Summary: Cinta itu bukan perkara mudah. Apalagi kalau kau jatuh cinta pada sahabatmu sendiri.
Warning: err… AU. Yang biasa lah.
Disclaimer (untuk chapter ini dan chapter-chapter selanjutnya): CP © SM. Lol. I do not own.
XXX
Love Just Is
.
Prologue: I'm in love
Orang menggambarkan pengalaman jatuh cinta seakan itu hal terhebat yang bisa kau alami sepanjang hidupmu. Hatimu selalu berbunga-bunga, kau selalu tersenyum, rasanya tak ada kekuatan apapun yang bisa menjatuhkanmu dari posisimu di pundak dunia, kau tak tertaklukkan. Aku tak pernah tahu apakah pernyataan mereka itu benar atau tidak, karena aku belum pernah mengalaminya.
Orang-orang mungkin mengira aku sudah pernah jatuh cinta. Mana mungkin tidak ada seorangpun yang bisa menarik perhatianku. Dan dengan wajah setampan wajahku, siapa sih yang tidak tertarik padaku? Masa sih aku belum pernah menjalin hubungan dengan siapapun? Mudah saja untukku mendapatkan siapapun yang aku mau, termasuk orang yang berhasil membuatku jatuh cinta padanya, ya kan? Kalau ia tidak menyukai penampilanku, aku yakin setelah ia berbincang-bincang denganku dan mengenal kepribadianku ia akan terpesona.
Tapi itulah kenyataannya, aku tak pernah jatuh cinta. Aku tak mudah menyukai orang. Manusia kebanyakan picik, mementingkan diri mereka sendiri. Mereka mengutamakan penampilan luar, terkadang tingkah, hati dan pikiran mereka lebih mengerikan daripada seorang demon. Aku tak bisa yakin apakah seseorang menyatakan mereka 'mencintaiku' benar-benar tulus atau hanya karena uang, paras, atau kepopuleranku. Mana bisa aku jatuh cinta dengan orang-orang seperti itu.
Jadi, aku tak pernah jatuh cinta. Hingga saat ini.
Lebih buruk lagi, aku jatuh cinta pada sahabat masa kecilku sendiri, yang lebih muda tiga tahun dariku, masa pubertasnya bahkan belum bisa dibilang selesai, dan suaranya belum pecah.
Lucunya, yang membuatku sadar adalah interaksi dengan manusia picik yang kusebutkan tadi.
Seperti di kebanyakan sekolah, di sekolahku populasi siswa terbagi atas beberapa grup: yang populer, yang atletis, yang kaya, dan sebagainya. Kalau kau bertanya pada para siswa, mereka akan mengelompokkanku dengan yang populer, tapi sebenarnya aku tak masuk ke dalam grup manapun. Aku lebih suka menyendiri, dan hanya berbicara dengan beberapa orang saja dalam keseharianku.
Seperti di kebanyakan sekolah, ada juga yang keras kepala meyakini kalau dia yang paling cantik, paling populer, spesimen terbaik seantero jagad, dan dengan demikian, dia ditakdirkan untuk bersamaku, karena aku 'setara' dengannya. Menggelikan, kan?
"Sebastian, ayolah, menyerah saja, jadi pacarku. Aku cantik, kau tampan, serasi kan?" Aku mendengar suara manja yang menyebalkan sebelum merasakan ujung kemejaku ditarik ketika aku sedang memasukkan buku-bukuku ke dalam loker. Pelajaran sudah berakhir untuk hari itu. Aku menoleh dan mendapati Paula berdiri di belakangku, menarik-narik bajuku dengan manja. Ia mengerjapkan matanya membuat bulu mata bermaskaranya berkelebat.
"Paula, ayolah, menyerah saja, kau tahu aku tak tertarik. Kau cantik, aku sih tak peduli, sudah jelas kan?" mimikku menirukan gaya bicaranya. Aku berpaling ke lokerku lagi, dan membanting pintunya. Kudapati Claude sedang bersender di loker tepat di sebelahku. Dasar brengsek, dia melihat semua ini dan tidak melakukan apapun? Aku memutar bola mataku padanya dan berjalan pergi disusul Claude, tak menghiraukan panggilan Paula untuk berhenti.
Kubiarkan hening menyapu sesaat saat kami berjalan pulang bersama. Kalau Claude adalah orang lain, mungkin dia sudah mulai cemas dalam lima menit pertama dan memohon maaf padaku. Tapi Claude bukan orang yang gampang terintimidasi. Mungkin karena itu dia adalah satu dari sedikit orang yang bisa kutolerir. Selain itu Claude tahu sifatku, mengingat dia adalah temanku sejak kecil. Karenanya dia tak takut atau khawatir meski aku menggertaknya, memelototinya, atau mendiamkannya sampai berhari-hari.
"Thanks ya yang tadi, Claude," kataku bernada sebal, akhirnya.
"Tak masalah, kawan," katanya kalem, menepuk bahuku. Tanpa menolehpun aku tahu kalau dia menyeringai geli saat mengucapkannya.
"Yea yeaa," gumamku masih kesal.
"Kenapa sih kau tak ladeni saja dia? Pacari saja dia seminggu, lalu putuskan. Mungkin setelah itu dia takkan mengganggumu lagi," Claude berkata geli. Enak saja dia bicara, dia tak pernah mengalami dikejar para perempuan berbulu serigala karena dia sudah punya pacar.
"Kau tahu itu takkan terjadi," aku menjawab malas, "kalau Paula berhasil 'memacariku', setelah kuputuskan dia, yang lain akan ikut-ikutan mencoba karena menganggap mereka punya kesempatan. Lagipula aku tak punya waktu untuk hal tak berguna macam itu."
"Ciel lagi?" tanyanya singkat.
"Apa maksudmu Ciel lagi?" ujung alisku berkedut kesal.
"Kau pasti sudah merencanakan melakukan sesuatu dengan 'Ciel' lagi hari ini, dan hari-hari setelahnya. Mengerjakan tugas ini lah, atau proyek itu lah. Kau selalu begitu," ujarnya setengah menuduh.
"Apa salahnya kalau aku ingin membantunya?" tukasku berang.
"Tidak ada yang salah dengan itu," jawab Claude masih kalem, "tapi sepertinya hari-harimu cuma diisi sekolah dan Ciel. Pulang sekolah kau pasti bersama dia, membantunya mengerjakan suatu pe-er, hari libur kau pergi main dengannya. Setengah obrolan kita kau pasti membicarakan Ciel. Kau sedang nongkrong denganku saja, kalau dia meneleponmu kau langsung meninggalkanku. Jangan-jangan kau jatuh cinta lagi dengannya. Aku saja yang sama-sama teman masa kecilmu tak menghabiskan waktu bersamamu sebanyak itu."
"Ha ha, lucu sekali, Claude," kataku sarkastis. Tapi napasku terasa tercekat.
"Huh, kau tidak menyangkalnya. Berarti benar ya? Aku jadi ingin bertemu dengan Ciel."
Aku mendelik.
"Kenapa, cemburu, Michaelis?" pancing Claude, tangannya merangkul pundakku dari samping.
"Yang benar saja," aku mengedikkan bahuku membuat tangannya jatuh. "Sudah ah, rumahku belok ke sini."
Dan kutinggalkan Claude berdiri di persimpangan jalan, menatap punggungku yang kian lama kian jauh.
.
Tapi aku tak bisa melupakan percakapan kami sore itu. Aku memutarnya begitu sering di memoriku, dan memutar ulang semua waktu yang kuhabiskan dengan Ciel, dan bagaimana perasaanku ketika itu. Malam-malamku resah memikirkannya. Hingga suatu hari aku sampai pada satu kesimpulan.
Aku memang sedang jatuh cinta.
XXX
A/N. [REVISED]
Entah kenapa waktu saya buka FFN di laptop, katanya "situs ini tidak sesuai dengan UU ITE" atau semacam itu, alias tidak bisa dibuka sama sekali. Tapi anehnya saya bisa buka FFN di ponsel, padahal ponsel (dan kartu) itulah yang dipakai jadi modem waktu saya coba buka FFN di laptop. Aneh memang…. Jadi, saya upload fanfic ini dan fanfic sebelum ini ('Wish') lewat ponsel, yang menyebabkan kemungkinan formatnya berubah atau jadi berantakan lebih besar dari biasanya. Kalau ada format atau kata-kata yang aneh/hilang bisa beritahu saya ya. Nanti akan disertakan dalam revisi (yang mungkin baru dilakukan setelah semua fanficnya selesai (semoga :P). Thankies ^_^.
