.
Kalau ini bukan cinta,
Lalu apa arti jantungku yang berdentum tak menentu tiap kita bertemu?
Kalau ini bukan cinta,
Lalu apa arti semua debaran aneh ini tiap kau menatapku?
Jantung ini bertalu – talu karenamu,
Debaran - debaran kencang ini hanya untukmu
Tapi ...
.
.
.
Aku sangat suka berlari. Merasakan hembusan angin menerpa wajah dan menerbangkan rambutku. Kaki – kaki yang berderap seakan tak sabar menyongsong sesuatu di ujung jalan. Hanya melihat orang yang sedang berlari bisa membuatku tersenyum senang. Senang sekaligus iri. Aku iri kepada mereka yang dapat dengan mudah berlari. Aku iri. Tapi aku tetap bersikeras melihat para pelari itu.
Menonton lomba lari adalah hobiku. Aku adalah penonton barisan terdepan tiap lomba lari diadakan di Festival Olahraga Sekolah.
Ah, ternyata memang berlari itu sangat menyenangkan! Mengagumkan. Rasanya tepat seperti selama 18 tahun ini aku bayangkan.
"Hinata-nee! Apa yang kau lakukan?! Mengapa kau berlari sepeti itu?!"
Aku menghentikan lariku untuk menengok ke arah suara yang meneriakiku. Aku menyengir lebar mendapati raut khawatirnya yang berlebihan.
"Tenang saja ... hah..., Hanabi! Aku ... hah... baik – baik saja," jawabku sedikit terengah – engah, mencoba menenangkannya. Namun sepertinya tidak berhasil. Mendengar nafasku yang putus – putus, Hanabi segera berlari ke arahku dengan raut khawatir.
Tanpa berpikir panjang aku segera ambil langkah seribu menjauhinya.
"Sudah ku bilang aku akan baik – baik saja, Hanabi! Lihat? Sekarang aku bahkan bisa berlari! Haha..."
Aku semakin terkekeh geli mendengar samar gerutuan kesal dari Hanabi. Tentang aku yang keras kepala dan susah di atur. Tentang aku yang kurang waras karena berlari tanpa alas kaki di padang rumput penuh kerikil ini. Hahaha... Aku tahu kau mengkhawatirkanku Hanabi. Namun sekali ini ku mohon. Biarkan aku merasakan mimpiku jadi kenyataan. Berlari merasakan semilir angin. Merasakan rerumputan yang sedikit basah di telapak kakiku.
Aah~ Andai saja aku punya stamina tanpa batas! Tak pernah melakukan latihan fisik membuatku hanya bisa berlari sebentar. Lagi – lagi aku harus berhenti. Sedikit membungkuk dan bertopang pada lututku, aku mengatur nafasku yang terengah – engah.
"Ah, topiku!" Tiba – tiba ada angin kencang yang berhembus dan menerbangkan topiku. Aku segera berlari mengejarnya.
Huwaaa topi kesanyanganku! Itu hadiah dari Neji-nii! Jangan sampai aku kehilangannya! Semoga terbangnya tidak jauh. Staminaku belum pulih untuk bisa mengejarnya. Untungnya doaku terkabul. Angin nakal itu mereda dan topiku pun mendarat di dekat seorang pemuda yang sedang berdiri membelakangiku.
Deg Deg Deg Deg...
Staminaku habis. Aku berhenti beberapa meter darinya. Menghirup nafas banyak – banyak dan mencoba menenangkan jantungku yang entah kenapa berdetak cepat tak beraturan. A-apa aku kambuh lagi? Oh, harusnya aku mendengarkan nasihat Hanabi tadi untuk berhenti!
Tidak. Itu tidak akan terjadi. Tenang Hinata. Tenang. Kau sudah menjalani operasi dan sembuh. Ini hanya efek dari berlari.
Aku menghirup nafas dalam – dalam. Nafasku sudah mulai teratur meski jantungku masih berdentum menggila.
Deg Deg Deg Deg...
"A-ano, Sumimasen, bisa tolong kau ambilkan topi di dekatmu itu?"
...dan pemuda itu pun berbalik...
Deg Deg Deg Deg...
Aku menyipitkan mata. Silau. Aku tak bisa melihat wajah orang itu dengan jelas. Meski begitu...
Deg Deg Deg Deg...
.
.
.
"Sasuke-kun, Sasuke-kun, lihat Sakuranya sudah mulai bermekaran. Wah, sugoi!"
"Nee, Sasuke-kun, bagaimana kalau kita berfoto di photobox itu? Kita belum pernah berfoto berdua kan?"
"Haha, percuma kau menyamar segala, Sasuke-kun! Karena kau tahu, Sasuke-kun? Jantungku ini selalu berdentum sangat cepat jika kau ada di sekitarku. Jadi walau mataku tak bisa mengenalimu, jantungku ini bisa langsung merasakanmu,"
"Mou Sasuke-kun, jangan tinggalkan aku donk! Dan aku juga tak akan pernah meninggalkanmu. Hehe,"
"Sasuke-kun,"
"Sasuke-kun ..."
.
.
"A-APA? A-apa yang Jisan katakan? Ini bohong kan?"
"Relakan dia Sasuke. Dia sudah per—"
"Tapi dia masih bernafas, Jisan! Rambutnya masih terus bertambah panjang! Kuku – kukunya masih bisa tumbuh! Bagaimana mungkin dia sudah mati!"
"Sasuke, kau juga mendengarnya sendiri dari dokter, hal - hal seperti itu memang wajar terjadi meski pasien sudah mengalami kematian otak. Sakura sudah divonis meninggal secara medis sejak setahun lalu, Sasuke. Relakan dia. Biarkan dia terus. . . ."
"..."
"Kami akan melakukannya lusa, Sasuke. Sehari setelah ulang tahunnya. Ku harap kau bisa datang. Aku yakin Sakura ingin 'melihatmu' untuk yang terakhir kalinya,"
.
.
Ingatan – ingatan menyakitkan itu masih tergambar jelas di ingatanku meski hampir satu tahun berlalu sejak saat itu. Berbaur dengan suara – suara Sakura yang juga masih bisa terdengar jelas. Masih sangat jelas. Saat aku menutup mata, aku bisa dengan mudah membayangkan ekspresinya yang sedang merajuk, tertawa, dan menangis di bahuku.
Kenapa Sakura? Kenapa?
Kau yang berjanji tak akan meninggalkanku sebelum aku meninggalkanmu! Lalu apa ini? Beraninya kau pergi, Sakura!
Tanganku terkepal menggenggam sebuah liontin di dalam saku. Tidak mempedulikan buku – buku jariku yang terasa perih akibat terlalu kuat mengepalnya. Rasa sakit ini tidak sebanding. Sungguh tak sebanding dengan makna kesepian yang terasa membelenggu.
Tuhan ...
Kata orang – orang Kau Maha Adil. Saat kau memberi rasa sakit. Maka kau juga akan memberi penawarnya. Lalu mana penawar untukku Tuhan? Kenapa Kau hanya memberi rasa sakit ini untukku. Ken—?!
"A-ano, Sumimasen, bisa tolong kau ambilkan topi di dekatmu itu?"
Cih, siapa ini yang berani – berani menggangguku?!
Aku berbalik dan menatapnya tajam. Seorang gadis aneh bertelanjang kaki sedang menatapku takut – takut. Dia tampak terengah – engah seperti habis berlari jauh. Tangannya terangkat di depan mata. Sepertinya sedang mencoba menghalau sinar matahari yang menyilaukannya.
"Err, itu di dekat ka-kakimu itu, Jisan. Bi-bisakah kau ambilkan, Jisan?"
A-Apa katanya tadi? Ji-jisan?! Hell, apakah aku tampak setua itu untuk di panggil Jisan?! Aku masih mahasiswa kau tahu!
Gadis aneh itu sedikit berjengit mundur kebelakang. Mungkin bertambah takut karena aku memelototinnya. Salah siapa memanggilku Jisan?!
Gadis itu menautkan jari – jari telunjuknya di depan dada. Menunduk dalam meski beberapa kali mencoba mngintip meliriku takut – takut. Haha, kalau dilihat – lihat ekspresi gadis itu lucu ju—Tidak! Tidak! Apa yang ku pikirkan?! Sebaiknya aku pergi saja. Gadis aneh itu membuatku berpikir yang tidak – tidak.
Aku bebalik dan melangkah pergi. Namun langkahku terhenti ketika mendengar gerutuan pelan dari gadis aneh di belakangku.
"Haishh! Dia pergi begitu saja?! Dasar paman – paman pelit! Cuma nolong ngambilin topi aja nggak mau! Memang—"
Gadis itu seketika menutup mulutnya dengan kedua tangan. Terdiam sambil berkedip – kedip dengan wajah horor karena tiba – tiba aku berbalik dan menatapnya tajam.
Aku melirik ke arah topi yang berada tak jauh dariku. Aku mengambil dan menimang – nimang memperhatikannya. Topi berwarna ungu muda dengan inisial H di depannya. Sekilas aku melirik ke arah gadis itu yang tampak tersenyum canggung dan mengulurkan tangannya untuk mengambil topi miliknya. Aku mengulurkan tangan. Mengambil ancang – ancang. Dan—
WUSHH!
Aku melemparkan topi itu dengan sekut tenaga. Dan seolah angin sedang berpihak padaku. Dia memilih waktu yang tepat untuk berhembus sekarang. Menerbangkan topi itu semakin menjauhi kami berdua.
Aku melirik ke arah gadis aneh itu lagi. Mulutnya menganga lebar tak percaya. Memandangi ke arah topinya terbang dengan ekspresi horor. Ekspresi horor yang lucu.
Aku berbalik dan meneruskan langkahku. Tanpa bisa ku cegah sebuah senyum tipis hadir di bibirku. Dasar gadis aneh!
.
.
Sebuah Prolog...
.
Heartbeat
.
Starring: Hinata Hyuuga, Sasuke Uchiha, Naruto Uzumaki
.
Disclaimer :
Naruto belongs to Masashi Kishimoto-sensei
Author gain no profit from this fiction
.
.
.
.
.
—Enam bulan sebelumnya
Drap Drap Drap
Suara derap kaki berlari menggema di koridor rumah sakit yang sepi. Hanya ada beberapa perawat yang kadang berlalu – lalang. Seorang pemuda berhelaian sewarna sinar mentari berlari tergesa mengabaikan beberapa sapaan yang dilayangkan oleh para perawat. Tanpa aba – aba pemuda itu langsung menjeblak sebuah kamar rawat salah satu pasien. Membuat pasien di dalamnya terkesiap kaget.
"Benarkah Hinata-chan?! Benarkah yang ku dengar ini? Kau sudah mendapatkan donor?"
"Uhm," angguk si pasien mengiyakan dengan ceria.
"Cool," Si pemuda mengepalkan tangan kanannya ke arah Hinata dan di sambut dengan hal yang sama oleh si empunya. Kedua kepalan tangan itu pun bertemu di udara. Toss kebangsaan mereka berdua jika bertemu.
"Kau tega sekali tidak memberitahuku lebih cepat, Hinata-chan! Tsk!"
"Hahaha, gomen gomen. Baru saja aku mau memberitahumu Naruto-nii,"
"Dasar!" gerutu Naruto pura – pura marah. Meski gagal total karena detik berikutnya dia malah tersenyum sambil mengacak – acak poni Hinata. "Jam berapa operasinya?"
"Ehm, kata Jiraiya-sensei sih aku harus masuk ruang operasi jam 4 sore nanti," Hinata terdiam. Dia menatap platfon rumah sakit dengan pandangan menerawang dan senyum sedih.
"Nah kan! Mulai lagi deh kebiasaaan burukmu. Kau pasti sedang berpikiran aneh – aneh lagi kan? Katakan. Apa yang kau pikirkan sekarang?" ujar Naruto dengan mata memicing.
"Eh? Ti-tidak kok! A-aku hanya tiba – tiba kepikiran tentang pendonorku. Aku ingin tahu siapa dia. Seperti apa orangnya. Apakah dia bahagia dengan hidupnya sebelumnya? Dan apakah... apakah dia benar – benar rela jantungnya akan menjadi milikku? Detaknya menjadi bagian hidupku nantinya? Apakah—"
"Ssst..." Naruto memegang lembut pundak Hinata dan memaksa Hinata menatap matanya.
"Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu yang pertama, kedua, dan ketiga. Hanya saja aku yakin dengan satu hal. Dia pasti orang berhati malaikat hingga bersedia memberikan jantungnya untuk orang yang membutuhkan."
"Benarkah aku tidak boleh tahu siapa pendonorku itu, Naruto-nii? Benar – benar tidak boleh?"
"Tidak boleh," jawab Naruto tegas. "Aku sudah berkali – kali mengatakannya padamu kan? Sudahlah. Yang harus kita lakukan sekarang adalah mendoakan sang penolongmu itu agar ia bisa tenang disisi Kami-sama,"
"Tentu saja, Naruto-nii. Aku akan selalu mendoakan agar ia bisa melanjutkan perjalanannya ke Surga dengan tenang," ujar Hinata tersenyum.
Nee, aku memang tak kenal siapa dirimu, Malaikat-chan. Boleh ku panggil kau dengan sebutan itu? Karena bagiku kau adalah Malaikat Penolongku. Terima kasih telah menjadi pendonorku. Berkat dirimu aku masih bisa terus merasakan detak jantung lebih lama lagi. Aku berjanji tak akan menyia – nyiakan detak yang kau beri untukku. Aku akan hidup bahagia. Untuk hidupku dan untuk hidupmu yang kau berikan padaku juga. Kau dengar itu, Malaikat-chan? Batin Hinata dengan pandangan menerawang menatap lazuardi yang tampak cerah hari ini. Sangat cerah. Tak menyadari bahawa detik itu—
.
.
.
Piiiiiip...
—suara electrocardiograf memekik nyaring satu nada panjang.
Seorang gadis sedang tertidur di sebuah ranjang operasi yang dikelilingi orang – orang berjubah hijau. Seragam khas dokter untuk operasi. Dokter – dokter itu tampak sibuk dengan benda – benda tajam demi memutus pusat detak kehidupan sang gadis. Berat mamang. Dokter yang identik selalu hadir untuk menyelamatkan nyawa seseorang harus melakukan sebaliknya sekarang. Disini. Di tempat yang sama dengan peralatan yang sama, mereka harus mengakhiri nyawa seseorang. Demi kehidupan orang lain yang lebih baik. Para dokter tampak serius dan sibuk. Mereka bahkan tak sadar bahwa seulas senyum tipis terlihat menghiasi bibir sang pasien—seorang gadis berhelaian sewarna lambang cinta.
.
.
.
Tapi ... detak ini bukan milikku,
Jadi bisakah ini berarti cinta?
.
Bersambung...
.
.
.
.
A/N:
Mind to review? :)
ada saran, kritik, kesan setelah baca ini?
Saya harap reader-san bersedia memberitahu saya apa yang ada dipikiran kalian saat baca fic ini? syukur ada saran membangun yang bisa memperbaiki tulisan saya yang masih amatir. Apa pun itu. Saya akan terima dan pertimbangkan kok.
Dan karena ini masih awal2 kalau ada yg menyumbang ide plot juga boleh siapa tahu cocok dengan rambu2 cerita yang ada di pikiran saya. hehehe...
yang pasti...
terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca :)
hope u enjoy it! :D
.
.
.
See ya,
hikarishe
12.12.2015
.
