Lycan
Genre : Romance/Supernatural
Rating : M (For Language dan sedikit Lime tersurat)
WARNING : BL, OOC, TYPO(S), Myth Inside, AU, NO BASH, GS FOR MOMMIES, CRACK PAIR, ALUR CEPAT, GAJE
ALL CHARA ARE NOT BELONG TO ME
Inspirated By : Twilight, Underworld, Vampire Diaries, Frankenstein, And Myth History.
Summary :
Jongin seorang remaja 17 tahun baru saja kehilangan ibunya. Suatu hari ayahnya yang seorang dokter dimutasi ke Jinan. Saat itulah ia menyadari bahwa hidupnya tidak lagi sama seperti dulu.
.
.
.
Prolog
13 adalah angka sial, tapi bagiku 17 adalah angka tersialku. Tepat di hari ulang tahunku, ibuku meninggal dunia secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas. Ayahku sempat terpukul, begitu juga aku. Hidupku seolah tak berarti tanpa ibu, dan menuduh dunia begitu kejam kepadaku.
Tepat 2 bulan ibu meninggal, ayahku yang seorang dokter itu di mutasi ke sebuah desa yang terletak di Jeolla Utara.
Semua orang berpikir itulah yang terbaik untuk kami agar bisa merelakan ibuku. Awal mulanya pun aku juga akan mengira seperti itu.
Namun suatu keganjilan mulai terjadi. Dari banyaknya orang yang selalu berada di dalam rumah saat bulan purnama. Dan sebuah hutan terlarang yang malah membuatku semakin bertanya-tanya.
Hingga pertemuanku dengan pemuda misterius bernama Oh Sehun beserta keluarganya. Tanpa sadar telah membawaku ke dunia lain dan tidak akan pernah membiarkan aku lepas sampai mati.
.
.
.
.
New Life (Bab 1)
"Tuhan, tolong lindungi kami dari mereka-mereka yang berniat jahat kepada kami, amin"
Aku mencium kalung berbandul salib pemberian ibuku sewaktu aku kecil dulu. Hal yang tidak akan pernah berubah adalah rutinitasku yang selalu berdoa di pagi hari—sehabis bangun tidur, tepat seperti apa yang selalu ibu ajarkan padaku.
Hal yang selanjutnya aku lakukan adalah mandi, membereskan tempat tidurku, dan segera menyiapkan makan pagi untukku dan ayahku. Hari ini hari Sabtu, sehingga aku maupun ayah dibebaskan dari banyaknya kesibukan di luar rumah seperti yang sering kami lakukan di hari-hari biasa.
Aku tak tahu harus memulainya darimana. Kisahku ini tidak terlalu menarik, dan tidak sedikit orang yang mengganggap ceritaku sangat membosankan. Dibandingkan mendengarkan ceritaku, orang lain pasti akan jauh lebih tertarik mendengarkan cerita-cerita anak balita yang baru pandai menceritakan hal-hal baru di sekitarnya.
"Kita akan berangkat besok pagi" Ayah berkata, ia sudah menghabiskan nasi goreng yang aku masak.
Wajahnya terlihat serius, ia meminum air putih di gelasnya. Aku hanya diam, dan sibuk menikmati masakanku sendiri.
"Jongin, kau dengar ayah?"
Aku mendongak, menatapnya sekilas dan mengangguk. Ku pikir ayah tidak perlu mendengar persetujuanku untuk pindah ke Jinan. Kita sudah membicarakan hal ini dari beberapa hari yang lalu.
"Apa kau siap jika harus meninggalkan rumah?"
Aku mengernyitkan keningku. "Mengapa tidak?"
Ayah mengulas senyum tipis. Ayahku bukan orang yang sering tersenyum dan banyak bicara karena ia seorang dokter.
"Ayah tak ingin kau merasa terpaksa"
"Aku tahu"
Lagipula siapa yang akan merasa dipaksa?
"Kemana pun ayah pergi, aku akan selalu ikut ayah"
Ayah mengusak sayang rambutku. Meskipun terkadang ayahku kaku, ayah sangat menyayangiku dan aku tidak akan pernah bisa meninggalkan dirinya seorang diri di Jinan. Apalagi dengar-dengar ia akan tinggal di desa, ayahku bukan orang yang pandai memasak dan merapihkan rumah. Jadi aku tidak akan tega berkata, jika aku mau menyelesaikan sekolahku di Seoul dibandingkan di Jinan. Walau sesungguhnya berat hatiku untuk pindah dari sini.
...
Aku mulai terkenang saat melihat gambar cantik ibuku dibalut pakaian hanbok warna-warninya tengah menggendong tubuhku sewaktu aku bayi. Ibu selalu bilang jika aku adalah putranya yang manis dan memujiku pada setiap hal kecil yang selalu sukses ku lakukan.
Tanpa sadar mataku mulai berkaca-kaca. Kim Kyungsoo telah pergi 2 bulan yang lalu. Dan kini hanya ada aku, Kim Jongin (putranya), dan juga Kim Kyuhyun (suaminya) yang dokter itu.
Ibu selalu bangga dengan keberuntungannya yang bisa menikahi seorang dokter seperti ayah. Namun keberuntungannya harus bertahan begitu singkat, karena kini yeoja yang paling aku sayangi itu harus pergi untuk selama-lamanya.
Mataku terpejam dan tahun-tahun saat dimana ibu masih bersama kami mulai bergerak merasuki pikiranku. Perlahan-lahan mundur seperti jarum jam yang berputar ke arah berlawanan.
Rasanya baru kemarin saat ibuku yang cantik itu mengajariku bermain sepeda di halaman kami yang asri itu. Atau saat ibu menjahit baju kesayanganku, atau saat ibu yang memasak makan malam yang enak untuk kami.
Namun panggilan ayah dari mobilnya menyadarkanku. Aku membuka mata, dan menghela napas pelan, lalu merasakan semuanya kembali ke dunia nyata.
"Kita harus cepat, nak" ia berseru. Aku mengangguk pelan. Aku melangkahkan kedua kakiku memasuki mobil ayahku.
"Rumah akan ayah sewakan beserta isi-isinya"
"Bagaimana dengan barang-barang ibu? Bagaimana jika si penyewa itu merusaknya?"
Ayah terdiam sejenak, lalu berkata; "Barang-barang ibumu sudah ayah taruh di kamar pribadinya. Ayah telah menguncinya. Sebagian lukisan ibumu pun juga ayah bawa ke Jinan"
...
Hal yang tak pernah terbayangkan tentang rumah baru kami di Jinan adalah rumah yang lumayan besar dengan gaya minimalis yang nyaman.
Rumah ini adalah rumah dinas. Dan aku sempat berpikir jika rumah ini sedikit terpencil dari keramaian penduduk. Ini rumah yang nyaman bagi orang-orang yang tidak suka kebisingan seperti kami.
Mungkin jika berjalan 1 Km ke arah selatan, aku bisa menemui sebuah pertanian milik keluarga Ryu. Tetangga terdekat kami yang punya mobil bak terbuka dan traktor.
Aku tahu itu karena mereka sudah saling bersalaman dan terlihat ramah. Putra keluarga Ryu usianya baru 8 tahun. Usia yang cukup jauh jika dibandingkan kedua orangtuanya yang sudah berusia 50 tahunan itu. Mereka benar-benar telat memiliki seorang anak rupanya.
"Jika ada apa-apa, Uisa bisa meminta pertolongan kami" kata yeoja itu. Ia terlihat malu-malu.
Ayahku memang tampan, dan punya kharisma tersendiri saat ia tersenyum.
Aku mulai menyukai aroma-aroma embun pepohonan di rumah baru kami. Di belakang rumah terdapat pohon-pohon oak yang dilapisi lumut spanyol yang terlihat lebat dan mungkin sudah lebih dari 10 tahun berada di sana.
"Ayah bisa mengantarmu ke sekolah jika kau mau" kata ayah.
Keluarga Ryu dengan baik hati memberikan sebuah sepeda berwarna hitam dengan sebuah keranjang di depannya.
Makan malam kami kali ini sangat sederhana. Dengan lauk-pauk yang diantarkan beberapa penduduk desa yang ramah itu saat mengunjungi rumah kami. Dalam hitungan jam saja nama ayah sudah mulai tenar di seluruh penduduk desa dan membuatku ingin tertawa saja rasanya.
"Ayah tahu, kau tidak bisa naik sepeda"
Aku memasang wajah masam saat ayah berkata seperti itu. "Aku akan belajar nanti" sahutku.
"Tapi untuk sekarang ayah yang akan mengantarmu ke sekolah"
"Memangnya ayah tidak sibuk?"
"Tidak jika hanya mengantarmu ke sekolah"
.
.
.
.
SMU Yeolhan adalah sebuah SMU negeri yang terletak beberapa kilometer dari rumahku.
Ayah bilang aku akan sekolah di sana, dan memiliki teman baru yang sudah pasti jauh lebih baik dibandingkan Seoul. Aku sempat berpikir, pastinya mereka akan terlihat polos dan berbeda jauh dengan teman-temanku saat di Seoul.
Dan tebakanku sama sekali tidak melenceng. Semua gadis nampak berpakaian sopan dengan rok-rok di atas lutut dan stocking berwarna hitam sedikit tebal membalut kedua kaki mereka.
Aku mulai gelisah, seperti; Bagaimana jika aku tidak bisa beradaptasi dengan baik dengan mereka? Mengingat aku yang terlalu sulit untuk bisa membuka diriku pada lingkungan baru.
Tapi ayah berkata, jika yang perlu aku lakukan hanya tersenyum. Aku menuruti perkataannya, dan sebisa mungkin ku jawab pertanyaan-pertanyaan guru-guru yang bertanya siapa namaku, atau murid pindahan darimana. Dan yah, seperti itulah kiranya.
Ada banyak sekali pohon dan semak-semak di sekeliling sekolah baruku sehingga aku berpikir jika di belakang sekolah ini bisa dijadikan sebuah tempat uji nyali saat pesta kemah nanti. Pasti akan seru, pikirku.
"Kau pasti murid baru dari Seoul itu ya?" seorang yeoja datang dan menyapaku.
Aku tersenyum seraya mengangguk. Ia memperkenalkan namanya sebagai Ahn Jaehyun seorang kepala sekolah di SMU ini.
Dia mengajakku ke ruang tata usaha dan memintaku untuk menunggu di ruang tunggu sementara ia masuk ke dalam ruangan yang terletak di sana. Ada tiga ruangan di sana.
Juga sebuah konter panjang berantakan dengan keranjang-keranjang kawat penuh kertas di sana.
Aku menghirupi aroma dingin AC yang sangat khas di hidungku. Dan tak lama kemudian Jaehyun saem tiba dengan stellan seragam dan memberikan dua lembar kertas padaku.
"Kau bisa mengganti seragam lamamu dengan seragam ini di toilet" katanya, dengan senyum. "Dan ini jadwal mata pelajaran dan peta sekolah"
Aku mengangguk dan mengucapkan kata terimakasih. Lalu membungkuk—pergi dari ruang tata usaha itu.
Sempat ku dengar jika ia mendoakan aku supaya aku senang selama berada di Yeol han. Dalam hati aku meyakinkan jika aku bisa melewatkan hari-hariku di sekolah ini seperti yang ia dan ayahku harapkan di sini.
...
Aku berjalan menuju toilet—hendak mengganti seragam.
Toilet di sekolah ini terlihat sepi—berbeda sekali dengan toilet di sekolah lamaku yang kerap kali dijadikan ajang mesum oleh beberapa pasangan sebelum bel masuk berbunyi.
Aku menghela napas lega saat membuka bilik toilet. Hanya ada 4 buah bilik. Buru-buru aku mengganti seragam lamaku dengan seragam yeolhan yang berwarna biru dongker. Aku suka warnanya, terlihat kalem.
Aku mulai mematut diriku di depan cermin. Memperbaiki poni mangkukku yang sedikit agak memanjang. Besok aku akan memotongnya sedikit.
Akhirnya aku menghembuskan napas dan berjalan seraya mempelajari peta sekolah baruku, hingga tak sengaja menabrak tubuh seorang di depan pintu masuk Toilet.
Deg..
Maniksnya yang kelam itu menatapku tepat di mata. Begitu dalam sehingga aku seolah terkunci oleh tatapannya.
"M..Maaf" Ucapku, berusaha memutus kontak mata dengan namja itu.
Tubuhnya yang jangkung berdiri tepat di hadapanku. Ku rasakan suhu dingin menjalari seluruh tubuhku. Dia hanya diam saja, dan menarik tubuhku agar menyingkir dari hadapannya.
'Sombong sekali' batinku. Tubuhnya dingin, kulitnya pun begitu pucat hingga aku sempat berpikir dia adalah mayat hidup yang sering ku lihat di TV-TV.
.
.
.
Kelas terakhir hari ini sudah selesai, dan aku mendapatkan beberapa orang teman. Seperti Wonshik dan Jaehwan. Keduanya sepasang kekasih yang telah menjalin hubungan selama 5 tahun. Kemudian ada Moonkyu dan teman-temannya yang selalu memujiku manis setiap kali aku tersenyum. Aku pikir dia orang yang aneh, karena setiap aku bicara, dia akan bilang jika suaraku sangat lucu.
"Ku dengar kau tinggal di Seoul ya dulu? Tinggal dimana?" Tanya Moonkyu, tubuhnya yang kurus itu ia sandarkan di lorong dengan tatapan yang menurutku sangat aneh.
"Hey Moonkyu sedang merayu Jongin" suara teriakan seseorang membuat beberapa pasang mata menoleh ke arah kami.
"Sudahlah, Moonkyu! Kau tidak pantas dengannya. Lihat..Lihat! dia bahkan terlalu sempurna untukmu"
Aku menghela napas pelan.
Well, aku benar-benar tidak suka jadi bahan pandangan orang-orang yang seolah penuh prasangka padaku.
"Aku tinggal di Gangnam"
"Wah, Keren! Eh..eh dengar-dengar ayahmu pindah kerjanya? Kenapa harus di sini? Kenapa bukan di kota saja?"
Aku menatapnya seperti; 'Its none of your buissness, dude'. Tapi namja ini malah tak tahu malu dan tidak membiarkan aku pergi dari sini.
"Aku tidak tahu" jawabku. Dengan senyum yang membuatnya merona.
"Apa aku sudah boleh pergi?"
"Eoh? Pergi? Memangnya kau hendak kemana?"
"Aku dijemput ayahku untuk segera pulang" jawabku.
...
Aku tak bisa pergi kemana pun tanpa beradu pandang dengan teman-teman baruku di sekolah ini.
"Jongin, aku bisa mengantarmu pulang ke Harvest Valley"
Aku menoleh, 'dia lagi' pikirku. Sepertinya dia tipe yang pantang menyerah pada apapun. "Terimakasih" ucapku, menolak halus.
"Sungguh, Jongin! Kau bisa percaya padaku. Aku pasti akan mengantarmu pulang" dia berseru lagi.
"Hey, Kim Moonkyu! Berhentilah merayu! Cepat, kita tak punya banyak waktu" Seseorang menoyor kepalanya. Dan membuatnya jengkel. "Aku pulang dulu ya, Jongin..Muacchh" *memberikan ciuman jarak jauh*
.
.
.
Hari kedua pergi ke sekolah. Dan hari ini berlangsung baik-baik saja. Tak ada gangguan, meskipun tatapan-tatapan para siswa selalu tertuju padaku.
Aku tak akan bertanya 'kenapa'. Kemarin ayahku bercerita jika orang-orang di desa ini jarang sekali kedatangan seseorang dari kota besar seperti Seoul.
"Seperti Fondue?"
Aku menoleh dan menatap Jaehwan yang sedari tadi bicara namun teracuhkan.
"Ada apa dengan Fondue?" tanyaku.
Lee Jaehwan tertawa pelan, dan berkata jika para namja di sekolah ini seperti cairan fondue yang meleleh di atas cawan yang dipanaskan saat melihatku.
Kami hari ini tidak berada di kelas yang sama. Malangnya aku, begitulah pikirku. Tapi kami akan tetap bertemu di hari Kamis dan Jumat untuk menghadiri kelas sejarah dan matematika (untuk hari kamis). Dan Biologi dan Sastra (untuk hari Jumat)
Mataku tak sengaja bertemu pandang dengan seorang siswa yang beberapa waktu yang lalu berada di kelas bahasa inggris denganku. Dia duduk dengan empat orang yang tak jauh berbeda dengannya. 2 orang bertubuh jangkung, Satu namja mungil, dan satunya lagi seorang yeoja tomboy. Dia nampak menakutkan untuk seorang yeoja, pikirku.
Mereka tidak berbicara, tidak juga menyentuh makanannya meskipun di depan meraka masing-masing ada satu nampan makanan. Mereka seolah lebih hanyut dalam pikiran masing-masing yang membuatku berpikir dan terus-terusan memandang ke arah mereka.
"Jongin, ada yang mau kenalan"
Aku dan Jaehwan menoleh. Mendapati Wonshik berjalan dengan seorang namja berwajah tampan. Ia memperkenalkan diri sebagai Kim Myungsoo, teman satu klub Wonshik di Klub Futsal.
Kami mengobrol apa saja. Tentang pelajaran, sampai Wonshik yang bercerita tentang anjingnya yang mati mengenaskan di kandangnya. Dia bilang anjingnya mati tepat di bulan purnama dengan keadaan leher yang berlubang.
"Ku pikir itu gigitan anjing liar atau rubah"
Wonshik menoleh ke arahku. "Aku tidak tahu" sahutnya. "Tapi orang-orang di desa ini punya mitos supaya tidak keluar di malam bulan purnama"
"Oh?"
Myungsoo mengangguk setuju. "Aku tidak terlalu percaya mitos. Tapi mendengar aduan para warga di desa ini membuatku mau tak mau percaya pada mitos kacangan itu"
"Ssstt, jangan asal sembarang bicara, Myungsoo!" Jaehwan berbisik pelan.
"Upps..maaf..maaf"
"Tapi itu tidak masuk akal" sahutku.
"Kau boleh tidak percaya, tapi apa salahnya untuk menaati peraturan. Hey Jongin, dimana bumi dipijak disitulah langit dijunjung" Wonshik berkata.
Tanpa sengaja tatapanku bertemu pandang dengan kelima orang-orang pucat itu. Rasanya begitu nyaman saat kau memandangnya. Mereka tidak terlihat seperti yang lain.
"Oh itu, Jung bersaudara" celoteh Myungsoo. Membuatku menoleh padanya.
"Mereka tidak mirip" kataku.
Wonshik tertawa pelan. Matanya menyipit sempurna.
Aku terus menatap mereka. Mereka sangat indah, dan seolah tak ku temukan kecacatan dalam diri mereka. Hingga tanpa sadar si namja berkulit pucat dengan rambut dark blue itu menatap ke arahku. Sangat tajam—sampai membuatku tertunduk malu.
Ada sesuatu dalam diriku yang berkata supaya aku terus menatapnya. Tapi tatapan hitam dan tajam itu membuatku gentar dan tak berani menatapnya.
"Yang rambutnya pirang itu Kris dan Baekhyun (di samping kirinya). Serta Chanyeol dan Sehun. Lalu yang Yeoja tomboy itu Amber namanya" Myungsoo berbisik sembari mengunyah makanannya.
"Mereka terlihat err—flawless"
"Benar" Jaehwan menjentikan jarinya. Kemudian terkekeh saat Wonshik menyentil keningnya. "Mereka memang selalu bersama" dia berkata lagi.
"Kris dan Baekhyun sepasang kekasih"—Myungsoo
"Incest?" Aku menatap mereka penuh selidik.
"Iya tidaklah" sahut Wonshik.
Aku bingung.
"Katanya mereka bersaudara" ujarku.
"Mereka semua anak adopsi keluarga Jung" Timpal Jaehwan. "Profesur Jung saja masih sangat muda. Kira-kira seperti 28 tahunan lah"
Aku menyudahi sesi tanya jawabku. Ku rasa tahu namanya saja sudah cukup dan tak perlu lagi bertanya lebih jauh mengenai mereka.
Aku berusaha melirik ke arah mereka. Dan sosok yang paling muda—yang menurut Myungsoo bernama Sehun itu juga melihatku. Tatapannya masih sama, seperti ketika ia menatapku satu hari yang lalu saat di toilet.
.
.
.
.
New Life (Bab 2)
Sepulang sekolah aku langsung tertidur, dan terbangun saat mencium aroma daging matang dari dapur.
Aku buru-buru bangun. Sepertinya ayahku sudah pulang dan mencoba memasak lagi.
Aku harus cepat!
Sebelum ayah menghanguskan dapur. Oke, mungkin itu terdengar berlebihan. Tapi serius, aku segera turun dari lantai dua dan mendapati ayahku tengah meletakan satu potong daging steak di atas piring.
"Ayah" Panggilku.
Ayah menoleh, dan tersenyum ke arahku. "Ayah hanya mencoba membuat makan malam. Itu saja" katanya, kikuk.
Aku menatap iba dua potong daging steak domba yang warnanya nyaris menghitam.
Oh ayah, bahkan memasak daging steak dengan oven saja bisa gosong..
"Seharusnya ayah bangunkan saja aku" kataku. Seraya mendudukan bokongku di atas kursi.
"Ayah tidak tega. Kau pasti lelah"
Aku membaluri daging steakku dengan saus sambal dan saus tomat. "Tidak apa-apa. Lain kali ayah bangunkan saja aku"
"Sepertinya ini tak layak dimakan" kata ayah, dengan tawa canggungnya.
"Tidak! Aku mau makan daging steak buatan ayah"
Ayah berkata jika aku tak perlu memaksakan diri. Padahal aku sama sekali tidak merasa terpaksa untuk menikmati masakan ayah.
...
"Jongin"
"Ya?" tanyaku, disela-sela mengunyah. Rasa daging yang sedikit gosong bila dicampur saus sambal tidak buruk juga.
Ayah nampak berpikir, "Bagaimana sekolahmu selama 2 hari ini?"
"Tidak buruk"
Ayah tersenyum senang mendengarnya. "Kau nampaknya sudah punya teman baru"
Aku menganggukan kepala. Aku mencocol daging di tanganku dengan saus sambal lagi. "Teman-temanku sangat ramah dan menyenangkan"
"Begitu ya"
Ayah nampak berpikir, seolah ada sesuatu yang hendak ia katakan.
"Hari jumat depan malam purnama"
Aku mendongak.
Memangnya ada apa dengan malam purnama?
"Jangan keluar di hari jumat"
"Ayah?"
Ayahku menghela napas pelan. Ia mengusap lembut wajahku. "Ayah tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu"
"Karena ayah telah berjanji pada ibumu untuk menjaga dirimu, Jongin"
...
Ayah memberesekan meja dan aku mencuci piring. Bisa ku dengar curahan hati ayah tentang tempat kerja barunya yang jauh lebih mengasyikan dibandingkan saat ia di Seoul.
Semua rekan kerjanya begitu baik, tidak seperti di Seoul. Dimana ayah akan berkata, jika teman-temannya baru saja menipu keluarga pasien agar mereka dapat uang yang banyak.
Ayah terus bercerita, sampai bibirnya menyebut nama seorang yeoja. Namanya Kim Yesung, seorang asisten dokter yang akan menjadi asistennya selama ayah bertugas di klinik desa.
Malam itu suasananya tenang. Aku tertidur dengan cepat selepas makan malam. Sisa minggu itu berlangsung dengan baik sesuai harapan kami. Aku mulai terbiasa dengan rutinitas kelasku.
Dan tepat nanti malam adalah malam jumat. Dimana teman-teman di kelasku mulai bercerita horror supaya tidak ada satu pun yang keluar nanti malam. Aku mengernyitkan dahiku, well, mereka terlalu berlebihan menanggapi sebuah mitos.
"Apa di malam bulan purnama akan ada anjing liar yang berubah jadi werewolf?" tanyaku.
Kelas menjadi hening, dan tatapan teman-teman di kelas biologi tertuju padaku.
"Lebih buruk dari itu, anak kota" celetuk seorang yeoja yang ku ketahui bernama Minah.
"Jongin hanya tidak tahu apa saja yang ada di desa kita" kata Jaehwan mencoba mencairkan suasana. "Aku yakin dia juga tidak akan keluar di malam hari. Ayahnya seorang dokter dan tiran"
"Aku masih tidak mengerti" kataku.
Minah bersedekap dada dengan tatapan angkuhnya. Heol, gadis ini memang yang paling sering menatapku dengan tatapannya yang terkesan dingin. Jaehwan bilang, Minah adalah gadis tercantik dan tenar di sekolah mereka. Mungkin ia hanya iri dengan tatapan para namja yang selalu tertuju penuh memuja ke arahku.
"Lebih baik kau tak perlu mengerti" sahutnya.
"Atau seorang petani yang akan menjelma menjadi vampire? Aku pernah baca mitosnya" ujarku.
"Ku dengar kau tinggal di Harvest Valley" Minah berjalan ke mejaku.
"Kau bisa tanya pada tetanggamu apa yang akan terjadi nanti malam. Itu pun jika kau berani keluar di malam hari mengingat dimana kau tinggal"
Cklek..
Kelas yang semakin hening saat seorang namja yang ku ketahui bernama Jung Sehun itu berdiri di depan pintu dengan tatapan dinginnya. Matanya yang setajam elang itu seperti mencari-cari keberadaan bangku kosong dimana ia bisa duduk leluasa seorang diri seperti yang selalu ia lakukan.
Seminggu berada di Yeolhan. Aku bisa 4x berada di kelas yang sama dengannya. Tapi aku tak pernah berbicara—dan tampaknya tak ada satu pun siswa yang berani mengajaknya berbicara.
Hari ini kelas biologi lumayan ramai, karena Yuan saem hendak memberikan kuis untuk tambahan nilai di raport kami.
Ia berjalan ke arah mejaku—aku duduk sendiri, sementara Jaehwan dan Wonshik duduk bersama.
"Permisi" ujarnya.
Aku menoleh mendengar suara husky-nya. Begitu pun dengan Minah yang terlihat salah tingkah. Minah segera kembali ke mejanya meninggalkan kami.
Dan hal yang paling mengecewakan adalah Sehun yang sama sekali tak berbicara selama ia duduk di sampingku. Aku merasa kecewa, jujur saja, karena selama seminggu di Yeolhan hanya dia dan saudara-saudaranya saja yang membuatku terpesona pada kharisma yang keluar dari tubuh-tubuh pucat mereka.
Ini sangat tak adil, apalagi saat jam pelajaran usai ia buru-buru pergi dari kelas seolah ia sedang menghindari sesuatu. Aku tidak tahu mengapa ia terlihat buru-buru. Aku sangat kecewa, maka dari itu aku hanya diam saja meskipun Moonkyu dkk menceritakan hal-hal lucu di depan kami.
"Kau tidak lapar?" tanya Moonkyu. Ia duduk di sampingku.
Aku tersadar dari lamunanku. "Kau mau?" Aku menawarinya makanan.
"Yang namanya makanan mana bisa Moonkyu menolak" Myungsoo berkata, disertai tawanya.
Di depan kami Jaehwan menyuapi Wonshik. PDA, pikirku. Moonkyu terlihat lahap menghabiskan makananku.
"Apa kalian tahu soal Mitos di bulan purnama?" tanyaku. Aku kepo sekali mengenai cerita-cerita yang selalu sama setiap kali aku pergi.
'Jangan keluar di Bulan Purnama' bahkan papan peringatan terpasang di aula sekolah dengan huruf-huruf kapital.
Harus ada alasan mengapa peringatan itu terpasang, begitulah pikirku.
Wonshik menghela napas pelan. Moonkyu yang biasanya tertawa-tawa malah menghentikan makannya dengan tatapan tanpa ekpresi.
"Penduduk desa percaya jika ada makhluk yang akan keluar di malam itu" kata Wonshik.
"Wonshik" Myungsoo terlihat jengkel.
"Apa? Aku benarkan?"
"Vampire?"
"Lycan" Wonshik berkata pelan. Nyaris seperti bisikan.
"Apa itu Lycan?" tanyaku.
Myungsoo mendesah pelan. "Jongin, ku rasa kau tak akan mau mendengarkan ini"
"Apa itu spesies baru?" tanyaku.
"Dia adalah makhluk yang tercipta akibat pernikahan silang, Jongin" jawab Wonshik.
"Antara Vampire dan Werewolf"
Aku tertawa pelan.
"Kau bercanda? Vampire dan Werewolf itu tidak ada"
Moonkyu berdiri dari kursinya dan berkata. "Kau bisa buktikan sendiri nanti malam di belakang hutan yang tak jauh dari rumahmu" kemudian pergi begitu saja.
.
.
.
TBC
.
.
.
A/n :
FF coba-coba sih. Maaf ya kalo absurd, gak pinter banget kalo bikin FF. Mention buat beberapa readers yang minta horror-misteri. Kalo yg ini jatuhnya genre mystery aja kali ya. Hehe..
Oh, ada yg suka baca Wattpad? Baru nyoba share FF di sana. Kalo suka dan berminat, aku coba lanjut. Tapi kalo gak ya gpp sih. Coba follow okabejoy25
Lycan : Ras baru yang diciptakan oleh vampire di Underworld yang menggabungkan gen Werewolf dan gen manusia. Dimana Lycan lebih kuat dibandingkan Werewolf. Para vampire menciptakan Lycan utk membentengi kaum mereka yg merasa terancam dengan kaum Werewolf.
Lycan sendiri pun juga lebih pintar, dan dapat mengontrol kapan ia ingin berubah. Dan kekuatannya pun bisa bertambah berlipat-lipat di saat bulan purnama.
(PS : Tapi khusus di FF ini Lycan adalah keturunan Vampire murni dan Werewolf terkuat yang pernah ada)
Mohon maaf lahir batin, buat yang merayakan.. btw ini lanjut?
