Inazuma Eleven (c) Level-5

Warning: AU! Hubungan antar chara di sini ngga persis canon-nya... tapi (harusnya) ngga OOC kok :)


Verde Smeraldo
「 Tanganku memegang pena pipih dan mulai menulis di atas kertas putih pucat. 」

Inazuma Eleven GO (c) Level-5

.
Beta by Ratu Obeng (id: 1658345)
Plot & Written by ALPUCAT

.

.

.


Homestay?

Homestay itu apa?

Homestay itu kenyataannya seperti apa?

Yang aku tahu, kita akan pergi ke negeri orang lalu menumpang di rumah salah seorang penduduk yang akan menjadi wali selama beberapa waktu. Terkadang kita berpindah-pindah tempat menumpang, tergantung kebijakan dari pemilik acara. Itu teorinya, prakteknya aku tidak paham sama sekali.

Temanku, Rococo, baru saja homestay di Australia. Dia sangat bersemangat ketika berbagi pengalamannya di negeri kangguru. sang kapten Little Gigant bercerita bagaimana dia mempelajari adat baru, budaya baru, juga mendapat banyak teman baru. Dia juga berhasil mendesakku tanpa lelah untuk mengikuti program yang sama. Trgelitik rasa ingin tahu, aku memutuskan untuk mendaftar homestay selama liburan panjang musim panas.

"Aku akan ke Jepang, disana ada temanku."

Jelasku di telepon.

"Oh, baguslah. Lalu apa kau sudah dapat tempat homestay?"

"Aku ingin tempat yang bisa membuatku belajar banyak hal, dan dia bilang dia tahu tempatnya."

"That's good. I wish you luck, Fidio. Jangan lupa oleh-oleh. Hahahaha."

"Si~ Ciao, Edgar!"

Mamoru—Endou Mamoru, maksudku tadi. Aku berkenalan dengannya beberapa tahun lalu saat ada kejuaran internasional sepak bola yang disebut FFI. Dia kiper yang hebat, aku sangat menghormatinya. Saat itu aku memang kalah dalam pertandingan, tapi suatu saat aku akan bertarung lagi dengannya dan menang. Walau Mamoru adalah orang Jepang, namun dari sejak pertandingan berakhir hingga sekarang kami masih rajin berkomunikasi. Dan aku sendiri memang penasaran dengan negeri sakura itu sendiri.

Aku menghubungi Mamoru untuk memberitahunya maksudku homestay di Raimon. Seperti kuduga, dia langsung menyambutku ideku dengan senang. Dia bahkan yang mengatur tempatku tinggal, juga berjanji akan membawaku keliling kotanya serta berkenalan dengan teman-temannya disana.

Hari pertama aku tiba di Jepang, Mamoru tidak membiarkanku istirahat dan langsung membawaku ke Inazuma tower yang merupakan tempat sangat spesial baginya. Dia juga membawaku ke kawasan dimana dia sering melakukan latihan bola tambahan—tempatnya tidak jauh dari Inazuma tower dan memiliki pemandangan sangat indah. Menjelang sore, akhirnya Mamoru memutuskan untuk mengantar ke tempat dimana aku akan bermalam.

"Nama tempatnya Sun Garden, kamu pasti suka berada di sana, Fidio!" ucapannya kubalas dengan senyum.

Kami sampai di sebuah rumah ala Jepang kuno yang terlihat sangat nyaman. Tertulis 'SUN GARDEN' degan tipografi cukup keras di tembok pagar. Cekatan, Mamoru mengetuk pintu yang tak lama kemudian dibuka oleh seorang perempuan. Dia menyambut kami dengan hangat.

"Endou-kun. Ah, ini pasti temanmu yang dari Italia itu?" tebaknya.

"Iya, Hitomiko-san! Dia yang akan menginap untuk tiga bulan ke depan!"

"Salam kenal, namaku Fidio Aldena. Biasa dipanggil Fidio saja." aku mencoba memberinya salam ala orang Jepang, yaitu dengan sedikit menunduk.

"Salam kenal Fidio-kun, namaku Kira Hitomiko, panggil saja aku Hitomiko ya. Aku adalah pemilik Sun Garden ini."

Saat Hitomiko-san mengajakku masuk, hal pertama yang menyambut mataku adalah banyaknya anak-anak yang berlarian kesana kemari. Aku terdiam, tentu saja, bahkan sempat berpikir bahwa mereka adalah anak-anak Hitomiko-san sampai kemudian Mamoru menjelaskan padaku bahwa Sun Garden sebenarnya merupakan tempat bagi anak yatim piatu. Dia minta maaf karena memilihkan tempat yang akan kutinggali sebagai sarana homestay dan kemudian menawarkan rumahnya jika aku tidak berkenan.

Tidak masalah, menurutku ini malah bagus. Aku bisa belajar tentang budaya anak-anak Jepang serta kebiasaan mereka di pagi hari. Maksudku, dengan tempat seperti ini pasti ada beberapa peraturan yang sebaiknya memang dipatuhi, kan? Bukankah itu salah satu awal yang bagus untuk belajar budaya lain?


Aku bangun pagi di hari keduaku di Jepang, di tempat bernama Sun Garden.

Setelah merapikan diri, aku melaju ke arah dapur. Samar-samar telingaku mendengar suara seseorang yang sedang memasak juga riuh anak-anak yang menunggu sarapan. Hebat sekali Hitomiko, pikirku.

"Selamat pagi Hitomiko... san?"

Bukan, bukan sang pemilik yang kini hadir di depan kompor dan sedang menggoreng sarapan. Dia orang yang berbeda. Rambutnya berwarna hijau dengan style kuncir kuda, umurnya sekilas sama atau mungkin lebih muda dariku.

"Selamat pagi Fidio-kun... "kali ini Hitomiko-san yang sebenarnya muncul dari belakang, "...Midorikawa-kun."

Midorikawa, batinku.

"Hitomiko-nee, selamat pagi!" sapanya dengan senyum mengembang di wajahnya, "Eh? Ah! Kamu yang homestay di sini, ya?"

Dengan sigap anak manis bersurai hijau itu meletakkan telur serta sosis goreng yang sudah matang ke piring kemudian mendekatiku.

"Namaku Midorikawa, Midorikawa Ryuuji. Salam kenal."

"Aku Fidio Aldena, salam kenal juga."

Dan itulah awal dari semuanya.


Cepatnya.

Tidak terasa sudah hampir sebulan aku menghabiskan waktuku di Jepang. Banyak hal yang aku pelajari disini; misalnya tata cara makan, tata cara menyapa orang dan juga sapaan waktu. Aku juga melihat banyak hal; sekolah, kuil, tarian, upacara minum teh, kimono, taiko dan masih banyak hal menarik lainnya.

Mamoru sudah memperkenalkan teman-temannya padaku. Berkenalan dengan mereka benar-benar suatu hal yang bisa dibilang luar biasa karena teman-teman Mamoru pun ternyata jauh dari yang aku bayangkan.

Pertama, ada Gouenji Shuuya. Pemuda berambut putih ini sangat cool dan tenang. Dia selalu terlihat tampan dengan senyum dan suaranya yang tenang. Dia juga merupakan ace striker dalam tim Mamoru dulu. Dibalik semua itu Gouenji ternyata seorang siscom akut, tapi Mamoru mengingatkanku bahwa hal itu rahasia atau kami berdua bisa-bisa dikirim ke rumah sakit dengan jurus Fire tornado-nya.

Kedua, ada Kidou Yuuto. Pemuda ini mengingatkanku pada temanku di Italy, namanya Demonio. Entah perasaanku yang ane atau memang mereka sangat mirip. Kidou selalu terlihat bersama dengan Sakuma Jirou dan Fudou Akio. Mamoru bilang mereka memang tinggal bersama. Kutebak karena mereka ingin menghemat pengeluaran, tapi ternyata bukan itu alasannya. Fudou mengikuti Kidou dan membuat pemuda berambut dread itu mau tidak mau menampung yang mohawk di apartemennya. Sakuma tidak senang dengan kehadiran Fudou, jadi memutuskan untuk pindah dan tinggal bersama sehingga bisa mengawasi kedua temannya. Terlepas dari itu, ada Genda Koujiro yang selalu memuja Sakuma dan berharap Sakuma mau tinggal dengan dirinya tapi selalu berakhir dengan penolakan.

Ketiga ada beauties and the beast. Yah, aku menyebutnya begitu karena mereka memang terlihat demikian. Someoka sang beast, dan Fubuki kembar sang beauties. Aku kurang mengerti keadaannya, tapi mereka bertiga memang rajin terlihat bersama. Mamoru juga sudah menjelaskannya padaku. Fubuki Atsuya sang adik menaruh hati pada Someoka yang sebenarnya menyukai kakak kembarnya, Fubuki Shirou. Tapi Fubuki Shirou yang terlihat bermanja-manja dengan Someoka itu semata-mata untuk menjahili adiknya. Rasanya aku seperti melihat drama cinta segitiga yang kurang masuk akal.

Kemudian ada Handa Shin'ichi yang menyatakan bahwa dirinya adalah fansku. Dia meniru model rambutku dan juga berusaha untuk bisa menjadi pemain sepak bola handal sepertiku. Aku sih tidak masalah, tapi kehebohannya ketika kami bertemu itu sungguh tidak terlupakan.

Mamoru juga membawaku ke tempatnya biasa melakukan kerja sambilan, yaitu menjadi pelatih sepak bola bagi anak-anak sekolah dasar. Dia mengenalkanku pada seorang anak yang berbakat bernama Matsukaze Tenma. Bocah dengan rambut coklat yang selalu nampak ceria dan optimis ini selalu diikuti temannya Tsurugi Kyosuke—yang kata Mamoru, mulai bergabung dengan tim sepak bola karena tidak ingin Tenma direbut orang lain. Hahaha, cinta anak kecil yang aneh.

Ada juga anak yang pendiam dan mudah terharu bernama Shindo Takuto. Dia sering terlihat bersama dengan si manis Kirino Ranmaru. Kirino selalu terlihat menjaga Shindo terutama jika Shindou mulai meneteskan air mata. Tidak bisa dipungkiri, mereka semua lucu sekali.

Tapi tidak hanya dari Mamoru saja aku mendapat banyak hal baru. Sejak hari aku bertemu dan berkenalan dengan Midorikawa, aku rajin menghabiskan waktu dan belajar berbagai hal darinya.

Midorikawa banyak bercerita tentang Sun Garden. Impiannya adalah merawat anak-anak Sun Garden seperti bagaimana dulu dia dirawat. Dia juga memperkenalkanku pada Kira Hiroto, adik Hitomiko-san yang sedang belajar keras di universitas Tokyo agar bisa menjadi penerus keluarga perusahaan Kira. Midorikawa sendiri juga sedang belajar agar bisa menjadi asisten yang baik bagi Hiroto.

Semakin sering aku bersama dengannya, semakin aku suka memandangnya. Terutama senyumnya.

Midorikawa memiliki iris yang pekat dan tajam, sungguh indah. Surainya bernuasa hijau segar akan selalu terikat manis. Lengkung senyum pun tidak pernah lepas dari wajahnya. Pengecualian, tidak ketika dia mulai mengomeli Hiroto yang malas belajar tentang bisnis perusahaan—tapi saat bersamaku dia selalu memerlihatkan senyum terbaik.


"Maaf kamu jadi harus membantuku, Fidio."

"Tidak masalah."

Sekarang aku sedang membantu Midorikawa membereskan kamarnya. Dia harus memisahkan benda-benda yang masih bisa dipakai dan yang tidak. Jika masih berguna, dia dapat memberikan benda tersebut pada anak-anak Sun Garden. Jika tidak, maka harus dipisahkan lagi apakah masih bisa dijual atau memang harus dibuang. Midorikawa memintaku untuk membereskan lemari yang berisi benda-benda lama miliknya. Saat berusaha membereskan lebih dalam, aku menemukan sebuah foto dalam sebuah frame usang.

Foto yang terlihat asing bagiku.

Aku seperti mengenal anak dengan rambut hijau ala es krim matcha di sana. Tawaku yang tertahan rupaya di dengar oleh Midorikawa—membuatnya berhenti dari pekerjaannya lalu menghampiriku untuk bertanya 'ada apa?'. Aku menyodorkan foto yang kutemukan padanya dan dia lantas menjerit, mengambil benda itu dari tanganku.

"Jangan tertawa!" pekiknya keras.

"Hee? Memangnya kenapa?"

"...ini fotoku, Hiroto dan yang lain waktu masih kecil..."

Caranya berbicara dengan nada malu-malu membuatku sangat gemas. Entah kenapa dia bisa begitu manis padahal kami sesama laki-laki. Ditambah lagi dengan sikapnya yang membelakangiku sambil mendekap foto itu di dadanya, kadang mencuri-curi pandang untuk melihat apakah aku masih menatapnya atau tidak.

"Memangnya apa yang kalian lakukan sampai rambutmu bisa berdiri begitu? Hahahaha."

"Sudah kubilang jangan tertawa!" Hijau itu kembali berbalik untuk mengomel, tentu masih dengan wajah malu-malu, "Ini semua gara-gara kami bermain-main dengan produk baru."

"Produk baru?" Midorikawa mengangguk, "Ceritakan padaku."

Dia menaruh foto itu di lantai sebelum mulai berbicara.

"Ini semua gara-gara Hiroto!" itulah kata pertamanya, "Dia tiba-tiba saja datang membawa Gransby, gel rambut dari perusahaan Kira. Hiroto mengajak kami bermain salon-salonan."

Kemudian Midorikawa menunjuk ke salah seorang yang ada di foto itu, bertubuh tinggi dan berambut hitam, "Namanya Saginuma, dia adalah onii-san kami semua. Dia membuat semua model rambut yang kamu lihat ini." Jelasnya. Aku tahu kata itu, onii-san berarti kakak laki-laki.

"Termasuk model rambut es krim yang kau gunakan?"

"Jangan dibahassss!" dan aku tidak bisa menahan tawa lagi. Cara Midorikawa mengekspresikan sesuatu sungguh unik dan menarik.

"Lalu ini, Hiroto." Midorikawa menunjuk seorang bocah berambut merah seperti api, "Dia menggunakan hampir semua isinya, juga Fuusuke." Kali ini dia menunjuk seorang bocah poker face berambut putih.

"Jadi kalian menghabiskan seluruh isi botol gel itu?"

Anggukan cepat, "Yang paling kecil di antara kami adalah Haruya, yang merah ini. Karena paling muda dia mendapat giliran terakhir, sehingga hanya mendapat sisa. Makanya kami hanya bisa memakaikan gel itu sedikit dan jadilah rambut yang nampak seperti tulip ini!."

Seterusnya, Midorikawa menceritakan kenangan masa kecilnya. Tidak lupa berbagi pengalaman lucu dan momen-momen indah yang pernah dialami dalam hidupnya. Aku menikmati tatapan dan senyum pada wajah Midorikawa setiap dia bercerita. Mungkin memang bukan hal yang mewah, tapi bagiku sungguh menyenangkan untuk bisa menikmati saat-saat seperti ini.


"Fidio-kun, kau didalam?"

Mendengar ada yang mengetuk pintu kamar, aku langsung beranjak dari kasur untuk membukakan pintu.

Ternyata Hiroto. Aku mempersilakannya masuk, dia langsung masuk dan menutup pintu kamarku dengan ujung bibir mengembang, "Hai Hiroto, ada apa?" tanyaku.

"Lihat ini!" dia memperlihatkan 2 lembar tiket ke arahku. Senyumnya semakin lebar.

"Tiket?"

"Ini tiket untuk bermain di Inazuma Park, taman bermain yang paling terkenal disini."

"Ya? Lalu?"

Hiroto bukannya menjawab pertanyaanku, malah mengubah senyumnya menjadi sebuah tawa 'ufufu' yang sangat khas dari dirinya. Dia membenarkan posisi kacamatanya yang selalu menghiasi parasnya yang rupawan.

"Akhir-akhir ini Midorikawa sangat sibuk. Aku ingin dia bersenang-senang. Jadi aku minta pada ayah untuk membelikkan tiket Inazuma Park, dan beliau memberikannya padaku agar bisa pergi bersama Midorikawa."

"Lalu, kau ingin mengajak Midorikawa pergi tapi kenapa malah bercerita padaku?"

"Oh ayolah Fidio-kun~" desaknya sambil menepuk pundakku, "sudah sebulan ini kau dekat dengan Midorikawa, kan? Bahkan Midorikawa tidak berhenti bercerita tentangmu ketika sedang bersamaku."

"Ya... lalu?" aku tidak bermaksud merepetisi.

Sekonyong-konyong Hiroto menyerahkan tiketnya, memaksaku untuk menerimanya. Dengan segan kuambil kedua tiket itu dari tangannya dan Hiroto segera meluncur menuju pintu, bersiap-siap untuk keluar dari kamar.

"Sukses~ Fidio-kun~" ucapnya sebelum menutup pintu. Aku masih bisa mendengar tawa 'ufufu' yang terdengar semakin menjauh.


Ternyata benar kata Hiroto.

Semalam aku bertanya pada Midorikawa apakah dia mau pergi ke Inazuma Park karena aku memliki tiket untuk masuk kesana dan dia benar-benar menyambutnya dengan sangat gembira. Jadi, sekarang aku sedang berada di Inazuma Park dengan Midorikawa yang sangat bersemangat untuk mencoba setiap wahana yang ada.

"Hey, hey, Fidio! Ayo naik jet-coaster!"

"Hey, hey, Fidio! Ayo masuk ke rumah hantu!"

"Hey, hey, Fidio! Apa kau pernah mencoba permainan itu?"

"Hey, hey, Fidio! Merry-go-Round itu sangat menyenangkan loh!"

"Hey, hey, Fidio! Ayo beli gula-gula kapas!"

Midorikawa tidak berhenti untuk membawaku berputar-putar ke seluruh pelosok Inazuma Park. Hampir semua wahana dimainkan, dan hampir setiap menit dia mengoceh, menjelaskan pesan dan kesannya. Melihatnya berlarian kesana kemari dengan tawa yang menghiasi wajahnya itu membuatku tidak lelah walau terus berjalan tanpa berisitirahat barang sebentar saja.

Tapi kulihat kini yang lelah adalah Midorikawa. Setelah membeli permen kapas, kami berdua duduk di sebuah bangku taman.

"Fidio, terima kasih ya sudah membawaku kemari!"

"Sebenarnya aku mendapatkan tiket itu dari Hiroto."

"Hiroto?"

"Kemarin dia ke kamarku, memberikan tiket dan memintaku untuk mengajakmu."

"Oooh... mungkin Hiroto sibuk." mulutnya melahap suapan terakhir permen kapasnya sebelum kemudian berdiri, "Yosh! Kali ini giliranmu untuk menentukan permain selanjutnya!"

"Aku?"

Midorikawa menjawab dengan anggukan pasti.

"Baiklah... aku... ehm, aku ingin naik ferris wheel."

Dan di sinilah kami. Di dalam ferris wheel berwarna hijau serupa warna rambut Midorikawa—menikmati indahnya pemandangan dari atas. Yang paling kusayangkan adalah kenapa waktu berjalan begitu cepat. Baik di dalam bianglala saat itu, maupun waktu homestay-ku di Jepang. Karena tidak terasa waktuku hanya tinggal seminggu lagi dan aku harus pulang kembali ke Italia.

Ada perasaan senang untuk bisa kembali ke rumah, tapi juga rasa sedih karena harus berpisah.


"Fidio?"

Terdengar ketukan dan suara Midorikawa. Dengan cepat kutinggalkan apa yang sedang kukerjakan untuk membukakan pintu.

"Hey Fidio!" sapa Mamoru yang ternyata bersamanya, "Sebelum kau pulang, bagaimana kalau satu pertandingan?" katanya sambil memberikan bola sepak padaku.

Aku menerima ajakan Mamoru dengan senang hati. Dari awal aku memang sudah berniat melakukan tanding ulang dengannya. Pertandingan kali ini tidak hanya berlangsung antara aku dan Mamoru. Gouenji, juga teman-teman lain ikut bermain, begitu pula dengan Hiroto yang tampil sebagai gelandang. Kata Mamoru dia adalah pemain yang berbakat tapi tidak ikut bergabung dalam tim karena kesibukkannya belajar.

Pertandingan berlangsung sangat seru. Aku tak pernah menyangka bahwa Jepang masih memiliki banyak pemain handal yang menyia-nyiakan bakatnya karena tidak ikut bergabung dalam tim nasional. Fudou dan Kidou, mereka sangat jenius dalam strategi. Berkali-kali keduanya berhasil membaca gerakanku. Sang adik, Fubuki Atsuya memiliki tendangan yang kuat dan kakaknya Fubuki Shirou benar-benar defender yang hebat.

"Hey Fidio-kun." panggil Hiroto, "Kau harus lihat tendangan Midorikawa."

"Eh? Midorikawa juga main bola?" seruku tidak percaya.

"Diam kau, Hiroto!" bentak Midorikawa.

"Aku ingin lihat... boleh, kan?" pintaku padanya.

"Tunjukkan saja Astro Break-mu itu Midorikawa!" kali ini Mamoru juga ikut memohon.

Belum Midorikawa sempat menjawab, Gouenji sudah melemparkan bola ke arahnya sementara jauh di depannya Mamoru telah siap untuk menerima tendangan. Kaki Midorikawa dengan tangkas menahan bola, membiarkannya memantul ke tanah. Dengan satu tarikan nafas yang panjang, dia melakukan tendangan Astro Break yang terlihat sangat cantik bagiku.

"Wow... kau hebat sekali, Midorikawa!" Pujiku dengan memberikan tepukan tangan ringan untuknya.

"Tidak kalah dari Odin Sword, kan?" candanya.

Pertandingan pun dilanjutkan dengan tambahan Midorikawa sebagai anggota tim-ku. Kelincahan Midorikawa berhasil membuat tim kami mencetak gol tapi juga berhasil membuatku selalu tidak sadarkan diri karena terlalu kagum padanya. Aku tidak peduli kalah atau menang. Nampaknya juga tidak ada yang peduli. Kami hanya ingin bersenang-senang bersama. Aku sendiri ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan mereka semua.

"Karaoke?" tanya Sakuma tiba-tiba pada kami semua sambil membagikan minuman.

"Ide yang bagus." pungkas Goenji.

"YOOOSH!" seperti biasa, Mamoru langsung berdiri penuh antusias. Semangatnya membuatku tidak percaya bahwa dia baru saja melakukan tiga set pertandingan, "Ayo kita semua pergi karaoke!"

"Kau yakin? Kita semua bau keringat!" sela Midorikawa.

"Tidak apa, kan hanya ada kita saja di ruangan itu nanti." jelas Hiroto.

"Menurutku pasti seru bisa karaoke bersama." pendapatku memberikan suara bulat.

Dan diputuskan kami semua akan berkaraoke. Tanpa mandi tanpa ganti pakaian, kami langsung melaju ke tempat karaoke, memesan satu tempat dan langsung memulai karaoke.

Nyanyian dibuka oleh Endou. Begitu masuk dia langsung menyambar mic dan memilih lagu dan menyanyikannya lagu yang berjudul 'Secret Rendesvous'.

"Egao ga aru kara, oh yeaaah, allllllright~!" dia menyanyikan lagu itu dengan semangat dan sangat bagus. Sebagai seorang Soccer freak, siapa sangka Mamoru punya suara yang luar biasa?

"Ryuusei ni nare~" setelah mamoru, giliran Hiroto mengambil alih mic dan bernyanyi. Setelah itu Someoka menyanyikan lagu yang jelas terdengar ditujukan untuk Fubuki kakak dan segera dibalas oleh Fubuki adik dengan menyanyikan lagu untuk Someoka. Sedangkan Fubuki kakak justru memilih untuk menyanyi lagu enka.

"Fidio giliranmu!" Mamoru memberikan pengeras suara di tangannya padaku. Mamoru yang melihat kecemasanku segera menambahkan, "Tidak harus lagu Jepang. Di sini banyak lagu asing juga..."

"Baiklah, aku akan menyanyikan lagu yang mungkin sedang terkenal kalau di daerah barat..."

"Lagu apa itu?" tanya Midorikawa padaku.

"One Thing, dinyanyikan oleh One Direction."

Setelah kupilih lagu dan musik mulai mengalun aku pun mulai bernyanyi di depan. Aku tidak bermaksud untuk bernyanyi mengarah pada Midorikawa. Tapi tanpa sadar memang itulah yang aku lakukan.

"...but i need that one thing, and you've got that one thing."

Begitu lagu ini selesai aku mengembalikan mic dan langsung kembali duduk. Aku hanya ingin menenangkan diriku, berharap agar tidak ada yang sadar dan menganggapnya sebagai spontanitas gerakan saat bernyanyi. Namun sepertinya Hiroto menyadarinya karena segera memberikan mic pada Midorikawa, menyuruhnya bernyanyi setelahku.

"Midorikawa bagaimana kalau kau nyanyikan salah satu lagu favoritmu itu."

"Yup! Aku memang ingin menyanyi lagu itu!" katanya dan langsung memposisikan diri di depan.

Dengan segera lantunan lagu berputar, kebiasaan Midorikawa untuk menarik nafas sebelum melakukan apapun. Aku pribadi memang penasaran lagu apa yang akan dibawakannya.

"Just be friend~ all we gotta do~ just be friend~"

Sementara aku hanya bisa diam.


Tidak sampai dua hari lagi aku harus kembali ke Italia. Di dalam kamar, aku masih berusaha membereskan ulang barang-barangku.

Semua harus benar-benar diperiksa, apakah yang ingin aku bawa pulang dan apakah titipan dari teman-teman serta keluarga sudah aku dapatkan. Untungnya aku masih punya satu hari untuk membeli apa yang butuhkan. Kututup koperku dan kembali berpikir, terutama karena dalam dua hari ini aku akan berpisah dengan Midorikawa.

Entahlah, sejak acara karaoke beberapa hari yang lalu aku tidak sesedih dulu lagi. Apa karena lagu itu?

"Fidio kau sibuk?"

Karena aku tidak menutup pintu, aku tidak mendengar suara ketukan dan dapat langsung melihat Midorikawa sudah berdiri sambil membawa buku catatan. Aku mengajaknya masuk agar dia bisa langsung duduk di sebelahku—membuka sebuah buku catatan sambil membentangkan sebuah peta.

"Kariya ada tugas sekolah mengenai peta Eropa..."

Tentu saja aku kenal dengan Kariya, salah satu anak yang tinggal di Sun Garden.

"Jadi aku ingin minta tolong..."

Aku tersenyum dan tentu saja menyanggupi permintaan tersebut. Karena mungkin inilah permintaan terakhir yang dia ajukan padaku, aku pun akan membantunya dengan senang hati seperti biasa.

Aku menjelaskan satu demi satu negara bagian di Eropa sementara Midorikawa menuliskannya di buku. Aku tahu aku harus memperhatikan peta tersebut agar tidak salah ketika menunjuk dan menyebutkan nama daerah, tapi yang aku perhatikan justru ketika Midorikawa bermain-main dengan rambutnya yang terjatuh di samping pipinya. Dia akan memainkannya, memutar-mutarnya dengan jemari sebelum kemudian melemparnya ke belakang dan menunggu hingga terjatuh lagi.

"Ke-kenapa menatapku?"

Midorikawa sadar bahwa aku terlalu lama menatapnya dan bertanya, tentu dengan wajah judes yang selalu nampak menggemaskan bagiku.

"Sepertinya kau terganggu dengan rambutmu?"

"Ah, tidak kok... memang aku bermaksud untuk memotongnya. Hanya saja belum ada waktu."

"Bukannya sayang kalau dipotong?"

"Lalu harus bagaimana, dong?"

Aku meminta Midorikawa untuk mengubah posisinya yang merebah di lantai menjadi duduk. Kuraup helainya dengan sedikit memainkan jemariku di antaranya, mencoba menerapkan cara mengikat seperti yang pernah diajarkan oleh salah seorang teman padaku. Menyanggulnya ke atas.

"Bagaimana?" tanyaku.

Midorikawa seperti merasa asing dengan model rambut barunya. Dia terus meraba sambil mencari cermin, mencoba melihat bentuk unik yang baru saja kuberikan untuknya.

"Terma kasih, Fidio." sambutnya dengan senyum.

Setidaknya kenangan terakhirku adalah yang terbaik.


.

.

「 Isi penaku habis, aku terpaksa berhenti menulis. Aku benar-benar terpaksa. 」

.

.


"Jadi kau pulang dengan cinta bertepuk sebelah tangan?"

"Seenaknya saja!"

Saat ini aku sudah kembali ke rumah dan sedang menikmati teh hangat di sore hari bersama dengan temanku, Edgar. Bercerita padanya tentang semua pengalamanku ketika homestay di Jepang. Sekarang dia tahu hampir segalanya, termasuk seluruh kejadian dengan Midorikawa.

"Seriuslah, Fidio!" cicitnya, "Kau tidak menyesal?"

"Tidak, dia sudah menjawab secara tidak langsung saat itu."

"Oh, please. Itu kan hanya karena kebetulan dia ingin menyanyikan lagu tersebut. Mana mungkin dia berpikir untuk menyanyikannya untukmu."

"Aku tahu. Entah kenapa aku ingin menganggapnya begitu."

Edgar hanya menggelengkan kepala dan kembali menyeduh teh jasmin hangat di depannya.

"—tapi," imbuhku, "Waktu mengantarku ke bandara... dia bilang kalau dia akan menungguku."

"Menunggu?"

Kuberikan anggukan kecil, "Dia tidak menjelaskan menunggu yang seperti apa, entah kembalinya aku ke Jepang... atau... entahlah."

Dalam hitungan detik Edgar tergelak puas—dan aku memang tahu dia akan melakukannya, jadi aku tetap tenang dengan teh milikku sendiri. Menyesapnya perlahan sambil menikmati sore yang indah.

"Hey, Fidio, bagaimana kalau kita pergi karaoke!"

"Eh?"

"Aku akan mengundang Terrace! "

"Sekarang?"

"Tentu, kenapa tidak?"

Aku menghabiskan tetes teh terakhir dari gelasku sambil memberikan senyum terbaik sebelum menjawab. "Baiklah..."

Selama Edgar sibuk dengan telepon genggamnya, aku hanya memandang ke langit. Benar kata temanku, Rococo. homestay memang membawa banyak pengalaman baru. Budaya baru, teman baru, dan khusus bagiku aku mendapat sebuah hal yang tidak bisa kujelaskan bahkan dalam sebuah tulisan.

Yang pasti, pengalaman ini sangat berharga. Bahkan akan selalu berharga baik ketika aku menjalaninya sekarang maupun untuk ke depannya nanti.

Terutama karena pertemuanku dengan Midorikawa Ryuuji—sang Verde Smeraldo.


END

.

.

.

*Verde Smeraldo: Green Emerald

A/N:
Fic yang tercipta gara2 event Inazuma chit chat FB di liocott karena begitu dramatisnya hubungan Fidio dan Midorikawa #sungguhcrack #gagalpaham
Karena udah ditulis AU di atas, ngga usah dibilangin lagi ya kenapa Fidio, terrace, bahkan Edgar bisa satu negara plus kenapa Atsuya masih hidup dll _(´□`」 ∠):_

R&R maybe? C: