Title : Monogatari
Author : Naomi Ishigara
Pairing : Kakashi Hatake | Sakura Haruno
Rating : T
Genre : Romance & Unknown
All the characters are Masashi Kishimoto's. The Story is Naomi's.
Halo! Author baru disini^^ Salam kenal buat semua Kakasaku lovers! Ini cerita pertama yang masih banyak typo dan kekurangannya, tapi semoga bisa menghibur, ya!
Detik jarum jam terus berputar selagi gadis itu tertidur. Kelopak matanya masih malu-malu untuk membuka, padahal sinar matahari sudah sedari tadi menerobos masuk kamarnya. Diam-diam dia malas untuk melakukan rutinitasnya hari ini.
"Bagus, kau berubah menjadi seorang pemalas sekarang, hah?"
Sakura, nama gadis itu membuka kelopak matanya bersamaan. Astaga! Bagaimana bisa pria menyebalkan itu masuk ke kamarnya?!
"Hei, kau tidak sopan sekali!" jerit Sakura marah, melempar pria itu dengan bantal yang tadi digunakannya untuk meletakkan kepala. "Keluar, kau, pria mesum!"
Kakashi, nama pria itu hanya mendecih. Ia mengacak rambut peraknya yang tampak berantakan, lalu menendang bantal tadi agar berada di tempatnya semula. "Cepatlah bersiap. Buatkan aku sarapan dan jangan berharap aku akan mengantarmu."
Sakura berdecak. Aku tidak pernah mengharapkannya.
Tinggal bersama Hatake Kakashi, pria yang berumur sebelas tahun lebih tua darinya bukanlah sesuatu yang diimpikan oleh Sakura. Baiklah, pria itu memang mempunyai segalanya––uang, wajah yang tampan, tubuh yang sempurna, dan segala kelebihan lain yang sebetulnya tidak masuk akal.
Tapi, siapa yang menyangka kalau Kakashi memiliki otak sekeras batu dan hati sedingin es? Tidak ada yang menyangka, memang. Bahkan mungkin, wania-wanita yang ada di kantornya juga tidak akan menyangka. Karena, Kakashi terkenal sebagai pria baik yang ramah pada siapa saja.
Tidak untuk Sakura. Gadis yang satu bulan lalu datang di depan apertemennya itu ternyata menjadi orang luar kecuali keluarganya yang mengetahui sifat Kakashi. Dan bukannya ia sengaja untuk berdiri dengan wajah kedinginan yang menyebalkan di depan apertemen Kakashi saat itu. Badai salju-lah yang memaksanya, ditambah dorongan dari Sasori dan Gaara yang ada disana.
Ya, bukannya membawa Sakura kembali pada orang tua mereka, kedua kakak beradik itu malah menitipkannya pada senior mereka, Kakashi Hatake.
"Aku bersumpah, setelah lulus sekolah nanti, aku akan cepat-cepat mencari kerja dan keluar dari neraka ini!" desis Sakura kesal, sembari memasuki kamar mandi dan memulai rutinitas awalnya. "Aku akan menemui malaikat-malaikat tampan seperti senpai-senpai di sekolah, bukannya penjaga neraka seperti Kakashi Hatake. Lihat saja rambutnya yang beruban itu. Rasanya ingin kuhabisi saja sampai ia menjadi botak."
Tentu saja, Kakashi belum mempunyai uban sama sekali. Rambutnya memang unik. Kalaupun pria itu mempunyai uban, hal itu tidak akan menjadi masalah baginya karena ia dilahirkan dengan rambut perak yang mempesona. Well, lagi-lagi Kakashi menjadi sosok yang sempurna.
Di usianya yang ke dua puluh delapan ini, Kakashi sudah menanggung 2.375 karyawan dibawah kepemimpinannya. Masih sebuah perusahaan kecil, namun perkembangannya pesat dan hampir semua gadis di kota mengetahuinya.
Ya, gadis.
Sakura keluar dari kamar mandi dan memakai seragamnya dengan gerakan cepat yang dikuasainya semenjak tinggal bersama Kakashi. Setelah merapikan rambut merah mudanya, ia berlari turun ke bawah dan menatap Kakashi yang sedang membaca koran.
Pria ini, benar-benar. Ia selesai dan siap jauh lebih cepat dibandingkan denganku, dan dia sama sekali tidak mau membuat sarapan? Pikir Sakura dalam hati dengan eksal. Ia tahu Kakashi mampu untuk memasak, setidaknya untuk sarapannya sendiri. Sakura bisa menghemat untuk beberapa hari ke depan kalau Kakashi benar-benar memasak untuk dirinya sendiri, karena itu berarti ia akan sarapan di kantin sekolah.
Sakura berjalan tanpa suara menuju dapur dan membuka kulas. Tangannya meraih dua butir telur dan menaruhnya di dekat kompor. Tangan kanannya yang bebas meraih penggorengan dan menyalakan kompor tersebut.
"Jangan terlalu matang. Dan cepatlah." Perintah Kakashi dengan nada malasnya.
Gadis itu tidak menjawab. Dengan kesal, ia menaburkan satu sendok kecil garam ke telur milik Kakashi dan terkikik tanpa suara. Sakura berjalan untuk meraih roti dan memasukkan dua lembar ke dalam pemanggang roti otomatis.
"Aku mau roti yang kering."
Lagi-lagi Sakura tidak menjawab. Ia membiarkan roti itu disana dengan suhu maksimal, dengan maksud agar roti itu menjadi gosong. Setelah memasukkan roti-roti ke sana, Sakura meraih cangkir dan merebus segelas air.
"Mendidih, Sakura. Tanpa gula."
"Benar-benar, kubunuh, kau, Hatake.." geram Sakura marah, menendang meja dapur dan mengaduh setelahnya. Ia menatap Kakashi yang masih belum mengalihkan pandangannya dari koran yang dibacanya. Namun, ia tidak menyadari kalau Kakashi menyimpan raut geli di balik wajahnya yang serius itu.
Sakura menempatkan telur yang pasti sangat asin itu di antara dua lembar roti tadi dan menyeduhkan kopi dengan air yang di rebusnya. Sudah tidak ada waktu untuk membuat dua porsi sarapan, karena itu lebih baik baginya untuk mengalah dan membiarkan tuan Hatake ini merasa menang. Hanya pagi ini.
"Arigatou." Ujar Kakashi, sama sekali tidak berniat untuk berterima kasih.
Sakura hanya mengangguk. Ia meraih kaus kaki yang ada di kantung tasnya dan memakainya. Diam-diam ia menyesal kenapa tidak merebus air lebih banyak untuk membuat susu cokelat. Bagaimanapun uang sakunya terlalu berharga.
"Kau tidak sarapan?" tanya Kakashi, menatap Sakura yang memakai kaus kaki.
Gadis itu menggeleng. "Tidak, aku akan terlambat. Ditambah, kau juga tidak mau mengantarku." Sindir Sakura, meraih sepatunya dan memasangakannya pada kedua kaki. "Aku akan pulang malam. Lebih baik kau bawa kunci untuk dirimu sendiri."
Kakashi mengedikkan bahunya, membelah sarapan paginya itu menjadi dua.
"Makanlah setengah." Ujar Kakashi, memandang Sakura yang membelalakkan matanya. "Hei, jangan terkejut seperti itu. Bagaimanapun juga, Sasori dan Gaara adalah temanku. Aku tidak mungkin membiarkanmu mati kelaparan, kan?"
Sakura menelan ludahnya sendiri. "Ta.. tapi.. tapi.. tapi aku tidak lap.. ar.."
Bukan itu masalahnya! Telur itu penuh dengan garam, BAKA! Jerit Sakura dalam hatinya. Ia menatap telur yang dalam bayangannya sedang menari-nari di depannya. Dengan berat hati, ia mengambil potongan roti itu dan menggigitnya.
Gadis itu menutup mulutnya agar tidak muntah. Melihat itu, Kakashi terkekeh dan menampilkan senyum liciknya.
"Kau pikir, aku tidak melihatnya, hah?"
Sakura mengangkat kepalanya dan memandang Kakashi melalui celah-celah rambut merah mudanya. Wajahnya memerah karena kesal, lalu tanpa sadar ia menggebrak meja makan itu dengan penuh amarah.
"PRIA MESUM MENYEBALKAN! AKU BENAR-BENAR MEMBENCIMU!" jerit Sakura, meraih potongan roti tadi dan berlari keluar dari rumah.
Samar-samar, dari luar rumah, Sakura mendengar teriakan Kakashi.
"Aku jauh lebih membencimu, Saku!"
Pelajaran Genma-sensei sanggup untuk membuat Sakura seratus kali berpikir bagaimana caranya untuk masuk ke dalam kelas tanpa ketahuan. Itu semua membuat bajunya basah karena keringat, dan rambutnya juga lembab karena helm yang dipakainya.
"Kami-sama, lindungi aku.." desis Sakura lirih, sambil berbagai doa yang menurutnya dapat membantunya untuk menghadapi Genma, gurunya. Dengan cepat, ia menerobos masuk ke dalam sekolah dan berlari dengan segenap kekuatan yang ia miliki menuju kelasnya di lantai yang paling atas. Sempurna.
Sial baginya, ternyata Genma Shiranui juga terlambat dan baru keluar dari ruang guru saat muridnya itu berjalan di depan sana. Dengan senyuman menyeramkan, Genma menatap Sakura dan akhirnya mereka berjalan beriringan menuju kelas.
Ino Yamanaka, gadis pirang yang duduk di pojokan kelas dengan cepat membuka matanya dengan kaget ketika melihat teman semejanya datang dengan guru yang paling dihindari semua murid. Dan yang lebih aneh adalah, Sakura masih memakai helm!
Ino dengan cepat melambaikan tangannya ke arah Sakura tanpa sepengetahuan Genma, untuk membuat isyarat agar Sakura melepaskan helmnya. Namun gadis merah muda itu tidak melihatnya, ia masih sibuk menunduk dan terlalu takut untuk memandang seluruh murid yang ada di dalam kelas, yang seolah menertawakannya.
"Selamat pagi semuanya. Bagaimana kabar kalian? Tentu saja baik. Akupun begitu. Jadi, yang terlambat hanya nona Haruno, eh?" tanya Genma, lebih tepat seperti pernyataan. "Menurut kalian, apa hukuman yang pantas baginya? Karena kalau tidak, aku akan yang memberikannya hukuman. Dan, dalam hitungan ke sepuluh, kalau tidak ada yang memberikan usul, aku akan yang memberikannya hukuman. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, dan.. sepuluh. Bingo! Buatlah makalah setebal dua ratus limapuluh halaman untuk keterlambatanmu yang kelima dalam kelasku, Haruno. Hanya isinya saja, bagian lain tidak terhitung, mengerti? Topiknya tentukan sendiri, asalkan masih berhubungan dengan kehidupan di masa lampau."
Sakura benar-benar ingin menangis. Bahkan guru ini tidak memberikan kesempatan bagi muridnya untuk berbicara! Kalau saja Kakashi sampai tahu ia dihukum seperti ini karena ulahnya, Sakura berani bertaruh kalau laki-laki itu akan menertawainya habis-habisan, bukannya meminta maaf padanya.
"Aku mengerti." Ujar Sakura lemah.
"Baiklah, sekarang duduk di tempatmu. Buka buku kalian pada halaman..."
Sakura mematikan indera pendengarannya dan berjalan dengan gontai ke arah tempat duduknya dan Ino. Ia mendapatkan tatapan kasihan dari temannya itu, dan Sakura hanya mengangguk pasrah. Itu sudah di perkirakannya sejak awalnya.
Perkataan Genma sama sekali tidak menusuk masuk otaknya. Berbeda dengan guru lain, Genma memang merupakan guru pemarah yang menyebalkan sekali. Murid-murid harus mempunyai tangan dengan kecepatan, kekuatan, kelenturan, daya ledak, dan ketahanan yang tepat untuk bisa unggul dalam pelajarannya. Kalau tidak memiliki salah satu di antaranya saja, para murid bisa mengandalkan alat perekam suara pada ponsel masing-masing.
Guru sejarah memang membosankan, tapi percayalah, tidak ada yang lebih membosankan daripada melihat Genma bercerita tentang sesuatu yang hanya di ketahui dan dimengertinya sendiri. Karena itu, diam-diam Sakura memasang earphone pada kedua telingnya dan menutupinya dengan rambut merah mudanya. Lalu, ia memeluk tasnya agar kabel earphone tidak terlihat.
Gomen, sensei. Aku sedang malas.
Kakashi mengendurkan dasi merahnya dan memandang setumpuk berkas yang tampak menertawainya di atas meja. Dengan gerakan malas, ia menatap salah satu berkas dan mulai membacanya dengan cermat tiap kata.
Menjadi seorang pemimpin memang bukanlah hal yang mudah. Ia hars mempunyai kesabaran ekstra yang membuatnya menjadi bintang di perusahaan. Muda, berbakat, pintar, dan berpotensi untuk menjadi pemimpin besar.
Semua itu dapat ditanggungnya, kecuali masalah yang menghampirinya akhir-akhir ini. Tidak lain dan tidak bukan adalah karena adik perempuan Sasori dan Gaara yang tinggal bersamanya, Haruno Sakura. Meskipun bukan adik kandung mereka, namun Kakashi pernah mendengar bahwa Sasori bersumpah akan membunuhnya kalau sesuatu terjadi pada Sakura dan itu semua karena dirinya. Paling tidak karena Kakashi yang sedang bersamanya.
Mempunyai stok rasa sabar sebesar apapun tidak sanggup membuatnya cukup sabar untuk menghadapi gadis itu. Itu semua karena sifatnya yang menurut Kakashi masih terlalu labil dan kekanakan, tanpa mau tahu seperti apa kepribadian asli Sakura.
Sebuah ketukan mengalihkan Kakashi dari pokok pikiran yang memang selalu mengganggunya akhir-akhir ini. Kepala perak itu terangkat, lalu sebuah senyuman manis tersungging di bibir Kakashi ketika melihat sekertarinya, Hanare, masuk. Bersama setumpukan berkas lainnya yang ingin sekali Kakashi bakar saat itu juga.
"Dari perusahaan mebel di pusat kota Kyoto, presdir." Ujar Hanare, penuh nada hormat dan sedikit dimanis-maniskan di dalamnya. "Besok akan ada pertemuan dengan perusahaan sabun Celansera pukul tiga. Apa anda bisa?"
Kakashi mengangkat bahunya. "Belum bisa kupastikan, Hanare. Namun aku berjanji, akan secepatnya memberitahukanmu." Ujar pria itu, bangkit dan meraih jasnya yang tesampir di kursinya. "Aku pergi dulu. Kalau ada yang mencariku, kau hanya perlu mengatakan aku memiliki halangan karena urusan pribadi."
Tanpa menatap ke arah wanita itu lagi, Kakashi segera berjalan dengan cepat dan keluar dari ruangan kerjanya. Dengan senyuman formal yang ia berikan terhadap beberapa karyawannya, pria itu terus berjalan keluar dari gedung.
Ia melirik jam tangan baru yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Sudah waktunya pulang, dan ada baiknya ia membeli makanan siap saji karena Sakura bilang kalau ia akan pulang malam hari ini. Tidak mungkin ia akan emasak, karena hal itu terlalu merepotkan untuknya.
Mobilnya terparkir di depan restoran siap saji. Melalui layanan pesan langsung, Kakashi memesan satu porsi nasi dan ayam goreng. Setelah menunggu selama sepuluh menit, pria itu segera berlalu dari restoran tersebut.
Rutinitas seperti ini dulu sudah biasa dialami oleh Kakashi, sebelum Sakura datang. Bahkan, lebih parah lagi. Ia merupakan tipe orang yang workaholic, sebelum Sakura datang. Kakashi lebih suka menghabiskan waktu berjam-jam di bar untuk menghabiskan lembaran uangnya dibandingkan dengan duduk santai di depan televisi, sebelum Sakura datang.
Ya. Sakura mengubahnya.
"Apa yang kupikirkan.." desis Kakashi, mengacak rambut peraknya dengan kesal. Ia berusaha menepis bayangan gadis yang berusia sebelas tahun lebih muda darinya itu, namun gagal. Bayangannya tetap ada dan terus berputar.
Sebetulnya Kakashi ingin menolak permintaan Gaara dan Sasori untuk menitipkan adik mereka padanya. Ini semua dengan alasan Sakura harus tetap bersekolah di Tokyo, sementara keluarga mereka akan tinggal di Kyoto. Agar menghemat biaya, mereka memutuskan untuk menitipkan Sakura kepadanya.
Tadinya, Kakashi menolaknya dengan alasan kalau anak kecil seperti Sakura sangat berbeda. Namun, sekarang, entah kenapa alasannya telah berubah.
Sakura terlalu manis, terlalu membuatnya linglung..
Kakashi memberhentikan mobilnya dengan kasar di pinggir jalan tol yang baisa dilaluinya. Ia menatap langit senja yang berwarna oranye, yang terasa memenuhi ruang kosong dalam mobilnya. Dengan kesal ia memukul stir mobilnya sendiri.
Baru saja Kakashi mengantukkan kepalanya pada sandaran mobil, ponselnya berdering.
Matanya menajam ketika melihat nomor telepon rumahnya terpampang disana.
"Halo?" ujarnya pelan.
"Hei, kakek tua, cepat pulang!" terdengar suara nyaring Sakura dari seberang sana. "Aku sendirian dan aku takut berada di rumahmu yang luas ini. Maksudku, apertemenku. Tadi aku nyaris tertabrak mobil yang dikendarai seorang supir gila ketika ak––"
Kakashi segera menginjak pedal gasnya. "Kau nyaris tertabrak? Lalu, kau terjatuh?"
Terdengar suara tawa dari seberang sana. Mendengarnya, Kakashi sudah bisa memastikan kalau jawabannya adalah iya. Dengan kesal, ia menatap layar ponselnya yang ternyata sudah terputus sambungannya.
Setengah jam kemudian, Kakashi turun dari mobilnya dan berjalan masuk menuju pekarangan rumahnya. Ia dapat melihat motor skuter yang biasa dikendarai Sakura untuk berangkat ke sekolah tampak lecet, bahkan spion kirinya pecah. Semakin yakin kalau gadis itu sedang tidak baik-baik saja, Kakashi mempercepat langkahnya.
Tubuhnya berhenti berjalan ketika melihat Sakura dengan santainya sedang duduk di sofa dan menonton televisi. Tidak ada yang aneh dari gadis itu––setidaknya itulah yang disadarinya. Dengan perlahan, Kakashi mengambil tempat dan duduk di samping Sakura.
"Kau sudah pulang, eh?" tanya Sakura tanpa mengalihkan pandangannya.
Kakashi menarik tangan Sakura sehingga gadis itu sedikit terhuyung dan mengantuk sofa. Dengan pandangan marah, Sakura menatap Kakashi yang sedang memandanginya dengan pandangan bingung.
"Buatkan aku kopi." Perintah Kakashi.
Pria itu memperhatikan Sakura yang hanya mendengus dan berjalan menuju dapur.
Itu dia.
Kakashi berdiri dan menarik lengan Sakura kembali. Gadis itu kali ini benar-benar terhuyung dan kehilangan keseimbangan, sehingga Kakashi harus menahannya. Dengan perlahan, ia menarik Sakura untuk duduk kembali di atas sofa dan menekan kaki kanannya.
"Auw! Yak, apa yang kau lakukan?!" jerit Sakura marah.
"Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kakimu terluka?" tanya Kakashi dengan nada tenang. Ia menyingkap celana panjang Sakura sampai sebatas lutut, dan benar saja ada perban yang membalut lututnya. Dengan mata menyipit, Kakashi meluruskan kaki itu dan membuat Sakura sedikit meringis karenanya.
"Ini hanya luka kecil. Tidak usah mencemaskanku." Ujar Sakura.
Kakashi mendengus. "Aku tidak mencemaskanmu, nona yang sangat percaya diri. Aku hanya takut Sasori dan Gaara memarahik––"
"Sama saja. Tidak usah mencemaskanku."
Nada bicara Sakura menjadi lebih dingin, dan Kakashi menyadari hal itu. Di depannya, gadis bersurai merah muda itu tampak menatapnya dengan tajam dan sedikit rasa.. kecewa. Entah apa yang membuatnya menatap Kakashi seperti itu, ia tidak tahu. Apa mungkin Sakura sedang mengalami masalah berat?
"Aku sudah berbicara pada nii-san ku dan mereka setuju kalau aku akan mencari apertemen sendiri." Ujar Sakura, memandang Kakashi dengan pandangan kecewanya. "Aku akan pindah besok. Aku rasa kau tidak tahan aku berlama-lama disini, bukan?"
Pria itu tercekat. Ia tidak dapat mengeluarkan suara, dan hanya dapat memandang Sakura dengan tatapan tidak percayanya. Namun gadis itu mengalihkan pandangan––entah memilih untuk tidak memandang Kakashi atau untuk menghindari tatapannya. Saat ini pikiran dan perasaannya sangat susah untuk ditebak.
Sakura bangkit berdiri dan meninggalkan Kakashi menuju dapur. Diam-diam, ia melirik pria yang masih mematung itu lewat ekor matanya.
Jangan pedulikan reaksinya, Saku. Ia hanya berpura-pura.
Review? Thanks!
