Jimin selalu bangun pukul enam pagi. Idealnya ia menghabiskan waktu delapan jam untuk tidur sama halnya dengan mengkonsumsi delapan gelas air putih dalam sehari. Jimin bukan pecinta keteraturan mutlak namun ia sebisa mungkin mengkordinir agar hidupnya terkontrol dengan benar. Bagaimanapun hidup sehat adalah prioritas utama, oh tentu saja setelah eksistensi seseorang yang kini tengah membelakanginya, menghadap pantri sambil mengambil sepasang mug gemuk dari rak perabotan.
Tidak banyak yang tahu akan kebiasaan-kebiasaan kecil Park Jimin yang menurut segelintir orang tidak begitu penting. Namun sosok itu memahami kebiasaan Jimin dengan teramat baik. Jimin suka minum kopi saat pagi, jadi sosok itu rela bangun sepuluh hingga limabelas menit lebih awal dari si pemuda lucu berbibir penuh untuk menyiapkan minuman berkafein yang memang nikmat sekali diseruput sebagai teman mengawali hari.
Jimin mengulum senyum saat sepasang matanya yang kecil memindai gerak-gerik pemuda berkulit agak tan yang sok sibuk menyiapkan dua mug keramik di samping Nescafé Dolce Gusto tipe Circolo yang diletakkan bersisian dengan toaster. Sosok itu, si pemuda bersurai kayu mengerutkan dahi, bibirnya terkatup rapat pertanda dirinya sedang ada dalam mode serius. Padahal hanya membuat latte instant dengan mesin kopi tetapi lagaknya menyaingi barista paling wahid seantero Middleburg. Ada-ada saja kelakuan pemuda yang lebih kurus namun tingginya mampu menyaingi Jimin tersebut.
Jimin menyukai bagaimana surai sewarna kayu itu bergerak kala pemiliknya sibuk mengolesi selai nanas pada roti bakar dengan ceria, bibir pemuda itu mendendangkan bait-bait lagu Dance With Me milik Nouvelle Vague, grup band jazz favorit mereka. Sepasang obsidian milik Jimin bergulir, meringis ketika matanya yang awas menemukan tiga memar berwarna kemerahan pada tengkuk sosok tersebut. Bekas itu baru, hasil kegiatan malam mereka.
Konon, jika kita memusatkan pandangan pada seseorang, arahnya tepat ke bagian tengkuk. Cukup semenit, maka dia akan tahu kalau kita diam-diam tengah memandanginya. Tepat semenit sosok itu memutar tubuhnya, menoleh seakan menyadari eksistensi Park Jimin yang kini tengah mencuri pandang tepat ke arahnya.
"Selamat pagi Jimin."
Pemuda berkulit agak tan itu menawarkan senyum. Matanya yang runcing dan serupa netra kucing melengkung indah. Mengirimkan sengatan kecil menyenangkan yang memabukan di saat bersamaan. Jimin nyengir lucu sebelum menghambur ke arah pemuda pemilik surai kayu.
"Pagi juga Taetae. Atau perlu kupanggil Taehyungie? Park Taehyung?"
"Jangan sombong." Itu Taehyung yang bicara, diam-diam meremat jemari Jimin yang pendek-pendek memeluk pinggangnya. Pemuda itu tersenyum kotak saat memindahkan dua mug gemuk penuh latte dari mesin kopi. "Ayo minum dulu, kita ngobrol sampai pukul delapan. Aku kangen ngobrol banyak denganmu."
Aroma manis susu dan taburan serbuk kakao mengusik indera penciuman namun Jimin abai akan aroma khas latte dan lebih memilih menaungi tubuh lain di hadapannya. Mata pemuda lucu itu menyipit, bibirnya yang penuh melengkung sempurna saat mendengar suara tawa Taehyung yang ringan dan menenangkan.
"Lupakan lattenya." Bisik Jimin seduktif. Alisnya bergerak main-main, mengundang tawa lain dari Taehyung. "Masa kau tidak kangen padaku?"
"Apa sih, pagi-pagi sudah begini? Bikin geli saja." Taehyung terkekeh saat merasakan lengan pemuda yang resmi menjadi pasangannya itu melingkar diam-diam dari belakang, kini lebih erat memeluk pinggangnya.
Kali ini suara tawa mereka berdua mengudara. Renyah, menggemaskan, adiktif bagai candu yang menyesatkan. Tubuh yang lebih kurus terantuk pelan pada tepi pantri saat pelukan Jimin kian mengerat.
"Biar, habis aku rindu. Lusa sudah harus pergi ke Cafayate untuk mengecek perkebunan. Padahal seminggu lalu aku baru saja meninggalkanmu untuk bertolak ke Italia."
"Kau kan sibuk. Bukan masalah besar. Lagipula ada ponsel, kan? Nanti kita video call saja."
"Ide bagus." Napas hangat Jimin menubruk leher jenjang pemuda bersurai kayu, tanpa malu-malu Jimin mendaratkan dua kecupan di tengkuk yang lebih muda. Satu kali di kanan dan satu kali lagi di kiri. Hanya kecupan ringan namun mampu menggetarkan hati keduanya.
"Kau salah makan apa, sih?" Taehyung berbalik namun senyum pemuda bersurai kayu itu belum juga pudar. Biasanya Taehyung akan jual mahal sedikit, lalu kembali sibuk dengan kegiatan paginya-entah menuang liquid kopi atau menyiapkan dua tangkup roti bakar berselai. Namun hari ini tak butuh waktu lama bagi Jimin untuk menarik atensi Taehyungnya.
"Aku makan steik well done kelewat gosong buatanmu kemarin malam."
Ah, benar juga. Taehyung jadi ingat kemarin dirinya dengan sok memasak steik untuk makan malam karena mendengar seorang rekan bisnis Jimin kerap kali membanggakan masakan pasangannya yang katanya enak sekali mirip masakan restoran berbintang. Berniat masak steik dengan tingkat kematangan well done, Taehyung malah menghanguskan daging steik mereka. Kalau kata Jimin jika steik adalah korban kebakaran, steik buatan Taehyung yang malang mengalami luka bakar serius dan wajib mendapat penanganan intensif (Sebenarnya Jimin menyindir Taehyung secara halus, secara tidak langsung menyarankan pemuda bermanik karmel itu untuk lebih giat latihan memasak namun Taehyung rupanya kurang peka).
"Sudah, ah. Aku sibuk. Duduk sana." Usir Taehyung main-main. Kalau lama-lama didiamkan begini nanti lattenya bisa dingin. Sia-sia dong usahanya bangun pagi untuk menyeduh kopi.
"Sepekan tak ada aku kau ada kemajuan, ya? Sekarang sudah lebih mahir pakai-pakai toaster, panggang-panggang roti, menyeduh latte." Ujar pemuda bersurai kelabu itu dengan logat daerahnya yang kental. Baru juga Jimin senang karena berhasil menarik perhatian si pemilik netra sebening karamel, namun sosok itu cuek-cuek saja, seolah tengah mencoba menguji kesabarannya. Kadang-kadang kalau jahilnya kambuh, Taehyung memang suka bikin gemas.
"Kalau begini saja sih aku jago, Jim." Ucap Taehyung pongah. Dengan bangga menata roti bakar tak simetris miliknya di atas piring keramik. "Kau pasti senang, roti bakar buatanku enak. Madam Em saja suka."
"Ei, sekarang siapa yang sombong?" Mata Jimin menyipit bersamaan dengan senyumnya yang kian mengembang. Pemuda berumur duapuluh dua itu mengikis jarak diantara mereka tanpa gentar. Menubrukkan dahinya pada dahi Taehyung yang ditutupi poni tebal kecokelatan. Lalu wajah mereka semakin dekat, semakin dekat, dekat sekali dan-
"Wow, stop Jim. Aku tidak mau dicium kalau kau belum gosok gigi."
Ucapan Taehyung barusan sukses merusak momen romantis yang susah payah Jimin bangun. Namun bukan Park Jimin namanya jika semudah itu hilang akal.
"Mau membuktikan?" Ucap Jimin di sela-sela tawanya. Pemuda itu menekan tengkuk Taehyung lalu nyengir bodoh yang sialnya terlihat kelewat tampan di saat bersamaan. Taehyung mengeluh dalam hati. Jimin kapan jeleknya, sih?
"Apa yang mau dibuktikan?" Taehyung menarik sudut bibirnya. Tahu betul arah pembicaraan pemuda bersurai kelabu di hadapannya.
"Aku sudah gosok gigi atau belum." Napas Jimin yang wangi mentol menyapu bibir Taehyung. Dalam sepersekian sekon tiba-tiba saja wajah Jimin begitu dekat dengan Taehyung (lagi), Jimin memajukan belah bibirnya yang menarik, menggoda Taehyung untuk segera memagutnya. Tepat ketika Taehyung hendak membuka mulut, Jimin berangsur memberi jarak. Pemuda itu menyeringai karena berhasil mengerjai Taehyung. Sesekali si manis itu perlu diberi sedikit pelajaran karena sok jual mahal.
"Jim!" Taehyung berseru jengkel. Pemuda bersurai kayu tersebut merengut karena merasa dipermainkan-bukan sebenarnya, Taehyung hanya merasa sedikit malu karena terlihat kelewat bersemangat padahal beberapa menit yang lalu ia terang-terangan menolak Jimin.
"Maaf, maaf, kali ini sungguhan." Jimin menarik pelan pergelangan tangan Taehyung namun Taehyung malah menampiknya. "Ya ampun, kau merajuk Tae?"
"Laki-laki tidak merajuk. Minggir Jim." Taehyung mengambil mug latte miliknya lalu melangkah gegas meninggalkan Jimin. Dongkol setengah mati karena lagi-lagi berhasil dibuat malu.
Roman-romannya kecewa berat. Taehyung bahkan tak menoleh saat Jimin ribut menyerukan namanya.
"Ya! Taehyungie, bagaimana dengan morning kiss-ku? Aku sudah gosok gigi, lho."
"Habiskan saja latte dan rotimu. Aku mau ke balkon, mau lihat sunrise."
Pemuda bersurai kelabu itu menghela napas pendek. Mungkin hari ini Jimin harus berpuas diri menikmati segelas latte dan roti bakar berselai (yang lagi-lagi nyaris gosong) tanpa kecup-kecup Taehyung. Salahnya juga sih, siapa suruh menggoda Taehyung.
Fin.
a/n: Fanfik ini pernah saya publish dua tahun lalu, tepatnya tangga 23 Januari 2017 di Fanfiction dot Net pun Wattpad. Ini bukan tulisan terbaik saya, (ini cheesy yet plotless) tetapi fanfik ini sangat berarti bagi saya; karena dulu saat mengetiknya saya pernah bahagia.
Semoga kebahagian selalu menyertai kalian:)
