Aku Mengingatmu

091313 10:22 PM

-Kohan44-

.

Aku bertemu seorang anak yang tingginya tak lebih dari pinggangku. Dia mengenakan kaos putih belel dan celana pendek warna hijau tua. Di kedua sudut bibirnya banyak noda coklat dan rambutnya diikat satu di pinggir. Dia tersenyum ke arahku saat aku menawarinya sebotol minuman.

"Tunggu di sini lebih lama." Katanya mengabaikan tawaranku.

"Ini sudah jam 9 malam." Jawabku pendek sambil sekali lagi menyodorkan botol minum.

Anak itu tetap menggelengkan kepala.

"Aku tahu kau sudah berjalan jauh. Tidakkah kau lelah? Minuman ini masih bersegel. Aku tidak mencampurinya dengan apapun."

"Kakak harus menunggunya di sini lebih lama!" ulangnya keras kepala, tetap menginginkan aku berdiri di bawah tiang lampu jalan sampai seseorang yang mungkin tak kukenali datang.

"Hei, di mana rumahmu, Adik manis?" Aku merunduk, menyamakan tinggi dengan anak itu.

"Dia pernah bercerita padaku tentangmu. Kakakku tidak hilang ingatan. Dia mengingat semuanya dan dia akan datang ke sini!"

Aku tertegun. Ada sesuatu yang tidak kupahami tentang anak ini—sifat keras kepalanya dan apa yang sedang dibicarakannya. Aku tidak peduli apakah orang yang dia maskud benar-benar akan datang ke sini atau tidak. Yang ku cemaskan adalah meninggalkan anak di bawah lima belas tahun sendirian di malam hari.

"Aku akan menunggunya di rumahku," akhirnya aku berkata bohong, "kau bisa ikut menunggunya juga di rumahku, bagaimana?"

"Jaejoong…" sebuah panggilan lemah terdengar dan aku segera mendongak ke arah panggilan itu. Dia berdiri di sana, di belakang anak ini, bermantel tebal dengan kacamatanya yang berembun.

"Kalian bertemu!" jerit si anak kegirangan, tapi suaranya segera redam ketika aku menyadari orang yang berdiri di sana baru saja memanggil namaku, Jaejoong. Dia mengingat namaku, dia tidak amnesia seperti yang dikatakan orang-orang.

"Sandiwaramu buruk." Kataku kepadanya, sambil mendengus merendahkan. Walaupun bersikap tenang, aku tidak bisa menyembunyikan mata yang tiba-tiba terasa panas lalu berkaca-kaca. Ini sudah sangat lama semenjak kami lulus SMA. Dia datang ke tempat paling terkenang sepanjang masa muda kami dan di jam yang selalu membunuh sisa istirahatku dengan bayangan kelam akan kematiannya, jam sembilan malam. "Kau masih hidup dan tidak amnesia, Tuan Kacamata Kuda."

Dia masih berdiri di sana, mematung seperti orang bodoh, dan aku pun sama, tidak bergerak di titik aku berada, karena aku terlalu sibuk mencaci mataku sendiri yang memanas penuh peringatan. Aku tak mau memperlihatkan kepadanya air mata dan menegaskan kepadanya bahwa selama ini aku benar-benar kehilangan dia.

Jung Yunho

Nama itu masih terngiang. Tiap kali terdengar, jantung bergetar takut. Ada kenangan buruk yang ingin kulupakan, tapi tak terlupakan. Ada luka yang aku tak tahu bagaimana harus membalutnya. Dia orang yang kukasihi, tetapi dia selalu menorehkan rasa sakit pada setiap garis kebahagianku.

Jung Yunho

Aku masih bisa membaca nama lengkap itu di bukuku, di buku harianku, di amplop-amplop yang ku kirim ke alamat yang sama setiap minggu, berharap sebuah balasan akan datang padaku, sekalipun aku tahu apa yang kulakukan hanya ketololan belaka. Aku tak ingin mengingat nama itu ketika tanganku, dimanapun aku berada, selalu menggoreskan rangkaian namanya.

Itu karena aku percaya padanya. Walaupun orang-orang melupakanmu, percaya atas kematianmu, aku selalu mengingat kenangan yang kau berikan kepadaku, yang di malam hari melintasi mimpi, membangunkanku untuk sebuah tangisan kecil. Aku yakin kau akan kembali, di sini, tidak hanya dalam ingatanku, tetapi juga di hadapanku.

"Yunho.." aku memanggilnya serak, tersenyum getir ketika anak itu menarik tangan Yunho.

"Ayah, ayo! Ayo!" kata anak itu kepada Yunho.

Ayah katanya.

Berapa lama kami tak bertemu? Apakah selama umur anak ini? Apakah sekarang dia benar-benar homophobia seperti yang dikatakan orang-orang? Apakah hanya namaku yang dia ingat? Apakah mereka lebih benar dari pada keyakinanku?

Aku ingin percaya, kau tak pernah amnesia, Yunho…

"Jaejoong, aku mencarimu."

Suaranya… aku mendengar suara Yunho. Kapan terakhir kali aku mendengar suaranya?

Aku ingin berlari ke dalam pelukanmu, tak peduli apakah anak itu adalah anakmu atau bukan, tak peduli apakah pakaian yang kukenakan adalah pakaian laki-laki atau bukan. Aku ingin bersamamu tanpa pikiran-pikiran rumit seperti gay. Tetapi, ketika kulangkahkan satu kaki, aku ingat berapa banyak malam yang kulewati tanpa tidur karenamu. Aku ingat seberapa besar ketakutan jam Sembilan malam tanpamu, dan aku pun jatuh dalam bias angan pelukanmu.

.

.

.