Matahari yang menyilaukan.
Langit yang sedemikian biru cerahnya. Awannya yang lembut dan tipis.
Dan sinar mentari yang baru saja menyapa sebuah kota yang dinamis, juga membangunkan sesosok pemuda berambut agak gondrong sewarna lavender dari tidurnya yang panjang. Dengan piyamanya yang berwarna putih sebersih awannya—dan juga celana panjang berwarna senada—ia memejamkan matanya sekali lagi. Sayangnya, kelihatannya sisa 'anestasi alami'nya sudah habis—jangan lupa, alarmnya juga tidak henti-hentinya cerewet membangunkan pemuda malas bergerak ini.
Cih… Susah amat tidurnya… Lah, ini masih di hari Minggu, kek?! Siapa yang beraninya mengeset alarmnya?!
Pemuda itu dengan malasnya bangun, menyisakan selimut yang awut-awutan serta sepreinya yang kusut tidak karuan. Sinar mentari itu rupanya sudah menerobos masuk ke kamar simpel milik pemuda pemalas itu. Di bawah kasur kesayangannya yang berukuran sembilan puluh senti kali dua ratus senti itu, tampak banyak jurnal yang terhamburkan tidak karuan. Tidak lupa juga beberapa piring dan botol minuman plastik yang ditaruh sembarang tempat.
Siyal, aku benar-benar begadang…
"Hoahm…"
Sedari tadi, ia merasakan bahwa mimpinya barusan makin menjadi-jadi. Ia tak dapat mengingat seluruhnya, namun ia bisa mengingat samar-samar bayangan seorang gadis—entah, dia bahkan tidak kenal dengannya. Ah, mungkin hanyalah bunga mimpi… Siyal, cerita dari Pak Theodoré itu memang bikin kulit bergidik ngeri…!
"Geez… Harusnya pulang lebih awal ya, kemarin. Ngga sampai mendengar cerita pak Theodoré. Serem amat…"
.
.
.
Elsword ~ Lullaby of the Memories
Disclaimer : Elsword © KoG
Warning : OOC banget, AU, greget bikin pengin gigit Authornya (?), dan semacamnya.
Characters : IS, DW, WS, BM, C:BS, DC, SD, BH, DE dan Ch/DL. Ada juga OC sih.
Pairing : Amnesia!DE x SD, ada kemungkinan muncul threesome.
Happy reading~
.
.
.
"Percayalah, duh, kalian ini!"
Tampak seorang gadis berambut hitam—yang lebat dan panjang—sedang berdebat dengan beberapa perempuan di sebuah mansion sederhana. Gadis itu—yang mengenakan terusan berwarna oranye tanpa lengan dan berujung sekitar lima senti diatas lututnya—lantas menepuk dahinya dan mencoba menjelaskan perkaranya sebisanya, "Aku sama sekali tidak berbohong! Aku ingat, di sini ada seorang cowok berambut gondrong sampai setenguk ini, dan berwarna lavender, tinggi, anoreksia! Mana dia—."
Salah satu gadis—yang berdada subur dan berambut hijau cerah serta diikat pada satu titik—menggeleng kepalanya, "Kamu berhalusinasi tidak, sih, Ara-chan? Dari dulu juga cuma ada kita kok, ngga ada yang cowo macam itu. Ataukah kau merujuk ke Ciel?"
"Sudah pasti bukan kok! Lagian, Ciel sih berotot, bukan anoreksia! A-Ano…"
"Mending kamu istirahat saja, Ara."
Dan seketika Ara—si gadis yang berusaha denial ini—menoleh ke sosok gadis berambut merah menyala dan berpakaian kurang pantas (?). Elesis—si gadis seksi dan macho (katanya)—lantas menimpalinya, "Ara, kurasa karena kamu barusan menolong Baron Seiker kemarin, kamu jadi lelah. Apalagi ada juga Laguz yang suka kasih racun begituan—gue yakin kamu sudah kena beberapa kali. Kamu mending jalan-jalan sendiri, daripada kecapekan. Benar kan, Rena, Eve, Luciela?
"Tapi—."
Seketika Eve—si gadis robotik yang berambut abu-abu dengan ekspresi yang hampa saban hari—menyelanya, "Ara, kamu jarang dapat cuti kan? Ambil saja hari ini dan sebulan kedepannya sebagai hadiah dari kami atas pekerjaanmu. Kau boleh istirahat sepuasnya kok."
"…."
Tiga versus satu.
Jelas Ara kalah telak—bayangkan, dia berargumen sengit dengan tiga perempuan sekaligus. Untung saja si perempuan terakhir—anak kecil bertanduk dan berkuncir dua serta bermental preman cilik (?)—tidak ikut ambil andil dalam argumen tidak jelas seperti ini. Jika sampai ia ikutan, habislah gadis ini. Saban berargumen kebanyakan gadis ini kalah telak dibanding Rena dan Elesis—dua gadis yang dikatakan sebagai perempuan paling rasional dan logis dibandingnya.
Cheh… Apa aku mesti mengalah lagikah…?
Gadis manis dan polos ini lantas menampakkan gestur lesu—ditandai dengan dua bahunya yang tertunduk lemas—dan menuruti permintaan mereka, "Baiklah, kalau itu mau kalian… Sebulankah? Itu mending, jadi bisa jalan-jalan sepuasnya—."
"Sekalian ini. Rekening kamu. Kamu sudah mendapat dua miliar Ed, jadi ngga ada masalah dengan keuanganmu, dan kau bebas kemana pun untuk refreshing. Bagus kan?" ujar Eve—si gadis robotik alias Nasod—seraya menyodorkannya sebuah buku rekening yang bertuliskan atas nama Ara Haan.
HA-HAH—DUA MILIAR ED—MATILAH GUE—.
"Ka-Kamu yakin?"
"Ya, jadi istirahat yang baik ya, Ara."
.
.
.
"Hahahaha! Ternyata Ara Haan toh! Anggap saja rumah sendiri!"
"Ye-Yeah, Hoffman-dono—."
Dan beberapa hari setelahnya, gadis itu berdiri persis di depan Hoffman—si kepala desa Elder, tempatnya pernah dilatih dan tinggal semasa bergabung dengan El Party untuk pertama kalinya. Harus gadis dewasa itu akui, keadaan desanya sudah benar-benar berubah total; kastilnya berubah menjadi lebih modern dan juga sistem pemerintahannya yang jauh lebih terstruktur. Berbeda dengan 2-3 tahun yang lalu, dimana tidak ada universitas dan sekolah tinggi lainnya, Ara sudah menemukan dua universitas, tiga SMA, sembilan SMP dan dua puluh SD yang berdiri di wilayah Elder.
Kota ini benar-benar berkembang melebihi dugaanku…
Lantas gadis itu membungkuk sopan, "E-Etto… Saya ingin berekreasi di sini. Mengingat saya sudah diberi izin oleh anggota El Party yang lain, dan juga orang-orang di sini yang familiar, jadinya saya bisa kemari ke sini. Dan… Daerah ini, sejak kapan sudah berkembang sedrastis ini?"
Hoffman—si kepala desa Elder, yang sekarang menjadi Gubernur Kota Elder—lantas menjelaskannya, "Kami di sini—Gedung Pemerintahan Kota Elder yang dulunya adalah kastil—memutuskan untuk mengubah total sistem pemerintahannya dan menyosialisasikannya segera setelah kalian pergi bertualang. Semua warga di sini sontak menyetujui, karena tahu bahwa pemerintahan sebelumnya sudah bobrok. Bahkan jalur menuju laboratorium dulu itu sudah diblokir dan dihibahkan kepada swasta."
"Hooo… Jadi kalian memajukan pendidikan di sini?" tanya Ara seraya melirik-lirik salah satu koridor kastil yang sudah beralihfungsi menjadi kantor Gubernur itu.
"Begitulah. Dulu, si Wally sialan itu bahkan mendegenerasi pendidikan secara sistematis. Sekarang sudah berkembang sangat baik dengan sistem yang jauh lebih terstruktur. Ini juga berkat bantuan sumber daya manusia dari Hamel dan Lanox. Mereka benar-benar berguna dalam menganalisis dan memberikan pendidikan tepat guna." jawab Hoffman sambil mempersilahkannya mengunjungi salah satu ruang yang dipagari dengan dua pintu yang menutupinya.
"Jadi tempat ini…?"
Hoffman lantas membukakan pintunya dan menjelaskannya, "Di sini tempat Throne Room awalnya berada. Kami rombak total interior dan penataan ruangan ini menjadi ruang kerja serbaguna. Ruang ini dipisah dengan tembok yang berada di sana, menjadikannya memiliki dua ruang besar. Satunya sebagai ruang kerja petugas, dan juga di sana, menjadi ruang rapat. Kami menggelar rapat paripurna beberapa kali di sana. Dalam beberapa kali kesempatan juga dipakai dalam rangka gladi kotor dan gladi bersih acara-acara penting."
"…Ng… Oh! WAH?! JADI INI RUANG YANG AWALNYA THRONE ROOM?! GILAA!" Setelah beberapa sekon me-loading penjelasan Gubernurnya, Ara akhirnya bisa ngeh dan berteriak kaget saking lambannya merespon penjelasannya.
Ahahahaha… Ara masih saja…
"Kamu masih saja lemot ya, Ara." kelakar Gubernur menahan tawanya.
"Ma-Maafkan saya! Duh… Saya memang lemot kalo urusan segini, Pak… Ugghh…" jawab Ara—si wanita manis dan polos itu—menggangguk kikuk.
Hoffman—yang sudah sangat familiar dengan sikap dan kepribadian si heroine satu-satunya yang polos itu—lantas memperkenalkan rekan kerjanya, "Nee, Ara, karena kamu sedari dulu ingin mencari informasi tentang Kelompok Black Lotus, di sini ada pakar konspirasinya. Bukan seorang professional sih, tetapi dia cukup lama menjalani kehidupan berbahaya sebagai agen intelijen. Kenalkan, Pak Theodoré Cheng-yiang. Pak, ingat si heroine yang memakai tombak dari El Group? Namanya Ara Haan."
Di belakang pak Hoffman, berdiri seorang laki-laki berusia paruh baya—sekitar empat puluh tiga tahun—mengenakan jas laboratorium, kemeja berwarna biru tua dan celana panjang berwarna hitam. Diiringi dengan langkah kaki yang berat—plus sepatu kulit berwarna cokelatnya yang mengilap—pria ini lantas menyalami perempuan itu dengan cara khas orang Timur, "Kenalkan, saya Theodoré Cheng-yiang. Professor dan anggota Agen Intelijen Elder. Saya kemari atas permintaan Pak Hoffman untuk bertemu denganmu, Haan-dono."
Ara yang menyadari sesosok pria berambut kecokelatan itu—yang sedari tadi dengan tenang mengekori pak Hoffman tersebut—lantas merespon perkenalannya dengan cara yang sama, "W-Wa! Nama saya, seperti yang Anda ketahui, Ara Haan. Panggil saya Ara saja jika Anda berkenan. Mengenai Black Lotus… Apakah Anda benar-benar tahu sesuatu mengenainya?"
"Nak, ini cukup sulit untuk diserap oleh anak yang berpikiran sederhana sepertimu. Apakah tidak apa-apa?" tanya Theodoré, cemas.
"Oh, nggak apa-apa. Saya sendiri yang memintanya, jadi tolong jangan sungkan membagi informasi itu." jawab Ara, mantap.
"Oke, kalau begitu saya tinggal saja kalian—."
"Pak Hoffman, sebaiknya Anda ikut mendengarkan saja. Bersama pak Theodoré ini, kita akan memecahkan misteri itu." Tiba-tiba wanita itu menghentikan langkah menjauh-nya sang gubernur tersebut.
Sesaat sang gubernur itu tertegun, dan kemudian menggangguk-angguk saja. Ia lantas mengisyaratkan mereka berdua untuk ikut pergi ke suatu tempat, dan direspon dengan mereka berdua yang dengan sigap mengekori sang gubernur tersebut—mengabaikan para staf lain yang dengan susah payah maraton satu gedung hanya untuk memburu tanda tangannya. Seperti mahasiswa stress saja, para staf administrasi kantor gubernur tersebut.
.
.
.
"Jadi… Black Lotus itu kelompok yang bagaimanakah?" tanya wanita itu, masih berjalan.
Saat ini, mereka bertiga rupanya sedang berjalan menuruni tangga ruang yang dulunya adalah Throne Room tersebut, menuju suatu tempat yang nampaknya tidak akan jauh dari lingkungannya. Theodoré lalu menjelaskannya sambil masih memfokuskan diri kepada alur geraknya, "Nona Ara, perlu Anda ketahui, Black Lotus adalah suatu organisasi ilegal yang berpihak kepada oposisi. Didirikan sekitar dua puluh lima tahun yang lalu, mereka kini menguasai sektor ilmu pengetahuan dan pengadaan senjata. Meski demikian, orang-orang intelijen juga banyak bergabung ke sana."
Hoffman lantas mengimbuhinya, "Dan sekitar tiga belas tahun yang lalu, terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap kelompok peneliti yang bernaung dibawah Phoenix's Order—yang juga dibawah kendali langsung oleh Kerajaan. Tujuan mereka dalam kasus itu adalah untuk merebut Nasod's Code, entah visi apa yang akan mereka gemborkan begitu mendapatkan benda itu. Di media massa juga disiarkan demikian adanya."
"Oooh… Terus, ada gak, yang selamat?" tanya wanita muda ini sesekali melirik lingkungan luar gedung pemerintahan tersebut.
"Kurasa ngga ada. Semuanya tewas mengenaskan…" jawab Theodoré, menggeleng.
"Begitu ya…" ucap Ara bernada sedih.
Jadi informasi itu masih valid… ataukah…
"Saya memohon maaf atas pertanyaan yang akan saya luncurkan ini; mengapa Anda begitu tertarik dengan kelompok Black Lotus? Mungkinkah ada sesuatu yang berkaitan dengan Black Lotus—terutama si Ratu Nasod alias Eve tersebut?" tanya Theodoré lantas menyetop langkahnya begitu sampai di lantai dasar gedung pemerintahannya tersebut.
Ara lantas mengedikkan bahunya, "Entah. Saya sendiri juga penasaran… Tenang, tidak ada kaitannya dengan Eve-chan. Sebenarnya, saya belakangan ini dikatai cukup lelah oleh sesame anggota El Group, jadi saya kemari atas saran Eve-chan. Mungkin ada kaitan dengan mimpi yang barusan saya alami beberapa hari belakangan ini, ya."
"Ho? Mimpi apakah itu?"
"Sama seperti topik ini; Black Lotus. Saya kurang mengerti apa makna dua kata itu, jadinya saya memutuskan untuk mencari informasi tentang Black Lotus melalui Pak Hoffman. Tahu-tahunya beliau merekomendasikan Anda untuk menjadi narasumber informasi ini." jawab Ara seraya melirik Pak Hoffman—yang menjadi penengah atas komunikasi antara wanita anggun yang polos ini dengan pria paruh baya yang haus akan informasi berguna tersebut.
"Heeeh… Mungkin saja ada maksud yang berbeda—."
"DOKTOR! PAK THEODORÉ—."
Sekonyong-konyong suara asing bergabung menyahut-yahutkan nama pria berambut kecokelatan tersebut. Pria itu lantas menoleh ke belakangnya—dimana sumber suara teriakan itu berasal—dan kemudian meresponnya dengan malas, "Oi, kamu! Jangan teriak-teriak di sini!"
Ara yang ikutan kepo, lantas mencuri pandang dari Theodoré. Dan seketika manik orange gadis itu terbelalak syok; ia melihat sesosok pemuda berambut sewarna lavender yang tampak berlari agak tergopoh-gopoh menghampiri Pak Theodoré. Pemuda itu tidak memiliki tato apapun—bahkan di wajah tampannya. Dari kedua manik ungu yang sedikit gelap, gadis itu bisa melihat suatu pemandangan yang lain; mata itu memperlihatkan ekspresi polos dan serius—dalam artian lain.
Mengenakan kemeja berlengan pendek berwarna putih serta celana berwarna krem—dengan tambahan ikat pinggang berwarna hitam yang sederhana—pemuda itu menjerit kesal, "Pak! Tuh, jadwal sidang Anda dengan Faustian! Buruan ini, dan—oh, ini, bahan-bahan skripsinya Faustian!"
"Ya, ya, berisik banget jadi calon professor muda nih—."
Ya Tuhan… Apakah ini…?
"Tu-Tuan Add…?" tanya gadis ini, spontan.
Pertanyaan itu spontan memantik rasa penasaran diantara mereka bertiga—termasuk si pemuda yang beraninya mengganggu acara diskusi berjalan tersebut. Sedangkan si pemuda itu sendiri, tampak terperanjat syok mendengar wanita yang tampak 'asing' baginya mengucapkan pertanyaan yang retorik itu. Theodoré—yang spontan menyadari kekakuan suasana tersebut, berterimakasihlah kepada pertanyaan Ara Haan yang satu ini—lantas memecah suasana bekunya, "No-Nona Ara… Bagaimana Anda tahu nama pemuda ini…?"
Ara—yang tampaknya sudah buta hati—seketika mendekati pemuda itu dan menggoyang-goyangkannya dengan panik, "Ya Tuhan! A-Apakah ini beneran Tuan Add?! Ka-Kamu kenal aku ngg—."
"Ti-Tidak! Sa-Saya tidak kenal kamu! Mi-Minggir!"
BRUUKK!
Dan buku skripsi hasil karya korban tidak bersalah dari pertemuan yang aneh ini, terjatuh di atas lantai sehingga menarik perhatian para penonton yang lewat di sekitar mereka. Ara—dengan keras kepala yang dibalut ekspresi cemas—mencoba mengingatkannya, "Tolonglah, Tuan Add! Saya Ara Haan, temanmu semasa bermain di El Group—."
"Kamu ngomong apa, sih, Ara…? Pemuda itu tidak pernah bergabung dengan El Group…"
DEG.
Gadis itu seketika menoleh ke Theodoré—yang menyanggah pernyataan yang barusan diucapkannya—dan mencoba mendebatnya, "Ma-Maafkan saya, Pak Theodoré… Tapi saya yakin kalau saya merasa pernah berteman dengan sesosok pemuda yang mirip orang ini… Tidak salah lagi, ini benar-benar Tuan Add! Kau seharusnya masih berada di El Group bersama saya, Elsword-san, Elesis-san, Aisha-san, Rena-san, dan masih banyak lagi… Dan lagi—."
"Kau mungkin salah orang, Nona… Saya tidak mengenal Anda, dan juga orang-orang yang Anda sebut, Nona…" sanggah si pemuda itu, menggeleng kepala.
"Kalau begitu, ceritakan tentang masa lalumu!"
"Ke-Kenapa harus aku?! Pak Theodoré—."
Hoffman—yang sudah resah atas para penonton dadakan yang sengaja menonton 'sinetron' ini—lantas melerainya, "Tenang, tenang, semuanya. Pak Theodoré, Anda akan menghadiri sidang atas salah satu mahasiswa jurusan Teknik Intelijen, 'kan? Lebih baik kalian berdua mengobrol di luar, kek, gitu, tetapi bukan di sini. Saya juga sebentar lagi akan mengadakan rapat paripurna untuk acara tutup kuartal administrasi tahun ini. Kita nanti berkumpul di kafetaria, pukul lima sore. Mengerti?"
Kompak tiga orang tersebut—Ara, Theodoré, dan Add—menggangguk setuju. Theodoré dengan sigap memungut buku skripsi yang diberikan oleh pemuda tersebut dari lantai, dan dengan buru-buru kembali naik ke lantai atasnya untuk menghindari absen yang akan menghantuinya seandainya tidak menghadiri sidang yang penting itu. Pak Hoffman sendiri lantas membungkuk disertai beberapa rangkai kata permintaan maaf, dan kembali naik ke lantai atasnya begitu ia menyadari gelagat salah satu stafnya yang berhasil menemukannya.
Para penonton gratisan pun bubar, dan tersisa hanyalah mereka berdua.
… Ini rasanya awkward gini… Add…!
"Oi Nona."
"Y-Yeah?!"
"Jika Anda bertanya tentang masa laluku, tidak ada yang perlu diberitahukan kepada orang asing sepertimu. Meski saya menghormati Anda sebagai salah satu heroine dalam El Group yang sangat terkenal itu, tetap saja sangat tidak etis jika Anda seenaknya nyelonong dan main labrak, dan sudah begitu main interogasi segala. Dikira saya ini saudaramu, atau orang amnesia?" kritik Add—pemuda tampan ini—menampakkan ekspresi ketidaksenangannya.
Mencoba mementahkan lontaran kata-kata pedas si pemuda berkulit agak pucat ini, Ara menjawabnya dengan patah-patah, "Uuuh… Add! Saya ti-tidak bermaksud demikian… Hanya saja… Saya merasa pernah satu kelompok denganmu… Y-Ya, begitulah… Intinya, apakah kau masih ingat saya atau—."
"Tidak ingat dan bahkan tidak mengenalmu. Sudah jelaskah jawaban saya ini?" sergah Add tampak kesal.
"… Oke… Saya benar-benar minta maaf atas sikapku barusan." pinta Ara lalu mengalah.
"Saya tidak menyangka salah satu heroine El Group separah ini… Kau mending keluar dari grup itu—."
"Tunggu, A-Add!"
Teriakan gadis itu menghentikan langkah pemuda itu—yang hendak berbalik mengurusi pekerjaannya sendiri. Merasa lemas, tiba-tiba saja kedua kaki Ara tertarik ke lantai. Ia dengan suara parau, mencoba memohonnya—tidak lupa untuk mengusap air matanya yang mulai keluar dari kedua manik orangenya, "… Saya tahu ini sangat kurang ajar… Mohon maafkan permohonan egois saya… Tetapi maukah Anda berteman dengan saya? Sa-Saya ingin banyak tahu tentang Anda, saya mohon! Si-Siapa tahu… Mu-Mungkin saja… Ya, kamu tahulah... A-Aku…"
Add—yang merasa kesal sekaligus iba—lantas berbalik menghadap gadis itu. Ia lalu menghampiri dan berjongkok di depannya seraya menjawab permohonan gadis itu, "Maaf saja kalau saya tidak mengenalmu. Dan saya benci melihat wanita menangis seperti ini, karenaku. Dan saya berasumsi, kau mencari sesosok 'Add' itu, dari saya? Sesuatu yang entah… Entah bagaimanapun… Yang Anda coba jabarkan dalam dimensi yang berbeda, mungkin?"
Ara lantas menggangguk lemah, dan meneruskannya, "Iya, benar… Hahaha, tuh kan? Tidak ada yang percaya dengan ceritaku ini, ya…"
"Tentu saja, kalau tidak ada bukti otentik. Yah, seperti yang Anda sebut, namaku memang Add. Salam kenal, ya." ujar pemuda ini, lantas menawarkan selembar saputangannya dari saku kemejanya.
Ara—yang dengan ragu mengambil saputangan milik pemuda tersebut—menggangguk lemah seraya mengusap air matanya menggunakan saputangannya, "Sa-Saya Ara Haan, salam kenal… Tu-Tuan Add, jika berkenan, bolehkah saya mengunjungi tempat Anda? Boleh dimanapun… Terserah Anda…"
"Jangan bercanda, baru kenalan sudah ngajak ketemuan lagi?!"
"Apa aku salah, Tuan Add?!" gertak Ara—mencoba sekali lagi membuat pemuda tersebut meluluskan permohonannya.
"…"
Serius, baru kali ini seumur hidup pemuda ini, ada seseorang yang dengan keras kepala memohon kepadanya untuk bertemu sekali lagi, di suatu tempat. Padahal baru kenalan juga mereka, tetapi ujung-ujungnya separah ini. Jangan ngomong perempuan ini adalah stalker-ku… Masa perempuan seanggun heroine El Group ini bisa menjadi stalker…? Nggak banget… Nggak banget dah, kalau orang macam ini… Dari luarnya memang kelihatan polos dan sejenisnya, tetapi…! Tetapi…!
Ting.
… Pak Theodoré! Itu dia! Aku bisa kabur ke Pak Theodoré kalo dia mulai kumat lagi…!
"… Etto, jika Anda ingin bertemu dengan saya—dan ingat, Anda itu heroine terkenal dari El Group—maka ambillah ini." ujar Add seraya berdiri dan menyodorkan sebuah kartu nama.
Ara pun dengan malu-malu kucing menerimanya; kartu nama itu bertuliskan nama Theodoré Cheng-yiang beserta alamat pekerjaannya. Pemuda tampan itu lantas meneruskannya, "Kebetulan sekali saya juga kadang membantu Pak Theodoré bekerja di kampus—anggap saja pekerjaan sambilan kok. Datangilah ke sana sesuai dengan apa yang tercatat dalam kartu nama itu. Sudah ya, kelihatannya saya mengganggu topik pembicaraan penting kalian bertiga."
Tanpa menunggu respon gadis itu, Add lantas berbalik dan meneruskan perjalanannya kembali ke kampus. Ara yang terpekur sesaat, lantas menimbang-nimbang kartu nama itu. Kartu nama berukuran dua belas kali enam sentimeter itu berwarna kuning keemasan, dengan nama Pak Theodoré—pria paruh baya yang berkenalan dengannya sebelum Add tadi—terpampang di sana. Di sana juga tercantum nama universitas tempat Pak Theodoré bekerja—Universitas Elrioskosmos. Bahkan HQ alias headquarter juga tercantum di sana—School of Agent and Intelligence.
Pada tangan kirinya yang memegangi saputangan berwarna ungu terang, lantas digenggamnya dengan erat.
"Tuan Add… Akan saya bawa kau kembali ke dirimu yang seharusnya…!" Tekad gadis ini sudah bulat. Sepenuhnya.
.
.
.
[ To be Continued ]
