Hai hai, saya bikin fanfic baru lagi. Eits, jangan bunuh saya dulu. Fanfic Tenipuri yang chapter 3 tinggal finishing kok. Cuma yah, Digital Zakura-nya masih dalam proses dan challenge mandek di tengah jalan. Heheu. Yap, ini adalah legenda sepuluh ksatria dari Digimon Frontier. Banyak alur evolusi yang asal saya karang, habis saya juga bingung sih xD. Sebelum bingung, alur evolusi Agnimon ala saya adalah: Botamon Koromon Flamon Agnimon. Kalau tahu yang benar bagaimana, tolong dikoreksi, ya! :D Ehm, kalau kurang paham tentang ke-digimon-an, yaa baca dulu aja deh. Hehe.

Selamat membaca!


Disclaimer: Akiyoshi Hongo

Rating: K

Genre: General


Legenda Sepuluh Ksatria


Dahulu, digimon tipe Human dan Beast selalu bertarung satu sama lain. Hingga suatu hari, Lucemon datang untuk memulihkan kedamaian di dunia digital. Sosoknya yang tenang dan bijak serta perawakannya yang mirip dengan anak-anak membuat para digimon luluh. Akan tetapi, Lucemon tergoda oleh kekuasaan yang ditawarkan dunia digital sehingga ia berubah menjadi penguasa yang lalim dan membunuh para digimon yang tidak patuh kepadanya. Tetapi suatu hari seorang peramal sakti mengatakan bahwa akan ada sepuluh ksatria dari berbagai elemen yang akan mengalahkannya. Merekalah sepuluh ksatria legendaris...


Chapter 1

Agnimon, Sang Ksatria Api


Alkisah, di sebuah kota bernama Kota Api, hiduplah digimon berelemen api bernama Flamon. Sebagai salah seorang digimon rocky, seharusnya ia bisa menjadi teladan bagi para baby dan child di sana. Tapi, malah...

"Flamon!!!"

Sosok merah dengan rambut menyerupai api itu terengah-engah berlari menghindari telur yang mengayun-ayunkan wajannya dengan wajah merah karena amarah. "Maafkan aku, Digitamamon! Aku tidak sengaja..."

"Ini sudah ketiga kalinya kau memecahkan jendelaku dalam seminggu ini!!" Digitamamon, digimon aneh berbentuk telur setengah pecah, itu menatap Flamon dengan jengkel. "Kali ini tidak ada ampun lagi..." Digitamamon menutup retakan yang biasanya menjadi celah untuk matanya melihat dan memasukkan kakinya. "Serangan mauuuut!" digimon itu menggelinding liar, menerjang Flamon yang berteriak ketakutan.

"Aaaah!"


Duak!

"Huu.. kan sakit, ibu!" Flamon mengaduh mengelus kepalanya yang baru saja dijitak, sementara Bu Agnimon menatapnya jengkel. "Sudah kubilang, yang memecahkan jendelanya itu Agumon, Bu!"

"Jangan banyak alasan!" Bu Agnimon menggeleng-gelengkan kepalanya dengan frustasi. "Kau ini... seharusnya kau malu pada adikmu yang masih kecil!"

Flamon melirik Koromon, adiknya yang masih dalam buaian, yang kini terkikik geli. Apanya yang kecil? Hobinya menertawakan orang dalam kesusahan saja!, pikir Flamon kesal. Sang ibu, Bu Agnimon, kini sudah kembali ke dapur dan sibuk memasak, sementara Flamon meleletkan lidahnya ke arah Koromon yang balas menyeringai. "Huaah... membosankan sekali!" Flamon mengenyakkan tubuhnya ke atas sofa, memandang jauh ke luar jendela. Di luar mulai gerimis, membuat Flamon meringis. Ia benci hujan. Tubuhnya selalu merasa lebih letih jika terkena air karena unsurnya adalah api. Flamon melirik Koromon. Adik semata wayangnya kini asyik memejamkan matanya sambil bersenandung pelan. Ah, diam-diam Flamon teringat ayahnya, Pak Agnimon, yang selalu menyenandungkan lagu yang sama.

Tok tok tok.

"Flamoon... tolong buka pintunya, Nak!"

Flamon melirik jengkel Koromon yang kini terkikik geli lagi. Apanya yang lucu sih? Kenapa sih dengan bayi-bayi itu, suka sekali menertawakan hal yang tidak lucu... "Diam kau," Flamon melirik jengkel Koromon yang kini sudah bisa meleletkan lidahnya, hal yang hanya bisa ia pelajari dari kakaknya, Flamon.

Tok tok tok.

"Flamoon... ibu kan sedang memasak! Tolong bantu Ibu, dong!"

"Iya, iya, cerewet amat sih," Flamon menggerutu pelan sambil menghampiri pintu. Ia melirik lewat lubang kecil di pintunya. Ah, kepala desa Meramon. Wajahnya hari ini aneh sekali. Meskipun hampir setiap saat wajahnya tampak cemas, kali ini Pak Meramon kelihatannya sedang mengalami masalah yang begitu berat. "Ya, ada apa, Pak?" Flamon membuka pintunya, menyilakan masuk digimon yang seluruh tubuhnya berupa api yang menyala-nyala.

Pak Meramon menatap kanan-kirinya dengan gusar. "Ibumu ada?"

"Tunggu sebentar, ya," Flamon menutup pintu rumahnya lagi dan menyeret langkahnya ke dapur. "Ibuuu... ada Pak Meramon tuh!"

Praang!

Flamon mengangkat alisnya bingung, kemudian melirik Pak Meramon yang entah mengapa wajahnya semakin pucat. "Tunggu sebentar, ya... aku lihat ibu dulu," setelah menyunggingkan senyum meminta maaf, Flamon melongokkan kepalanya ke dalam dapur. "Ibu?" Ditatapnya sang ibu yang sedang menunduk. Menekuri pecahan-pecahan piringnya dengan tatapan kosong. Flamon menelan ludah. Apa memecahkan jendela sebegitu parahnya sampai Pak Meramon harus datang? Jangan-jangan aku akan dimasukkan ke penjara?, pikir Flamon gusar, sekarang wajahnya pun ikut-ikutan pucat. "Bu... Flamon nggak akan mecahin jendela lagi, kok..."

"Heh?" sang ibu menoleh sambil buru-buru menghapus air matanya. Ketika dilihatnya wajah sang anak yang pucat pasi karena ketakutan, Bu Agnimon tidak kuasa menahan tawa. "Hahaha... bukan, bukan masalah itu, Nak..." sambil tersenyum dirangkulnya Flamon penuh sayang. Ia selalu percaya bahwa anak ini memiliki kekuatan ajaib karena kehangatan yang dipancarkan Flamon selalu membuat ia lebih tenang. "Oh ya, tolong bawa adikmu ke kamar, ya... jangan berisik."

Flamon mengangguk. Ditatapnya sang ibu dengan khawatir. Meskipun Bu Agnimon sudah lebih tenang, Flamon merasakan sesuatu yang bergejolak aneh di dadanya. Apakah ini pertanda buruk?, pikirnya kalut. Tapi Flamon hanyalah seorang anak yang belum mengerti permasalahan yang melanda dunianya. Ia tidak pernah tahu, bahwa di luar sana sebetulnya ada perang. Tak tahu bahwa ada digimon bernama Lucemon yang awalnya membawa kedamaian kini malah haus kekuatan dan kekuasaan...

"Ayo, Flamon. Ibu perlu bicara berdua dengan Pak Meramon," setengah memaksa, Bu Agnimon mendorong Flamon masuk ke dalam kamar. Dikecupnya pipi Koromon yang kebingungan karena mendadak kakaknya mau menggendongnya. "Jangan ribut ya..." Bu Agnimon menutup rapat pintu kamarnya, kemudian berbalik menatap wajah Pak Meramon yang kelihatan serba salah. "Jadi... bagaimana suamiku?"

"Kau tahu..."Bu Agnimon langsung tahu bahwa yang akan disampaikan Pak Meramon adalah kabar buruk karena ia sama sekali tidak berani menatap wajahnya. "Suamimu... Pak Agnimon... sudah..."

"Bukankah sudah kubilang jangan mempercayai ramalan bodoh itu!" Bu Agnimon tidak bisa menahan lagi emosinya, ia mengenyakkan tubuhnya ke sofa, membenamkan wajahnya ke dalam tangannya. "Kalian terlalu percaya ramalan bahwa seorang ksatria akan lahir dari bangsa Agnimon. Dan lihat berapa Agnimon yang tersisa sekarang?! Ayahku, kakakku, sekarang suamiku... semua terlalu berharap pada mereka dan lihat apa yang terjadi pada mereka!"

Pak Meramon menunduk dalam-dalam. "Aku tidak mengharapkan ini yang terjadi..."

"Semua juga tidak mengharapkannya!" Bu Agnimon mulai terisak tak terkendali. "Tidak ada yang mengharapkannya..."

"Kumohon, tenanglah. Kita sedang menghadapi situasi yang sulit," suara Pak Meramon berubah tegas. "Lucemon tahu bahwa di kota ini masih ada beberapa Agnimon laki-laki yang tersisa dan ia akan membunuhi mereka..." Pak Meramon memandang mata Bu Agnimon yang membelalak tidak percaya. "Selamatkan Flamon. Ia memang belum berevolusi, tapi ia hanya akan berevolusi menjadi Agnimon. Koromon masih bisa diselamatkan. Kau boleh menitipkan ia pada Pak Greymon, ia akan mengakuinya sebagai anaknya."

Bu Agnimon menunduk dalam-dalam. "Kenapa... seandainya kami bukan Agnimon..."

"Jangan bilang begitu!" Pak Meramon menggebrak meja tamu itu dengan berapi-api. "Semua orang tahu bahwa Agnimon adalah bangsa api yang terkuat! Kalian seharusnya bangga dengan itu!"

"Tapi..."

"Tidak ada yang berkata kalian berjuang sendirian! Yang kehilangan bukan hanya kalian..." suara Pak Meramon melembut, ditepuknya bahu Bu Agnimon pelan. "Aku pun kehilangan ayahku saat masih muda... juga anakku... bukan hanya bangsa Agnimon yang berjuang..."

Bu Agnimon masih mengisak pelan. "Tapi bagaimana aku harus memberi tahu... mereka?" ditatapnya nanar pintu kamar kedua anaknya. Apakah mereka mendengarnya? Apakah mereka akan membenciku karena melahirkan mereka sebagai Agnimon?

"Biar aku yang memberi tahu," Pak Meramon tersenyum ramah. "Kau berkumpul saja dengan para ibu yang lain di balai kota..." Pak Meramon sengaja tidak memberi tahu bahwa Bu Agnimon pun menjadi sasaran pembunuhan dan bahwa para ibu di balai kota bersepakat melindunginya. Kau tahu... kami digimon sangat berharap pada kalian, Agnimon. Jangan sia-siakan harapan kami..., batinnya pahit.

"Baik... izinkan aku bertemu dengan mereka dahulu..." Bu Agnimon tertatih-tatih bangkit dari kursinya, membuka pintu kamar kedua anaknya perlahan dan tidak kaget lagi ketika melihat kedua wajah cemas itu memandanginya. "Kalian... sudah dengar kan?"

Flamon mengangguk, sedangkan Koromon yang hanya bisa mengikuti kakaknya ikut-ikutan mengangguk. Tapi Flamon, apalagi Koromon, sama sekali tidak paham permasalahan yang sesungguhnya. Mereka hanya mendengar bagian "pergi" dan "ksatria" karena sejak tadi berebut untuk mencuri dengar dan akhirnya malah bertengkar. "Yuk, ikut aku," Pak Meramon merangkul kedua anak itu sambil tersenyum. "Anak-anak yang lain sudah berkumpul di rumahku..."

"Agumon juga?" mata Flamon melebar penuh semangat. Ia ingin sekali segera bertemu dengan sahabatnya itu. Bukan, tentu saja bukan untuk bermain dengannya. Ia ingin sekali menjitak Agumon sebagai pembalasan karena telah membuatnya dimarahi ibunya.

"Ya, Agumon juga..."

"Asyiiik!" Flamon bersorak riang. Lagi-lagi, Koromon ikut-ikutan bersorak meskipun tidak mengerti apapun. Bu Agnimon ikut tersenyum. Sebelum kedua anaknya pergi, dikecupnya pipi Koromon dan Flamon dengan lembut.

"Jangan nakal, ya..."

"Sip, lah!" Flamon mengacungkan jempolnya. Koromon, karena tidak punya jempol, mengacungkan sebelah telinganya ke depan. "Yuk, Pak!" Flamon, masih menggendong Koromon dengan tangan kirinya, menarik tangan Pak Meramon dengan tangan kanannya. "Dah ibu..." ia menoleh untuk tersenyum pada sang ibu.

"Dah..." Bu Agnimon melambai kepada kedua anaknya. Kemudian sebelum ia sendiri beranjak menuju balai kota, ditatapnya rumah tempatnya tinggal sejak kecil itu sekali lagi. Ayah, kakak, suamiku... tolong jaga Flamon dan Koromon...


"Heaaaah!!! Menyerahlah, Flamon! Kau tahu kau tidak akan bisa mengalahkanku!"

Flamon mengelap keringatnya, menenangkan nafasnya yang terengah-engah. Dipandanginya digimon-digimon baby di sekelilingnya. "Jangan takut, teman. Aku yang akan mengatasi monster ini!"

"Ha! Katakan itu pada ibumu nanti!" Digimon berbentuk Tyranosaurus mini itu memasang kuda-kudanya. "Saat ini kau harus bersiap untuk kalah dariku!"

"Jangan bercanda, Agumon. Kau tidak mungkin bisa mengalahkan The Fierce Flamon!"

"Kau akan menyesal telah mengatakannya karena aku, The Mighty Agumon, tidak mengenal pengampunan! Heaaah!!!" Agumon menerjang maju ke arah Flamon yang juga memasang kuda-kuda bertahan. Bruk! Setelah pergulatan sesaat, keduanya terjatuh ke atas bantal yang sengaja mereka taruh di bawah, menghamburkan bulu-bulu ke seluruh ruangan. Keduanya tertawa berderai-derai, begitu juga digimon-digimon yang lain.

"Dasar bodoh, sekarang kita berdua kalah," Flamon masih tertawa, menerima uluran tangan Agumon yang membantunya berdiri. Ia menatap sekelilingnya lagi dan menikmati sorotan kekaguman para digimon yang lain. Aku pun seperti itu dahulu... ingin sekali berevolusi, pikir Flamon bangga sebelum matanya terpaku pada sosok Koromon adiknya. Alih-alih ikut tertawa bersama Koromon yang lain, ia memandang ke luar jendela dengan tatapan sedih.

"Kenapa adikmu?" Agumon menyikut Flamon yang ikut termenung.
Flamon mengangkat bahu, dihampirinya sang adik dan digendongnya. "Hei, kau kenapa sih? Sakit, ya?"

Koromon menggeleng lemah. "Aku hanya... merasa ada yang aneh..."

"Wah, jangan-jangan kau juga mau berevolusi!" Agumon menghampiri kedua kakak beradik itu sambil tersenyum riang. "Aku juga dulu begitu kok!"

"Bukan... sepertinya bukan..." Koromon melempar pandangan ke luar jendela. "Aku mendengar suara ibu..."

"Hah? Dimana?" Flamon melirik kanan-kirinya dengan heran. Ia takut dimarahi karena memberantaki rumah Pak Meramon.

"Di sana... berteriak... meminta tolong..." Koromon memejamkan matanya, keringat dingin terus mengucur dari tubuhnya. "Ada yang datang..."

Brak!

Pak Meramon ditemani Pak Greymon, ayah Agumon, dan Pak Pixiemon, digimon merah jambu bersayap yang menjadi guru mereka di sekolah, menerjang masuk ke dalam rumah sambil terengah-engah. Wajah mereka semua entah kenapa nampak begitu pucat. "Semuanya..." Pak Greymon, digimon Tyranosaurus itu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. "Ayo, ikuti Pak Pixiemon pergi..."

"Ayo anak-anak, pi!" Pak Pixiemon yang jika bicara selalu diakhiri "~pi" itu biasanya ditertawakan oleh anak-anak. Tapi kali ini, meski tetap cempreng dan mirip anak-anak, semua orang dapat merasakan kecemasan dalam suaranya. Ia mengedarkan pandangannya dan berhenti pada sosok Flamon yang masih tampak kebingungan. Kumohon... kau harus selamat, Flamon..., digimon merah jambu itu memandang sayang pada digimon nakal yang selalu berbuat onar itu. Tapi Pak Pixiemon sebagai gurunya tahu, meski Flamon sering bandel, ia memiliki rasa keadilan yang tinggi dan memiliki bibit sebagai pemimpin yang disegani. Pak Pixiemon memejamkan matanya, membuat selubung tidak tampak yang meliputi anak-anak digimon yang ribut bertanya-tanya. "Ayo, pi!" Pak Pixiemon menembak tembok belakang rumah Pak Meramon hingga jebol, membuat beberapa anak berteriak kaget. "Cepat ikuti aku, pi!"

Flamon menoleh ke belakang. Dilihatnya Pak Meramon dan Pak Greymon berbalik memunggungi mereka dan memasang kuda-kuda. Di sebelahnya, Agumon mulai terisak sambil berlari ke arah ayahnya. "Ayah! Ayah!"

Selubung aneh tak tampak yang meliputi mereka itu membuat Agumon terpaksa menyerah. Berkali-kali ia terjatuh karena berusaha mencapai ayahnya. Lelah, ia menatap Flamon yang balas mengangguk. Sahabatnya itu menarik tangan Agumon. "Yuk," Flamon tersenyum. Mendadak ia sadar bahwa di luar sana akan ada perang yang sesungguhnya dan ia yakin ayahnya pun telah ikut berperang. "Kita harus selamat!"

"Ya!" Agumon mengangguk, menggenggam tangan Flamon erat selagi mereka berlari. Koromon masih gemetaran di dalam gendongan Flamon, sementara digimon-digimon kecil lainnya berlarian tidak teratur.

"Semuanya... lewat sini!" Pak Pixiemon menuntun mereka ke dalam sebuah gua. "Tolong diam semuanya, aku akan lihat keadaan..."

"Keadaan apa, Pixiemon?" Suara rendah itu berbisik dingin, membuat anak-anak digimon mulai menangis. Pak Pixiemon menoleh, mengatasi tubuhnya sendiri yang gemetaran ketika melihat sosok gelap itu semakin jelas...

"Devimon!"

Suara tawa digimon itu membahana hingga membuat tangisan anak-anak semakin keras. "Melarikan diri, ya?" tangan besar dan panjang Devimon menampar Pak Pixiemon hingga digimon itu terlempar ke tanah dan menyebabkan selubung yang membuat anak-anak tidak terlihat itu menghilang. Mata Devimon berhenti ketika melihat Flamon yang sedang menatapnya dengan menantang. "Kau..."

"Apa?!" Flamon mengabaikan tangan Agumon yang berusaha menahannya.

"Ah, kau..." Devimon tersenyum licik, menunding ke arah Agumon yang gemetar tak terkendali. "Kau masih ingin hidup, Nak?"

Agumon mengangguk sambil berbisik lirih. "Kumohon, jangan bunuh kami..."

"Kalau begitu, izinkan aku membunuh anak ini," Devimon tersenyum lebih lebar seraya menunding ke arah Flamon yang masih bergeming menatapnya penuh amarah. "Keberanian... sungguh mengharukan... mirip sekali dengan ayahnya yang kubunuh kemarin..."

"Ayah?" Flamon mengangkat alisnya, sementara Koromon sudah terisak-isak dalam gendongannya. "Apa maksudmu?!"

"Nah, Nak..." Devimon kini menatap Agumon yang menunduk dalam-dalam. "Serahkan temanmu ini padaku... dan kalian akan selamat..."

"Baiklah..." gumam Agumon tak jelas kemudian ia menatap Flamon dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Maafkan aku, Flamon..." bisiknya pelan sebelum mendorong Flamon ke dalam gua dengan kasar, membuat Flamon membelalak kaget. "Pergi! Pergi! Pergi dari sini! Cepat!"

Flamon masih tampak kaget dan tidak bergerak. Ia memandang punggung Agumon yang kini membelakanginya. "Agumon..."

"Pergi, bodoh! Kau dengar kataku! Pergi!" Agumon tidak menoleh, mulutnya terus menyemburkan api. "Baby flame! Baby flame! Cepat pergi, bodoh!"

"Ayo pergi, Kak" bisik Koromon. Ia mengangguk penuh semangat meski air matanya masih mengalir. Rupanya semangat teman-temannya yang kini ikut menyemburkan gelembung-gelembung sabun ke arah Devimon membuatnya lebih berani.

"Ya!" Flamon sekali lagi menatap sosok Agumon. Terima kasih, sahabatku..., Flamon tersenyum penuh rasa syukur sebelum akhirnya ia berbalik dan berlari ke dalam gua. Ia masih mendengar teriakan-teriakan Agumon dan kemarahan Devimon. Ia ingin kembali, tapi ia sadar bahwa ia harus terus berlari... berlari...

"Ayo, Flamon!" sosok merah muda itu tiba-tiba ada di sampingnya. Pak Pixiemon, penuh luka dan memar, terbang tertatih-tatih mengiringinya. "Kau harus selamat!"

Flamon merasakan air matanya mendesak-desak ingin keluar, tapi dipaksanya dirinya untuk tegar. "Ya!"

"Cepat! Devimon sudah mendekat," Pak Pixiemon mendadak berhenti. Sebetulnya ia ingin menangis jika harus mengingat anak-anak didiknya yang kini tentunya sudah... tak bersisa. Tapi... seulas senyum menghiasi wajah merah jambunya. Ia toh boleh berbangga karena memiliki murid-murid yang pemberani seperti Agumon. "Ayo Flamon, jangan sia-siakan pengorbanan kami!"

Flamon mengangguk, matanya berlinangan, tak kuasa menahan gelora yang membuncah dari dalam dadanya. Setelah terdiam selama beberapa saat, ia berlari lagi lebih jauh memasuki gua. "Koromon, bertahanlah..." bisik Flamon pada adiknya yang kini mulai bergetar aneh lagi. "Ayo... sedikit lagi..." gumamnya terus menerus.

Blam!

"Aku tahu kau disana, Flamon..." suara dingin itu kembali mengusiknya. Flamon sadar bahwa lagi-lagi ia telah membuat satu lagi digimon terbunuh, Pak Pixiemon...

Kenapa... kenapa mereka ingin mengorbankan nyawa untukku?, Flamon tidak menggubris perasaan cemas yang semakin lama semakin menderanya dan terus berlari. Ia sadar Devimon hanya beberapa meter di belakangnya... Kenapa... kenapa?

"Kak, masuk sana!" Koromon, masih bergetar aneh, menunding sebuah celah di depan mereka. Flamon mengangguk dan melempar tubuhnya ke dalam celah, mengatur nafasnya yang putus-putus kelelahan.

"Ayo... percuma saja kau bersembunyi... aku pasti bisa menemukanmu, Flamon..."

Flamon memejamkan matanya. Mendadak ia merasa tangannya kebas dan panas. "Argh," gumamnya pelan. Ia melepaskan gendongannya dan terperangah ketika melihat adiknya. Koromon saat itu diliputi cahaya merah menyala yang membuat matanya silau. "Evolusi..." bisiknya pelan ketika Koromon perlahan berubah menjadi sosok aneh yang familiar di matanya. Sosoknya sendiri... "Flamon..."

Digimon yang sebelumnya dipanggil Koromon itu kini memandangnya sambil tersenyum. Ekspresinya saat itu mengingatkan Flamon pada ekspresi Agumon sebelumnya. "Maafkan aku, kak..." Mendadak dari tangannya sebuah bola api menghantam Flamon telak di dada.

"A...pa?" Flamon, kaget sekaligus menahan sakit, kini terkapar tak berdaya menatap sosok adiknya. "Apa yang kau lakukan?"

Adiknya tetap bergeming dan lagi-lagi menyemburkan bola api dari tangannya. Berulang kali menghantam telak dada Flamon yang menjerit-jerit dan berulang kali pula ia menggumamkan "maaf... maaf..."

"Jangan bersembunyi, Flamon... aku tahu kau ada di sini..." suara dingin itu semakin jelas. Flamon tahu bahwa Devimon semakin dekat, tapi ia tidak bisa bergerak karena tubuhnya sudah penuh luka.

Apakah Devimon mempengaruhi Koromon? Apa yang terjadi sebetulnya?, Flamon tidak kuat lagi menahan sakitnya. Apalagi kini bongkahan batu-batu menutupi pandangannya. Rupanya sang adik menembak bagian atas gua sehingga roboh dan menutupinya. "Koromon, eh... Flamon!" bisiknya lirih. "Apa yang sebenarnya ingin kau lakukan?"

"Aku di sini Devimon! Aku akan menghadapimu! The Fierce Flamon tidak akan mundur melawanmu!" suara itu membalas bisikan dingin Devimon. Flamon membelalakkan matanya. Itu suaranya sendiri! Adiknya meniru suaranya!

"Bagus, akhirnya kau mau menyerah juga... Kau tahu kan percuma kalau kau melarikan diri?"

"Ha! Jangan bercanda! Kau tahu pasti aku akan menang!"

"Kau tahu? Aku paling benci anak sombong sepertimu!" suara Devimon kini menggelengar mengerikan. Membuat Flamon yang terkapar penuh luka gemetaran takut sekaligus bingung.

Apa... apa yang akan kau lakukan, adikku?, Flamon merintih mengatasi lukanya. Ia mencoba berdiri, tapi ia tahu itu sia-sia. Ia tahu ia akan tetap terkapar. Dengan luka seperti ini, mungkin baru besok ia bisa bangun.

Blar!

"Aku tidak akan kalah!"

Duar!

"Aku akan menyelamatkan ibuku!"

Plak!

"Aku... aku akan jadi kuat!"

Duar!

Flamon mulai menangis tanpa suara. Adiknya... adiknya yang selama ini sering ia sesali keberadaannya. Adiknya yang selama ini selalu ia anggap sebagai pengganggu. Adiknya yang selama ini ia anggap selalu menyusahkan... "Apa yang kau lakukan, bodoh?" bisik Flamon lirih. "Aku yang harusnya berkorban untukmu... aku kakakmu..."

Suara adiknya menggema lagi. "Aku tidak akan membiarkan kejahatan... Aaargh!"

Blar!

Flamon memejamkan matanya, menahan perih yang meradang di hatinya. Ia sadar adiknya tidak akan pernah menyelesaikan kalimatnya karena saat itu tawa Devimon bergema penuh kepuasan. "Hah... anak bodoh itu masih saja sok berani padahal ia akan mati..." Flamon mengutuk ketidakberdayaan dirinya ketika mendengar suara Devimon yang berubah ceria itu. "Tapi sekarang kita boleh tenang karena satu ksatria telah hilang... Agnimon sudah tamat..." Devimon tertawa lagi, kali ini lebih keras. "Kota kelahiran sudah dihancurkan dan tidak ada lagi yang tersisa... hanya Lucemon-sama dan kami para pengikutnya... Baiklah, berikutnya ke Desa Soyokaze..."

Suara sayap Devimon menderu keras memenuhi langit-langit gua dan perlahan lenyap. Flamon tahu Devimon telah pergi tapi ia tidak lagi berusaha untuk menggerakkan tubuhnya. Air mata tanpa suara terus mengalir deras di pipinya. Perlahan tapi pasti, ia merasakan tubuhnya menghangat. Ia menatap nanar sekelilingnya. Selubung merah yang ia sebelumnya ia lihat menyelubungi Koromon kini juga menyelubunginya. "Evolusi..." gumamnya. Ia kini paham bahwa dirinya yang sekaranglah yang sesungguhnya diincar. Dirinya yang sudah berubah menjadi...

"Agnimon..." gumam digimon yang sebelumnya dipanggil Flamon itu. Luka-luka yang disebabkan oleh serangan adiknya kini sudah sembuh tak berbekas, pun luka yang disebabkan Agumon karena mendorongnya sebelumnya. Tapi luka itu masih menganga lebar di hatinya. Ya, luka kehilangan ayah, ibu, adik, sahabat... luka kehilangan segalanya...

"Desa Soyokaze..." gumam Agnimon pelan, mengulangi lagi kata-kata terakhir Devimon dalam benaknya. Meski luka dalam hatinya masih segar, tapi bara yang menyala dalam dadanya membuatnya tak merasa sakit lagi. Ia sadar bahwa semua orang berkorban untuknya. Ia sadar bahwa tugasnyalah memenuhi harapan digimon-digimon lain yang kini telah tiada. Dan ia tidak bisa menolak atau menghindar, karena inilah takdirnya...


"Permisi, Tuan. Boleh kutahu kau ingin pergi kemana?"

Agnimon menatap Trainmon yang kini mendengus tak sabar. Daun-daunan yang ia rangkai menjadi mantel perjalanan membuat geraknya terbatasi, tapi ia tahu jika ia menunjukkan sosok aslinya maka habislah riwayatnya. "Tolong antarkan aku... ke Desa Soyokaze," Agnimon merendahkan suaranya.

"Baiklah... Desa Soyokaze... ayo cepat naik!" Trainmon menderu pelan, menghembuskan asap ke langit biru cerah tanpa awan di atasnya. "Ayo! Aku buru-buru, nih!"

Agnimon mengangguk, kemudian melompat ke atas tubuh Trainmon. Dipejamkannya matanya seraya menghirup nafas dalam-dalam. Aku akan menyelamatkan siapapun engkau, ksatria angin...


Hehe. Aneh ya pakai "Pak" dan "Bu" sebelum menyebut digimon... habis saya bingung sih harus gimana lagi xD. Tapi saya bingung, deh. Kalau semua digimon namanya sama... cara manggilnya gimana ya? Ya sudahlah. Semoga teman-teman suka cerita ini dan bersedia mereview. Chapter selanjutnya minggu depan mungkin bisa diunggah. Mungkin lho, saya nggak janji kan? xD

Oh ya, semangat buat z-hard yang lagi diklat juga (senasib). Ditunggu fanficnya! Buktikan statusmu waktu itu di facebook! Hehe... Ja~ :D

Next Chapter: Putri Buruk Rupa dan Ksatria Angin