Rancangan hidupku sempurna. Aku telah memikirkan bagaimana langkahnya menuju masa depan yang sempurna. Lahir di golongan keluarga berada, garis keturunan yang sempurna, memiliki otak yang jenius –semi idiot sebenarnya-, bukankah aku termasuk dalam pria idaman para wanita?

Dan aku telah menyusun langkahku kedepannya. Aku akan menamatkan pendidikanku d Busan, tempat aku tinggal sejak lahir. Lalu aku akan ke Seoul untuk melanjutkan pendidikan di salah satu universitas ternama. Kemudian aku akan mencari pekerjaan yang terbaik di Seoul, dan menikah.

Semuanya begitu sempurna.

Sampai badai itu datang, badai yang menghancurkan semua rencana indahku.

Aku tahu, hidup tidak akan berjalan seindah drama percintaan yang sering di tonton oleh sahabatku.

Hidup itu akan berputar, dan mungkin inilah saatnya aku berada di bawah. Dan merangkak naik untuk mendapatkan kembali kehidupan sempurnaku.

Semuanya terjadi begitu saja. Ayah ternyata memiliki anak dari wanita lain.

Ketika anak lelaki itu datang, mengatakan dengan lantang, "aku Park Jimin, ibuku mengatakan bahwa ayahku adalah Kim Daehyun. Aku ingin tinggal bersama ayah, dan mungkin juga dengan keluarganya," suasana hangat dirumahpun seketika berubah.

Dalam sehari, keluarga bahagiaku berubah menjadi keluarga yang menyeramkan.

Terdengar klise memang.

Hanya karena kedatangan Park Jimin yang tiba-tiba berdiri di depan pintu rumah, sambil membawa sebuah koper besar dan menggendong ransel di punggung kecilnya. Keluargaku yang hangat pun terancam -benar-benar akan hancur- dan hal lain yang tidak bisa kubayangkan.

Park Jimin, pria mungil dengan pipi bulat berisi, serta mata yang berbentuk bulan sabit ketika ia tersenyum.

Ku rasa umurnya berada di bawahku.

Jimin duduk dengan manis di sofa, sambil melihat sekeliling rumah dengan tatapan kagum.

Samar-samar aku mendengar suara ribut dari lantai atas. Pasti ayah dan ibu bertengkar karena hal ini. Aku mendesah pelan, lalu mengetikkan sebuah pesan di ponselku.

To: KookiesHei, aku butuh tempat bersandar sekarang.

Lalu mengirim pesan itu ke sahabatku. Aku mengalihkan pandangaku ke arah lantai atas lagi. Terdengar suara ibu berteriak. Ayah dan ibu tidak pernah bertengkar sebelumnya.

Mendengar mereka bertengkar, suara ibu yang berteriak dengan marah meski ayah berusaha menjelaskan situasinya, bukan hal yang aku sukai.

Aku lebih suka melihat ayah melemparkan gombalan mesum di pagi hari, lalu ibu akan memukul kepala ayah dengan pelan sambil menggerutu dengan nada marah. Lalu aku akan ikut-ikutan menggoda ibu.

"Hei, kita belum berkenalan. Namaku Park Jimin. Aku rasa aku lebih kakak darimu," aku mendengar suara yang sedikit cempreng dari arah pria mungil itu.

Sebentar? lebih kakak dariku? Yang benar saja. Apa dia tidak bisa berkaca untuk melihat tubuhnya mungil?

"Ah benar, namamu Kim Taehyung bukan. Ibu pernah bilang kalau ayah punya anak yang bernama Kim Taehyung. Ibu bilang aku lahir lebih dulu darimu."

Tsk, apa dia tidak punya rasa malu. Apa dia tidak mendengar suara ribut dari lantai atas?

"Pergilah," ujarku dengan nada dingin.

Jika saja dia tidak muncul dalam situasi seperti ini, mungkin kita akan menjadi teman baik.

"Pergi? Kemana? Aku harus tinggal dengan ayah."

"Pulanglah ke tempat ibumu, jangan menghancurkan keluargaku."

Tiba-tiba ekspresi wajah Jimin berubah menjadi murung, apa aku salah bicara?

"Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain ayah," ujarnya dengan nada pelan.

"Jika memang kau sudah tidak punya siapa-siapa lagi, seharusnya kau pergi bersembunyi dan menghilang. Bukan datang dan menghancurkan keluargaku. Kau pikir dengan datang kerumah ini sambil tersenyum manis, kau akan di terima dengan hangat disini? Hanya dua pilihannya, kau yang pergi atau tetap disini dan keluarga ini hancur. Toh apapun pilihanmu, keluarga ini pasti akan hancur."

"Maafkan aku," lirihnya pelan. Sambil menunduk dan memainkan jari-jarinya.

Aku pun berdiri dari dudukku dan menunjuk pintu, "JIKA KAU INGIN MINTA MAAF, PERGILAH DARI SINI SECEPATNYA!" sial, aku jadi berteriak karena marah.

Plak.

Aku memegang pipiku yang memerah. Sejak kapan ayah ada di sini? Aku kira mereka masih bertengkar di atas sana. Pipiku terasa perih.

Aku melihat ke arah ibu yang terlihat habis menangis, dengan mata bengkak dan juga wajah yang murung. Lalu aku melihat ke arah ayah yang terlihat shock karena habis menamparku.

Ayah menamparku, dia yang selalu menyayangiku. Dia yang tidak pernah memukulku.

Ibu terlihat berjalan dengan cepat ke arahku, lalu mengusap pipiku yang masih perih.

"Hanya karena anak itu, kau sudah berani menampar putraku. Baiklah, kita akan bercerai. Kau bisa hidup bersama putramu, dan aku akan pergi dengan Taehyung."

Aku masih terdiam, apa yang ibu bilang? Bercerai? Tidak, aku tidak mau mereka berpisah.

"Baek, tidak seperti ini. Jangan pergi. Kita bisa menyelesaikan semuanya dengan baik-baik oke. Jangan bawa Taehyung, aku minta maaf telah menamparnya. Aku tidak sengaja. Sungguh."

Ku rasakan ibu menarik tanganku pergi, melangkah menuju pintu keluar. Ibu membawaku masuk ke dalam mobil miliknya.

Aku duduk dan terdiam di kursi. Dalam beberapa jam, semuanya berubah. Ibu meninggalkanku yang terdiam di dalam mobil, masuk kembali ke dalam rumah. Melangkah melewati ayah yang masih berusaha menjelaskan pada ibu.

Beberapa saat kemudian, ibu kembali sambil membawa sebuah koper besar dan tas besar. Lalu memasukkan kedua tas itu ke bagasi. Ku dengar suara pintu bagasi tertutup dengan keras.

Apa ini sungguhan? Apa benar ayah dan ibu akan berpisah?

Ibu masuk ke dalam mobil dan mulai menyalakan mesin mobil, terdengar suara ayah yang berteriak memanggil nama ibu sambil menepuk-nepuk kaca jendela mobil.

Tanpa menoleh ke arah ayah, ibu menjalankan mesin mobil dengan laju yang tidak bisa dibilang pelan –atau standar mungkin-.

"Tidurlah, kita akan pergi ke rumah nenek. Ibu akan mengurus semuanya, kita akan baik-baik saja," ku dengar suara ibu bergetar, menahan tangis.

Kerumah nenek? Itu artinya aku akan ke Daegu? Apa aku harus pindah sekolah? Bagaimana dengan rancangan hidupku? Apakah aku bisa melanjutkannya? Bagaimana aku bisa tertidur, jika aku baru saja selesai sarapan 2jam yang lalu? Bagaimana aku bisa tertidur jika aku mengkhawatirkan ibu yang sedang dalam amarah.

*

Menjelang malam, kami sampai di rumah kakek dan nenek. Begitu turun dari mobil, ibu langsung memeluk nenek sambil menangis.

Sepertinya ibu sudah menceritakan sedikit ke nenek saat menelpon di rest area tadi.

Kakek menghampiriku yang baru saja turun dari mobil dan merangkulku dengan hangat.

"Taehyungie lelah? Sudah makan?" bertanya dengan nada lembut padaku.

Aku hanya mengangguk dalam diam. Aku lelah, tentu saja. Tapi aku masih tidak bisa menerima semua yang telah terjadi. Untuk sekian kalinya, aku berharap ini mimpi.

"Aku ingin tidur saja, kek," gumamku pelan.

Kakek tersenyum maklum, "baiklah. Tidur di kamarmu yang biasa. Nenek sudah membersihkannya tadi."

Aku mengangguk lagi, dan melangkah dengan pelan masuk ke dalam rumah. Samar-samar aku mendengar suara tangisan ibu ketika aku sedang melepaskan sepatu. Aku tidak suka mendengar ibu menangis.

Ku rasakan tepukkan pelan di pundakku, tepukan menenangkan.

"Naiklah, semuanya akan baik-baik saja besok."

*

Aku membaringkan tubuhku di kasur, melihat ke arah langit-langit. Ah, sudah berakhir, keluargaku yang hangat. Aku mengeluarkan ponsel dari saku celanaku.

Kulihat ada banyak pesan masuk dan panggilan tak terjawab dari sahabatku, Jungkook. Gadis tomboy manis yang selalu menjadi teman terbaikku -mungkin lebih-.

Ah benar, dia pasti mencariku.

Ku putuskan untuk menelponnya, baru terdengar satu kali bunyi sambungan, dia sudah menjawab panggilanku.

Rupanya dia terus melihat ponselnya, tipikal Jungkook sekali jika sedang khawatir karena seseorang.

"Kau kemana saja, aku mencarimu kerumah lalu paman bilang kau pergi. Lalu ada laki-laki pendek dirumahmu, siapa dia? Kau ada masalah? Kenapa mengirimku pesan seperti itu, membuat khawatir saja."

Lihat, dia pasti mengomel dan memberikan pertanyaan-pertanyaan tanpa henti.

Aku tertawa pelan, "Aku di Daegu sekarang. Maaf tidak sempat membalas pesanmu, semuanya terjadi begitu cepat."

"Kau baik-baik saja? Aku mendengarnya dari ibuku, mereka semua sibuk bergosip saat ini."

"Tubuhku baik-baik saja, tentu saja," lalu terdengar teriakkan marah.

"Jawab serius, Taetae."

"Tentu saja tidak."

"Kau ingin aku pergi kesana? Aku bisa meminta ijin pada ibu untuk ke Daegu dengan bus atau kereta pertama besok."

"Tidak perlu, aku yakin semuanya akan mulai membaik. Ibu bilang dia akan mengurus semuanya. Aku rasa, aku akan pindah sekolah juga."

"pindah? Jadi kita akan berpisah?"

Aku tertawa, "hanya sementara. Kita akan bertemu lagi di Seoul. Oke?"

Jungkook hanya bergumam tanda mengiyakan.

"hei, tapi aku belum sempat menyalin PRmu. Bagaimana PRku untuk besok? Haruskah aku pergi ke Daegu besok dan lolos dari PR?"

"jika kau datang kesini dengan alasan seperti itu, aku akan menendang masuk kembali ke dalam kereta," ujarku dengan nada pura-pura marah. Lalu terdengar suara tawa dari seberang.

Aku pasti merindukan wajah manisnya dan senyum kelincinya.

"apa kau beneran tidak akan kesini lagi? Mungkin untuk perpisahan dengan teman sekelas atau yang lainnya? Aku yakin besok pasti sangat heboh di sekolah, aku juga mendengar akan ada murid baru besok di sekolah. Aku mendengarnya dari ayah."

Ayah Jungkook adalah guru di sekolahku. Tidak heran jika Jungkook sudah tahu kabar seperti itu.

"Aku tidak tahu. Sampaikan saja salam dariku untuk teman-teman. Kookies, kurasa aku akan tidur. Lelah sekali."

"baiklah, tidur yang nyenyak TaeTae-nim," candanya. Aku hanya tertawa lalu memutuskan sambungan telepon.

Ketika aku hendak menyimpan ponselku di meja, sebuah pesan masuk dari Jungkook.

From: KookiesHei, kirimkan jawaban soal PR untukku.Aku benar-benar belum mengerjakannya :D Dan jangan lupa minum susu sebelum tidur, biar mimpi indah :p

Aku tertawa membaca pesan darinya. Dia selalu bisa menghiburku.

Ku harap semuanya akan membaik. Semoga.

Tanpa kusadari bahwa ini baru awal dari perubahan besar dalam hdupku.

.

.

.

.

.

Tbc...

Yeahhhh, i hope you will like that.. Tidk bisa di pastikan kapan lanjut. Doakan agar bisa secepatnya.

Thank you...