Angin dingin pertengahan bulan Januari berhembus lembut, menerbangkan helai rambut berkuncir twintail. Ditemani remang lampu taman, seorang gadis duduk bersama case gitar memandang dari sudut kota. Suasana yang sepi, siapa yang ingin keluar di malam hari ketika salju mulai jatuh ke bumi? Tapi gadis itu tak bergeming walau suhu semakin rendah.

Seperti kaca kristal yang pecah menjadi kepingan yang berserakan. Bagaimanapun cara mengembalikannya, tak akan kembali seutuhnya. Retakan di dalamnya tak akan kembali.

"Walau tak kembali seutuhnya, aku masih bisa mengingat kepingan itu." Sebuah kurva manis tercipta dari wajah gadis cina itu.

Hearing My Story

Chapter 1 : It's My Life

Disclaimer : Boboiboy Animonsta Studio

Cast : Ying, Fang, Hanna

Rating : K+

Genre : Romance, Hurt/Comfort

Warning : OOC, Newbie, typo

*Happy Reading*

Serasa dilahirkan ke dunia yang berbeda, tak seorangpun kau kenal, hidup tanpa masa lalu itu lebih menyakitkan. Itulah yang dirasakan Ying, gadis keturunan China yang menginjak umur 17 tahun. Pada umurnya yang ke-17 tahun, seharusnya ia menjadi gadis yang normal pada umumnya. Tapi karena kecelakaan yang ia alami bersama orang tuanya, membuatnya terbaring koma selama 7 tahun di rumah sakit, itu lebih baik dibandingkan kehilangan nyawa seperti kedua orang tuanya. Dan ketika ia sadar, tak satupun yang mampu ia ingat. Satu-satunya keberuntungan yang ia miliki adalah kakaknya, Hanna yang setia menjaga dan menemaninya selama tidur panjangnya.

Ying Pov

Cklek...

Ku edarkan pandanganku pada ruang bercat kuning lembut yang kini akan kutempati sebagai kamar. Aku duduk di tepi kasur yang menghadap jendela, akan indah tampaknya ketika matahari terbit. Pandanganku tertuju pada sebuah gitar yang terletak tak jauh dariku.

"Kak?"

"Ya," jawab singkat Kak Hanna yang tengah merapikan pakaianku di lemari.

"Apa dulu aku pernah bermain gitar?"

Seketika kegiatan Kak Hanna terhenti, ia memandangku dengan tatapan tidak suka. Aku menjadi sedikit ragu dengan pertanyaanku barusan. Ku koreksi kembali pertanyaanku, sepertinya tak hal yang aneh dalam pertanyaanku.

"Sebaiknya kau tak usah memainkannya lagi." Ujar Kak Hanna dingin.

"E-eh? Kenapa? Mungkin sa-"

"Kakak melarangmu bermain gitar!" Seru Kak Hanna.

Seruan barusan membuatku ciut. Memang apa salahnya jika aku bermain gitar itu? Mungkin saja memoriku akan kembali jika aku memainkannya.

"Ta-tapi kenapa?" tanya ku terbata.

"Haruskah kau tau alasannya? Dengar, kakak tidak suka jika kau bermain gitar 'lagi'. Dan jangan pernah tanyakan apapun tentang gitar itu, setelah ini akan ku singkirkan benda itu." Ujar kakak Hanna dengan nada tinggi.

Aku hanya menunduk takut. Aku tak tahu di mana letak kesalahanku, hingga membuat Kak Hanna marah besar. Bahkan aku tak berani menatap mata Kakak. Tubuhku menjadi dingin, merasakan rasa takut yang kini telah menguasai pikiranku. Nafasku mulai menderu seiring detak jantung yang terpacu akan ketakukan.

"Ying, kau mendengarku!?"

'HENTIKAN!' jeritku dalam hati. 'A-aku takut'Aku semakin menunduk dan merasakan bumi seolah berputar. Aku tak berani untuk menjawab, walau hanya dengan anggukan kepala.

"Ying!"

Aku tak sanggup mendengar ucapan Kak Hanna berikutnya. Kini aku merasakan dinginnya lantai yang bersentuhan dengan kulit dinginku. Yang kulihat saat ini adalah hitam. Hanya indra pendengaranku yang masih mendengar sayup-sayup kepanikan dari seseorang. Siapa? Entahlah, aku lelah memikirkannya. Aku. Hanya. Ingin istirahat.

*Lucky13*

Normal POV

Nyaman...

Terasa sangat menyenangkan ketika seseorang mengusap lembut rambut kita. Terasa nyaman dan hangat.

Itulah yang dirasakan Ying ketika jari tangan Hanna membelai lembut rambut Ying. Perlahan kesadarannya kembali,

"Kau sudah sadar, Ying?" Suara lembut itu memasuki indra pendengaran Ying. Dipandangnya sosok yang tengah tersenyum lembut kepadanya.

"Kau baik-baik saja? Atau masih pusing?" tanya Hanna lembut. Ying hanya menggeleng kecil. "Maaf ya, kakak terbawa emosi. Seharusnya kakak tidak membentakmu seperti tadi."

Ying hanya diam saja, mencoba mengingat apa yang sebelumnya terjadi. Melihat Ying tidak merespon, Hanna menghela nafas.

"Kakak tau kakak salah. Bukan maksud kakak untuk membatasi hakmu. Bermain gitar adalah hakmu, kakak tidak akan lagi melarang."

Membentak? Gitar? Ah ya, Ying ingat sekarang.

'Mungkin dia masih shock.'pikir Hanna. "Oh ya, kau belum makan apapun sejak pulang dari rumah sakit. Sekarang waktunya makan, setelah itu minum obatnya ya."

Ying masih belum bicara hanya menganggung saja. Hanna ingin menyuapi Ying, namun ditolak olehnya, "Aku bisa makan sendiri." Ujar Ying dengan suara serak.

Ying tak menghabiskan makanannya, bahkan ia makan tak sampai seperempat dari semangkuk bubur yang telah disediakan. Hanna memberikan beberapa butir obat dan segelas air putih.

"Nah sekarang istirahatlah, aku akan meninggalkanmu agar kau bisa tidur dengan tenang. Kalau butuh apa-apa, panggil saja. Kamarku ada di depan kamarmu kok." Hanna beranjak dari tempat duduknya, namun tangannya ditahan.

"Jangan pergi."

"Eh?"

"Jangan pergi. A-aku takut sendiri."

'Dia masih trauma.' Hanna tersenyum miris. Tapi entah perkataan Ying yang dimaksudnya untuk tidak meninggalkannya sendiri atau ia takut sendiri. Apa bedanya? Entahlah, yang pasti kini Hanna duduk di samping ranjang Ying yang masih tak melepaskan genggaman tangannya.

Dibelainya adik kesayangannya yang kini mulai terlelap. Sungguh, ia merindukan masa-masa seperti ini. Jika saja orang tuanya masih ada, mungkin kebahagiaannya akan sempurna saat ini.

"Ini semua salahku." Gumam Hanna, sebuah anak sungai mulai terbentuk di wajah manisnya.

Flashback

"Ying!" Hanna tak kuasa membendung air matanya ketika adiknya jatuh tak sadarkan diri, padahal emosinya baru saja meluap-luap. Ia segera meraih ponsel di sakunya dan menelpon seseorang.

Tak lama kemudian, seseorang yang diharapkan akhirnya mengangkat panggilannya.

"Ya, ini aku Hanna. Aku mohon datanglah ke rumahku. Cepat ya?" paniknya dan memutus panggilannya.

*Lucky13*

"Ami!?" seru Hanna ketika melihat sosok yang ditelfonnya tadi.

"Ada apa Hanna?"

"Adikku, tolong!"

"Tenanglah, oke. Aku akan membantumu."

Ami dengan cekatan memeriksa Ying, Hanna hanya berdiri melihat kegiatan Ami.

"Dia tidak apa-apa, hanya tadi detak jantungnya cepat. Tapi sekarang dia baik-baik saja."

"Syukurlah." Desah lega Hanna. Kini merosot hingga terduduk di lantai sambil menutup wajahnya, air matanya terus mengalir bak air terjun saat musim penghujan.

"Apa yang terjadi Hanna?" Tanya Dr. Ami

"I-ini semua salahku." Sesal Hanna.

"Bisa kita bicara di luar saja? Aku takut mengganggu Ying."

Hanna hanya mengangguk

"Apa? Kau membentaknya? Adikmu baru saja keluar dari rumah sakit, dan kau membuat mentalnya down." Kini giliran Ami yang memarahi sahabat sekuliahannya.

"Aku tidak sengaja, a-aku hanya tidak ingin ia bermain gitar lagi."

"Tapi kenapa? Itu hak nya."

"Karena orang tuaku meninggal saat mengantarkan Ying ikut kontes musik. Akulah yang pertama kali merekomendasikan Ying untuk mengikuti kontes itu. Sejak kecelakaan itu aku benci musik. Aku takut jika Ying bermain gitar lagi, ia akan ingat masa lalu yang mengerikan itu. Yang membuat orang tua kami meninggal, yang membuat Ying koma selama 7 tahun dan ketika ia sadar, ia tak mengingat apapun. Itu semua salahku." Punggung Hanna bergetar menahan air mata yang ingin keluar lebih.

Ami belum pernah melihat sisi lemah Hanna seperti ini. Hanna yang ia kenal sejak dulu adalah Hanna yang sabar dan kuat. Setelah ditinggal orang taunya pun ia masih sanggup melanjutkan bisnis orang tuanya dan terus menjaga Ying selama koma.

"Kau salah Hanna, itu bukan karena salahmu. Itu sudah takdir, aku juga pernah merasakan hal yang sama. Ketika keluaga pasien yang kurawat berharap banyak, namun aku tak mampu menyelamatkannnya. Aku selalu berpikir itu semua salahku, namun aku salah. Ini semua takdir. Semua orang memiliki takdir yang berbeda." Ami merengkuh tubuh Hanna untuk menenangkannya.

Setelah Hanna tenang, Ami pamit pulang dan meninggalkan obat untuk diminum Ying setelah ia sadar.

"Terima kasih Ami." Hanna melambaikan tangan, memandang Ami yang memasuki mobil jazz merah. Ami membuka kaca jendelanya dan ikut melambai, "Titip salamku buat Ying ya."

Flashback Off

Cahaya matahari menembus gorden berwarna gold membuat siluet yang membayangi gadis yang masih terlelap di balik selimut. Namun, suhu udara semakin naik, membuat si empu menggeliat tak nyaman. Iris karamelnya mulai menampakan diri dari balik kelopak mata. Ia memdudukan diri dan meraik kacamata berframe biru di samping tempat tidurnya. Kamarnya kosong, bahkan ia tak mendapati kakaknya di sampingnya.

"Oh, kau sudah bangun? Selamat pagi Ying. Aku baru saja mau membangunkanmu." Ujar Hanna yang masih di ambang pintu. "Oh ya, kau mau sarapan di bawah atau kubawakan kemari?"

"Selamat pagi kak. Di bawah saja, aku bosan di kamar." Ujar Ying masih dengan suara serak.

"Baiklah, akan kutunggu di bawah." Kata Hanna seraya menutup pintu.

Ying meregangkan tubuhnya dan membuka gorden, seketika cahaya surya menerangi kamar Ying. Udara di pagi hari memang menyegarkan.

Ying menuruni tangga menuju ruang makan. Di sana Hanna telah menunggunya, ia mendudukan diri bersebrangan dengan kakaknya.

"Hari ini kakak cuti, bagaimana kalau kita jalan-jalan."

Ying mengangguk cepat, "Ya, aku juga ingin menikmati di luar sana."

Hanna tersenyum, Ying terlihat seperti tak terjadi apapun padanya. Termasuk kejadian tadi kemarin. Mereka menghabiskan sarapan mereka dengan hangat.

TBC...

*Lucky As My Name*

Yay, akhirnya bisa update juga setelah sekian lama jadi reader... Gimana ceritanya? Alur maksa? Gaje? Atau? Yah, maklumlah masih newbie. Jadi mohon dukungannya..

Rasanya masih ada yang ngganjel di hati. Tapi ngga tau apaan? Rasanya masih kurang greget gimana gitu… :D

Okke, pada akhir kata… Mohon RnR...

Seperti permainan ular tangga. Step by step harus dilalui. Dan juga keberuntungan pada sebuah dadu yang akan membawa langkahmu. Entah ular, tangga atau zona aman yang kau peroleh. Pada akhirnya akan sampai juga.

Chapter 2 : Tomorrow Way's ~ Coming Soon

Regard

Lucky13