Suatu hari, turunlah titah dari seorang bocah ketua geng—Akashi Seijuurou.

"Nggak mau tahu, pokoknya mulai besok kalian semua harus puasa."

Midorima menjatuhkan boneka kodoknya.

'Klotakk!'

(Itu boneka atau patung kayu sih?)

Momoi ternganga lebar, seekor lalat berhasil menginvasi mulutnya dengan mulus.

"Uhuk—OHOK!"

Kise memiringkan kepala.

"Eh? Puasa itu apaan ya?"

Kuroko terdiam tanpa ekspresi.

"…."

Sementara Murasakibara tetap terus memakan jajannya.

"Kraus… Kraus…"

Dan Aomine? Sebagai bocah pemberani yang tahu betul apa artinya puasa bagi anak kelas tiga SD sepertinya,ia mulai melakukan tindak protes—

"Yang benar saja, Akashi—"

'Ckris!'

Gunting Akashi bersabda.

Dan Aomine bungkam selamanya.

(Baiklah ini pembukaan yang alay, kawan.)

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

30 Hari Puasa Bersama Kiseki no Sedai

By The Fallen Kuriboh

Chapter 1

Sehari Sebelum Perjuangan

Warning: AU, Somewhat ooc, kealayan tiada terkira, all characters in 3rd year of elementary.

Dan sungguh saya tidak bermaksud untuk melakukan pelecehan pada agama dan karakter manapun.

Masih di sebuah taman kota yang sepi. Akashi duduk di atas perosotan dengan enam bocah lain yang memijak tanah di bawahnya. Masih dengan gunting yang mengacung pada seorang bocah berkulit gelap.

Kembali pada sang bocah kelas tiga SD kece badai yang bernama Aomine Daiki. Masih bungkam, ya. Tak lupa dengan tetesan keringat dingin yang mulai membanjiri pelipisnya. Akashi bilang apa tadi—mulai besok mereka disuruh puasa?

Puasa yang mana dulu? Puasa Senin-Kamis? Puasa Daud? Puasa Qada`? Puasa Nazar?

(Aomine lupa—tepatnya tidak tahu—kalau mulai besok kalender sudah menunjukkan tanggal satu bulan Ramadhan.)

Dan kalau Aomine tidak salah ingat, yang namanya puasa adalah menahan lapar, haus dan hawa nafsu sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.

(Ternyata Aomine jago di pelajaran agama.)

Gile! Berarti besok siang Aomine bakal gagal makan jenang buatan neneknya dong?!

"Tapi Akashi-kun, puasa itu apa?" Kuroko kontan bertanya. Satu tangan terangkat dan dengan wajah polos yang tanpa dosa. Oh pantas masih ada yang santai-santai saja di sini. Ada yang belum tahu tentang puasa rupanya.

"Tetsuya, puasa adalah tindakan menahan segala lapar, haus, dan menahan hawa nafsu sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari." Akashi menjelaskan. Aomine berasa déjà vu dengan penjelasanAkashi yang persis jiplak buku agama, sementara Kuroko dan Kise mangut-mangut.

"Eh, tapi kalau begitu—berarti kita tidak boleh makan dan minum sampai malam dong?" Kise mulai menambahkan satu pertanyaan. Akashi hanya menjawab dengan anggukan singkat.

Seketika itu juga, Murasakibara menjatuhkan bungkusan jajanannya.

Nah lho ya, ternyata Murasakibara juga belum tahu artinya puasa. Pantas saja tadi ia tetap mengunyah jajan dengan santai sementara Akashi baru saja mendeklarasikan pencabutan hak asasinya untuk makan jajan di siang hari selama sebulan penuh.

"Akashi, aku tahu kalau besok sudah memasuki bulan Ramadhan, tapi bukankah sebenarnya kita masih belum diwajibkan puasa? Kita kan belum baligh?" Midorima—seperti biasa—berusaha untuk ngeles. Mata Akashi mulai memicing saat mendengar usaha bela diri tersebut.

"Mi-Midorin benar! Kita kan masih anak-anak, jadi tidak wajib puasa `kan?" Momoi ikut membantu Midorima.

"Ini sebagai latihan puasa agar kalian siap di tahun-tahun mendatang. Dan kalian lupa ya—kalau kita puasa, kita akan mendapatkan pahala tahu! Mana ketaatan kalian sebagai umat islam? Aku tidak mau tahu, pokoknya mulai besok kita semua harus puasa sebulan penuh!" Akashi duduk menyilangkan kaki sembari mengacung-acungkan guntingnya. Aomine berdoa: 'Semoga Akashi kepleset dari perosotan, semoga Akashi kepleset dari perosotan—'

(Sialnya doanya kurang kuat. Akashi tak kunjung terpeleset.)

"Eeeh? Sebulan penuh? Kalau yang lagi datang bulan gimana dong?"

"Satsuki, tadi kau sendiri yang bilang kalau kita masih anak-anak. Dan anak-anak tidak mengalami datang bulan, kau tahu."

Akhirnya Momoi ikut mundur di sebelah Midorima. Susah memang unutk ngeles dari sang raja gunting.

"Ngomong-ngomong Akashicchi, kita puasa setengah hari atau sampai Maghrib?"

"Puasa Maghrib."

Dan pertanyaan Kise makin memperburuk keadaan.

Aomine menangis dalam hati.

Baru saja tadi ia memberitahukan pada orang tuanya bahwa mulai besok ia akan menjalankan ibadah puasa—dan seketika itu pula mereka histeris dan menangis haru. Ayahnya berkata akan betapa bangganya ia memiliki anak sholeh seperti Aomine, dan Ibunya—sambil menghapus linangan air mata haru—berkata bahwa ia akan memasakkan masakan istimewa untuk sahur dan buka selama sebulan penuh. Khusus demi anak mereka.

Jujur Aomine sangat senang dengan perhatian kedua orang tuanya. Namun di satu sisi ia juga miris bila membayangkan hari esok. Tak akan ada roti, permen karet, cokelat, majalah porno—

—ups, Aomine masih terlalu kecil untuk memiliki benda yang terakhir.

Ketika Aomine sudah berada dalam posisi nyaris sakit jiwa, sebuah telepon dari Akashi datang memanggil nomor rumahnya dan Aomine seolah kembali terhantam realita tatkala ternyata Akashi meneleponnya untuk mengingatkan tentang 'besok', 'puasa', dan 'jangan lupa bangun untuk sahur'.

Berjuanglah Aomine, tiga puluh hari itu tidaklah singkat.

"Jadi besok kau mulai ikut puasa, Kuroko?"

Bocah berambut biru langit itu mengangguk pelan.

"Wah, makin lama kau makin pintar saja ya Kuroko!" Sebuah tangan mampir sejenak di atas kepalanya. "Jangan khawatir, mulai besok aku juga akan puasa seperti tahun-tahun sebelumnya kok. Sudah ya Kuroko, aku pulang dulu. Nanti Alex bakal marah kalau aku belanjanya kelamaan."

"Dah, Kagami-kun…"

"Besok aku jemput pas berangkat sekolah."

"Uhn."

Satu lagi lambaian tangan dan bocah crimson yang bernama Kagami itu beringsut pulang. Kuroko kecil masih memandangi punggung tetangga sebelah rumahnya itu hingga terbenam di balik pintu rumah keluarga Kagami.

Kagami sudah pulang sekarang.

Baiklah.

Oke…

'Hngggghhh aku dipuji Kagami-kuuunnnn~ X/DDD'

Kuroko salting dan menggeliat malu sendiri di halaman rumahnya. Sambil selebrasi dengan ekspresi datar, bocah kelas tiga SD itu turut masuk ke dalam rumah. Di ruang makan, Ayah dan Ibunya hanya mengangkat alis heran sembari mempertahankan poker face mereka. Benar-benar keluarga stoic yang kompak.

"Tetsu-chan, telepon dari Akashi-kun."

"Iyaaa."

(Jadi, ternyata Kuroko kecil kita sedang memendam rasa kagum yang cukup fanatik pada tetangga sebelah rumahnya, Kagami si anak alim.)

"Hee? Seriusan nih Shin-chan?!"

"Aku serius."

"Jadi mulai besok kalian semua puasa dong?"

"Seperti yang kubilang nanodayo."

"Hahaha, kalian miris deh. Untung aku nggak masuk anggota geng Kiseki no Sedai kalian—"

'TWITCH!'

"Mulai besok kamu ikut puasa."

"…Eh? Kok gitu?"

"Urusai, nanodayo. Lagian kamu juga biasanya akrab sama Akashi kan? Itu artinya kamu juga harus ikutan sama rencananya Akashi nanodayo. Pokoknya besok kamu juga harus ikutan puasa. Titik."

"Eee? Tapi Shin-chan…"

"Oyasumi, Takao. Besok jangan lupa bawa catatan matematikaku."

"Shin—"

'Klik!'

Midorima menutup telepon dan beranjak menuju kamarnya, sama sekali tak mengetahui akan fakta bahwa di seberang sana Akashi sedang emosi karena teleponnya tak kunjung sampai ke rumah Midorima—melainkan teralih ke nada sibuk.

(Bila pengikut Akashi adalah seluruh anggota Kiseki no Sedai, maka pengikut Midorima adalah Takao.)

"Mama, mulai besok Kise mau puasa." Kise menarik lengan baju Ibunya sembari mengutarakan niatnya untuk (ikut-ikutan) puasa.

Sang wanita paruh baya yang masih terlihat sibuk dengan pekerjaannya itu mengangkat alis heran.

"Lho? Ryou-chan bener mau puasa?"

"Iya, disuruh sama Akashicchi soalnya."

Sang ibu hanya tersenyum miris. Entah seberapa besar pegaruh bocah bernama Akashi itu pada anaknya (dan anak-anak bernasib naas lainnya).

Dan baru saja dibicarakan—ponsel Kise berdering.

"Eh? Akashicchi?"

Ternyata Akashi rajin juga, menelepon semua anakbuahcoret temannya.

Sementara itu, sang bocah kelas tiga SD super tinggi bernama Murasakibara Atsushi tergolek lemas tak berdaya dalam kamarnya. Ia depresi, pemirsa. Mulai besok sampai tiga puluh hari ke depan ia akan dipisahkan dari pocky, chiki, choki-choki, dan jajan kesukaannya yang lain.

Tak ada cemilan pagi hari, tak ada cemilan siang hari, tak ada cemilan sore hari.

Murasakibara akan hidup sendirian di tengah kehampaan lambung dan raungan usus yang menggila.

Kemudian karena saking depresinya, Murasakibara pingsan di kasurnya tanpa tahu kalau sesudahnya Akashi menelepon rumahnya.

Yang sabar ya, Murasakibara.

Sekarang sudah memasuki tanggal satu Ramadhan, jam tiga pagi.

Aomine Daiki menelan ludah, di hadapannya ada hidangan istimewa buatan sang Ibu. Ada sup asparagus, lasagna, ikan bakar bumbu rujak, sambal lalapan, dan jus mangga.

(Perasaan tiga makanan terakhir itu kayak berasal dari Negara manaaa gitu. Itu, Negara yang presiden pertamanya sempat ada affair sama adiknya bapaknya pakdenya keponakannya ibunya si—

—oke, cukup. )

Sang bocah berkulit gelap itu makan dengan membabi buta seolah tak ada hari esok. Selagi ada waktu untuk makan, embat saja semuanya—begitu pikirnya. Lima mangkok sambal ia lahap habis bersamaan dengan tujuh gelas jus mangga favoritnya. Entah berapa kali piringnya penuh dan habis berturut-turut dengan kecepatan suara. Bahkan ayah dan ibunya hanya bisa menatap keki tanpa ikut makan satu suap pun.

(masalahnya yang dari tadi dilahap Aomine itu cuma sambal tanpa tambahan nasi ataupun lauk.)

Mungkin maksud Aomine tidaklah salah: makan sebanyak-banyaknya untuk menimbun cadangan makanan hingga malam nanti. Namun kita semua tahu bahwa agama islam tidak mengajarkan akan keserakahan dan sesuatu yang berlebihan.

(Tapi juga jangan cuma makan sambal doang, kali.)

Maka dari itu (mungkin) Aomine akan terkena batu nantinya.

Dan ternyata, Aomine memang terkena hukuman Tuhan.

Tepat di pagi harinya, Aomine menderita diare hebat. Sudah enam kali ia bolak-balik ke kamar kecil di pagi ini. Tubuhnya pun lemas dan makanan sahurnya tadi terbuang sia-sia. Nah, karena hal inilah agama islam mengajarkan untuk tidak melakukan segala sesuatu secara berlebih-lebihan.

Harusnya Aomine istirahat di rumah untuk saat ini. Namun berhubung ia takut pada ancaman gunting dan sadar betul bahwa ini adalah akibat dari kelalaiannya sendiri, maka sang bocah berambut navy itu nekad berangkat sekolah dengan keadaan usus besar yang bagaikan jalur tol: melewatkan isinya dengan sangat cepat dan lancar.

Dengan keadaan hari pertama yang sudah miris seperti ini, mampukah Aomine dan kawan-kawannya bertahan hingga tiga puluh hari ke depan?

To be continued

A/N: Maafkan saya. /sujudsembahsujud

Saya tahu, di satu sisi ini rasanya saya agak menistakan agama sendiri juga orz orz orz Tapi sumpil, seriusan, saya di sini bermaksud buat merayakan bulan Ramadhan (halah) dengan membawakan cerita bernilai moral yang diliputi humor seperti biasa. /diinjek /mati

Intinya sih nilai moralnya ya itu: Jangan melakukan hal apapun dalam kadar yang berlebihan. (yang sekolah di Madrasah ini sempat masuk kurikulum mapel aqidah akhlak lho. Yang materi tentang tabdzir itu kalo ga salah.)

Adapun fanfiksi tidak jelas ini diikutkan dalam rangka challenge ramadhan yang diusulkan oleh 'Shifak Aisyah Clamp Jumpers' dalam salah satu grup fanfiksi di facebook. (sebut nama ga pa pa tuh?)

Dan sekali lagi, maafkan saya. Butuh courage agak banyak buat bikin multichap lagi hahaha. (halah bikin twoshots aja pake alay kamu)

Ada kritik dan saran? Silahkan sharing di kotak review~ plok!

Grant your wish, take your heart

The Fallen Kuriboh