Disclaimer: Semua tokoh yang terlibat Officialy—milik Marvel, untuk Movie—milik Josh Whedon, dan untuk fic ini murni 100% milik saya
ENJOY READING
-Avengers-
Steve Rogers masih berbaring di sofa selama hampir lima belas menit. Ia tidak memejamkan mata, hanya berkedip dengan cepat selama lima menit terakhir sembil terus memandangi langit-langit ruang santai di avengers tower. Pikirannya berlompatan, bolak balik, dari tahun 19an ke masa sekarang dan terus begitu sampai ia tak menyadari ada seseorang yang lain yang kini asik menyesap kopi di tangannya sambil memandanginya.
Tony Stark menyesap kopinya lagi sebelum meninggalkannya di atas meja dapur dan menghampiri Steve. Rasa penasaran sudah ada di ubun-ubunnya.
"Steve?" panggilnya sesaat ketika pantatnya menyentuh sofa yang lain di ruangan itu.
Steve melonjak kaget seperti orang kena setrum. Ia menengok cepat pada Tony yang sudah mengangkat kakinya di atas meja di antara mereka.
"For god sake, apa yang kau pikirkan Steve, kau tidak menyadariku datang? Hahaha," tawanya pecah saat Steve memegangi dadanya sendiri, menarik napas dalam-dalam dan cepat.
"A-aku hanya sedang memikirkan sesuatu." jawabnya. Entah apa yang sedang terjadi padanya sampai-sampai ia tak menyadari kehadiran orang paling berisik di avengers tower.
"Selama dua puluh menit? Apa yang kau pikirkan? Ending serial walking dead?"
Steve mengerinyitkan alisnya, "W-what?"
"Aku hanya menebak,"
"Bukan." katanya cepat. "Bagaimana kau tahu aku berbaring disini selama itu?"
Tony mengetuk dagunya dengan telunjuknya sambil mengeluarkan suara hmm yang lumayan keras.
"Kau bisa tanya JARVIS." jawabnya cepat sambil mengangkat bahu.
"JARVIS?" ucap Steve cepat.
"Yes, Captain?"
"Bagaimana Tony tahu aku berbaring cukup lama disini?"
"Em, tuan Tony sudah berdiri di dekat meja dapur enam belas menit yang lalu, disaat anda mulai berbaring di sofa itu."
Steve melongo sebentar sebelum berkedip dengan cepat pada Tony yang memandangnya dengan pandangan lucu.
"Dan aku tidak menyadarinya?"
"Mungkin kau lapar, Steve," kata Tony. Ia mengambil bungkusan di kantong celananya dan menyodorkan bungkusan itu pada Steve. "Peaches?"
Steve menggeleng cepat. Ia kembali menyenderkan punggung badannya di atas sofa. Hembusan napas keluar dari mulutnya.
"Jadi, apa yang kau pikirkan?"
Steve menengok sekilas pada Tony yang mulai mengunyah persik kering di mulutnya, sebelum kembali memandang langit-langit ruangan.
"Tidak ada apa-apa." balasnya cepat.
"Kau tahu? Aku bisa mengganti catnya, Steve."
Steve mengerinyitkan alisnya. Lagi. "A-apa?"
"Jika kau tidak suka warna cat langit-langitnya, aku akan menyuruh JARVIS menggantinya." jawabnya santai sambil kembali memasukkan buah persik ke dalam mulutnya.
"A-apa yang kau bicarakan, Tony?"
"Kau terus memandanginya, Steve. Itu masuk akal."
Steve akan kembali menjawab sampai kemudian ia menutup kembali mulutnya, sadar jika ucapannya tak akan berpengaruh apa-apa. Ia lebih ingin kembali kedalam pikirannya sekarang.
Tapi tak lebih dari semenit, bahkan tak sempat ia mengambil napas, TV di ruangan santai itu tiba-tiba menyala. Suara wanita yang sedang berbicara terdengar sangat keras dengan suara renyah sesuatu yang sedang di tumis-ia rasa. Steve ingat, beberapa waktu yang lalu Natasha menonton acara itu, tapi ia tak ingat kenapa suaranya sekarang terdengar sangat memekakkan di telinganya.
"Hey lihat, kurasa dia memasak makanan yang tadi pagi Natasha masak. Apa namanya emm... Cas... Scas... Lacs... No no, it's Slap-"
"It's scallop, Tony!"
"Oh, there it is. Aku suka sekali benda itu. Bagaimana bisa Nat membuatnya? Dan sejak kapan Nat memasak?" Tony mengunyah kembali buah persik yang ia masukkan ke dalam mulutnya. Wanita di TV masih terus berbicara, membuat Steve tak tahan.
"Aku akan keluar cari udara"
"H-hey! Mau kemana Steve?" Tony loncat dari sofa, berdiri di atas meja dan menahan Steve dengan tarikan di tangannya.
Dan yang sepertinya bukan hal yang bagus karena, gulp, Tony malah mengenggam bisep dan trisep si pahlawan amerika.
Tidak, ia tidak mengenggamnya, hanya menahannya dengan melingkarkan telapak tangan dan jarinya.
Lengan itu terlalu berotot.
Gulp.
Tony melotot. Lagi.
Steve, tidak menengok dan mencoba melepaskan tangannya, ia bilang, "Cari udara!" dengan nada ketus.
Tidak bisa dibiarkan. Tony berpikir. Sedikit mesum.
"Ayolah..." Tony, yang sepertinya sudah terbawa suasana, (Salahkan Steve. Salahkan lengannya. Ya lengannya, pikirnya) turun dari meja, dan secepat Natasha melumpuhkan lawan-lawannya ia memeluk Steve dari belakang. Dan, tolong jangan salahkan tangannya, itu tidak bisa di sebut berpelukan jika tidak ada tangan yang terlingkar.
Tony melingkarkan tangannya di pinggang Steve dan tiba-tiba harum tubuh Steve menyerbu penciumannya. Membuatnya merasa hangat dan sedikit melanklonis. Ia merasa seperti sanggup membacakan selusin puisi dengan ekspresi penuh.
Sebuah simbiosis mutualisme yang sangat aku sukai. Pikirnya.
Ia bisa merasakan sesuatu yang berat menghilang dari tubuh Steve, bersamaan dengan hembusan napas sang kapten yang terasa berbeban. Tony menepuk-nepuk dada Steve sampai ia bisa merasakan tubuh besar Steve kembali tenang.
Steve, yang sepertinya sudah bisa melihat jalan keluar dari kekalutan pikirannya, memutarkan tubuhnya. Ia sedikit menunduk memandangi Tony yang tersenyum tipis padanya.
Semuanya begitu cepat sampai Tony mencium lembut bibir Steve.
"Kau milikku, dan sangat jelas sekali aku tahu sekarang kau sedang dalam masalah, Steve." kata Tony.
Steve kembali menghembuskan napas. Matanya terpejam, "Aku bingung, Tony."
Tony, semakin mempererat lingkaran tangannya saat Steve memanggil namanya.
"Aku siap mendengarkan." balas Tony.
Ada jeda yang panjang saat Tony membalasnya. Ia pikir Steve tertidur di pelukannya, tapi ternyata tidak saat kemudian ia merasakan lehernya dicium Steve. Hanya sekali, tapi ia selalu berkata pada semua orang yang kemudian akan membuat Steve garuk-garuk kepala dibuat malu, 'ini akan selalu tahan lama'.
"Ini tentangmu..." balasnya. Pelan dan hampir seperti berbisik di telinga Tony.
"Hmm?" Tony mengangguk singkat di sela-sela pejaman matanya, memberi isyarat agar Steve melanjutkan ceritanya.
"Dan ayahmu."
Seperti ada yang baru saja membangunkannya dari hibernasi panjang, Tony membuka matanya cepat. Hampir melotot bercampur kaget. Kepalanya seketika berdenyut. Kata-kata ayah atau Howard Stark sudah terasa seperti memukul kepalanya sendiri karena yang muncul hanya rasa berdenyut yang aneh dikepala. Selalu.
Ayahku? Pikirnya.
Tony perlahan menarik diri dari pelukan mereka. Steve seketika memasang wajah menyesal dan putus asa.
"Ini tepatnya yang paling aku takutkan Tony, aku tahu kau akan bereaksi seperti ini saat aku ingin bercerita padamu."
Tony, yang sepertinya sudah menelan lidahnya sendiri, tak bisa mengucapkan apapun. Hanya mulutnya yang terbuka.
Steve mendesis sambil menutup wajahnya sebelum berkata, "Ini tidak akan berjalan baik. Aku akan pergi."
"T-tunggu!" Tony menahan Steve ditempat. Menggenggamnya tepat di telapak tangan.
"A-aku minta maaf. Aku janji akan mendengarkan ceritamu sampai selesai." lanjutnya ketika tangannya meremas pelan telapak sang kapten, mencoba meyakinkannya melalui sentuhan.
Steve menggigit bibirnya. Jelas ragu yang ia rasakan. Mendengar nama ayahnya sendiri saja Tony seperti habis kena tembak, apalagi jika ia ceritakan...
Akh.
Tony mungkin akan terjun langsung dari avengers tower dan membencinya sampai di kehidupan selanjutnya.
"A-aku tida-"
"Ayolah Steve. Jadilah laki-laki. Kau hanya perlu menceritakannya padaku. Aku janji akan bersikap dewasa." mohon Tony, yang kini menepuk-nepuk kedua pundaknya yang terasa sangat tidak membantu sekali karena-apa yang sebenarnya terjadi disini? Siapa sebenarnya yang harus jadi laki-laki? Ia pikir orang yang kaget mendengar nama ayahnya-lah yang harus jadi laki-laki.
Steve menarik napas panjang sebelum mengelurkannya dalam satu kalimat.
"Aku mengencani Ayahmu."
3 detik Tony membeku sebelum kepalanya berbunyi-
Booyah.
Dan mungkin jika masih ada repulsor di dadanya, kemungkinan sekarang benda itu sudah meledak dan hancur berkeping-keping saat mendengar ucapan Steve, yang sebagai gantinya malah membuat Tony melotot dengan tenggorokan tercekat air ludah-atau mungkin lidahnya yang tertelan tadi.
"APA?!"
"A-aku tahu dan aku minta maaf karena tidak mengatakannya padamu selama ini."
"Kenapa?!"
"A-aku tidak tahu. Itu terjadi begitu saja, Tony."
"T-terjadi begitu saja? Bagaimana bisa itu terjadi begitu saja?!"
Steve merasakan bibirnya kelu. Hendak berbicara tapi hanya gerakan mulut yang bisa ia lakukan, seakaan udara di paru-parunya tertahan oleh pertanyaan Tony sebelumnya.
"STEVE!"
"D-dia hot, Tony."
Steve menggaruk pucuk kepalanya keras sambil menggeram penuh penyesalan. Dan, kata apa yang barusan keluar dari mulutnya? Hot? Really?
Tony makin melotot kemudian, ia berharap bola matanya tidak lepas dari tempatnya.
"H-hot? Ayahku hot?"
Steve mengangguk, sambil berkali-kali mengucapkan kata maaf. Ia mencoba menangkap kedua pundak Tony yang langsung di tepis dengan cepat oleh si pemilik.
"Ja-jangan bilang kalau kau juga tidur..."
"Ma-maafkan aku." balasnya lagi, berulang-ulang. Sambil kembali mencoba menangkap pundak Tony yang lagi-lagi ia tepis cepat.
"Oh my Thor!" Tony menyentuh dadanya seakaan ia baru kena serangan jantung.
"Maafkan aku Tony, aku tidak-"
"JARVIS pasangkan armorku." potong Tony, ia merentangkan tangannya cepat.
"Untuk apa tuan?"
"Aku ingin melaser dan memotong belah kepalanya."
"APA? Tony tolong dengar-"
"Shut up, Steve. JARVIS, sekarang!"
"Tapi, anda sudah melaksanakan clean slate protocol, tuan."
"Akh," desis Tony kesal, "Dammit." umpatnya sambil menurunkan lengannya.
"Tolong dengarkan aku babe, aku minta maaf-"
"Aku membencimu Steve, sampai ke Asgard." Tony menatapnya tajam sebelum berbalik dan berjalan cepat menuju lift.
"Tony, tunggu!"
"Get away from me." tepisnya ketika Steve menggenggam tangannya yang terasa seperti akan memeluk tubuhnya-menurutnya.
Ia mempercepat jalannya-berlari ke arah lift. Dan setengah detik ketika pintu lift akan tertutup, mulutnya bergerak. Mengucapkan sesuatu tanpa suara. Hanya menggerakan bibir.
Steve tidak kesulitan untuk mengerti kata fuck you caps yang Tony layangkan padanya. Dan tidak juga menemukan kesulitan untuk merasakan rasa bersalah yang terjun kepadanya tiba-tiba.
"Ya tuhan." ia melayangkan tubuhnya ke atas sofa, masih dengan tangan menutup wajah yang terasa seperti habis kena tampar oleh orang paling jenius yang pernah ia kenal.
"Tuan Rogers?"
Tak lama setelah ia membaringkan badannya, JARVIS mengudara di ruangan itu, sedikit mengagetkannya.
"Iya?"
"Tuan Tony mengatakan sesuatu baru saja dari dalam lift dan meminta aku untuk menyampaikannya pada anda."
Steve langsung terduduk.
"Apa yang dia katakan?"
"Aku merekamnya untuk anda, tuan-"
"-apa kau juga mengencani musuhmu, the winter soldier, Steve?"
Steve terdiam. Tidak sepenuhnya mengerti apa yang barusan ia dengar. Kenapa Tony bertanya hal itu?
"A-aku tidak-"
"Tuan Rogers, berdasarkan ekspresi wajah anda dan dari gelombang yang di keluarkan otak anda, aku mengasumsikan kalau anda juga mengencani tuan James Buchanan Barnes atau yang terkenal dengan julukannya, the winter soldier, dan juga anda pernah menidurinya. Maaf. Itu perintah tuan Tony dan aku juga di perintahkan untuk menyampaikannya. Terima kasih, captain."
Steve bersiap-siap meloncat dari jendela.
-fin-
Fic pertama saya di fandom tercinta ini xD Terima kasih pada film Reasonable Doubt dan Dominic Cooper yang menawan yang telah berhasil meracuni saya yang sebagai akibatnya muncul-lah fic pelampiasan ini. Stoward? Not bad right? Hahaha -_-
Dan... mohon maaf jika citra Steve sebagai pahlawan amerika saya lecehkan disini, dengan kenyataan bahwa ia mengencani banyak laki-laki -_- saya sungguh tidak tahan. Ahahaha.
Mind to Review?
Thu, 2/26/2015, 23:39 PM, Karawang, Indonesia
