Sillage

.

Disclaimer : Bleach milik Kubo Tite

Warn : Au, Ooc dan mungkin beberapa typo

.

.

Ikut memeriahkan Deathberry Fairy Tale Challenge c: Based on Peter Pan

.

.


A/n : Saya menghilangkan karakter dua adik wendy disini. Mungkin lebih tepatnya saya lebih mengikuti Peter Pan versi Jm Barrie, dan sedikit Disney c: Well, Happy Reading!

.

...Never say Goodbye. Because goodbye means going away and going away means forgetting—Peter Pan

The last thing he ever said to me was 'Just always be waiting for me, and then some night you will hear me crowing'—Wendy Darling


Pov Ichigo

"Boleh kugenggam tanganmu?" tanyanya tiba-tiba.

Aku mengangguk pelan dan menggenggam tangannya erat

Dia membalas genggaman tanganku lebih erat, "Tanganmu besar dan hangat, aku suka." katanya diiringi tawa kecil yang menggelitik telingaku lembut.

"Aku harap, aku bisa terus menggenggamnya…" ujarnya lagi.

Aku tersenyum.

Jika tanganku besar dan hangat, maka tangannya mungil dan lembut.

Kurasa memang sengaja diciptakan seperti itu. Melengkapi satu sama lain.

Masih menyungging senyum, aku berbisik pelan—untuk diriku sendiri, "Selamanya. Aku berjanji."

.

Kutarik tangannya lembut, sedang dia diam mengekor.

Tubuh kami melayang, mengikuti angin yang berhembus pelan

Kami terbang, tanpa arah tujuan.

.

Malam itu langitnya gelap indah

Malam itu bulannya bulan purnama

Malam itu bintang juga tak malu untuk keluar

Malam itu,

begitu sempurna

Malam itu,

hanya kami berdua


Ichigo mengingatnya seolah baru terjadi kemarin.

Tawa kecilnya yang begitu ringkih tapi renyah. Mata besarnya yang aneh menghipnotis. Tangan mungilnya yang lembut…Juga rambut hitam indahnya yang samar-samar beraroma laut bercampur matahari.

Ichigo masih ingat jelas semua itu. Sangat jelas malah.

Hangat, huh?

"Ini begitu menjengkelkan," bisiknya pelan sambil merebahkan tengkuk kepalanya ke leher sofa miliknya.

Ichigo ingat dia.

Koreksi. Ingat, tapi tidak ingat.

Masih dengan perasaan kalutnya, Ichigo lebih menenggelamkan dirinya, membiarkan sensasi empuk sofanya memijat pelan punggungnya yang lelah –lunglai pasrah, seperti hatinya.

Ichigo melirik sekilas jam dinding yang terpajang rapih di atas meja kerjanya. Belum terlalalu malam, Ichigo memutuskan untuk mengunjungi kafe kecil langganannya, berharap secangkir kopi hangat bisa membuatnya menjadi sedikit lebih baik.

Tak sabar, ia cepat-cepat bangkit, meraih jaket tebalnya yang tergantung di balik pintu sebelum akhirnya melesat keluar meninggalkan apartemen mininya. Sebenarnya malas, tapi ia tau Karakura di bulan Desember sangat dingin, jaket tebal wajib dipakai kalau tak ingin mati konyol kedinginan.

Benar saja, ketika kakinya mulai melangkah keluar, hawa dingin datang menyeruak menusuk tulang tubuhnya. Umpatan pelan tak pelak keluar dari mulutnya—merutuk dalam hati, seharusnya memakai jaket yang lebih tebal tadi.

Ichigo merapatkan jaketnya lalu menggosok-gosokkan kedua tangannya pelan. Uap udara mengepul-ngepul di depan kedua tangannya yang baru saja ia tiup, lalu menggosok-gosoknya lagi—lumayan mengurangi rasa dinginnya.

Sesekali ia melempar senyum kepada beberapa orang yang berpapasan dengannya. Ichigo memang tidak cukup akrab dengan orang-orang di daerah ini tapi ia mengenal baik beberapa diantaranya. Beberapa wanita yang tersenyum menggoda juga tak luput dari pandangannya. Ichigo sudah terbiasa. Bukannya sombong, Ichigo selalu berpikir bahwa wanita selalu menempel padanya seperti permen karet. Kalau ditanya alasannya, Ichigo juga bakal menggelengkan kepalanya, bingung.

Ichigo hanya laki-laki biasa.

Hanya seorang Kurosaki Ichigo. Laki-laki berumur 27 tahun dan hidup seorang diri. Menurutnya, wajahnya juga tidak tampanseram malahan. Dan lagi, ia juga hanya seorang pekerja kantoran biasa, bukan seorang miliarder kaya raya. Benar-benar lelaki biasa saja bukan?

Sebentar.

Seorang laki-laki biasa eh?

Baiklah, Ichigo memang sedikit berbohong.

Ichigo memang menyimpan sesuatu. Suatu rahasia. Rahasia yang ia simpan rapat-rapat. Meski ia tau, kalaupun ia umbar, tidak bakal ada gunanya. Ia hanya akan dikatai gila. Kurang kerjaan.

Bagaimana tidak? Siapa yang mau percaya kalau ia berkoar-koar bahwa dulunya ia adalah Ichigo si Peter Pan.

Yap. Tidak salah. Ichigo. Si. Peter Pan. Dengan penekanan di setiap ujung titiknya.

Ia memang Ichigo si Peter Pan—bocah Neverland, bisa terbang dan tak bisa tumbuh dewasa. Hanya saja itu dulu.

Ia adalah sebuah urband legend popular yang beredar dari mulut kemulut dan lama kelamaan berakhir menjadi sebuah dongeng pengantar tidur biasa. Memaksanya menjadi sebuah karya fiktif, ciptaan manusia.

Karena itu, Ichigo lebih memilih untuk menyimpannya rapat-rapat. Ichigo bukan orang bodoh. Meski ia tau hal itu bisa membantunya menemukannya. Menemukan dia. Si gadis penyebab kegundahan hatinya. Si gadis yang membuatnya menyandang status mantan penghuni Neverland dan mengganti kata Peter Pan di akhir namanya.

Ia tidak sedepresi itu. Ia yakin bakal menemukan cara lain untuk menemukannya. Karna ia tau, matipun ia berani bertaruh kalau ia nekat menarik perhatian gadisnya dengan meneriakkan rahasia besarnya keras-keras, alih-alih gadisnya mendekat, ia hanya bakal mendapatkan seorang psikiater bodoh ditambah tatapan kasihan-atau mencemooh- dari teman-temannya.

Mangkanya, lebih baik ia diam.


Nelliel Thinkerbell masih menatapku tidak percaya.

"Ichigo! Apa kau yakin?"

Sayap kecilnya mengepak-ngepak dihadapanku, pixie dust-nya bertebaran di sana-sini, "Kau akan meninggalkan Neverland?"

Aku terdiam sebentar, mencari kata yang tepat. Aku tau reaksinya akan seperti ini

"Kau tau Nel. Semenjak dia pergi, aku selalu merindukannya."

"Bukankah beberapa hari yang lalu kau masih pergi menemuinya?"

"Itu yang kulakukan setiap malam Nel, melihatnya dari balik jendela kamarnya. Kupikir aku sudah cukup puas dengan hal itu, tapi lalu aku berpikir..." aku menelan ludahku,

"Bagaimana jika dia tumbuh dewasa? Ketika dia sudah tidak bisa melihatku lagi. Ketika dia memilih pasangan hidupnya seperti manusia-manusia dewasa lainnya," aku menahan nafasku sebentar, "Ketika dia... melupakanku..." bisikku lirih.

Nell tak langsung menimpali, aku bisa merasakan tatapannya menembus tulang kepalaku sebelum akhirnya ia membuka suara.

"Ichigo," Nel mendesah pelan lalu menepuk-nepuk kepalaku simpati, "Kurasa kalau itu memang keputusanmu aku akan mendukungmu sepenuhnya. Kita ini sahabat bukan?" Nel menatapku dan memperlihatkan deretan giginya yang putih.

"Nel," aku tersenyum tak kalah lebar.


Maka di sinilah ia berada di sekarang. Di Karakura. Di kota dimana gadis itu berada, Nel yang memberitahunya.

Kurosaki—marga keluarga yang sekarang dipakainya— adalah pilihan Nel, katanya Kurosaki cocok jika disandingkan dengan nama Ichigo.

Ichigo masih ingat jelas hari dimana ia pertama kali menjadi manusia dan melepaskan takdirnya untuk tetap tinggal di Neverland. Takdirnya menjadi abadi.

Karenanya, Ichigo harus menghadapi hal yang paling ia benci; bertumbuh dewasa. Dan persis seperti apa yang ia bayangkan, menjadi dewasa memang tidak enak. Tapi harus ia akui, menjadi dewasa tidak sepenuhnya menyebalkan. Ada pertarungan pada prosesnya dan Ichigo suka tantangan. Memang tak seperti pertarungan-pertarungannya dengan Grimmy Hook—well, adrenalin yang sama tapi sensasinya jelas jauh berbeda.

Butuh waktu yang tidak sebentar untuk menyesuaikan diri dengan dunia manusia. Ichigo benar-benar bekerja keras. Ia tinggal di sebuah panti asuhan sembari belajar memahami cara hidup manusia. Susah memang, tapi berbekal kemauannya yang keras perlahan Ichigo mulai terbiasa.

Pekerjaan yang ia dapat sekarang juga tak lain adalah hasil dari jerih payahnya. Tidak punya dokumen pendidikan yang memadai tak membuatnya putus asa. Ia memulai bekerja sebagai supir pada sebuah bos perusahaan besar. Belajar sedikit demi sedikit, membangun hubungan kepercayaan dan sampai pada akhirnya—karna kebaikan bosnya, ia ditawari posisi yang cukup bagus di perusahaannya. Ichigo bukan tipe orang yang tak tau terimaksih, diberi kepercayaan, jelas ia bakal menjaganya baik-baik.

Sungguh, ia tak pernah menyangka bisa sampai sejauh ini—dan memang tak dapat disangkal dia menjalaninya dengan baik.

Hidupnya lumayan cukup. Ia punya banyak teman baik. Juga hobi menulisnya yang mungkin sebentar lagi bakal menjadi pekerjaan tetapnya. Entah beruntung atau memang karena usahanya, tapi yang jelas ia benar-benar bersyukur.

Hanya saja terkadang ia masih merindukan Neverland. Merindukan Nell, The lost boys, para mermaid dan hell, Ichigo juga berani berkata bahwa ia merindukan Grimmy Hook.

Tapi…

Dia yang paling Ichigo rindukan. Gadisnya.

Gadis yang sebetulnya ia ingat betul, tapi tak ingat.

Aneh bukan?


"Tapi kau tau kan Ichigo," kali ini Nel berkata serius, " Kau tau kan, resiko apa yang akan kau tanggung?"

"Aku tau."

"Kau akan mengucapkan mantra terlarang. Lalu sebagai gantinya, kau—" Nel berhenti sebentar lalu menatapku,"—Kau akan melupakan hal yang paling berharga dalam hidupmu."

"Aku tau," mataku terpejam erat, "Dan itu berarti, mungkin aku akan melupakannya."

"Lalu untuk apa kau pergi ke sana jika pada akhirnya kau akan melupakannya?"

Aku hanya tersenyum menatap Nel, "Aku juga tidak tau Nel, yang jelas aku tau… aku harus melakukan ini," aku menengadahkan kepalaku, melihat bulan bersinar terang, "Dan entah kenapa, aku yakin...kalau pada akhirnya kami pasti akan bertemu lagi."


Ichigo tau. Seharusnya ia melupakan si nona yang ia-tidak-tau-rupanya ini seutuhnya.

Tapi ia tidak.

Sosok gadis itu selalu tergambar di pikirannya, bukan bentuknya, tapi rasanya, sensasinya. Seperti aroma parfum yang tertinggal di suatu ruangan. Menghantui.

Nama gadis itu pun ia lupakan. Ichigo hanya ingat sebuah nama yang jika ia sebut akan terasa manis di mulutnya, nama yang benar-benar membuatnya terpikat.

Sebelum meninggalkan Neverland, Ichigo sempat menanyakannya kepada Nel, berharap Nel dapat menjawab semua kegundahan dihatinya. Tapi yang ia dapat hanya sebuah gelengan –eksistansinya dihapus disini, Nel tak bisa memberitahunya. Ia hanya bilang bahwa gadisnya berada di Karakura. Maka jadilah ia sekarang, tersiksa, merasakan sebuah lubang besar di hatinya. Merasa ada sesuatu yang hilang dari hidupnya.

Ichigo benar-benar ingin mengingatnya, seutuhnya. Namun semakin ia berusaha, semakin jauh ia merasa.

Sungguh, mengingat seseorang tapi tidak tau bagaimana rupanya benar-benar membuatnya frustasi.

Meski begitu, tak pernah sekalipun Ichigo menyesali keputusannya. Karena ia tau…suatu saat nanti—bagaimanapun caranya- Ichigo pasti akan menemukannya. Pasti.

Entah kapan.

Di malam apa.

.

Langkah kakinya semakin cepat. Pikirannya sudah mau meledak. Ia sangat membutuhkan kopi kesukaannya.


Pov Rukia

Aku masih bisa merasakan mataku membesar tidak percaya.

Bagaimana tidak? Kedatangan orang asing—lebih tepatnya bocah laki-laki berambut aneh di tengah malam dan tidak tau bagaimana caranya tiba-tiba bisa muncul di kamarmu yang notabene berada di lantai 3?

Hell, bagaimana caranya dia bisa masuk kesini!?

Apalagi dengan tampang bangga dihiasi senyum yang menurutku sangat bodoh, ia baru saja memperkenalkan dirinya sebagai Ichigo, Ichigo si Peter Pan. Lalu berkata ingin mengajakku ke Neverland.

Hah! Bagus!

Mungkin sekarang aku harus memeriksa lemariku, siapa tau Nelliel Thinkerbell sedang bersembunyi disana, Inoue si Mermaid Princess? Cinderella? Atau yang lebih buruk, Grimmy hook?

Benar-benar lelucon yang buruk di hari yang sudah tidak begitu bagus. Kakak sudah cukup membuatku pusing hari ini, dan sekarang bocah aneh berambut oranye ini mengaku dirinya Peter Pan?

Rasa panik dan takut mulai berubah menjadi luapan emosi kesal.

Mungkin dia hanya anak bodoh yang punya sedikit penyakit mental. Menyelinap di kamar sembarang orang dan mengaku-ngaku dirinya sebagai Ichigo si Peter Pan.

Lucu sekali.

Kau mau bermain-main denganku hah?

Dengan senyum mengejek, aku berkacak pinggang, "Ichigo si Peter pan, eh? Baiklah, perkenalkan, namaku Snow white!"

Bocah itu menatapku, sepertinya berpikir—lalu mengerutkan kedua alisnya, "Kau mengejekku, huh?"

"Tidak Peter Pan! Aku percaya padamu. Tapi maaf aku harus menolak ajakanmu untuk pergi ke neverland. Alice mengajakku ke Wonderland besok. Dan kupikir kau harus cepat-cepat pergi dari sini sebelum ibu tiriku menemukanmu!" usirku menyindir sembari mengibas-ngibas tanganku.

Mata bocah itu memicing tajam, "Kau pikir ini lelucon bukan?"

"Aku percaya kau adalah Peter pan!" erangan kesal tak pelak keluar dari mulutku, "Grimmy hook, Kenpachi beast atau siapapun yang kau inginkan, aku akan mempercayainya! Tapi kumohon cepat pergi dari kamarku sebelum kakakku datang! Dan aku yakin ibumu pasti sudah mencarimu kemana-mana!" Aku memijat-mijat dahiku yang mulai berdenyut frustasi.

Setelah hening beberapa saat, tawa meremehkannya berhasil membuatku menatapnya sekali lagi.

"Kau tidak percaya padaku," ujarnya tiba-tiba dengan nada mencemooh lalu menggeleng pelan, "Baiklah akan kutunjukkan padamu..."

Kaki bocah itu mundur teratur menuju jendelaku yang masih terbuka lebar.

Aku menelengkan kepalaku, tidak mengerti.

Apa yang mau dilakukan bocah gila ini?

Kakinya sudah sampai ke ambang jendela. Mulutnya menyeringai dan salah satu kakinya sudah tidak menapak lantai.

Mengerti maksudnya, mataku terbelalak lebar dan sesegera mungkin berlari menyelamatkan si bodoh berambut oranye ini.

Belum genap kakiku melangkah, aku sudah tidak bisa menangkap sosoknya lagi dengan kedua mataku.

DIA SUDAH JATUH!

Oh tuhan!

"Bocah!" pekikku tertahan.

Reflek, kakiku segera berlari menuju ambang jendela dan melongok kebawah.

Dan apa yang kulihat selanjutnya benar-benar membuat kepalaku sakit. Aku jatuh terjembab kebelakang. Mataku melebar dua kali lipat.

Dia...terbang?

Dia...TERBANG!

Astaga! Tidak ada tali, tangga atau benda apapun yang menyangga tubuhnya. Dia benar-benar terbang!

Suaraku seperti habis tertelan, tubuhku ikut berkompromi dengan membeku seperti batu. Mataku terpaku, mendongak ke atas. Melihatnya terbang sambil menautkan kedua alisnya.

Terbang! Aku masih tak percaya itu!

"Kau memanggilku bocah? Tidak salah? Kau lebih pendek dariku."

Ejekannya berhembus seperti angin lalu. Mulutku masih terlalu sibuk menganga untuk meladeninya.

Sedangkan dia malah makin asyik melayang dihadapanku dengan seringai arogan bodohnya, menikmati ekspresiku mungkin , "Bagaimana? Sekarang kau percaya padaku?"

Aku menemukan diriku mengangguk pelan lalu cepat-cepat menelan ludah, "Ba-bagaimana bisa?"

Seringai Ichigo makin lebar, "Nanti kuberitau caranya! Tapi sebelum itu, jawab dulu pertanyaanku. Kau mau kan?"

"Ta-tapi—"

"Oh, ayolah! Biar kutunjukkan padamu hebatnya Neverland!"

Neverland.

Pulau dimana banyak keajaiban?

Dimana petualangan akan menjadi makanan sehari-hari?

Bertemu peri, putri duyung dan bajak laut?

Benar-benar tawaran yang menggiurkan.

Aku hendak mengangguk ketika sebuah pikiran menyusup ke dalam otakku.

Aku memang ingin, tapi bagaimana dengan kakak?

Aku tak mungkin meninggalkan kakak, tapi…

Mungkin, kalau sebentar saja boleh.

Ya, sebentar saja…

"Oke. Aku mau," ujarku akhirnyamenyetujui, sukses membuatnya tertawa lebar, lalu dia menatapku sebentar dan aku berani bersumpah pipinya merona merah untuk sesaat.

"Hei, pendek. Siapa namamu?"

Aku mendelik, tidak suka dia manggilku pendek, "Jangan panggil aku pendek! Dan namaku Rukia."

"Rukia? Nama yang aneh…"

"Namaku tidak aneh, ibuku yang memilihkannya. Artinya cahaya. Lu-cia menjadi Ru-kia. Kau mengerti?"

Mulut Ichigo membulat, mengerti.

"Baiklah pendek, sekarang coba pejamkan kedua matamu…"


Rukia tertawa kecil.

Ia selalu merasa lucu jika mengingat pertemuan awalnya dengan Ichigo. Hei, Apa lagi yang bisa kau lakukan? Bertemu dengan legenda Karakura di malam hari benar-benar jauh di luar nalarnya atau nalar siapapun—Ia berani bertaruh untuk itu.

Rukia tergelak, ia tahu ini terdengar gila.

Jika saja ia menceritakan kisah ini kepada teman-temannya, taruhan, mereka pasti akan meledeknya habis-habisan. Menyebutnya sedang membuat lelucon bodoh atau menuduhnya gila karna terus-terusan hidup sendiri tanpa mau terikat dengan seorang lelaki.

Benar sekali. Di umur yang sudah mencapai 27 tahun, Rukia memang sudah mempunyai karir yang bagus dan hidup yang jauh dari kata susah. Ia tak pernah kekurangan suatu apapun. Tapi anehnya, tak pernah sekalipun ia berkencan dengan laki-laki.

Bukan, bukan karena tidak ada lelaki yang tertarik padanya. Banyak yang berniat untuk singgah, tapi tak pernah sekalipun Rukia menanggapinya. Berulang kali teman-temannya mengatainya bodoh, menolak banyak lelaki tampan yang berkali-kali mencoba memenangkan hatinya. Tapi Rukia benar-benar tidak bisa.

Ada sesuatu. Sesuatu yang masih mengganjal hati dan juga pikirannya.

Ah, bukan. Bukan sesuatu, tapi seseorang.

Dan Rukia tau jelas siapa itu. Tentu saja dia. Bocah berambut aneh yang mempunyai senyum arogan bodoh.


Tubuhku bersandar pada sebuah pohon tua besar. Mataku masih terkesima.

Hamparan bintang di Neverland tak pernah gagal membuatku teperangah.

Neverland itu indah.

Benar-benar indah.

Dunia manusia memang tak kalah indah. Tapi Neverland—

Benar-benar terasa seperti sihir. Bukan hanya kekuatannya tapi suasananya. Memikat sampai ke akar-akarnya.

Aku masih ingat ketika pertama kali memasuki Neverland.

Mulutku tak bisa berhenti menganga dan bertanya ini-itu kepada Ichigo.

Juga pertemuan pertamaku dengan Nelliel. Oh tuhan, peri kecil lucu yang kukira hanya bagian dari imajinasi manusia benar-benar nyata! Dengan sayap mungil dan pixie dust-nya.

The lost boy juga tak kalah menarik perhatianku. Toshiro, Mizuiro dan Hanatarou benar-benar kombinasi trio yang tidak biasa.

Oh jangan lupakan pertemuanku dengan Inoue si Mermaid Princess, rambut aurburn panjangnya tampak cantik menghiasi wajah mungilnya.

Dan Grimmy hook, musuh bebuyutan Ichigo! Astaga, bersama Ichigo—kami melawannya ketika Grimmy hook mencoba menculik Three lost boy dan membuat marah Ichigo.

Mulutku menyungging senyum.

Waktuku di Neverland benar-benar menyenangkan dan penuh petualangan.

Aku benar-benar menyukainya.

Lalu Ichigo…

Meski dia sering mengejekku -si pendek bermulut cerewet- meski kami selalu berdebat, mengejek satu sama lain…

Tapi ada kalanya dia akan membangunkanku diam-diam di malam hari. Memintaku terbang bersamanya. Tidak tau kemana. Hanya terbang tak tentu arah—berdua.

Kami tau.

Sebuah ikatan sudah terbentuk.

Ikatan yang tidak bisa di jelaskan dengan kata-kata.

Ikatan yang membuatku ingin terus bersamanya, memulai petualangan baru setiap harinya…

Ikatan yang kokoh.

Ah, the lost boys juga memanggil kami dengan sebutan ibu dan ayah…

Ibu dan ayah? Aku dan Ichigo?

Darah panas sudah mengalir ke kepalaku.

Sial, jantungku selalu seperti ini kalau mengingatnya. Berdetak kencang.

Tapi…mungkin Ichigo bisa menjadi ayah yang baik. Meskipun tingkahnya menyebalkan, ia hangat.

Ichigo sebagai ayah…Aku bisa menangkap gambaran itu.

Bibirku tersenyum membayangkannya.

Ya, mungkin Ichigo—

Seketika hatiku melecos. Aku lupa.

Ichigo tidak bisa tumbuh dewasa.

Benar.

Dia akan terus berputar dalam frase ini.

Tidak ada dewasa dan tumbuh tua.

Selamanya. Menjadi anak-anak.

Selamanya.

Selamanya?

OH ASTAGA!

Sebuah pikiran yang baru saja muncul di otakku benar-benar membuatku terlonjak kaget dari tempatku bersandar.

Keringat dingin kurasakan mulai jatuh membasahi keningku.

Kakak!

Aku melupakannya!

Astaga, astaga, astaga!

Sudah berapa lama aku di Neverland!?

Sebulan? Tidak, terlalu sebentar. Aku sudah lama berada disini.

Ya tuhan! Kakak pasti kerepotan mencariku kesana kemari.

Aku tak pernah mau membuatnya susah.

Kakakku! Kakak kesayanganku.

Aku mau pulang.

Kakiku gemetar hebat.

Lalu Ichigo?

Ba-bagaimana?

Tubuhku terhuyung kembali kebelakang, ketika logika benar-benar menghantam pikiranku.

Tanganku terangkat, menekan pelan dadaku yang kini ikut gemetar hebat.

Lalu tertawa pasrah. Mengejek.

Benar juga.

Seberapapun kuatnya ikatan yang kubangun bersama Ichigo, pada akhirnya kami tetap akan berpisah.

Dia punya kehidupannya disini. Begitupun aku, kehidupanku dengan kakakku.

Seberapapun besarnya aku mengagumi Neverland, tapi tetap saja ini bukan rumahku.

Benar juga.

Aku harus pulang.


Rukia memutar-mutar gelas sakenya yang masih penuh sambil bertopang dagu. Malam ini dingin, ia tau segelas sake bisa menghangatkan tubuhnya, tak peduli bahwa dirinya benar-benar lemah dengan alkohol.

Mungkin mabuk malah bisa membuatku sejenak melupakannya pikir Rukia kecut.

Tapi tetap saja ia tidak meminumnya. Moodnya sangat buruk. Bahkan meminum sake pun ia merasa malas. Mengingat kenangan itu benar-benar masih membuat hatinya menciut.

Mata ambernya yang begitu terluka. Kekecewaan yang jelas tergambar di iris itu...

Rukia mengerang frustasi. Ia tidak pernah bisa menghilangkan raut wajahnya itu dari otaknya.


"Maafkan aku Ichigo..."

Dia masih tak bergeming.

"Ichigo..." panggiku putus asa.

Masih memunggungiku, ia berujar pelan, "Kau…" Ia memulai lalu terdiam, sepertinya mencari kata yang tepat, "Tak bisakah kau tinggal? Bersamaku di Neverland. Kita akan mengarungi Neverland bersama. Memulai petualangan setiap harinya, bermain bersama Nel, mengunjungi Inoue, bertarung dengan Grimmy Hook..." Ia kembali terdiam sebentar, "Lagipula kalau kau pergi bagaimana dengan Mizuiro, Toshiro dan Hanatarou? Kau ini ibu mereka, kau tau."

"Ichigo, aku tau. Tapi aku tidak bisa, Toshi—"

"Dammit! Lalu aku!? Bagaimana denganku Rukia!?" potongnya dengan nada keras—frustasi, membuatku sedikit terkejut.

Kami sama-sama terpaku, kehabisan kata, sampai akhirnya Ichigo berujar lirih—benar-benar lirih.

"Jangan pernah pergi. Aku mohon..."kali ini dia berbalik dan menatap mataku dalam-dalam.

Aku tercekat menahan nafasku. Jantungku serasa berhentiketika mata ambernya menatapku lurus tanpa keraguan. Memintaku untuk tetap tinggal. Bersamanya, selamanya.

Sedetik, mata itu berhasil meruntuhkan keputusanku.

.

Tidak.

Aku mengalihkan pandanganku,

'Jangan memandangnya' pekikku dalam hati.

Aku memang ingin bersamanya.

Tapi tidak seperti ini.

Bukan seperti ini.

Sekali lagi aku menatap mata ambernya, lalu menggeleng pelan.

Raut wajahnya tampak begitu terpukul, lalu dia berujar pelan, "Kau tau kan. Ketika kau menginjak usia kedewasaanmu, kau—"

"—Kita tidak akan bisa bertemu lagi." Katanya masih penuh harap.

Ucapannya benar-benar membuat jantungku berhenti.

Aku tau Ichigo. Aku tau. Meski begitu…

Aku tak bergeming, berharap cukup jelas menjawab pertanyaannya.

Mata ambernya perlahan membesar, "Kau…tetap memilih untuk pergi?" katanya hampir berbisik.

Aku meremas ujung bajuku erat.

Suaranya terdengar begitu rapuh. Terluka.

Aku tau jelas. Dia marah. Dia kecewa.

Tapi…

"Aku harus," bisikku pelan.


Manyerah dengan segelas sake-nya, Rukia beranjak dari meja makannya dan menyeret tubuh mungilnya untuk duduk di sebuh kursi di balik jendela besar. Dibukanya jendela itu lebar-lebar. Angin malam menerpa wajahnya lembut.

Kamar apartemennya berada di lantai tiga, sama dengan kamar miliknya dulu.

Oh, betapa rindunya ia dengan kamar lamanya itu.

Rukia masih ingat jelas ketika kakaknya memberitaunya bahwa rumah itu harus dirobohkan. Alasan surat rumah tak jelas yang akhirnya diperkarakan –dan sialnya keluarga Kukichi kalah- membuat mereka harus rela pergi meniggalkan rumah tua peninggalan orang tuanya.

Rukia juga ingat bagaimana ia menangis keras malam itu, memohon pada kakaknya agar mereka tetap tinggal. Bisa dimaklumi. Rumah yang sangat berharga baginya telah dirampas. Rumah yang penuh dengan banyak kenangan . Rumah…dimana ia bertemu dengannya—si bodoh berambut oranye.

Rukia benar-benar merindukannya—rumahnya. Dan ia tau selamanya tidak akan pernah melihatnya lagi. Rumahnya sudah roboh, digantikan dengan sebauh gedung yang menjulang tinggi.

Meski ia sudah berusaha sekeras mungkin membuat tempat ini senyaman dan semirip mungkin dengan kamar lamanya. Tetap saja berbeda. Kenangannya tidak ada—hilang. Apalagi…

Jendelanya.

Jendelanya sekarang tidak akan pernah bisa sama dengan jendela kamarnya dulu.


Kami berdiri cukup lama di ambang jendela kamarku. Terdiam satu sama lain sampai pada akhirnya kuputuskan untuk mengakhirinya, "Selamat tinggal… Ichigo…"

Tidak ada reaksi.

Dia tetap berdiri. Tidak beranjak sedikitpun. Mulutnya juga masih terkunci rapat.

"Ichigo?"

Aku hendak menyentuh bahunya ketika tangannya tiba-tiba merengkuh tubuhku erat.

Sangat erat.

Sampai-sampai aku bisa mendengar detak jantungnya yang berbunyi tidak karuan.

Aku terkesiap. Dadaku ikut berdebar keras. Bingung harus melakukan apa.

Sampai pada akhirnya kuputuskan untuk memejamkan mata rapat-rapat, lalu merengkuh tubuhnya—membalas pelukannya lebih erat.

Berusaha menyimpan setiap inchi kehangatan yang dia berikan untuk kuingat.

Karena aku tau...

Mungkin kami tidak akan bertemu lagi.

Suata saat ketika aku sudah beranjak dewasa.

.

Tubuh kami masih saling berpaut seolah sudah tercipta menjadi satu.

Membagi perasaan, tanpa kata sedikitpun.

.

Perlahan, aku bisa merasakan hembusan nafasnya menyentuh telingaku.

.

Lalu dia berbisik.

Berbalik arah dan terbang tanpa menatapku kembali.

Meninggalkanku yang terduduk lemas dan menangis dalam diam.

.

Kami berpisah. Di tempat pertama kali kami bertemu.


Rukia masih ingat jelas apa yang Ichigo bisikkan waktu itu. Sangat jelas.

Mendengus pelan, Rukia menyenderkan kepalanya di sisi kusen jendelanya, melihat orang-orang berlalu-lalang di jalanan depan apartemennya.

Apa kabarnya?

Rukia benar-benar merindukan Ichigo. Terkadang ia merutuki keputusannya dan membayangkan bagaimana jadinya jika ia memilih untuk tetap berada di Neverland, bersama Ichigo. Namun pikiran itu kandas saat ia ingat bagaimana wajah lega kakaknya ketika menemukannya terduduk diam di kamar, menangis sendirian. Kakaknya tak banyak bertanya. Hanya memeluknya erat dan berkata lirih, "Terimakasih tuhan, kau sudah pulang…"

Byakuya niisama…

Seketika, sesuatu menyeruak di dalam dada Rukia. Sesuatu yang menghimpit dadanya rapat-rapat.

Kakaknya. Bukan, lebih tepatnya mendiang kakaknya. Kakaknya menutup usia dua tahun yang lalu.

Hari itu hujan, ia pulang dan mendapati rumahnya dalam keadaan kosong. Semuanya tampak normal, tak ada yang aneh. Sampai ia menerima kabar bahwa kakaknya mengalami kecelakaan parah dan tak bisa diselamatkan. Dunianya seakan runtuh. Ia berharap bumi terbelah, dan menelannya hidup-hidup.

Kakaknya meninggalkanya. Sendirian.

Mendesah, ia segera mengahapus cairan bening yang perlahan turun dari matanya.

Ditatapnya telapak tangan mungilnya, "Dingin..." lirihnya pelan.

Matanya kembali lagi menatap orang-orang yang sibuk berlalu-lalang di jalanan depan apartemennya. Sendirian, berpasangan, beramai-ramai. Semuanya tampak biasa saja, sampai sesosok pria menarik perhatiannya.

Matanya membesar. Itu…

Menggeleng pelan tidak percaya, ia melongokkan kepalanya ke luar jendela, memastikan dirinya belum gila.

Tapi sepertinya ia sudah gila.

Detak jantungnya berdebar tidak karuan. Dilihatnya lagi baik-baik sosok yang sedang berdiri tepat di seberang jalanan apartemennya.

Tangannya menutupi mulutnya yang kini terbuka lebar. Jantung makin berdebar—seperti diremas-remas.

Kau tau rasanya melihat sesuatu hal yang paling tidak mungkin terjadi didalam hidupmu benar-benar terjadi?

Astaga! Tidak mungkin! Jeritnya dalam diam, masih terpaku.

Lima detik kemudian, ia mundur tiga langkah sebelum akhirnya berlari keluar meninggalkan apartemennya.


Derap langkah kakinya terus berderu, tak peduli dingin sudah menyerang telapak kaki dan sekujur tubuh mungilnya.

Rukia bisa merasakan tatapan aneh dari orang-orang di sekelilingnya. Bagaimana tidak? Bayangkan saja kau melihat seorang gadis tengah berlari-lari seperti orang gila di tengah malam di musim dingin—dengan rambut berantakan tidak karuan, masih memakai gaun tidur tipis dibawah jaket yang tak terlalu tebal ditemani sebuah slipper sebagai alas kaki. Benar-benar kelihatan tidak waras kan? Tapi Rukia tidak peduli. Pikirannya terlalu kalut untuk mengurusi hal itu. Pikirannya hanya tertuju padasatu hal. Dia.

Terengah-engah, mata penuh harap Rukia berubah menjadi kekecewaan ketika sampai ke tempat yang ia tuju. Dengan cepat ia menoleh kanan-kiri, berharap dia masih ada, tapi nihil. Dia sudah hilang. Atau Rukialah yang sudah mulai gila?

Mendesah pelan, ia berjalan lunglai, kembali pulang ke apartemennya. Mungkin aku butuh seorang psikiater pikirnya sambil tertawa mengejek.

Ia mulai merasakan dingin yang sebenarnya sedari tadi sudah menyerangnya. Dirapatkannya jaket merah miliknya sambil terus merutuk pelan. Meratapi betapa bodohnya dirinya. Sampai pada akhirnya takdir berkata lain.

Matanya menemukan lagi sosok yang sedari tadi dicarinya. Sosok yang membuatnya berpikir bahwa dirinya sudah gila.

Sekali lagi Rukia dibuat terpaku. Jantungnya dibuat melompat dari tempatnya.

Dia. Dia berdiri tak jauh dari apartemennya. Memakai jaket mantel tebal berwarna coklat, satu tangannya masuk ke dalam kantong celananya sedangkan yang lainnya memegang segelas kap kopi.

Jantung Rukia mulai berdetak kencang. Matanya tidak pernah sekalipun meninggalkan sosok yang kini berdiri agak jauh darinya. Memperhatikan setiap detil dari dirinya.

Tidak salah lagi bisiknya tertahan.

Rambut oranye. Kerutan alis. Dan juga mata itu…

Dia

Ichigo! Dia Ichigo! Pekiknya dalam hati, Tidak mungkin!

Emosi Rukia membuncah.

Kalau bisa, mungkin sudah ribuan kata yang terucap dari mulut Rukia saat ini—atau mungkin ia sudah menubruk laki-laki berambut oranye di hadapannya ini. Tapi entah kenapa mulut dan tubuhnya tidak bisa bergerak, tidak mau merespon perintah otaknya. Hanya bisa diam, mematung. Tenggelam dalam mata ambernya. Mata amber yang sangat ia rindukan.

Rukia tetap terdiam sampai pada titik dimana hatinya benar-benar meledak.

Titik dimana ketika mata mereka bertemu.

Ya.

Ketika pada akhirnya mata amber itu menatap mata violet yang sedari tadi sudah terpaku olehnya.


Hampir lima menit sudah mereka saling menatap.

Dada Ichigo berdegub kencang.

Gadis ini…

Entah ada apa dengan mata violet milik gadis mungil berambut hitam dihadapannya. Namun ada perasaan kuat—bahkan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata sedang hinggap di hati Ichigo saat ini. Ia seperti terjebak dalam iris indah yang memabukkan. Dan lagi, mata itu serasa tak asing baginya.

Aku tau mata itu.

Aku tau.

Aku tau dia.

Tubuh tegap Ichigo perlahan mendekati gadis mungil dihadapannya. Mata mereka masih saling berpandang, tidak pernah meninggalkan satu sama lain.

Jarak mereka kini hanya tinggal sejengkal.

Lucu, bahkan sampai sekarangpun mata mereka tidak pernah lepas satu sama lain. Bahkan berkedip pun tidak.

"Kau..." ujar Ichigo tiba-tiba.

Mendengar Ichigo, mata gadis itu mengerjap-ngerjap menggemaskan—gugup mungkin, "A-aku... Ah, Ka-kau..." katanya sambil terbata.

Ichigo tertawa kecil.

Entah mengapa ini terasa familiar. Entah mengapa Ichigo benar-benar merindukan ini. Entah mengapa ia merasa lega dan hidupnya tiba-tiba terasa lebih…lengkap—sempurna.

Mereka terdiam untuk sesaat, canggung satu sama lain. Masih terkejut dengan apa yang terjadi, sementara yang lainnya menerka-nerka apa yang ia rasa.

Hingga sampai pada saat sebuah kalimat meluncur pelan dari mulut Ichigo—sangat pelan. Kalimat yang Rukia tau jelas apa itu. Kalimat yang pernah dibisikkan oleh seseorang di ambang jendelanya.

"Kau tau tempat yang terletak tepat di antara tidurmu dan alam sadarmu. Tempat dimana kau ingat bahwa kau sedang bermimpi. Disitulah... Disitulah aku selalu mencintaimu. Disitulah aku selalu—"

"—menunggumu...," bisik Rukia perlahan. [1]

Dan, mata mereka masih terpikat satu sama lain.

Angin semilir menerpa. Sekali itu, Ichigo merasa waktu berhenti berputar untuk mereka. Untuk sebuah momen yang Ichigo berani menunggunya seumur hidup.

Aku tau itu kau.

Senyum Ichigo mengembang. Pantas saja ia merasa familiar. Pantas saja mata violet besar milik gadis di hadapannya begitu menarik perhatiannya. Pantas saja wewangian laut bercampur matahari memenuhi indra penciumannya.

Pantas saja.

Ichigo tau alasannya sekarang.

Tanpa banyak pikir, direngkuhnya gadis mungil dihadapannya. Tubuh mungilnya tampak terkejut pada awalnya, namun perlahan melemas, membalas pelukan Ichigo.

Setelah beberapa saat, ichigo melepaskan pelukannya lalu menggenggam tangan Rukia, menatapnya dan tersenyum; tangan mereka berpaut, sebagaimana mestinya. "Akhirnya aku menemukanmu..." ujarnya lembut.

Mulut gadis yang masih menganga lebar dihadapannya mengatup perlahan, "Kau datang…" ucapnya setengah berbisik.

"Kau tau aku pasti datang..."

"Kupikir aku sudah gila. Kupikir aku salah orang…"

Ichigo tergelak lalu menunjuk rambutnya, "Ini," dan menunjuk alis matanya "Dan ini. Kalau bukan aku, siapa lagi kau pikir?"

Rukia ikut tertawa. Ditatapnya lagi laki-laki berambut oranye dihadapannya. Dia…dia berubah, tidak seperti dulu. Meski senyum arogan masih tampak jelas tergambar di wajah tampannya, tapi dia berubah. Tubuhnya tegap dan tinggi, dadanya bidang dan bahunya juga bertambah lebar. Lalu lihatlah wajahnya. Rahangnya bertambah tegas, samar-samar—dagunya dihiasi dengan sedikit rambut.

Dia tumbuh dewasa.

Neverland itu rumahku! Disinilah aku akan menghabiskan hidupku!

Aku benci menjadi dewasa! Orang dewasa hanya memikirkan hal-hal tidak berguna yang akhirnya malah membebani mereka sendiri.

Tawa kecil Rukia terhenti, matanya beralih menatap kedua ujung jari kakinya, "Kau begitu mencintai Neverland... Lalu kenapa?" ujarnya pelan.

Ichigo berdehem, membuat Rukia kembali menatapnya, "Neverland itu rumahku…Tapi kurasa…" ia menggaruk-garuk kepalanya, terdiam beberapa saat, tampak tidak nyaman, "Eumm..Kurasa…Aku…Argh! Akutakbisahiduptanpamu!" ujarnya akhirnya belepotan.

Dan itu berhasil membuat Rukia tertawa terbahak-bahak, benar-benar membuat perasaan kikuknya hilang, "Astaga, sejak kapan kau—"

"Aku tak pandai merangkai kata!" potong Ichigo cepat, semburat merah timbul di kedua pipinya, "Jangan tanyakan lagi alasanku. Yang jelas aku memilihmu. Aku. Memilihmu. Titik."

Rukia terperangah.

Hangat.

Kata-kata Ichigo benar-benar membuat hatinya hangat. Mengangkat tangannya, Rukia meraih wajah Ichigo lalu membelainya lembut, "Aku sangat merindukanmu…"

Ichigo tersenyum, menatap gadis dihadapannya sekali lagi lalu tiba-tiba dahinya berkerut tak senang, menunjuk tubuh rukia dari atas sampai bawah, "Kau gila huh? Apa kau mau mati kedinginan?"

Alis mata Rukia berpaut, bingung, lalu mengerti maksud Ichigo setelah sadar bahwa dirinya hanya memakai jaket tipis dan sebuah slipper sebagai alas kaki. Mulut Rukia terbuka lebar, ingin mengatakan sesuatu sebelum sebuah jaket tebal berwarna coklat tiba-tiba melingkar di bahunya.

Tubuh Rukia yang mungil tampak tersembunyi di balik mantel besar Ichigo. Manis sekali.

"Kau…" Ichigo menatap Rukia sebentar, kau manis sekali...

"Kau tumbuh dewasa tapi tubuhmu tidak bertambah seinchi pun…" ujarnya tertawa meledek.

Mengernyit, dipukulnya dada Ichigo pelan, "Mulutmu juga tidak berubah tuan—"

"—Kurosaki. Kurosaki Ichigo."


"Oh, ayolah! Biar kutunjukkan padamu hebatnya Neverland!" seruku tak sabar.

Dia masih saja terdiam. Mata besarnya tampak berkedip-kedip, bingung.

Sampai pada akhirnya dia mengangguk dan berujar, "Oke. Aku mau."

Membuatku tertawa lebar.

Entah kenapa gadis ini benar-benar menarik perhatianku.

Gadis ini memang menyebalkan.

Tapi cukup…ehm, manis.

Mata Violet besarnya paling memukau. Dipadu dengan kulit pucat, yang anehnya membuatnya tampak bersinar…seperti cahaya.

Oke, cukup! Aku bisa merasakan pipiku memanas.

"Hei, pendek. Siapa namamu?" ujarku cepat-cepat, berusaha mengalihkan perhatianku.

Matanya melotot sepertinya tak suka kupanggil pendek,"Jangan panggil aku pendek! Dan namaku Rukia."

"Rukia? Nama yang aneh…"

Alisnya mengernyit, "Namaku tidak aneh, ibuku yang memilihkannya. Artinya cahaya. Lu-cia menjadi Ru-kia. Kau mengerti?"

Rukia, Lucia…

Aku menggelengkan kepalaku cepat ketika wajahnya kembali membiusku,

"Baiklah pendek, sekarang coba pejamkan kedua matamu…"


Pipinya memerah, "Eum…jadi kau mau mampir tidak?" ujarnya sekali lagi.

Hell yeah!

"Oke." Jawab Ichigo mencoba santai.

Lalu dia tersenyum, membuat Ichigo terpaku, terpesona.

Ternyata matanya berwarna violet… Begitu cantik, memukau…dipadu dengan kulit pucatnya yang anehnya malah membuatnya tampak bersinar.

Seperti cahaya.

Cahaya?

Hatinya berdetak kencang.

Cahaya…

Lucia…

Lu…cia?

Ru…kia?

Rukia?

RUKIA!

"RUKIA!"

"Hm?"

"Rukia…" ujarnya sekali lagi. Terasa benar dimulutnya, membuatnya tertawa lebar. Namanya benar-benar memikat.

Sedangkan gadis dihadapannya menatapnya aneh—bingung namanya terus disebut berkali-kali.


Malam itu bulannya bulan biasa.

Malam itu tak banyak bintang.

Malam itu banyak orang berlalu lalang.

Tapi mereka tidak peduli.

Bagi mereka hanya aku dan dia.

Bagi mereka hanya Ichigo dan Rukia.


[1] Quote Peter Pan untuk Wendy

Sillage : (n) The scent that linger in the air, the impression made in space after something or someone had been gone.


A/n : Darn! Apa ini!? Apa iniiiii!? *gelundungan* Setelah dua kali nulis OS, akhirnya saya sadar : saya nggak jago bikin OS orz daaan Romance orz orz orz saya berusaha keras untuk menuangkan feelnya, tapi kok kayaknya gagal orz

Lagi, saya bener-bener lupa detil cerita Peter Pan, ahahaha. Cuman inget alur kasarannya aja. Jadi mohon maaf kalo cerita peter pan disini jadi dirusak habis habisan sama saya. Oh saya juga membuat the lost boys jadi tiga orang :3 Soalnya bingung mau pake siapa lagi buat sisanya

Well anyway, ini pertama kalinya saya publish fic OTP saya *yeay* Semoga bisa menyusul yang lainnya. Baiklah, dari pada saya terus nge-rumble Gj mendingan saya akhiri saja.

Thanks for reading and Reviews are my pleasure *wink*

Regards

A.e