Yukeh: Alpha Centauri tamat. Udah genre angst, endingnya si Sasuke nyesekkin (?) pula. Makanya saya buat fic baru ini :D hahay. Tenang saja, tak akan ada airmata pembasuh luka *bleh!* :D

Happy reading~~

.:oOo:.

Aku melangkahkan kaki dengan pandangan yang senantiasa kuedarkan ke sekelilingku. Kupikir aku kini tengah bermimpi atau apa, karena ayolah, siapa yang akan mengira sadar diri jika harus berdiri dalam sebuah antrian di hawa yang amat panas, dengan panjang antrian yang melebihi antrian saat ingin membeli tiket konser Justin Bodo? Um... kupikir aku salah menyebutkan nama penyanyi muda itu? Tak hanya itu saja, yang lebih memalukan adalah...

Biar aku cubit pipiku dulu.

Oke. Sakit, man!

Aku tidak bermimpi ternyata saat melihat bahwa seluruh manusia yang antri bersamaku disini tampak tak memakai sehelai benangpun di tubuh mereka!

Bayangkan! Imajinasikan! Khayalkan! Piktorkan!

Tanpa sehelai benangpun!

Baik laki-laki, perempuan, tua, muda, cantik, jelek, semua sama. Semua orang di sini layaknya kembali ke jaman batu di mana mereka tak hanya berdiri, saling melihat, saling tahu, bahwa mereka tidak berpakaian, namun juga apa? MEREKA SEOLAH MENGIKHLASKANNYA!

Dan tak perlu kuperjelas lagi kan tentang kondisiku? Ya. Aku sama dengan mereka. Aku antri! Aku kepanasan! Dan aku telanjang!

Bersoraklah para fansgirl dan fansboy Sasuke Uchiha. Jalankan imajinasi berskala rate M kalian.

Tapi aku sendiri tak sempat berpikiran aneh-aneh melihat keadaan manusia di sekelilingku. Jadi, jangankan berpikiran mesum layaknya otak Itachi yang langsung to the bokep bahkan saat melihat kupu-kupu yang hinggap dan menghisap sari bunga (?), mengerti apa yang kini terjadi saja tidak. Selain itu, berpikiran mesumpun tak sempat –dan aku tak punya niat- kulakukan di sini. Karena simpel saja, aneh! Hoi, siapa yang gak aneh jika di depan matamu disodori orang-orang pada telanjang semua. Semesum-mesumnya dirimu, kalo kayak gini sih pasti enek juga... (-_-") dan juga, di sini panas sekali. Jadi, memikirkan bagaimana caranya mendapatkan angin segar (meskipun mustahil karena kulihat di sini adalah daerah gurun yang tampaknya tanpa batas) jauh lebih menyita otakku daripada bagaimana caranya mendekati dan menyentuh tubuh cewek bule di sana itu.

Oke. Maaf. Aku hanya adik Itachi. Like big bro, like lil' bro.

Aku menatap heran sekitarku

Mengapa aku ada di sini? Gurun dengan desir pasir di padang tandus –maaf, bukan maksudku untuk menjadi Fahri yang mencari Aisha dengan keadaan naked begini, shit!-, panas, antri, dan matahari seolah tepat berada di atas kami. Dan di sini aneh sekali, singkirkan dulu tentang semua telanjang dan menelanjangi (?), apakah aku sudah mengatakan bahwa antrian di sini ada dua barisan? Satu di sebelah… entah aku tak tahu mana itu timur-barat! Pokoknya ada dua barisan. Aku berada di barisan yang setelah kulihat ke belakang, panjangnya naudzubillah! Dan panjang barisan sebelah sana terlihat lebih pendek.

Memangnya kami mau apa, sih?

.:oOo:.

Uchiha Yuki-chan (not so) proudly presents...

Stupid Mission of Stupid Devil by Stupid.. errr... Who? (c) Uchiha Yuki-chan

Naruto (c) Masashi Kishimoto.

Sasuke is Yuki's toilet's cleaner *burnt*

Rate: T.

Genre: Humor/ Romance / Fantasy.

Warning: What do you expect from my fics? Ofcourse, OOCness here and there. Include the using of Bahasa anak gaoehl. Plot kurang ngena. Romance minim. Bagi para penggemar fanatik si Sasuke Uchiha, silahkan klik back button atau tutup tab/windows sebelum kalian memberi flame pada saya

.:oOo:.

Apapun itu, rasanya aku ingin pindah barisan saja. Oke, sifatku rasanya seperti sifat orang Asia uhukIndonesiauhuk yang menganut slogan budayakan saling serobot saat antre. Namun aku hanya ingin semua yang serba instan. Logisnya, jika kau bisa mengakhiri –apapun ini yang tengah terjadi- dengan cepat melalui barisan di sana, mengapa kau harus menghanguskan putihnya tubuhmu (?) dengan berlama-lama berjemur di sini?

Namun, saat aku baru saja melangkahkan satu kakiku, tanah yang kuinjak retak, dan akhirnya hancur menyisakan sebuah lubang sebesar telapak kakiku. Aku melongok kaget, dan dari lubang itu, aku melihat semacam sungai lava yang tampak berkilat-kilat memancarkan sinarnya (halah!) dari bawah Bumi itu.

Wait, apakah aku masih berada di Bumi?

"Teme? Itu kau?"

Kepalaku langsung menoleh secara refleks saat mendengar suara itu.

Dan begitu kepalaku menoleh, aku langsung kembali memutar kepalaku ke sembarang arah dengan gerakan cepat sembari menahan rona merah di wajahku.

Syit.

Fak.

Wotdehel.

He's naked too, for God's sake!

Ya, sekarang giliran para fansgirl dan fansboy SasuNaru atau NaruSasu untuk berteriak dan bersorak ria. Segeralah rancang kerangka fiksi berate M yaoi hardcore bullshit itu.

"Aku gak nyangka bisa bertemu denga-"

"Jangan sentuh aku!" bentakku terlalu keras saat kurasakan tangannya baru saja menyentuh pundakku, hingga membuat beberapa orang di sekitar kami menoleh ke arahku dan Naruto.

"Kau kenapa?" tanpa melihat wajahnya pun, aku tahu bahwa dia sekarang tengah heran dengan sikapku yang bitchy banget ini, "Kenapa kau bisa ada di sini?"

Aku memutar bola mata dengan muak.

Andai aku bisa bertanya seperti itu pada rumput yang bergoya –ah, disini hanya ada pasir di mana-mana. Aku menyesal dahulu aku tidak pernah serius mempelajari studi kawasan dunia saat aku kuliah.

"Oi, Teme? Kau kenapa diem?" lanjutnya saat aku masih terdiam tanpa menoleh padanya. Man! Aku masih normal. Jika dia adalah Paris Hilton atau Maria Ozawa, aku pasti akan menjepit kelopak mataku dengan jepitan jemuran agar mataku tak berkedip sama sekali dalam menikmati 'oasis' di tengah hawa panas padang pasir ini.

Yeah, aku lebay.

Tapi dalam keadaan seperti ini, menurutku justru aneh sekali jika kau tetap bertindak dan berpikir dengan gaya 'take it easy, mamen. Life is never flat'.

"Yah, aku tahu perasaanmu, Teme. Dulu, waktu aku pertama kali mengetahui bahwa aku telah mati dan menjadi roh, aku juga syok. Tapi sekarang kau lih-"

"Apa?" aku langsung menoleh pada Naruto di sampingku saat kedua telingaku mendengar dua kata dari kalimatnya tadi –dan benar-benar menguatkan diriku untuk memfokuskan pandanganku pada kedua matanya, paling jauh adalah mulutnya. Dan jangan sampai turun lebih dari itu!

Mati.

Roh.

Wot blodi hel.

"Apanya yang apa?" tanyanya dengan tampang bodoh.

"Mati? Roh? Apa maksudmu?" tanyaku dengan cepat, seolah dengan dua kata itu, semua keanehan dan kegilaan ini akan terbongkar dan tertemukan jawabannya bagaikan sebuah reality show Jebakan Batman Uya Kuya yang habis ngirim bencong untuk menggrepe-grepe Briptu Norman.

Argh!

Gue OOC banget seh!

"Lha? Kau tak tahu?"

"Belum," ralatku.

"Ckckck… Sasuke, kau sudah mati."

"….."

"….."

"….."

"?"

"…."

"Oi?"

"Ngomong apa, sih?" hanya itu yang kujawab atas pernyataannya yang bahkan di otak orang gila pun, tak akan mampu diterima itu.

Mati?

Oke. Lupakah dia pada pelajaran Biologinya dulu? Ciri-ciri makhluk hidup? Dan nyatanya, sekarang aku masih berdiri. Aku masih mampu berbicara padanya. Aku masih mampu melihatnya. Aku masih mampu berpikir. Dan aku masih mampu berkembangbi… lupakan.

"Memang benar, Sasuke. Kita sekarang ada di alam perantara. Alam yang memisahkan antara dunia manusia dan dunia roh," jawab Naruto dengan pandangan serius yang seolah mengatakan 'Kau tahu? Satu tambah satu itu sama dengan dua loh!'.

"Hah?"

"Apanya yang hah? Semua orang yang ada di sini itu udah menjadi roh, bukan manusia lagi. Termasuk aku. Kau paham?"

Paham kepalamuprismasegiempat(?)!

Tetapi, meskipun hatiku kuat-kuat berusaha menolak kenyataan yang diberikan oleh Naruto, namun logika pun mulai berjalan.

Memang, di Bumi, adakah gurun yang seluas ini? Di Bumi, adakah tempat yang sepanas ini? Dan terutama, di Bumi, di manapun bagian Bumi, adakah tempat yang dengan kurangkerjaannya menyelenggarakan event telanjang massal seperti ini?

Tapi…. Aku mati?

Mungkin hanya itu yang membuatku sulit menerima dan mengakui pernyataan dari Naruto.

"Hm… Jika kau mati, memangnya kau mati kenapa?" tanyaku memancing alasannya lebih jauh dengan mengatakan bahwa kami sedang berada di alam belantara.

"Sebelum ada di alam PERANTARA ini," ujar Naruto seolah meralat pikiranku tadi, "Aku masih hidup. Waktu itu aku pulang sekolah. Mengendarai motorku yang baru. Padahal sebelum berangkat, Ibuku udah memperingatkanku untuk tidak membawa motor dulu karena memang, aku belum terlalu menguasai cara mengemudikan motor. Dan yah… waktu pulang sekolah, dalam keadaan hujan, pandangan mataku kabur karena air. Dan akhirnya… wassalam," jawabnya dengan pandangan sayu dan getir, "Aku mati tertabrak becak."

Krik krik krik.

Oke, kuakui. Pada awal dia bercerita, aku sempat udah merasa was-was dan terharu duluan. Abisnya, dia menyangkutpautkan Ibunya sih. Bukannya aku mengidap Oedipus Complex dan menaksir Ibu Naruto, tapi jiwaku seolah tak kuat saja jika berbicara tentang semua tentang Ibu.

Yeah, I love Mum.

Aku cemen?

Well, lalu, apakah aku harus mengatakan,

I f**k Mum?

Yang benar saja!

Tapi, semua rasa terharu akan cerita yang dramatis itu hilang sempurna hanya oleh hadirnya satu kata yang membuat cerita dramatis itu menjadi lelucon konyol.

Becak.

"Begitulah…," ujar Naruto dengan senyuman kecil, seorang menahan rasa pahit dan sedih yang mulai terasa, "Aku sudah ada di sini dan menunggu 'giliranku'."

Aku menaikkan sebelah alisku.

'Giliran'?

Memangnya setelah ini kita mau apa? Melihat keadaan kami yang telanjang, mau tak mau aku memikirkan satu hal logis yang masuk diakal.

Giliran digrepe-grepe oleh apapun yang ada di ujung antrian ini?

Aku tak mengerti!

"Lalu, apa yang membuatmu bisa ada di sini, Sasuke?"

Aku masih terdiam sekalipun Naruto telah berbicara padaku. Ya Jashin, entahlah. Aku tak tahu apa yang harusnya kupikirkan. Jangankan mengingat-ingat apa yang membuatku mati, meyakini semua ucapan Naruto saja aku masih tak sanggup!

"Kau masih belum percaya?" seolah mengetahui isi pikiranku, Naruto bertanya untuk kemudian dia tertawa kecil sebelum mulai melangkah pergi menjauh dariku, "Cobalah kau taruh telapak tanganmu di dadamu."

Hah?

Taruh telapak tangan di dada? Apa maksudnya? Kupikir dia ingin agar aku menirukan salah satu adegan konyol sinema Bollywood yang digemarinya dan berbicara 'All is well… All is well… All is well…' non sense itu.

Namun, saat aku benar-benar mempraktekkan khayalan norakku tadi, aku tersentak kaget saat menyadari bahwa aku sama sekali tak merasakan detak apapun dalam dadaku yang menandakan bahwa jantungku masih berfungsi sebagaimana mestinya yang dialami makhluk hidup yang masih hidup.

Aku… jantungku… mati?

Saat kudekatkan telapak tanganku ke dekat hidungku, aku baru menyadari bahwa aku sama sekali tak bernafas!

Seolah tak ingin menerima kenyataan yang makin terungkap jelas, aku mengecek denyut nadi di pergelangan tangan. Dan hasilnya… Nihil!

Jantung… nafas… denyut nadi…

Aku…

Mati?

"Oi, pantat ayam, apa yang kaulakukan! Maju sono!" seseorang menendangku dari belakang –saat aku tanpa sadar melamun- dan membuatku jatuh dengan tidak elit –kepala nyungsrup di hamparan pasir di bawahku.

Aku sudah berdiri dan berbalik, hendak memberikan umpatan dari yang paling sopan semacam 'anjing!' sampai yang paling keras dan nista semacam 'babi!'. Well… I love animals. Namun, niatku itu pupus saat aku melihat dan menyadari bahwa kini aku telah berada di ujung antrian.

Dan di depanku ada sebuah meja dengan seseorang –kupikir dia orang, yang duduk di sebuah kursi di depanku.

Errrr…. Kok rasanya ini kayak antrian mau masuk toilet umum?

"Jangan macam-macam memikirkan tempat ini sebagai toilet umum, bocah tengik!"

Aku bergidik ngeri –dalam hati tentu saja!- saat mendengar kalimat orang berbadan biru dengan taring yang tajam yang terlihat saat ia berbicara. Ia terlihat duduk dengan menyandarkan punggungnya pada kursi dan menaikkan sebelah kakinya di atas meja di depanku.

Aku hanya terdiam, tak tahu harus membalas apa. Aku bahkan masih belum mengerti semua ini. Aku harap bahwa sekarang aku tengah tertidur pulas dan sebentar lagi Itachi akan membangunkanku dengan menyemprot wajahku dengan parfum kesayangannya.

Mengingat itu, rasa benciku pada saudaraku muncul kembali tanpa mampu kuhentikan.

"Oke, namamu, Uchiha Sasuke, kan?" Tanya -errr… anggap aja dia- orang itu sembari jemarinya menari lincah di atas tuts keyboard sebuah laptop bermerek KESEMEK di depannya.

Di tengah-tengah nuansa primitif ini, ternyata masih tersempil kecanggihan teknologi ternyata.

"Hn," jawabku singkat. Tanpa sengaja, aku menoleh dan mendapati Naruto telah berada di ujung antrian dari barisan yang lain. Sama seperti diriku, dia tengah berhadapan dengan seseorang.

Bedanya, Naruto berada di depan perempuan cantik berambut biru yang juga tengah duduk dan mengetik-ngetik sesuatu di laptopnya. Dan aku berada di depan orang yang bahkan aku tak yakin bahwa dia manusia!

Well, tidak di dunia, tidak di alam belantara, diskriminasi ternyata masih berkembang subur.

"Tentu saja, ini semua karena salah kau sendiri yang menyia-nyiakan waktu hidupmu di dunia, bocah," ujar orang di depanku yang membuatku berpikir bahwa benda yang tampak seperti laptop itu adalah ternyata alat untuk mengetahui isi hati manusia.

Well, jika aku masih bisa disebut manusia tentunya.

"Apa maksudmu?" tanyaku tak kuasa menahan rasa penasaranku, "Aku ini di mana? Siapa kau? Mereka ini siapa juga? Kau mau apa? Dan argh! Mengapa aku telanjang, brengsek?"

Orang itu mengalihkan pandangannya dari layar laptop untuk kemudian menatapku sembari menyeringai, "Tak heran jika kau termasuk dalam barisan ini, mendengar cara bicaramu yang kasar itu, bocah."

"Ap-"

Orang itu memutus ucapanku dengan telunjuk kanannya yang menunjuk barisan di sebelah barisanku, "Kau lihat? Apa bedanya antara di sini dan di sana?"

Well, di sana ada perempuan cantik dan segar di pandang mata dan di sini aku harus puas disuguhi dengan nuansa serba 'biru' bagai selubung karbondioksida.

Tapi bukan itu jawaban yang ternyata keluar dari mulutku, "Entahlah."

Jawaban yang wajar diberikan oleh orang yang pasrah akan keadaan.

"Khukhukhu…," ia terkekeh pelan, "Kau tahu bocah, kami membentuk dua barisan ini untuk membedakan roh-roh sesuai dengan tujuan mereka setelah ini dengan cara menimbang setiap perbuatan mereka saat mereka masih hidup di dunia dan pada akhirnya menentukan seberapa besar tingkat dosa atau pahala mereka yang tercatat dalam dokumentasi kami dan mereka tidak akan mampu menolak setiap keputusan dari kami, dalam kasus kamu, keputusan saya."

Siiiiingggg…..

Jika aku memiliki kemampuan untuk menatap wajahku sendiri, pasti aku melihat rupa seorang Uchiha yang menatap dengan pandangan sayu dan mulut setengah membuka yang dari dalamnya meneteskan air liur, dengan otak Pentium minus satu yang masih loading process.

Aku tidak mengerti. Penjelasan orang itu bagaikan penjelasan dari sebuah ilmuan modern yang menjelaskan bahwa Monster Ogopogo itu adalah musuh bebuyutan dari Ultraman Gaia.

"Errr… intinya?" tanyaku simpel, berharap orang ini mampu menjelaskan semua hal tadi dengan hanya dua kata.

Orang itu masih menyeringai sembari menunjuk barisan Naruto sembari berucap, "Surga," dan ia menunjuk wajahku, "Neraka."

Dan doaku terkabul. Dia menjelaskan semuanya secara singkat dan jelas hanya dengan kata –yang ironisnya sangat tidak enak didengar oleh telingaku.

"Begitulah, barisan itu," ia menunjuk lagi barisan Naruto, "orang-orang yang pada masa hidupnya cenderung berbuat kebaikan dan kebajikan dan beramal saleh dan blah blah blah."

Beberapa menit kemudian, "Dan mereka setelah ini akan memasuki sebuah alam baru untuk proses 'reformasi badan' mereka. Dan kau dan orang-orang di belakangmu ini," ia menunjuk barisanku, "Adalah orang-orang yang waktu di dunia berbuat dosa dan murtad dan kenistaan dan kebatilan dan blah blah blah."

Beberapa jam kemudian, "Dan keburukan dan kegelapan dan pemalsuan dan pemerkosaan dan blah blah blah."

Well, sekitar satu jam lagi dia baru selesai menyebutkan klasifikasi dosa kami.

"Dan setelah ini, kalian juga akan memasuki alam 'reformasi badan'."

Dosa? Pahala? Reformasi badan? Wotdepak sih!

Dan juga, apa katanya? Barisan ini adalah barisan pendosa dan penista dan pembatil (?) dan sebagainya? Dan aku termasuk dalam barisan ini?

Yang benar saja!

"Tentu saja benar," lagi-lagi dia mengerti pikiranku, yang kali ini memprotes keputusannya untuk memasukkanku ke barisan ini, "Kau, Uchiha Sasuke, membenci Kakakmu sendiri. Itu salah, tauk!"

Ya, well, memang. Tapi salah siapa? Siapa yang tiba-tiba minggat dari rumah dan membengkalai keluarga dan membuat Ibu menangis tersedu-sedu dan membuat perusahaan Ayah kolaps karena pewarisnya yang sedeng itu lebih memilih untuk kumpul dengan gengnya yang gelandangan itu* demi sebuah kata konyol yang bernama kebebasan?

Dan oh, tambah lagi.

Salahkan dia yang punya keriput di wajahnya dan membuat adiknya ini senantiasa dinistai oleh teman-temannya!

"Dan kau juga sering mematahkan hati seorang wanita."

Bohong!

Segila-gilanya aku, aku bukan psikopat yang membedah tubuh orang hanya untuk matahin hat-

"Kau playboy, Ya Tuhan, itu maksudku!" orang itu berucap lagi sembari memutar bola matanya, seolah meluruskan pikiranku tadi yang salah mengerti akan ucapannya.

Playboy?

Well… Aku bukan playboy. Aku tidak pernah pacaran, kok! Hanya main ke cewek itu dan cewek ini!

Hey, ada pepatah bahwa satu milik semua itu bagus, kan?

"Dan kau selalu bersikap dingin pada semua orang."

Tidakkah dia pernah berpikir tentang sifat alami manusia?

"Dan kau punya wajah-wajah gay."

"…"

Kupikir hal yang alami itu bukan sebuah dosa?

Dan aku BUKAN gay, damn it!

"Dan kau suka mengumpat."

Oh Jashin…

"Dan kau sesat, bertuhankan selain dari Tuhan yang seharusnya kamu sembah."

Dan beberapa jam lagi terhabiskan hanya untuk mendengarkan dia menyebutkan tuduhan-tuduhan –yang kupikir nonsense-nya kepadaku. Dari mulai membenci kakak lah, gay lah, hingga yang paling parah adalah bahwa aku mengaku-ngaku sebagai Nabi dan menyebarkan ajaran agama baru.

Wotdehel.

Jika orang ini petugas dari acara apapun yang kini tengah kujalani, kupikir dia hanyalah anggota asal comot saja untuk menggantikan orang lain yang seharusnya sekarang berdiri di depanku, dan yang penting, lebih berkompeten dan rasional daripada dia.

Karena, ayolah! Jangankan jadi Nabi baru, ngerjain ibadah saja aku tergantung mood!

"Hahaha… akhirnya kau mengakui kualitas keimananmu, ya, Uchiha?"

Shit.

Aku menoleh ke barisan di belakangku. Dan seketika merutuki kebodohanku sendiri saat otakku baru menyadari suatu fakta yang terpampang jelas di sini.

Barisanku amatlah berbeda dengan barisan Naruto.

Di sini, dari sekali lihat saja, semua juga tahu bahwa mereka –catat. Mereka. Bukan aku- memang punya tampang-tampang pendosa dan ahli neraka. Kulihat, mereka ada yang minum-minuman keras, berpelukan dan bermesraan dengan lawan atau sesama jenis, mengiris-iris pergelangan tangan sendiri, dan hal-hal nista lain yang merupakan syarat-syarat agar lolos masuk neraka. Sedangkan di barisan Naruto… well. Kalian bias bayangkan sendiri.

Dan aku membenci kenyataan bahwa aku termasuk golongan yang nista itu!

"Jadi intinya, aku akan masuk neraka, dan mereka," aku menunjuk Naruto dan barisannya, "Akan masuk surga?"

"Kurang lebih begitu!" ujarnya seolah senang bahwa sebentar lagi tubuhku mungkin akan dikuliti, digoreng, dipanggang, lalu di lempar ke anjing neraka.

Oh… jadi dia ini penjaga neraka dan cewek di depan Naruto itu penjaga surga?

Matching sih ama muka.

Di sana, muka ngademin dan di sini, di depanku, adalah muka-muka nyiksa dan nistain.

"Jaga pikiranmu jika kau tidak ingin mendapat perpanjangan hukuman."

Shit. Aku lupa dia ini separuh penjaga neraka dan separuh lagi keturunan Mama Laurent.

Aku terdiam.

Jadi ini semacam perjalanan roh sebelum mereka akan mendapatkan keputusan final akan nasib mereka? Perlahan-lahan, aku pasrah saja akan anggapan dan pernyataan bahwa semua orang di sini adalah roh.

Dan bahwa aku adalah roh pula.

Dan artinya, aku sudah bukan makhluk hidup lagi.

Ck! Siap-siap saja say hello pada api neraka dan trisula dari malaikat penjaganya.

"Aku tak pernah bilang 'ya' atas pertanyaanmu tadi, Uchiha," lanjutnya.

Aku menaikkan sebelah alis, "Maksudmu?"

"Aku tidak pernah mengatakan bahwa aku memberikan pembenaran terhadap eksistensi surga dan neraka," ujarnya sembari menyeringai, "Hanya saja, seperti yang kubilang, sehabis ini kau akan memasuki alam 'reformasi tubuh'."

Aku semakin tidak mengerti.

Dan aku rasanya ingin saja mengakhiri semua ini. Sudah berbelit, udaranya panas pula!

"Tapi aku heran, biasanya semua roh di alam ini sudah mengetahui siapa mereka dan untuk apa mereka berada di sini, atau setidaknya mengingat apa sebab kematian mereka."

Dan yah, aku bukanlah klasifikasi dari roh itu.

Aku ini roh amnesia dan buta arah mungkin.

"Tapi kau….," orang itu menatap lekat-lekat ke kedua mataku sembari sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku, "Pasti ada sesuatu."

Aku mengernyit heran, merasa bahwa semua ini sudah mulai semakin tak bisa diterima oleh akal sehat.

"Tapi ya sudahlah, itu bukan urusanku. Urusanku hanyalah untuk memeriksa sejarah kehidupanmu dan sebodo amat dengan diri dan mentalmu."

No wonder kalau dia ditunjuk sebagai pemeriksa pintu masuk ke nerak– apapun itu namanya!

"Memangnya, apa yang terjadi setelah ini jika kami tidak dimasukkan ke neraka?" tanyaku seolah-olah bilang 'Let me come to the hell, please?'

Dia menyeringai lagi, "Kau akan menjalani sebuah kehidupan baru."

Wait, maksudnya reinkarnasi?

Oh Jashi –Oh Tuhan, jika memang benar, ijinkan aku bereinkarnasi sebagai anak Obama dan kekasih masa depan anak dari Prince Willam dan Kate.

"Bukan reinkarnasi," ralatnya sembari masih menyeringai.

So?

Dia kembali mencondongkan tubuhnya ke arahku dan berucap dengan intonasi lebih rendah, "Kau akan menjadi Iblis, Uchiha."

-oOo-

*Anggap saja gengnya Itachi itu bukan Akatsuki :D #plak

Yukeh: Jangan mengharap saya untuk update cepet, okiesh? Trust me, writing isn't as easy as imagining

Makasih banyak untuk semuanya ^^

Critism and comment are whole-heartedly appreciated.

October,

I love SasoSaku and SasuHina

~yukeh so sekseh (?)~