapan yang selalu diberikannya ketika kita masih bersama?
Kenapa dia sering mengajakku bicara?
Aku sungguh tidak ingin terlibat lagi dengannya.
Aku ingin dia cepat-cepat pergi dari hidupku.
Tetapi, kenapa dia bersikeras untuk terus merecokiku dengan perhatian?
Ingin menebus dosa?
-Namikaze Uzumaki Naruto-
Jepang, 2 July 2015.
.
.
Hari itu, Naruto mempersiapkan diri untuk menyambut seorang kepala divisi yang akan memimpin kelompok di bidang kerjanya. Semua teman-temannya mulai berisik ketika wakil kepala divisi memerintahkan untuk segera berdiri. Kedua tangan Naruto bergerak merapikan blazer cokelatnya yang manis, lalu dadanya membusung pongah dan disusul oleh lengkungan menakjubkan pada bibirnya.
Naruto akan memberikan sambutan yang baik dan sopan—seperti yang dilakukan teman-temannya. Tetapi, rencananya untuk melukis senyuman ramah urung terlaksana ketika pandangannya malah menangkap sosok cowok masa lalunya melangkah memasuki ruangan lima belas meter kali lima meter itu dengan langkah ringan.
Cowok bermata onyx dan rambutnya mirip pantat ayam, yang disebut wakil kepala divisinya, sebagai Ketua Divisi yang baru.
Semua karyawan yang berdiri tepat di depan meja kerjanya masing-masing, merundukkan badan demi memberi salam. Naruto terkesiap sebab pikirannya sempat dicabut paksa oleh ingatan masa lalu. Gerakannya tampak amat kikuk saat mencoba memberi salam. Ketika Naruto kembali mendongak dan mendapati pandangan dari manik onyx Ketua Divisinya, akhirnya semua berawal lagi.
Dentum tidak menyenangkan melingkupi jantungnya yang bertugas memasok darah pada tubuhnya. Getaran aneh yang amat dibencinya merambat dengan amat menyebalkan menggapai tiap inci pori-porinya. Paru-parunya mengembang dalam waktu lima detik penuh akibat dilanda keterkejutan, namun akhirnya berangsur normal kembali. Pandangan terpaku pada wajah profesional yang coba dilukis atasannya; lalu gendang telinganya berdenging hebat ketika dibelai oleh desah suara itu.
Apa? Naruto kesulitan mencari kata yang tepat untuk menebak apa yang sebenarnya terjadi di ruangan ini. Keterkejutan sudah membumbung tinggi mencapai ubun-ubun, kepalanya terasa pening sebagai akibatnya. Antisipasinya tidak berhenti manakala atasan barunya mengedarkan pandangan memerhatikan tiap wajah karyawannya, melainkan terus berlanjut ketika Ketua Divisi itu memutuskan untuk menghampiri setiap meja pekerjanya; saling menjabat tangan dan berbincang sebentar.
Amat sebentar.
Tetapi mungkin kasusnya akan sedikit berbeda jika tengah berhadapan dengan bermata sapphire berumur dua puluh lima tahun itu mengeram menahan napas saat pandangan mereka kembali bertemu. Mereka bertatapan sangat lama, melempar tatapan aneh yang membuat semua orang yang ada di sana mengerutkan dahi.
Ketua Divisi yang tampan itu, melukis senyuman di bibir tipisnya dan mengulurkan tangan; bermaksud mengundang Naruto untuk bersalaman. Semua orang di ruangan ini sedang memerhatikannya dan tidak ada alasan untuk tidak bersikap profesional; Naruto menerima uluran tangan itu dan sekali lagi merundukkan kepala sambil tersenyum penuh keramah-tamahan.
"Sudah lama bekerja di sini, Namikaze-san?" Suara bassnya yang sedikit serak menembus pendengaran Naruto kendati mereka masih belum melepaskan tautan tangan tersebut.
"Sekitar tiga setengah tahun Uchiha-san," Naruto berusaha menarik tangannya, tetapi jemari panjang milik Ketua Uchiha melingkupi telapaknya yang kecil dan mulai berkeringat.
"Kuharap Anda bisa bertahan lebih lama lagi selama saya menjadi bagian dari kantor ini," akhirnya dia menarik tangannya sendiri dan menyimpannya di saku celana pullovernya. Pandangannya yang setajam elang serasa menampar telak kesadaran Naruto yang mungil.
"Ya," Naruto ingin sekali merunduk dan memutus kontak mata mereka. Orang yang sedang mengajaknya bicara adalah atasannya; dan Naruto harus menaruh hormat padanya. "Saya harap juga begitu."
"Senang sekali bisa menemukan Anda di sini," Ketua Uchiha mengulurkan sebelah tangannya yang lain dan menepuk pundak kanan Naruto. "Bekerja keraslah untukku. Aku akan mengawasimu," setelah tersenyum, dia beralih ke karyawan lain.
Naruto melempar tatapan benci tanpa maksud ke arah atasan barunya. Pengendalian dirinya langsung hinggap menelangkup kesadarannya. Ekspresinya kembali tampak netral—bahkan saat kepalanya dibayang-bayangi oleh kalimat terakhir itu.
'Aku akan mengawasimu'.
Decihan pelan nyaris meluncur dari mulut Naruto ketika mendapati ketua di divisinya sudah duduk di meja paling ujung yang memang diperuntukkan untuk seorang atasan. Begitu Pak Ketua sudah ada tempatnya, semua karyawannya kembali duduk.
Cukup beraktinglah sebagai atasanku dan aku berharap jika kau terkena amnesia sehingga sudah melupakanku.
OoO
Ingatan masa lalu itu kembali terbang bebas dalam benak, berputar-putar, menabrak dinding kepalanya, dan kembali berputar-putar. Konsentrasi sulit sekali diserap sehingga pikirannya melayang kemana-mana; bahkan masa lalunya terus disetel layaknya sebuah video. Berulang kali dia menyuruh dewa batinnya untuk serius, tetapi yang dilakukannya hanyalah terdiam dan kembali mengenang semuanya.
Penyesalan yang selama ini selalu dirasakannya menggelegak naik, secara naluriah dia mengangkat kepala dan mengintip satu wanita mungil yang tengah menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan di suatu bilik kerjanya. Sorot matanya melembut, terselipi permintaan maaf yang sekarang sudah terlalu sulit untuk dilontarkan oleh lidahnya. Pengampunan yang empat tahun lalu sering diminta olehnya mendadak tersangkut di pangkal tenggorokan. Sekiranya dia memang tidak berhak untuk mendapat kesempatan kedua.
Perbuatannya di masa lalu terlalu keterlaluan; dan sampai kapan pun, Sasuke tidak akan mampu untuk mengganti apa yang telah dihilangkannya. Pada malam-malam kelamnya, ekspresi kemarahan serta kesedihan mantan pacarnya mengusir mimpi-mimpi indahnya—membuatnya kesulitan untuk pergi tidur sehingga dengan amat terpaksa menenggak pil dari dokternya. Pergi ke dokter untuk berkonsultasi mengenai keadaan psikologisnya memang keputusan yang tepat; Sasuke bisa mendapatkan pil penenang yang mampu mengantarkannya ke alam mimpi. Selama lima tahun belakangan, Sasuke rutin menenggak pilnya.
Jika tidak, maka dia akan terjebak dalam lautan penyesalan tidak berujung yang bisa-bisa memutuskan salah satu saraf yang menyambung pada otaknya. Sasuke terlalu gila jika tidak mendapatkan pilnya. Dia tidak sanggup untuk menahan luapan penyesalan-penyesalan itu.
Hingga akhirnya, setelah lima tahun berjuang untuk mencapai pangkat yang tinggi, sekaligus mencari di mana keberadaan Dobe-nya, Sasuke meninggalkan Amerika yang menjadi tempat tinggalnya setelah lulus SMA, kembali ke tempat halamannya di Jepang. Informasi dari orang-orang suruhan yang dikerahkannya datang silih-berganti; sedikit demi sedikit, Sasuke menyusun strategi untuk melamar pekerjaan di perusahaan yang menjadi tempat kerja Naruto. Dan dengan kecerdasan otaknya, dia mampu menduduki kursi kepala divisi dengan mudah; Naruchan-nya ada di lingkup karyawannya.
Selanjutnya, Sasuke akan berpikir untuk kembali mendekati Naruto—kembali menuntut permintaan maaf yang sudah lama diharapkannya.
"Pak, apakah Anda ingin minum kopi?"
Suara seseorang terdengar amat menyentak hingga mampu membuat Sasuke setengah terjerembab dalam jurang kesadarannya. Kelopaknya mengerjap, lalu dia mendapati salah satu karyawannya berdiri dari kursi untuk menanyakan hal tersebut.
"Amerikano," Sasuke menyempatkan diri melirik Naruto dari ujung matanya tetapi yang didapatkannya hanya desah kekecewaan; Naruto masih tenggelam dalam pekerjaan.
Beberapa detik menulis sesuatu, Naruto tiba-tiba bangkit dan mengedarkan pandangan ke seluruh teman-temannya. "Biar aku saja yang membelinya."
"Oh," karyawan yang tadinya menegur Sasuke, kini menoleh menatap Narutoyang tersenyum. "Benarkah?"
"Ya, aku juga sudah mencatatnya," Naruto memamerkan selembar kertas berwarna biru muda yang penuh tulisan mengenai jenis kopi. "Silakan lanjutkan pekerjaan kalian dan aku akan kembali 15 menit lagi," ujarnya sebelum menarik kursinya mundur.
"Namikaze-san?" Sasuke ikut meninggalkan kursinya, melangkahkan kakinya mendekati Naruto yang telah berada di ambang pintu. "Bisakah aku ikut denganmu? Aku ingin membeli beberapa makanan."
Ada gurat keterkejutan yang terlukis di wajah Naruto sesaat setelah Sasuke selesai mengucapkan keinginannya. Tetapi binar matanya tampak kembali normal dalam beberapa detik. "Biarkan saya mencatatnya dan membelikannya untuk Anda, Uchiha -san."
"Tidak, aku ingin memilihnya langsung," Sasuke bersikeras untuk ikut; dia tahu jika seluruh karyawannya diam-diam meliriknya dengan pandangan aneh. "Apakah tidak boleh?"
"Oh, baiklah," Naruto tersenyum pasrah. Dia berpamitan pada teman-temannya lalu melangkah meninggalkan ruang tersebut, diikuti Sasuke tepat di samping tubuh mungilnya.
Semua orang yang mereka temui di sepanjang lorong menuju lift memberi salam penghormatan pada Sasuke. Dan hal itu menjadi hal bagus yang membuat suasana di antara mereka menjadi tidak lebih mencekam. Nauto menikmati tiap langkahnya tanpa merasakan luapan perasaan. Sedangkan Sasuke, berulang kali dia harus menarik-ulur napasnya demi menyembunyikan afeknya.
Mungkin mendapati lift yang kosong sekitar pukul 6 sore adalah hal yang tidak disukai Naruto. Sasuke memaksanya untuk masuk dan dia sendiri yang memencet tombolnya—lantai tiga puluh lima menuju lantai satu. Butuh sekitar empat atau lima menit.
Sasuke kembali menarik napas, memandangi wajahnya sendiri yang terpantul di pintu lift yang memang terlalu mengilap. "Bagaimana kabarmu?" bola matanya bergulir, menatap bayangan Naruto di pintu lift dan lagi-lagi merasa kecil hati sebab Naruto tidak tampak gugup seperti dirinya.
"Baik, Uchiha-san," Naruto berujar netral.
"Mari lupakan tentang status kita di kantor selagi berbicara seperti ini," Sasukemengatakannya setelah melewati pertimbangan tunggal. "Kau bisa berbicara tidak formal denganku."
Untuk yang pertama kali, senyuman tipis terlukis di bibir Naruto. "Akan lebih baik jika kita tetap mempertahankan hubungan kerja bahkan saat di luar jam kantor," katanya tenang.
"Tapi kau sudah mendapat izinku," Sasuke menanggapi kemudian disusul oleh bunyi denting nyaring yang dibarengi dengan pintu lift yang terbuka. "Apa kau merasa tidak nyaman jika sedang bersamaku?"
Naruto melangkah keluar dan diikuti dengan mudah oleh kaki-kaki panjang Sasuke. "Saya tidak memiliki alasan untuk merasa terganggu terhadap Anda," mereka melewati pintu geser dan kulit mereka ditebas oleh udara khas senja.
"Dobe,"
Sasuke tiba-tiba menggapi pergelangan tangan Naruto dan mencengkeramnya erat-erat. Naruto tersentak dan menoleh defensif. Mereka baru saja keluar dari gedung kantor tetapi dengan berani Sasuke mencekal tangannya.
"Banyak yang melihat, Uchiha-san dan tolong jangan memanggil saya dobe," Naruto mengingatkan dan berharap jika dia bisa menarik tangannya. Dahinya mengerut penuh protes ketika merasakan cengkeraman itu semakin erat. "Bisakah Anda melepaskan tangan saya?"
"Selama seminggu bekerja satu ruangan denganmu, akhirnya kita bisa mendapat waktu untuk berbincang lebih banyak," Sasuke menarik Naruto agar mengikuti langkah kakinya, menuntunnya menyusuri trotoar. "Aku butuh keberanian untuk menegurmu seperti tadi."
Naruto masih berusaha untuk melepaskan cengkaman jemari-jemari Sasuke. Senyuman remeh terlukis diam-diam pada belah bibirnya. "Tidak perlu merasa hingga seberlebihan itu, Uchiha-san," ucapnya, menggumamkan kata 'tolong lepaskan' ketika mereka mendekati kedai kopi tujuan. "Bersikaplah seperti layaknya seorang kepala divisi. Saya hanya karyawan Anda dan Anda berhak menegur saya."
Dada serta bahu Sasuke terangkat begitu pendengarannya ditembus oleh kalimat Naruto. Rasional, memang. Naruto berusaha untuk menekankan hubungan mereka yang hanya sebatas relasi kerja. Sasuke melepaskan pegangan tangannya begitu mereka melewati pintu dorong kedai kopi tersebut, pandangannya mendapati beberapa karyawan dari kantor yang sama dengannya sedang mengantri membeli kopi.
"Duduklah, aku yang akan mengantre," ujar Sasuke penuh kepasrahan.
"Tidak, Uchiha-san. Saya yang akan mengantre,"
Baik Naruto mau pun Sasuke sama-sama melangkah mendekati antrean. Sasuke menyerah dan membiarkan Naruto ikut mengantre kendati dia tidak ingin berada di sini.
"Kita butuh banyak bicara," kata Sasuke.
"Apa yang akan kita bicarakan?" Naruto mengatakannya dengan nada rendah.
"Semuanya."
"Akankah kita akan membicarakan sesuatu yang tidak berhubungan dengan pekerjaan?"
"Tentu," Sasuke menoleh menatap Naruto, memerhatikan gurat mantan kekasihnya yang amat dirindukannya. Ingin sekali dia melingkarkan salah satu lengannya pada pundak Naruto, tetapi Sasuke menyadari jika dia tidak berhak melakukannya. "Semuanya. Tentang masalah-masalah di antara kita yang belum terselesaikan."
"Saya rasa jika ada kesalah-pahaman di sini," akhirnya Naruto mau menoleh sehingga manik matanya berbalas dengan tatapan onyx Sasuke. Sebelah alisnya terangkat mengekspresikan keterkejutan. "Saya tidak merasa jika kita memiliki urusan yang belum diselesaikan, Oh Uchiha-san."
"Dobe," Sasuke memanggil nama kesayangan yang dulu ia gunakan untuk memanggil Naruto dengan desah nada yang lebih rendah sehingga orang-orang yang ada di depan atau belakang tubuhnya tidak bisa mendengar. "Apa kau benar membenciku dan kau tahu jika kita punya hal serius yang harus dibicarakan."
"Misalnya, ya aku membencimu?" Naruto menuntut dan melukis raut tidak suka. "Anggap saja kita sudah menyelesaikan semuanya, Uchiha-san. Saya tidak pernah berharap jika kita akan membicarakan hal lain selain pekerjaan."
Sasuke tidak bisa menanggapi karena saat itu mereka sudah berada di meja order. Naruto mengeluarkan kertasnya dan mengucapkan apa saja yang telah dipesan oleh teman-temannya. Dan Sasuke yang berdiri di sampingnya, hanya diam sambil memikirkan kesalahan masa lalunya.
OoO
Sasuke menggelung tubuhnya dengan selimut tebal harum lavendel lembut, menghirup napas panjang-panjang demi mendapatkan kelonggaran pada dadanya. Pendingin ruangannya sudah dinyalakan sepanjang waktu dan seharusnya seluruh ruangan dalam apartemennya ditelangkup udara sejuk. Kamarnya punya ekstra pendingin ruangan dan aroma lemon terjebak di tiap petaknya. Seharusnya Sasuke bisa tidur nyenyak dalam balutan selimutnya.
Tetapi nyatanya, dia malah berkeringat-dingin di bawah selimutnya. Tubuhnya dibiarkan basah oleh keringat, menggigil dalam perasaan aneh yang kian menyiksa. Kepalanya berdenyut-denyut saat tangisan-tangisan Naruto di masa lalu kembali diputar dalam otaknya. Visual dari wajah penuh air mata dari mata sappire miliknya tergambar dengan amat jelas di dinding ingatannya.
Dimana otakmu?
Bagaimana bisa kau melakukannya?
Kau bukan manusia, Sassuke.
Kau benar benar brengsek!
Kau tidak punya hati!
Tidak-punya-hati!
Dan selamanya aku akan membencimu!
Kelopak mata Sasuke yang semula terpejam, kini membeliak lebar-lebar hingga bola matanya nyaris meloncat keluar dari tempatnya. Dia terbatuk lantas tersenggal sebentar. Sebelah tangannya terulur keluar dari lingkupan selimut, menggapai-gapai nakas dan menemukan ponselnya di sana.
Pandangannya yang mulai mengabur mencoba memerhatikan layar ponselnya yang menyala terang. Jemarinya yang bergetar memencet layarnya dan menyambungkannya pada sambungan telepon.
Lima dering berjalan dengan diringi degup jantung beserta alur napas tersenggal-senggal, akhirnya di dering selanjutnya telepon tersebut diangkat.
"Halo? Namikaze Naruto di sini. Siapa ini?"
Sasuke terpejam sejenak ketika merasakan galur-galur nyata yang menembus dadanya; terasa begitu hangat dan menenangkan saat mendengar desah suara Naruto. Beban yang bercokol dalam kepalanya perlahan mulai terangkat, menguap begitu saja seperti uap air.
"Halo? Bisakah Anda berbicara? Halo?"
"Naruto."
Lalu yang ditelepon seketika berhenti berbicara, terdiam seperti apa yang dilakukan Sasuke di sini. Telapak tangan Sasuke menangkup dahinya yang basah, merasakan sensasi lengket mengganggu di sana.
"Oh Uchiha-san, apa yang membuat Anda menelepon saya pukul satu dini hari seperti ini?" Naruto bersuara, dengan nadanya yang tenang terkendali seperti biasa. "Apakah Anda ingin agar saya mengecek beberapa laporan?"
"Naru," kelopak mata Sasuke malah terpejam lagi ketika kecemasan datang bersamaan dengan ingatan mengenai kemarahan Naruto. Penderitaannya kembali datang—rasanya benar-benar menyesakkan hingga Sasuke kesulitan untuk bernapas. Dia mengulurkan tangannya yang lain demi meraih tube pilnya di nakas. "Na-naru."
"Uchiha-san?" Naruto terheran-heran mendengar desah napas tidak beraturan dari seberang—kedengarannya seperti orang yang sedang terkena serangan asma tingkat berat yang mengkhawatirkan. "Anda baik-baik saja?"
Dengan amat susah payah, Sasuke meraih dua pilnya dan melemparkannya ke dalam mulut. Rahangnya bergerak mengunyah pil-pil tersebut dengan gemelatuk rakus; menghiraukan rasa pahitnya lalu dia setengah terbatuk.
"Uchiha-san? Anda baik-baik saja?"
"Maafkan aku," Sasuke berhasil mengucapkannya dengan bibir bergetar hebat. Penglihatannya mulai berputar-putar tanpa tentu arah.
"Apakah saya perlu memanggil ambulans? Apakah Anda sakit? Uchiha-san?"
"Maafkan aku," Napas Sasuke berangsur-angsur bisa dikendalikan, rasa kantuk yang hebat menghipnotis kelopaknya hingga membuatnya terasa amat berat. Debar jantungnya kembali seperti normal, tidak berdentum-dentum menyakitkan seperti tadi.
Semakin lemah. Dan semakin lemah.
"Uchiha-san?"
"Tutup teleponnya," Sasuke mengatakannya dengan susah payah, berusaha mengenyahkan rasa kantuk ini agar tetap berbicara dengan Naruto. Tetapi dia tahu jika efek pil yang ditelannya tidak bisa dihindari. "Aku .., baik-baik saja."
"Uchiha-san? Uchiha-san?! Sasuke?"
Telepon ditutup oleh Naruto setelah panggilannya tidak digubris sama sekali oleh Sasuke. Dan lelaki yang terbaring di ranjangnya yang kusut, memejamkan mata tidak berdaya dengan kerut-kerut di kening.
Tertidur lelap kendati sedikit-banyak ingatan masa lalunya masih menghantuinya dalam mimpi.
OoO
Sasuke keluar dari mobil Mercedes M-classnya, merapikan kemeja linennya sebentar setelah meletakkan kotak yang bertuliskan nama restoran terkenal di atas kap mobilnya. Dia memastikan jika penampilannya sudah oke, barulah kaki-kakinya menapaki aspal dan membawanya masuk ke sebuah gedung apartemen.
Bawah sadarnya telah mencoba mengingatkan dengan keras mengenai apa yang akan dilakukannya pada hari ini. Dengan amat susah payah, dewa batinnya sedang berusaha menyimpan segala emosi yang dibutuhkan dalam suatu kotak ajaib di sisi kepalanya. Sasuke naik lift untuk bisa sampai di lantai tiga, berdebar-debar tidak keruan saat memikirkan apa yang akan terjadi jika dia sampai di sana. Ini hari Minggu dan seharusnya akan menjadi akhir pekan yang menarik. Walau dia sendiri tahu jika kedatangannya pasti akan mengejutkan.
Setelah kejadian di malam itu, ketika Sasuke menelepon Naruto dalam keadaannya yang setengah gila, dirinya mendapatkan tatapan penuh ingin tahu dari Naruto manakala mereka bertemu di pagi harinya. Tidak ada percakapan yang terjadi di antara mereka, kontak langsung yang dilakukan keduanya hanya saling bertukar pandangan di awal hari itu. Dan semuanya selesai.
Berhari-hari setelahnya, beban penyesalan yang dipikul Sasuke perlahan mulai terangkat jika mengingat pandangan tersebut. Tiap malam dia selalu memikirkan Naruto bahkan saat zat anestetis mengaliri pembuluh darahnya; dan kenangan masa lalu mereka yang membahagiakan sempat disetel sebagai mimpi.
Mimpi indah.
Sasuke sudah sampai di depan sebuah pintu apartemen bertuliskan angka 209, menatap bel pintu lamat-lamat dan akhirnya memutuskan untuk memencetnya.
"Siapa?" Suara Naruto terdengar serak saat keluar dari mulut interkom.
"Aku, Sasuke."
Dua detik setelahnya, pintu disentak oleh pemiliknya. Naruto yang mengenakan kaus santai serta jeans pendek muncul dari balik pintu, menatapnya penuh pertanyaan tetapi dia tetap mempersilahkan tamunya—bosnya—masuk.
Sasuke duduk di sofa ruang tamu yang kecil, tetapi Naruto masih berdiri di depan meja dengan mengaitkan tangan.
"Uchiha-san, mau minum kopi atau teh?"
"Oh," Sasuke sempat melupakan barang bawaannya. Tangannya bergerak meletakkan kardus tenteng itu ke atas meja dan Naruto langsung menghujaninya dengan tatapan menyelidik. "Aku membeli sarapan untuk kita."
Naruto memiringkan kepala ke suatu sisi.
"Duduklah," Perintah Sasuke, dan Naruto langsung menurutinya seperti seekor anjing terlatih. Sasuke membuka kardus tenteng itu, mengeluarkan isinya; dua kopi panas dan dua bungkus ramen yang masih panas. "Kau masih suka ramen, 'kan?"
"S-saya tidak mengerti kenapa Anda begitu ..," Naruto menggigit bibir ketika tidak mampu menemukan kata yang tepat untuk menyambung kalimatnya. Pandangan terfokus pada makanan yang dibawakan bosnya, lalu dia memandang Sasuke. Terus bergantian seperti itu. "Uchiha-san, kenapa Anda membawa .."
"Bisakah kita benar-benar menggunakan tidak formal ketika sedang bicara berdua?" Tiba-tiba, Sasuke mengangkat dagunya dan pandangannya yang tajam terarah lurus menembus manik sappire Naruto. "dobe, apakah sungguh sulit?"
Naruto terkesiap kala nama panggilan yang dulu mereka gunakan disebut oleh Sasuke; panggilan yang sudah lama tidak hinggap ke pendengarannya. Sulur-sulur kerinduannya menguncup tanpa diduga, perasaannya meletup-letup asing meskipun dia ingin bersikap biasa seperti sebelum-sebelumnya. Naruto menghindari tatapan mata Sasuke, menggulung telapak tangannya erat-erat dan menghela napas.
"Saya tidak mengerti kenapa Anda mengunjungi saya pada hari libur, membawakan sarapan, dan ..," bahunya mengedik dan lagi-lagi Naruto tidak menuntaskan kalimat yang akan diucapkannya. "Sasuke-san, apakah Anda baik-baik saja?"
Kepala Sasuke seperti baru saja dipukul oleh godam besar menyakitkan yang menciptakan rasa pening luar biasa. Kalimat formal dari Naruto benar-benar nyaris identik dengan penolakan.
"Sudah hampir lima tahun, eh dobe," Sasuke nyaris mengeram, sorot matanya melembut. "Aku terjebak dalam penyesalan dan aku benar-benar ingin menebusnya."
Naruto tersentak, bahunya terangkat dan turun lagi pada detik yang nyaris bersamaan. Pandangannya merendah seketika saat memori kelam yang pernah dilaluinya dengan Sasuke berkelebat dalam benak. "S-saya tidak mengerti," ujarnya susah payah.
"Berhentilah bersembunyi dan salahkan aku seperti empat tahun lalu!" Sasukegagal mengontrol amarahnya yang sudah meledak, memilih menghancurkan kotak pertahanannya. Matanya melotot, begitu pula Naruto yang duduk di hadapannya. Naruto melukis raut terkejut sekaligus tidak mengerti; mungkin dia terlalu dikagetkan dengan perubahan nada bicara Sasuke yang begitu tiba-tiba.
Sasuke bangkit dari duduknya, menarik Naruto untuk ikut berdiri dan memegang pundak sempit pria itu erat-erat. "Katakan," ujarnya tanpa pikir dua kali. "Kenapa kau bersikap begitu dingin setelah kita bertemu, huh?"
Tembok pertahanan Naruto baru saja dihantam oleh ombak perasaan sedih yang diakibatkan oleh pengalaman masa lalu. Air mata serasa berubah menjadi puluhan jarum tajam yang menusuk bola mata Naruto hingga membuatnya perih dan perlahan pandangannya mengabur.
"Aku terjebak dalam penyesalan, Naru. Dan selama empat tahun aku tidak bisa menjalani hidupku dengan tenang selama aku belum mendapatkan permintaan maafmu," Sasuke mengucapkannya lamat-lamat dengan desah berantakan. Manik matanya bergulir ke segala arah, memerhatikan raut lawan bicaranya.
"Apakah hanya permintaan maaf?"
Sasuke merasa lega setengah mati ketika mendengar kalimat dari Naruto. Dua telapak tangannya merayap naik membungkam pipi gembul Naruto. "Ya."
"Setelah kau mendapatkannya," Naruto menggigit bibir ketika tenggorokannya serasa baru saja disodok oleh kesedihan. Nada suaranya mendadak bergetar samar. "Bisakah kau pergi dari hidupku?"
"Apa?"
"Setelah aku memberikan kata maafku, bisakah kau segera pergi dari hidupku? Bisakah kau tidak muncul lagi di hadapanku? Bisakah kau mati sekalian untuk menebus semuanya!" Naruto memicingkan matanya yang penuh air mata, diam-diam batinnya tersenyum miris ketika mendapati gurat terluka di sorot mata Sasuke. "Bisakah Anda melakukan itu, Uchiha Sasuke-san?"
Sasuke jelas tertohok karena serentetan kalimat yang didengarnya dari Naruto; merasa sangat terpojok dan sialnya dia tidak bisa melakukan apa-apa. Rasa sakit yang diderita Naruto sama besarnya seperti apa yang dirasakannya, karenanya, Sasuke tidak punya nyali untuk menanggapi lebih lanjut.
"Tidak bisa, ya?" Pandangan Naruto turun kebawah, kelopak matanya berkedut hingga meloloskan satu bulir air matanya. "Kalau kau tidak bisa, cepatlah pergi dari sini, Sasuke. Aku benar-benar tidak mau melihatmu lagi."
"Tidak bisakah kau memberiku kesempatan kedua?" Sasuke mengatakannya dengan nada putus asa. "Agar aku bisa menebus semuanya?"
Naruto menggeleng keras kepala. "Tidak akan, Sasuke," kepalanya kembali mendongak dan matanya melotot penuh permusuhan. "Aku tidak mau memberikan kesempatan pada monster brengsek sepertimu," dia menekankan nada suaranya pada kata monster lalu berbalik pergi meninggalkan Sasuke yang tertegun di ruang tamunya.
TBC
MARHABAN YA RAMADHAN~ /tabuh gendrang/
Selamat berpuasa bagi yang menjalankannya :3 gue juga puasa kok guys, semangat yaaks , bentar lagi Lebaran lhoo XD..Minal Aidin Wal Faizin
FF ini sebenernya punya cast asli HunHan . hehe tapi diedit lagi cause bingung maaf ya kalau ada yg salah, dan ini request dari temen seperjuangan pas sma dulu. seharusnya gue unggah ff ini taun lalu. Tapi, berhubung gue masih ingetnya sekarang ya gue milih update di hari ini ajaa :3 XD
Oke, sekian curhatnya. Mind to review, guys?
