.

.


Country Roads, Take Me Home


.

17 © Pledis Entertainment

Kim Mingyu x Jeon Wonwoo. Yaoi. Highschool, growing up together, friendship

Setting: Cheongsanmyeon, Wando; Seoul

plot is mine

.


1 of 7 : Take me back to the mountain where our heart is still young


a.n. alur maju mundur. perhatikan tanggalnya. enjoy^^


16 Juli 2024 11:07

"Apa aku perlu menjemputmu di dermaga?"

Mingyu bisa mendengar suara lelah Minseo di ujung lain telepon, begitu juga nada keberatan yang secara tak langsung tersirat. Mingyu tidak akan menyalahkannya untuk itu. Mungkin dia mengalami hari yang panjang—meski itu masih pukul sebelas—dan menyelipkan menjemput kakak laki-lakinya dari dermaga ke dalam jadwalnya yang padat sama sekali tidak terdengar menyenangkan. Mingyu sama sekali tidak ingin mendengar Minseo mengoceh tentang betapa lelahnya dia dan seberapa menyusahkan memiliki Mingyu sebagai kakak laki-lakinya. Setelah tumbuh dewasa, Mingyu menyadari kalau adik perempuan yang sangat bergantung padanya sepuluh tahun lalu sudah berubah menjadi monster penggerutu. Mingyu bersumpah adiknya jauh lebih manis dulu saat dia tidak mau berpisah dengan Mingyu bahkan jika kakaknya menginginkan sedikit waktu sendiri dan privasi dengan pacar (atau apapun dia menyebutnya) di sekolah menengah.

Mingyu sedikit tersenyum mengingat masa itu. Tahun-tahun yang sudah berlalu dan kota yang dia tinggalkan. Minghao di sebelahnya memberi pandangan aneh beserta cibiran. Mingyu hanya mengedik dan Minghao menggeleng, matanya menghakimi, Mingyu yakin dia mengucapkan sesuatu di bawah nafasnya. Sesuatu yang terdengar seperti "Aneh seperti biasa. Dasar pesakitan." Jihoon tertawa di sebelahnya.

Memilih fokus pada pembicaraan dengan Minseo, Mingyu mengabaikan perilaku yang seharusnya sangat menyinggung dari dua temannya. Dia tidak ingin menguji kesabaran Minseo dengan terlalu lama menggantungkan pertanyaannya. "Tidak usah," katanya pelan.

"Hm?" Mingyu membayangkan Minseo dengan dahi menekuk di seberang telepon. Memeriksa lembar ujian para siswa yang biasanya lebih banyak berisi omong kosong. Saat masih menjadi siswa, Mingyu juga suka melakukan hal serupa dulu. Sengaja mengumpulkan essai yang sama sekali tidak relevan dengan topik yang diminta. Dia memang sangat payah kalau sudah berhubungan dengan kata, tidak seperti seseorang yang dia kenal. "Lalu bagaimana kau mau ke rumah? Lagipula ibu dan ayah pasti sudah di toko jam segini. Kau tidak punya kunci."

"Uh soal itu," kata Mingyu. Merasa bersalah untuk alasan tertentu. Sudah setengah tahun lebih sejak dia terakhir kembali ke rumah. Minseo dan orangtuanya sangat gembira ketika dia menelepon dua hari lalu mengatakan kalau dia akan berkunjung beberapa hari untuk liburan musim panas. Satu detail yang lupa dia bertahu adalah bahwa rumah tidak akan menjadi tujuan pertamanya. "Kau tahu kalau Seungkwan dan Seokmin baru kembali dari world tour kan?"

"Ya?" Mingyu bisa merasakan kebingungan dalam satu silabel itu. Satu alis Minseo pasti menukik tajam, memandang pekerjaan siswanya seolah selembar kertas itu yang sudah menyalahinya, bukan perkataan saudara laki-lakinya yang berbelit-belit.

"Dan Jeonghan hyung akhirnya bisa mengambil cuti. Soonyoung bisa meninggalkan studio beberapa hari. Jun hyung menggantikannya selama dia tidak ada."

Minseo nampaknya segera menangkap korelasi dari waktu luang setiap orang yang disebut itu sebab dia berkata, "Begitu juga denganmu. Restoran akan ditangani Minghao selama kau di sini?"

"Umm tidak juga. Dia ikut denganku. Jihoon hyung juga. Kau harus membersihkan kamar tamu di lantai satu untuk mereka nanti malam ngomong-ngomong."

Minseo mendengus, namun tidak menolak. "Jadi ada siapa di restauran?"

"Mingming. Dia sous chef(1) yang baru."

Minseo menggumam mengerti. Mungkin seraya mengangguk dan bersantai di kursinya. Memilih mengabaikan sepenuhnya tumpukan lembar ujian yang harus dia selesaikan. Suara deritan kursinya ketika diputar terdengar sampai ke Mingyu membuat pemuda itu ngilu. "Dan Seungcheol oppa ada di sini sepanjang tahun."

Seungcheol adalah satu-satunya yang menetap di Wando setelah periode sekolah menengah atas yang kacau. Dia selalu bisa meluangkan waktu untuk siapa pun yang memutuskan berkunjung ke pulau jika mendapat liburan—satu-satunya yang berkunjung secara teratur adalah Mingyu—dan dia lebih dari sekedar gembira dengan rencana besar mereka hari ini. Ini akan menjadi pertama kalinya mereka semua berkumpul sejak kelulusan. Yang biasanya paling sulit untuk menyesuaikan jadwal adalah Seokmin dan Seungkwan, mengingat dua orang itu sekarang menjadi penyanyi terkenal dengan permintaan tinggi di ibukota, mengeluarkan album baru setidaknya dua kali dalam satu tahun, syuting di sana sini, berkeliling dunia, dan sibuk sepanjang tahun. Lalu ada Jeonghan hyung yang akhirnya kembali menjalin kontak setelah menghilang cukup lama. Mingyu senang mereka akhirnya bisa meluangkan waktu untuk ini.

Minseo bertanya lagi. "Jadi kalian memutuskan reuni sekarang? Hari ini?"

"Yap."

"Pantas Seungcheol oppa sibuk beberapa hari ini."

Mingyu tidak membalas. Dia mengintip keadaan dua temannya, memastikan mereka tidak punya agenda buruk sementara dia bicara dengan adiknya. Tidak ada yang tahu hal mengerikan apa saja yang bisa ada dalam kepala dua orang itu kalau sedang bersama. Namun yang dia lihat adalah Jihoon dan Minghao sedang tertidur dengan kepala saling bersandar. Meski baru beberapa detik lalu didengarnya bisik-bisik mereka.

Sambungan teleponnya sedikit senyap selama beberapa detik, menandakan kediaman kedua pihak yang terlibat. Lalu dia mendengar suara kertas diremas—mungkin ada siswa yang bercanda keterlaluan di kertas ujiannya—sebelum Minseo membuang nafas lelah dan bertanya. "Bagaimana dengan Wonwoo? Apa dia juga datang?"

Ada sedikit kepahitan dalam pertanyaan itu. Terkadang Mingyu bertanya apa yang dipikirkan adiknya tentang Wonwoo sekarang. Setelah sepuluh tahun lamanya pemuda itu menghilang dari radar. Setelah sepuluh tahun Minseo melihat punggungnya yang dingin dihadapkan ke arah pagar rumah Mingyu yang menutup, suara tapak kakinya perlahan hilang di ujung jalan, dan mereka berdua hanya terdiam menatap tubuh kurusnya yang dibalut sweater kebesaran menghilang ke dalam gelapnya jalan 72. Mingyu ingat menggenggam tangan Minseo sangat erat, seolah jika dia tidak melakukannya seluruh dunia akan runtuh. Minseo masih dua belas saat itu, belum cukup bijak untuk memahami keputusan-keputusan yang diambil orang dewasa—padahal Wonwoo dan Mingyu juga belum cukup dewasa—atau kenapa mereka melakukan banyak hal yang mereka tahu menyakitkan. Mungkin masih ada sedikit rasa benci yang tidak tersingkirkan sepenuhnya demi kebaikan dari hati adiknya. Biar bagaimana pun Minseo tidak bisa melupakan begitu saja bagaimana kakak laki-lakinya dengan tinggi seratus delapan puluh sentimeter hanya duduk merenung di kamarnya seperti anak anjing yang terabaikan karena seorang Jeon Wonwoo yang seluruh dunianya berputar hanya pada dirinya sendiri.

Tapi itu sudah sangat lama berlalu. Dan Mingyu tidak pernah menyalahkan Wonwoo untuk itu. Bahkan di saat hati dan seluruh jiwanya terasa tercabik menjadi jutaan keping tak berbentuk pada hari Wonwoo membantingnya tanpa konsiderasi ke atas karang-karang di bawah jurang Cheongsan. Dia tidak pernah berhasil membencinya. Dia tidak bisa melakukannya. Karena bagaimana bisa dia menyalahkan Wonwoo yang memilih menjadi dirinya sendiri dan terus berdiri tegak dengan pendiriannya? Wonwoo is his own free person. Mingyu tidak bisa dan tidak akan mengambil itu darinya. Lagipula seklise ini kedengarannya, Mingyu adalah percaya bahwa segala sesuatu terjadi karena alasan tertentu. Mungkin jika Wonwoo tidak menghancurkan hatinya pada musim panas terakhir itu, Mingyu akan selamanya tertahan di sini. Tetap menjadi dirinya yang tidak memiliki motivasi. Melanjutkan usaha ayahnya mungkin, atau bertani, membuat kimchi setiap musim dingin, atau lebih parah: menjadi anak buah Seungcheol. Dia bersyukur itu tidak menjadi jalan akhirnya.

Mingyu berharap Minseo akhirnya akan mengerti itu. Terutama setelah dia dewasa. Mingyu membuang nafas perlahan. "Kau sadar kalau kau tidak bisa selamanya membencinya kan?"

"Memangnya siapa bilang aku benci dia?" Mingyu bisa mendengar putaran bola mata adiknya dari ketus pertanyaan itu. "Dia mengirim tiga ratus kopi bukunya gratis untuk kuberi pada anak-anak. Mana mungkin aku membenci Wonwoo? Kau harus berhenti berasumsi seenaknya tentang perasaan orang lain."

Shit.

Mingyu melakukannya lagi. Minseo benar. Dia seharusnya berhenti melakukan hal-hal seperti itu. Tidak hanya sekali dia terlibat dalam situasi tidak nyaman karena kebiasaannya yang satu ini. Mingyu pikir setelah semua waktu yang berlalu dia sudah sedikit berubah. Berubah menjadi lebih baik. Namun beberapa kebiasaan ternyata tidak mati semudah itu meski dia sudah bukan lagi bocah berkulit coklat dan terlalu polos dari Wando. Mingyu yang sekarang adalah pria dua puluh tujuh tahun pemilik salah satu restoran terkenal seantero Korea, penghias tetap majalah-majalah kuliner, sesekali muncul di televisi nasional dan mencuri hati para gadis maupun orang tua. Tapi sepertinya biar bagaimana pun hatinya masihlah Mingyu tujuh belas tahun. Yang selalu merindukan pulau kecilnya dan sepenggal kisah yang dia bagi dengan seorang anak laki-laki.

Mingyu terkekeh memikirkan itu. Lipatan di dahi Minseo mungkin sudah bertambah hingga sepuluh kali lipat karena lagi-lagi tidak mengerti dengan isi kepala Mingyu. "Dengar, aku senang kau kembali setelah setengah tahun mengabaikan kami di sini dan aku sangat ingin membuat perayaan besar penyambutan Kim Mingyu yang agung, tapi aku tidak bisa bicara lebih lama di telepon. Kertas-kertas ini harus selesai kuperiksa sebelum istirahat berakhir kalau tidak mau kehilangan pekerjaanku." Salah satu kemampuan terbaik Minseo: melebih-lebihkan segala situasi sehingga terdengar lebih dramatis dari seharusnya. "Bersenang-senanglah dengan gengmu. Kalau sudah selesai nanti telepon saja lagi supaya aku menjemput kalian pulang ke rumah, oke?"

"Baiklah. Baiklah. Lagipula kurasa sinyalku juga akan hilang."

"Bagus. Kalau begitu aku tutup ya. Bye oppa. Aku menyayangimu."

"Ya, aku juga."

Dan sambungan mereka terputus. Mingyu melirik Jihoon dan Minghao lagi. Masih terlelap dalam posisi yang sama. "Katanya tidak mau melewatkan satu pemandangan pun. Ferri baru jalan sepuluh menit, kalian sudah tidur seperti orang mati," katanya meski tidak ada yang mendengarnya kecuali seorang wanita tua di sebelah jendela.

Mingyu memutuskan keluar ke dek kapal untuk menghirup sedikit udara segar dan mungkin menghidupkan kembali ingatannya dengan lautan yang sudah enam bulan tidak dilihatnya ini. Tidak seperti yang lain, Mingyu paling sering berangkat dengan ferri ini. Pulang ke rumah, di Cheongsanmyeon Wando. Seharusnya tidak ada yang berbeda dengan biasa, ferri yang ditumpanginya masih sama, air lautnya tetap hijau, langit di atasnya masih biru seperti setiap hari musim panas, tapi ada perasaan rindu yang kian berat kali ini. Seolah-olah dia akan pulang ke rumah pertama kali setelah sepuluh tahun. Meski dia tahu, di antara mereka semua, hanya Wonwoo seoranglah yang tidak menginjakkan kaki ke Cheongsanmyeon lagi semenjak kelulusan. Lagipula Mingyu ragu pemuda itu memiliki rasa rindu pada pulau mereka. Biar bagaimana pun Wonwoo hanya seorang pendatang. Dia tidak punya sentimen yang sama dengan yang lain terhadap kampung halaman mereka.

"Ini bukan tempatku. Aku tidak akan pernah kembali ke sini setelah lulus SMA." Wonwoo dulu selalu berkata seperti itu. Tapi tetap saja dia tidak menolak ajakan untuk melakukan reuni dan melanggar kata-katanya sendiri. Dia bahkan tanpa keraguan memberi persetujuan untuk hadir di acara ini. Mungkin sebagaimana Mingyu telah banyak berubah, begitu juga dengan Wonwoo. Mereka sudah menjadi dewasa sekarang. Hanya pemikiran itu saja sudah membuat seluruh dada Mingyu penuh dengan rasa yang tidak bisa dia beri nama.

Mingyu memasukkan dua tangan ke saku mantelnya. Kepala menengadah, langit biru Wando membentang luas di atasnya. Secerah bagaimana dia selalu mengingatnya.

Cheongsan, aku pulang.

.

.

.

Juni 2014

"Tinggallah, Won."

"Aku tidak punya alasan untuk tinggal, Mingyu."

"Kenapa tidak? Tempat ini baik untukmu. Bukankah kau sendiri yang bilang? Bukankah adikmu menjadi lebih baik di sini? Orang tuamu juga jauh lebih bahagia."

"Itu adalah mereka. Bukan aku. Aku... tempatku bukan di sini, di atas bukit mengawasi jalan yang tidak dilewati mobil. Changwon adalah rumahku."

Mingyu mendengus mengejek. "Changwon adalah rumahmu? Di antara orang-orang yang menyakitimu? Membuat Bohyuk menjadi seperti itu? Di rumah tempat orang tuamu hampir membunuh satu sama lain dan bercerai? Itu yang kau sebut rumah?"

Wonwoo mengeraskan rahangnya. Perkataan Mingyu menusuk tepat di ulu hati, tapi dia tidak goyah. Pendiriannya tidak goyah. Karena dia adalah Wonwoo. "Semua sudah berubah. Keadaan keluargaku sudah sangat baik sekarang. Dan aku tidak takut dengan apa pun lagi."

Mingyu berharap, sedikit saja melihat sesuatu selain kekeraskepalaan di mata Wonwoo, tetapi dia tidak menemukannya. Apapun yang dia katakan, Wonwoo tidak akan mengubah pendiriannya. Dia tetap akan meninggalkan Cheongsanmyeon. Meninggalkan Mingyu. Dalam kefrustasian, Mingyu mengacak rambutnya kasar. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya terus menarik rambutnya. Seperti seorang anak kecil yang merajuk karena tidak dituruti keinginannya.

"Aku punya sesuatu yang ingin kucapai. Dan aku tidak akan bisa melakukannya jika tidak meninggalkan Cheongsan. Pulau ini tidak bisa menawarkan apa-apa untukku, Mingyu. Aku tidak bisa tinggal."

"Tidak menawarkan apa-apa?" Kata-kata Wonwoo nyaris terasa lucu. Mingyu ingin tertawa miris. "Lalu bagaimana denganku? Aku bukan apa-apa?"

Untuk sesaat yang singkat Mingyu menyaksikan mata Wonwoo yang melebar. Mungkin sama sekali tidak mengharapkan kata-kata itu keluar dari mulut Mingyu. Ekspresi itu segera berubah menjadi sedih bercampur sesuatu yang diartikan Mingyu sebagai iba. "Oh, Mingyu," katanya. Dan Mingyu segera tahu bahwa dia sudah salah dan apa yang akan dikatakan Wonwoo setelah ini akan sangat menyakitkan. Wonwoo berbicara dengan lambat lagi, seperti berusaha memilih kalimat yang tepat. "Aku tidak... kita tidak seperti itu. Kau tidak bisa tiba-tiba melakukan ini. Itu tidak adil. Dan licik."

Seketika Mingyu merasa bodoh. Dia menghabiskan nyaris dua tahun dengan sia-sia jatuh cinta dan memberikan segala yang bisa dia tawarkan untuk Jeon Wonwoo yang dengan mudahnya hanya berkata 'kita tidak seperti itu'. Tidak seperti itu bagaimana?

"Mingyu, kau tidak bisa melakukan ini padaku." Wonwoo berbicara lagi. Suaranya terdengar memelas tapi Mingyu tidak tahu dia memelas untuk apa. Seharusnya Mingyu yang ingin menangis sekarang, bukan sebaliknya. Wonwoo... dia sangat tidak adil. Dan licik. Tapi kalau Wonwoo sudah berkata kalau pulau kecil ini tidak bisa menawarkan apa-apa untuknya, hak apa yang dimiliki Mingyu untuk melarangnya berlari ke tempat yang memiliki semua yang diimpikan olehnya? Karena itu Mingyu memilih mengunci rapat bibirnya dan menahan kalimat "Tapi aku punya cinta yang bisa kutawarkan untukmu" di ujung lidahnya.

.

.

16 Juli 2024 12:35

Perjalanan dari pulau utama Wando ke Cheongsan memakan waktu hampir satu setengah jam. Matahari sudah tinggi saat Mingyu melangkah turun ke dermaga bersama Jihoon dan Minghao yang masih setengah tidur.

Seungcheol menunggu di area parkir dengan jip CJ6 berwarna hijau tentara dan bentuk yang sangat menyakitkan mata Mingyu karena ketidakestetisannya. "Yo." Mingyu membiarkan Seungcheol menarik tubuhnya dalam pelukan yang canggung. "Lama tidak bertemu. Kau semakin seperti pohon saja."

"Wow, terima kasih, hyung." Mingyu memutar bola matanya, namun membalas pelukan Seungcheol dengan sukarela. "Kau mengatakan itu setiap aku kembali."

Bukan keinginan Mingyu untuk bertumbuh sedikit lebih tinggi dari orang kebanyakan. Semua orang selalu menggodanya tentang itu.

"Ngomong-ngomong," Mingyu berkata seraya melepaskan tubuhnya hati-hati dari pelukan super erat Seungcheol, dalam hati berdoa tidak satu pun tulangnya patah karena kekuatan yang lebih tua. "Aku bawa teman. Uh aku butuh mereka untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan. Tidak masalah kalau hari ini mereka bergabung kan?"

Seolah baru menyadari kalau Mingyu tidak sendiri sejak tadi, Seungcheol akhirnya memberi perhatian kepada dua orang yang berdiri canggung di balik tubuh raksasa Mingyu. "Oh halooo," kata Seungcheol. Dia menjalankan matanya dari atas ke bawah, seperti menginspeksi dua orang asing ini. "Kalian seperti Wonwoo."

Minghao tertawa mendengar itu, sementara Jihoon mendengus tidak terkesan. "Apa aku terlihat seperti orang aneh penyuka musik ballad super emo dan suka menulis cerita-cerita sedih untuk kesenangannya karena dia bosan?"

"Oh kau kenal Wonwoo?" tanya Seungcheol, memandang curiga pada Jihoon.

Jihoon membalas sedikit ketus. "Duh siapa di negara ini yang tidak kenal Jeon Wonwoo? Wonwoo si 'Penulis kesayangan seluruh negara' karena semua novelnya terlalu bagus, bukunya diangkat jadi film hollywood, setiap ceritanya yang dijadikan drama selalu mendapat rating tinggi, menulis lirik lagu sekali-sekali, mengantongi penghargaan di sana sini? Kau harus hidup di bawah batu untuk tidak tahu dia."

Telinga Seungcheol sedikit merah entah karena udara panas atau karena malu dipojokkan oleh pertanyaan Jihoon. Meski bertubuh kecil, pemuda itu punya pengaruh seperti itu terhadap orang-orang. Dia bahkan tidak gagal membuat Mingyu yang tiga puluh sentimeter lebih tinggi terintimidasi olehnya. "Kata siapa aku bicara tentang Wonwoo yang itu?" tantang Seungcheol. Mingyu tahu benar Seungcheol memang bicara tentang Wonwoo yang itu. Memangnya ada Wonwoo mana lagi? Kecuali selama enam bulan Mingyu tidak kembali ke Wando tiba-tiba saja Seungcheol mengenal seseorang bernama Wonwoo di kota kecil mereka, maka tidak ada lagi Wonwoo selain yang persis dengan deskripsi Jihoon. Wonwoo yang sama dengan cinta pertama Kim Mingyu.

Jihoon merotasikan matanya. Mengucapkan pemikiran Mingyu keras. "Memangnya ada Wonwoo mana lagi yang pernah tinggal di sini dan jadi temanmu selama SMA selain Wonwoo yang itu?"

"Bisa saja ada Wonwoo lain," tantang Seungcheol lagi tidak mau kalah. Dia tidak pernah berubah.

"Percayalah, aku tahu hanya itu Wonwoo yang kau maksud. Dia menulis lagu denganku berkali-kali. Jadi aku tahu betul kalau itu adalah dia." Kali ini Jihoon yang berganti menginspeksi Seungcheol dari ujung rambut ke kakinya. Memberi pandangan tidak terkesan kepada bulu matanya yang secara aneh sangat panjang. "Dan kau adalah Choi Sengchul. Si cerewet Sengchul yang merasa paling hebat dibanding yang lain. Memerintah seenaknya seolah paling berkuasa di seluruh Cheongsan. Wonwoo sudah memperingatkan tentangmu. Tapi damn tidak kusangka kau setidaktertahankan ini. Seperti ahjumma yang kukenal saja."

"Apa katamu?"

"Hei, sudahlah." Mingyu akhirnya memutuskan untuk menengahi pertengkaran itu. Seungcheol dan Jihoon mungkin adalah dua orang paling keras kepala yang pernah dikenalnya. Kalau dia membiarkan ini terus berlanjut, ada kemungkinan mereka tidak akan bergerak seinci pun dari tempat ini sampai matahari terbenam. "Aku lapar. Ayo kita segera berangkat."

Seungcheol masih tidak terlihat puas. "Bukan salahku kau bawa gremlin menyebalkan yang membuat kita tertahan. Lagipula namaku Seungcheol bukan Sengchul."

Oh tidak.

"Apa katamu?" Jihoon berteriak murka. Kalau ada satu hal yang bisa dengan mudah memancing kemarahan Jihoon—di samping seribu hal lain yang tidak dia sukai—itu adalah setiap kali orang membandingkannya dengan makhluk-makhluk kecil. Sementara itu Minghao yang sudah sepenuhnya bangun, terima kasih untuk adu mulut Seungcheol dan Jihoon, tertawa tidak terkendali, menurutnya hal seperti ini sangat lucu. Dan Mingyu harus mengatasi ini semua sendiri. Ya Tuhan, tidak teman-teman SMA nya, tidak teman yang sekarang, semua sama gilanya.

Memakan waktu hampir sepuluh menit untuk akhirnya Mingyu—dengan Mnghao yang sangat tidak membantu—berhasil membujuk Seungcheol dan Jihoon untuk menunda pertengkaran mereka dan masuk ke dalam jip.

Seungcheol membuat Mingyu mengemudi, meski yang lebih muda baru saja menempuh perjalanan satu jam di ferri dan 4 jam di kereta dari Seoul ke Wando. Minghao dan Jihoon duduk santai di belakang, menikmati pemandangan jalan yang hijau, sangat kontras dengan Seoul dan lampu-lampunya yang tidak pernah padam di malam hari.

"Ah memang paling menyenangkan setiap kau yang mengemudi dan aku di kursi penumpang, Gyu," kata Seungcheol. Matanya tertutup dan tangannya diletakkan menopang belakang kepalanya.

Mingyu memutar bola matanya. Saat SMA dulu, hanya Mingyu satu-satunya yang punya surat ijin mengemudi di antara mereka meski Seungcheollah yang punya mobil untuk dikendarai. Jadi Mingyu selalu berakhir sebagai supir, membawa teman-temannya kemana pun mereka memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan.

Jihoon bergumam setuju dari kursi belakang. "Mingyu paling cocok dengan pekerjaan ini. Menjadi supir pribadi. Aku suka menyuruhnya mengantarku kemana-mana karena terlalu repot kalau mengemudi sendiri." Dia berbicara seolah mereka sama sekali tidak terlibat adu mulut sengit tidak lebih dari setengah jam yang lalu. Entah kenapa banyak orang yang menjadi akrab hanya karena mereka sama-sama senang membully Mingyu. Sekarang adalah contoh paling nyata.

"Aku selalu berharap kalau aku tidak sebaik hati ini," keluh Mingyu tanpa mengalihkan mata dari jalan. Di samping mereka sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi. Masih hijau seperti sedia kala. Ada sebuah batu besar yang sedikit tersembunyi di balik pepohonan di sana. Itu adalah salah satu tempat yang menyimpan sejuta kenangan bagi Mingyu. Dia tidak bisa melihatnya dari sisi jalan ini, namun setiap kali kembali ke Cheongsan, Mingyu akan pergi ke sana, memastikan kenangannya masih tetap berdiri kokoh. Seperti pendirian Wonwoo yang tidak tergoyahkan badai paling kuat di musim dingin.

Ngomong-ngomong soal Wonwoo. "Apa maksudmu mengatakan mereka mirip Wonwoo, hyung?" Mingyu tiba-tiba penasaran.

"Huh? Aku tidak bilang mereka mirip."

Mingyu mendengus. "Sejak kapan kau jadi pelupa? Tadi di dermaga kau bilang seperti itu. Dan itu sangat aneh karena Minhao dan Jihoon di sini adalah apa saja selain mirip dengan Wonwoo."

Wajah Seungcheol segera terlihat mengerti. Dia melambaikan tangan santai. "Oh, aku tidak sedang bicara soal fisik. Mereka hanya...uh kau tahu"

Mingyu tidak tahu.

Seungcheol mengerang karena Mingyu hanya memandang heran ke arahnya, begitu juga Jihoon dan Minghao yang ikut memberinya tatapan penasaran. "Mereka punya aura Wonwoo. Bukan menyinggung, tapi ya kalian seperti dia. Seperti tidak ingin ada di sini. Tidak akan pernah mencintai tempat ini. Sama sekali tidak cocok ada di pulau. Tempat kalian adalah kota."

Jihoon berkedip sekali. Meski Seungcheol mengatakan tidak ingin menyinggung, satu alis Jihoon yang dinaikkan menunjukkan kalau kalimatnya memberi efek sebaliknya. Namun meski demikian, Jihoon tidak memperpanjangnya. Hanya berkata "oh" singkat dan menyandarkan tubuhnya lebih jauh ke kursi penumpang.

"Ngomong-ngomong siapa saja yang sudah ada di sana?" Mingyu bertanya lagi untuk mencairkan suasana.

"Semua orang," kata Seungcheol. Mingyu bertanya dalam hati jika Wonwoo termasuk dalam semua orang sebelum Seungcheol segera melanjutkan. "Semua kecuali kau dan Wonwoo. Dan karena kau sudah ada di sini sekarang, berarti Wonwoo yang terakhir. Mungkin saja dia tidak akan datang. Seperti biasa."

Mingyu menggeleng-gelengkan kepala. Dia tidak suka nada sinis dalam kalimat terakhir itu. Seungcheol perlu berhenti memperlakukan Wonwoo tidak adil. Dia membenci pemuda itu tanpa alasan.

Atau mungkin Mingyu perlu berhenti mengasumsikan perasaan setiap orang mengenai Wonwoo. Fuck. Kenapa dia seperti ini?

"Oh ya? Kukira Seokmin dan Seungkwan akan jadi yang terakhir."

"Mereka malah datang paling awal," balas Seungcheol. "Langsung ke sini begitu kembali dari Filipina. Sudah satu minggu di rumah. Menghabiskan waktu di peternakan dan kebun setiap hari. Sama sekali tidak seperti artis ibukota. Tetap idiot dan berisik seperti biasa."

Mingyu tertawa. Itu betul-betul terdengar seperti Seungkwan dan Seokmin yang dia kenal. Mereka adalah moodmaker di grup. Bersama trio konyol mereka, BooSeokSoon.

"Soonyoung sampai dua hari yang lalu, dia juga bawa teman ngomong-ngomong. Namanya Jinhe atau semacamnya. Mungkin pacarnya. Aku tidak tahu. Dan sejak mereka datang, rumahku sama sekali tidak ada kedamaian. Mereka bertiga membuat takut semua ayam dan babi di peternakan. Beberapa ayam betinaku tidak mau bertelur sejak kemarin gara-gara mereka. Mereka itu bencana, Gyu. Bencana."

Mingyu tertawa lagi. Lebih keras kali ini sampai Jihoon mendesis kesal kepadanya. Ini betul-betul sama persis seperti waktu SMA. Sementara Minghao yang dari tadi hanya duduk tenang di kursi belakang untuk pertama kali melibatkan diri dalam percakapan. "Waktu kau bilang Soonyoung, apa maksudmu Kwon Soonyoung?"

Seungcheol membalikkan badannya untuk melihat wajah penanyanya. Dahinya mengerut. "Apa kalian semua saling mengenal di Seoul? Kupikir orang-orang Seoul tidak terlalu peduli sekitar?"

Minghao berdecak. "Seharusnya itu pertanyaanku. Apa kalian semua diam-diam saling mengenal? Aku baru tahu kalau kau teman lama dengan Soonyoung, Mingyu." Nada suara Minghao terdengar menuduh.

Mingyu membalas ragu. "Aku juga baru tahu kau kenal dia?"

"Tentu saja aku kenal dia. Soonyoung pernah bilang dia tahu kau, tapi tidak kusngka sedalam itu," balas Minghao. Dia melipat dua tangan di depan dada. "Apa Jinhe yang kau katakan ini kebetulan orang Cina dan sangat tampan sampai seperti tidak nyata? Dia mirip dengan Kim Heechul. Orangnya sama sekali tidak lucu tapi entah kenapa menyenangkan ada di dekatnya."

"Ku..rasa?"

Minghao mendengus lagi. "Itu Junhui, pacarku, bukan pacar Soonyoung. Dia tidak mengangkat telepon dari dua hari lalu dan aku sudah siap memutuskannya. Jadi dia di sini?"

"Ponselnya terlindas jipku waktu pertama ke sini. Maaf."

"Lalu siapa lagi yang ada? Karena Soonyoung ada di sini, Jun juga ada di sin, apa itu berarti Dino juga?"

"Dino?" Mingyu dan Seungcheol bertanya bersamaan.

"Ya, Dino. Aku, Soonyoung, Jun, dan dia punya grup dance yang sama. Jadi kupikir siapa tahu dia juga di sini."

"Tidak ada yang namanya Dino."

"Begitu," jawab Minghao. "Padahal kupikir tadi pasti hebat sekali kalau dia juga ada. Seingatku dia juga dari Jeolla Selatan. Anak yang menyenangkan. Meski aku tidak mengerti obsesinya dengan Michael Jackson."

"Michael Jackson seperti penyanyi pop keriting yang suka memegang kemaluannya itu?" Seungcheol bertanya.

"Yap. Yang itu."

"Ada satu anak yang seperti itu juga di antara kami. Dia sekelas Seungkwan. Namanya Chan."

Mingyu mengangguk membenarkan.

"Chan, Lee Chan?" Seungcheol mengangguk dan seketika Minghao kehilangan kendali. Dia tertawa seperti lunatik. Jihoon berteriak marah di sebelahnya. Seungcheol dan Mingyu melongok bingung di kursi depan. Minghao berusaha sengat keras untuk menahan tawanya ketika berikutnya dia berkata, "Dino adalah Lee Chan. Hebat. Ternyata kalian semua saling terhubung. Selanjutnya apa lagi?"

Seungcheol dan Mingyu menggeleng nyaris tidak percaya. Ini kebetulan yang aneh. "Ya, jadi Chan baru sampai tadi pagi-pagi sekali. Dia bersama Jeonghan. Mereka tidak sengaja bertemu di kapal."

Mingyu menyadari nada suara dan pandangan Seungcheol yang sedikit melembut ketika menyebut nama terakhir. Itu selalu terjadi pada Seungcheol. Bahkan setelah bertahun-tahun lamanya, hatinya masih selalu menjadi seperti jelly kalau sudah berkenaan dengan yang satu itu. Sejujurnya Mingyu sendiri juga sangat merindukannya. Dari antara mereka semua, Jeonghan adalah satu-satunya yang tidak sekali pun terdengar beritanya. Dia meninggalkan Cheongsan tiga bulan sebelum Mingyu. Tidak memberitahu kemana dia pergi, tidak kembali ke Cheongsan sekali pun dalam kurun waktu sembilan tahun, atau mungkin dia pulang tapi menghindar dengan baik dari semua orang, terutama dari Seungcheol.

Tidak satu pun yang mendengar tentang Jeonghan sejak itu. Dia dulu sama hilangnya seperti Wonwoo sebelum wajah Wonwoo muncul di televisi nasional dan situs-situs pencarian internet. Sebelumnya dia hanya dikenal sebagai penulis rookie misterius dengan nama pena 'beanie'. Mingyu masih ingat sampai detik ini tiga puluh potong ayamnya yang gosong saat pertama melihat wajah Wonwoo di televisi.

Soonyoung membuka studio dan kelas menari yang cukup terkenal di Hongdae. Chan kuliah di Seoul dan selalu menjaga komunikasi. Seokmin dan Seungkwan, meski sangat sulit untuk diraih karena jadwal yang sibuk, masih selalu bisa mereka tahu keadaannya dari artikel-artikel, tidak jauh berbeda dari Wonwoo. Seungcheol yang tinggal di Cheongsan juga sudah sangat mahir dengan ponsel pintarnya. Semua orang saling mengetahui kabar. Kecuali Jeonghan. Dia adalah yang terakhir dimasukkan ke dalam group chat mereka. Dan seironis ini mungkin kedengaran, Wonwoo yang menemukannya. Hanya Tuhan yang tahu seberapa besar dua orang itu saling membenci di SMA.

"Ngomong-ngomong anak perempuannya sama cantiknya seperti dia."

"Benarkah?" balas Mingyu.

Seungcheol mengangguk.

"Begitu." Tidak ada yang berbicara sementara. Mereka baru melewati sebuah belokan menuju jalan 72. Lalu Mingyu sadar. Dan dia berteriak. "Apa? Anak perempuan siapa?"

Ketiga orang lainnya dalam mobil memutar bola mata dan berkata. "Sangat lambat seperti biasa." Diikuti dengan "Bodoh", "Idiot," dan "Tipikal" oleh Seungcheol, Jihoon, dan Minghao, sesuai urutan itu.

Mingyu memutuskan mengabaikan penghinaan mereka. Malah bertanya. "Jeonghan? Dia punya anak? Dia sudah menikah? Kenapa aku tidak diundang? Apa istrinya cantik?"

Seungcheol mengedik. "Dia tidak bawa istri. Dan sepertinya tidak ingin membicarakannya."

"Oh," kata Mingyu. Karena memangnya apa lagi yang bisa dia katakan?

"Anaknya sudah lima tahun. Persis dia sewaktu kecil."

Lima tahun berarti dia lahir saat Jeonghan dua puluh empat. Mingyu melirik wajah Seungcheol diam-diam. Mingyu baru sadar kantung matanya sangat dalam. "Apa kau baik-baik saja hyung?"

Seungcheol tersenyum masam. Mingyu tahu jawaban pertanyaan itu adalah tidak. Tapi tetap saja lelaki dua puluh sembilan tahun itu, yang tiba-tiba saja terlihat sepuluh tahun lebih tua menjawab "Tentu saja. Kenapa tidak?"

Kenapa tidak? Tentu saja karena kau masih sangat mencintainya.

Mingyu tidak tahu apa yang mengubah hati Jeonghan sembilan tahun lalu saat tiba-tiba saja dia mengepak kopernya dan menumpang ferri untuk meninggalkan Cheongsan tanpa sekalipun melihat ke belakang. Seongcheol, Mingyu dan dia adalah yang terakhir tinggal di pulau dari antara mereka semua. Wonwoo yang pertama angkat kaki. Tapi Seungcheol selalu berkata bahwa sejak awal di sini memang bukan tempat Wonwoo. Mereka sama sekali tidak bisa menghentikannya. Dia tidak pernah menyangka bahwa Jeonghan, dari semua orang juga pada akhirnya akan merasa tidak puas hanya ada di kota kecil mereka ini. Sama seperti dengan Wonwoo, dia juga tidak menghentikannya. Dia membiarkan Jeonghan berangkat mencari sesuatu yang hilang dari dirinya di kota, meski saat itu Seungcheol tergila-gila setengah mampus pada pemuda itu. Bahkan sampai sekarang, Mingyu percaya kalau hati Seungcheol pada pemuda itu masih belum berubah.

Seungcheol punya semacam keyakinan kalau apa pun yang terjadi, Jeonghan pada akhirnya akan kembali padanya. Tapi dia tidak pernah kembali. Bahkan sehembus berita tentang dirinya pun tidak pernah menyentuh telinga Seungcheol. Dan sekarang, setelah akhirnya penantian Seungcheol berakhir, dia melihat kembali cinta dalam hidupnya, ternyata orang itu kembali dengan cincin pernikahan dan seorang anak. Mingyu tidak tahu bagaimana perasaan Seungcheol tentang itu. Juga sama sekali tidak ingin tahu. Kalau itu adalah dia, mungkin dia akan gila.

Suasana menjadi sedikit canggung setelah itu. Minghao dan Jihoon tiba-tiba menjadi hening di belakang. Memandang ke luar jendela seperti berpura-pura bahwa mereka tidak baru saja menguping sebuah rahasia.

Seketika sebuah sentimen kembali menguasai diri Mingyu, meski ini bukan yang pertama. Ah, mereka sudah menjadi dewasa. Semua sudah tidak sama seperti dulu. Tapi Mingyu berharap tidak satu pun dari mereka yang lupa saat mereka bertujuh duduk di tepi jurang semenanjung Cheongsan. Memandang matahari tenggelam di ujung horizon dan berharap untuk tidak usah tumbuh menjadi dewasa.

Mingyu menginjak gas lebih kuat, membuat jip Seungcheol melaju hingga sembilan puluh kilometer per jam di atas jalur pedesaan. Dia ingin segera pulang. Dalam hati dia berdoa bahwa rumah masih tempat yang sama. Dalam lingkaran yang terbentuk dari tangan yang saling menggenggam dan ikatan persahabatan yang sudah menyerupai saudara. Rumahnya.

.

.

Juli 2012

Ini adalah hari terakhir musim panas. Mingyu dan beberapa pemuda lain dari sekolah membuat semacam pesta kecil di dekat bukit. Sebuah pesta yang hanya boleh didatangi oleh anak-anak dari sekolah menengah atas Cheongsan. Peraturan itu dibuat untuk menghindari anak-anak SMP yang tidak bisa menjaga rahasia. Mingyu akan masuk tahun ke dua, namun ini adalah pesta pertama untuknya. Tahun lalu dia tidak ikut dengan Seokmin dan Soonyoung karena flu. Tentu saja tipikal Mingyu. Malah mendapat hidung tersumbat dan demam tinggi di penutupan musim panas.

Seungcheol dan Jeonghan—yang paling tua di kelompok mereka—tidak berhenti mengolok-olok Mingyu karena itu. 'Orang seperti apa yang melewatkan campfire pertamanya?' kata mereka. Pesta itu disebut campfire karena yah inti dari pesta itu adalah memasang api unggun lalu duduk mengelilinginya sambil minum Makgeolli(2). Lalu siapa pun yang bersedia akan memetik gitar untuk menghibur semua yang ada di sana, menyanyikan satu atau dua lagu, menari, digantikan yang lain, dan begitu seterusnya sampai malam berakhir. Sungguh, itu adalah festival yang menyenangkan. Sebuah ciri khas dari Cheongsanmyeon.

Mereka semua yang ada di sana umumnya berusia sekitar empat belas sampai dua puluh tahun. Kelas satu hingga tiga SMA. Ini adalah kota kecil yang penduduknya tidak terlalu banyak. Hanya ada dua sekolah menengah atas di sini. Yang satu khusus laki-laki, yang lainnya khusus anak perempuan. Banyak siswa yang masuk terlalu cepat atau terlalu lama sehingga rentang usia sekolah sangat besar dibanding sekolah di ibukota. Seungcheol dan Jeonghan sudah tujuh belas tahun tapi masih kelas dua SMA sekarang, sama seperti Mingyu dan Seokmin yang lima belas dan Soonyoung yang enam belas. Itu sama sekali bukan hal yang janggal di kota kecil mereka.

Konsumsi alkohol sama sekali tidak dipebolehkan hingga usia sembilan belas. Namun sudah menjadi rahasia umum kalau campfire tidak pernah absen dengan alkohol. Makgeolli akan disediakan dalam jumlah besar untuk anak-anak remaja ini sebelum mereka kembali ke sekolah di tahun ajaran baru.

Karena ini adalah campfire pertama Mingyu, maka ini juga adalah makgeolli pertama yang dikonsumsinya. Harus Mingyu akui itu tidak seburuk yang dibayangkannya. Rasa manis yang tinggal dalam lidahnya membuatnya ketagihan untuk terus memasukkan alkohol itu ke dalam sistemnya.

Kira-kira pukul sembilan malam saat Mingyu sadar dia kehilangan seluruh kelompoknya. Dia cukup yakin Seungcheol dan Jeonghan baru lima detik lalu berbicara di sebelah kanannya dan BooSeokSoon tertawa seperti mereka memiliki seluruh Cheongsan dari arah kirinya. Tapi saat kau setengah mabuk dan seluruh dunia di sekelilingmu berputar karena pengaruh alkohol, kau tidak bisa sepenuhnya percaya dengan perhitungan waktumu.

Saat itulah dia pertama kali bertemu dengan Jeon Wonwoo.

Wonwoo menghampirinya saat Mingyu mencabuti rumput di bawah kakinya karena bosan. Kepala Mingyu sama sekali tidak baik saat itu, tapi dia tidak akan pernah lupa bahwa Wonwoo menggunakan kaus hitam berlengan panjang yang pas di tubuhnya, celana hitam yang tidak pernah dilihat Mingyu dipakai siapapun di Cheongsan, mata sewarna malam, serta sebuah topi beanie merah. Hanya topi merahnya yang tidak senada dengan warna langit malam Cheongsan. Dan dia terlihat sangat asing dan tampan.

"Apa kalian selalu seperti ini?"

Kalian berarti dia sama sekali bukan bagian dari keramaian ini. Mingyu mengenal hampir semua pemuda di sekitar sini. Yang satu ini adalah wajah yang sangat asing baginya. Dan dia tidak berbicara dengan aksen Jeolla Setatan. "Apa kau baru di sini?" Mingyu membalas dengan pertanyaan alih-alih sebuah jawaban.

"Bisa dibilang begitu," jawab si topi merah. "Kami pindah dua minggu lalu."

"Oh, cool." Mingyu memandang anak itu dari atas ke bawah, tidak ada yang terlalu perlu untuk diperhatikan. Mereka sedang duduk di atas rumput, tapi Mingyu bisa lihat kalau anak itu tinggi, mungkin sama seperti dia, tidak setiap hari Mingyu bertemu orang yang tingginya nyaris sama dengannya. Itu adalah poin pertama yang membuat Mingyu tertarik dengannya. Di samping wajah yang terlihat sedih dan seperti tidak ingin ada di tempatnya berpijak. "Berarti ini adalah campfire pertamamu?" Mingyu bertanya dan baru menyadari betapa bodoh dia terdengar setelah itu. Tentu saja ini adalah campfire pertamanya. Dia baru saja tadi bilang pindah ke sini dua minggu lalu.

Anak itu tertawa. "Ya, cukup menyenangkan. Walau aku tidak bicara dengan orang lain kecuali kau sejauh ini."

"Aaw kenapa tidak?"

Dia mengedik. "Aku tidak kenal siapa-siapa, dan tidak ada yang mengenalku. Aku seharusnya mengajak adikku ke sini supaya punya teman, tapi dia sedang dalam masa pengobatan."

"Begitu? Kalau begitu aku yang akan jadi teman pertamamu di sini. Bagaimana?"

"Terdengar menyenangkan." Dia membalas tidak antusias.

Selama beberapa detik Mingyu hanya memandang anak laki-laki di depannya. Mencoba menimbang apakah dia mengatakan itu karena terpaksa atau dia memang hanya kekurangan semangat hidup. Mingyu memutuskan kalau dia tidak peduli. "Aku Mingyu, ngomong-ngomong. Kim Mingyu. Aku lahir, dibesarkan, dan tumbuh sampai seratus delapan puluh senti seperti ini di Cheongsan."

"Jeon Wonwoo," Wonwoo membalas singkat. "Aku dari Changwon."

Changwon adalah salah satu kota besar dan penting di Korea Selatan. Orang waras seperti apa yang akan pindah di tengah musim panas dari hingar bingar kota yang gemerlap ke pulau terpencil di Jeolla.

"Pasti kedengaran gila ya?" Wonwoo mungkin punya kemampuan membaca pikiran orang, itu pikir Mingyu ketika dia bertanya. "Kami sekeluarga pindah dari Changwon, papa menyerahkan jabatannya yang sudah sangat tinggi di perusahaan, mama menutup toko kosmetiknya, membawa aku dan adikku ke sini. Ke tempat yang tidak ditahu ini."

Mingyu ingin berkata ya. Kedengarannya seperti orang tuanya melepaskan hal-hal yang sangat penting di kota demi sebuah pulau kecil yang lengang. Gila.

"Aku pindah dari sekolah swasta bergengsi ke sekolah khusus laki-laki yang bahkan tidak masuk seratus besar terbaik."

Ini adalah salah satu alasan kenapa Sengcheol sangat sulit menyukai Wonwoo di awal. Karena dia mengulang mantra ini berkali-kali pada beberapa bulan pertama.

"Sangat sulit untuk mengakses internet di sini. Tidak ada warung internet untuk bermain game, tidak ada arcade, tidak ada karaoke, tidak ada perpustakaan besar. Dan sekarang aku menghabiskan malam musim panas terakhir di acara campfire bodoh ini, minum alkohol. Yang tidak pernah kulakukan sebelumnya. Kurasa aku akan gila."

Mingyu tumbuh dan besar di Cheongsanmyeon seumur hidupnya dan dia tidak pernah berencana untuk pindah dari sana. Dia sangat menyayangi pulau ini seperti ibunya. Hal wajar yang kau lakukan ketika seorang anak kota konyol yang terlalu dimanjakan oleh budaya metropolitan menghina ibumu adalah memukul kepalanya, atau setidaknya memberi sedikit pelajaran supaya dia menunjukkan sedikit rasa hormat. Tapi Mingyu tidak melakukan itu. Sesuatu dalam nada berbicara Wonwoo membuat Mingyu memakluminya. Membuat Mingyu hanya menyalahkan alkohol dalam sistem anak itu yang membuat Wonwoo berbicara seperti tidak terdidik. Mungkin itu adalah kerinduan dalam getir suaranya, mungkin dia menyimpan sentimen yang sama terhadap Changwon selayaknya Mingyu terhadap Cheongsan.

Jadi bukannya memukul Wonwoo seperti yang seharusnya dia lakukan, Mingyu menggunakan tangannya yang dominan untuk menepuk punggung anak laki-laki itu.

"Semua akan baik-baik saja."

Wonwoo memutar kepalanya dan membalas dengan tersenyum. "Terima kasih, Mingyu."

Wonwoo memiliki senyum yang indah. Jenis senyum yang ingin dilihat Mingyu seumur hidup. Secara otomatis, bibir Mngyu ikut tertarik, dia memamerkan dua taringnya yang kata orang-orang adalah charming pointnya. "Cerialah, sobat. Sini kutuangkan makgeolli lagi."

Secara praktis Wonwoo tidak lebih dari orang asing bagi Mingyu. Begitu juga dirinya untuk Wonwoo. Tapi malam itu mereka berbagi makgeolli dan cerita seperti sudah bersahabat seumur hidup. Saat BooSeokSoon selesai memamerkan seluruh bakat yang mereka punya di tengah lingkaran, Mingyu mengenalkan Wonwoo pada tiga orang itu seolah dia sudah mengenalnya sepuluh tahun lebih awal dibanding mereka. Lalu mereka berlima berbagi tawa di depan api unggun. Seungkwan menceritakan beberapa leluconnya, Wonwoo mencoba melakukan hal yang sama dan merajuk ketika tidak ada yang tertawa.

Seokmin sedang melakukan hal konyol yang selalu dilakukannya untuk mengundang tawa, ketika Mingyu berdiri secara tiba-tiba. Empat temannya malam itu mengangkat kepala dan memandangnya dengan mata sayu, sangat jelas sudah terlalu jauh di bawah pengaruh alkohol.

"Aku mau ke kamar kecil."

Seokmin terkekeh. "Nomor satu atau dua?"

Mingyu mendengus. "Satu. Kurasa aku minum terlalu banyak. Jangan pergi selagi aku di toilet, kalian dengar?"

"Iya, iya. Pergi sana cepat sebelum kau pipis di celana. Syuh syuh."

Mingyu merotasikan matanya. Bertanya seberapa banyak kadar alkohol yang sudah masuk dalam tubuh teman-temannya. Mereka terlihat jauh lebih mabuk dari dia. Mingyu tidak repot membalas, dia melakukan pivot dengan tumitnya dan segera berjalan menjauh sebelum didengarnya seseorang memanggil. "Mingyu"

Itu adalah Wonwoo, berdiri dan menyusul Mingyu yang baru berjalan beberapa langkah. Dia tidak terlihat semabuk tiga temannya yang lain dan Mingyu juga tidak melihatnya meminum banyak makgeolli tadi. "Aku ikut denganmu. Aku sudah menahannya dari tadi."

Jadi begitulah bagaimana mereka masuk sedikit ke antara pepohonan. Memilih pohon yang berbeda dan membuang urin dengan punggung saling berhadapan. Wonwoo memakan waktu lebih lama menyelesaikan urusannya karena dia sedikit shock di awal kalau yang dimaksud Mingyu dengan kamar kecil sama sekali bukan toilet umum dengan bilik melainkan pohon di tengah hutan. Dia sempat menolak untuk buang air di sana, tapi well, kantong kemihnya berkata lain.

Mingyu menunggu Wonwoo hingga selesai dengan tenang. Kemudian mereka berjalan berdua, hasrat buang air sudah tuntas, kepala sedikit lebih ringan setelah melarikan diri dari kebisingan di dekat api unggun. Lalu sebuah ide tiba-tiba muncul di kepala Mingyu. "Bagaimana kalau kita berjalan sampai ke dekat bukit? Mencari udara segar. Aku tidak yakin ingin kembali ke sana segera. Bau makgeolli membuatku pusing."

"Ugh aku juga. Pimpin jalannya, kapten."

Dan itulah tepatnya yang Mingyu lakukan. Dia membawa Wonwoo berjalan melalui pohon yang semua terlihat sama bagi pemuda itu. Namun sebelum melangkah keluar terlalu jauh dari antara pepohonan, mereka mendengar suara langkah kaki dan tawa yang mendekat. Secara insting, Mingyu menarik Wonwoo untuk bersembunyi di belakang pohon yang paling dekat dengan mereka. Meski dia tahu kalau mereka tidak perlu bersembunyi dari siapapun. Ya, mencemari hutan dengan air seni adalah salah, tapi semua orang melakukannya di saat seperti ini. Dan mungkin orang yang baru masuk ke dalam hutan itu juga mempunyai niat serupa.

Langkah kaki itu ternyata bukan hanya milik satu orang. Dua pemuda berjalan sangat dekat ke tempat Wonwoo dan Mingyu bersembunyi. Mingyu bahkan mengenali keduanya. "Jeonghan dan Seungcheol hyung?"

"Kau tahu mereka?"

"Mereka temanku," kata Mingyu. "Ayo, biar kuperkenalkan."

Mingyu menarik tangan Wonwoo semangat. Di saat yang sama Wonwoo menahan dengan kekuatan serupa sehingga mereka tidak berpindah tempat. Saat Mingyu memandang pergelangan tangan Wonwoo yang tergenggam olehnya, lalu naik ke atas hendak bertanya, anak laki-laki yang lain itu meletakkan jari telunjuk dari tangannya yang bebas di depan bibir dan menggeleng. "Sssh!"

Mingyu ingin bertanya kenapa, namun Wonwoo mendahuluinya. "Jangan berisik. Lihat!"

Tanpa curiga Mingyu menuruti perintahnya dan segera menyesal sudah melakukannya. Yang disuruh Wonwoo untuk dia lihat adalah dua hyung yang sangat dihormatinya sedang menghisap wajah satu sama lain, tangan Jeonghan melingkar di leher Seungcheol, sementara milik Seungcheol di belakang punggung Jeonghan, berjalan semakin ke bawah, ke bawah, ke bawah, mendarat di pantatnya lalu meremasnya. Jeonghan mendesah pada ciuman mereka sebagai respon.

Tidak tahan melihat lebih lama, Mingyu memandang ngeri pada Wonwoo yang sama sekali tidak memindahkan mata dari pemandangan di depan mereka. Tidak ada setitik pun jejak malu di wajahnya, ekspresinya tenang tanpa emosi. Sangat kontras dengan dirinya sendiri. Mungkin ini adalah konsumsi sehari-hari bagi anak kota. Tapi bagi Mingyu, ini sangat memalukan. Dia menarik lengan Wonwoo lagi, menyeretnya ke arah yang berlawanan. "Kita harus pergi dari sini." Kali ini Wonwoo mau bekerja sama.

Mingyu melangkah dengan sangat terburu-buru dengan Wonwoo menurut di belakangnya. Suara kaki mereka pasti sedikit berisik karena dia mendengar Jeonghan bertanya "Siapa di situ?"

Mereka ada di kaki bukit beberapa menit kemudian. Duduk bersebelahan memandangi jalan setapak. Mingyu berkali-kali menggosok wajahnya, masih tidak berhenti merasa malu dengan apa yang dia saksikan di antara pepohonan.

"Kenapa reaksimu berlebihan sekali?" Wonwoo bertanya. Suaranya sangat tenang sampai Mingyu merasa seperti lelucon bagi Wonwoo.

Mingyu memandang heran pada pemuda itu. Ada seringai terhibur tergambar jelas di sana. Dia nampaknya sangat menikmati situasi ini. "Aku baru saja melihat dua orang yang kukenal berciuman sensual di depan mataku. Menurutmu bagaimana aku harus bereaksi?"

Wonwoo mengangkat bahu. "Orangtuaku berciuman di depan wajahku setiap pagi."

Wow orang kota memang berbeda. Orang tua Mingyu sama sekali tidak pernah melakukan hal tidak senonoh seperti itu di depannya. "Oh well, Wonwoo ini bukan di kota. Ini pertama kalinya aku menyaksikan yang seperti itu seumur hidup."

Wonwoo mendengus. "Di kota atau di desa tidak ada bedanya."

"Kau tidak melihat orang berciuman setiap hari di pulau ini."

"Aku juga tidak melihatnya setiap hari di Changwon." Wonwoo merotasikan mata seolah menyatakan kalau Mingyu berlebihan. Kemudian dia melanjutkan. "Lagipula bukannya ini sama saja seperti menonton porno?"

"A...kau tidak bisa menyamakannya dengan menonton porno."

"Benar," timpal Wonwoo. "Tentu saja menonton porno jauh lebih buruk. Apa kau sering menontonnya?"

Wajah Mingyu berubah menjadi merah yang lebih gelap lagi. "Apa yang kau bicarakan?"

"Oh Mingyu kalau kau bilang kau tidak pernah menonton porno, aku akan..."

"Kebiasaan menonton pornoku sama sekali bukan urusanmu, oke?" Mingyu memotong Wonwoo.

Dan segera menyesal ketika Wonwoo tersenyum meremehkan. Matanya yang sipit membuatnya terlihat seperti dia sedang mengejek Mingyu. "Jadi kau punya kebiasaan menonton porno."

Bagaimana bisa pembicaraan mereka menjadi tentang kebiasaan menonton porno Mingyu? Tahu bahwa Wonwoo tidak akan berhenti menggodanya jika terus menyangkal, Mingyu akhirnya menyerah. "Ya, kau puas?"

Mingyu tidak tahu apa yang diharapkannya. Dia baru saja menyaksikan dua hyungnya berciuman di dalam hutan dan mengakui kalau dia menonton porno kepada seorang anak laki-laki dari kota yang baru dikenalnya selama satu jam terakhir. Sungguh dia tidak tahu harus mengharapkan apa. Tapi mungkin bukan tawa menggelegar yang pecah dari mulut anak laki-laki itu. Juga tubuhnya yang didorong untuk berbaring di atas rumput. Terbahak-bahak seolah ini akan menjadi tawa terakhirnya. Mingyu bertanya untuk kesekian kalinya malam itu 'apa semua anak kota seperti ini?'

"Apa yang lucu?"

Wonwoo tidak menjawab. Masih tertawa seperti gila. Mingyu seharusnya tahu hari itu alasan Wonwoo menganggap masalah sepele itu sangat menarik, sangat menggembirakan hingga membuatnya tertawa terguling di kaki bukit.

"Tidak kusangka," Wonwoo berusaha bernafas di tengah tawanya yang tidak terkontrol. "Tidak kusangka aku akan bertemu yang seperti ini di pulau terpencil begini. Pindah ke sini tidak terlalu buruk juga."

'Yang seperti ini' itu tidak pernah dicari tahu oleh Mingyu apa. Apakah dua orang yang berciuman di hutan, atau seorang anak yang menyaksikan dua orang yang dia kenal berciuman, atau bagian di mana Mingyu mengaku dia punya kebiasaan menonton porno.

Wonwoo, aneh seperti itu. Tapi Mingyu ikut-ikutan membaringkan tubuh di atas rumput, tertawa bersama Wonwoo. Karena dia memiliki efek seperti itu pada Mingyu.

.

.

.

.


-tbc-


a.n. aku mau jelasin sedikit tentang latar belakang cerita ini.

1) Jadi ini ngambil setting di Provinsi Jeolla Selatan, tepatnya daerah Wando, Pulau Cheongsan. Awalnya aku mau pake Yeosodo tempat Sebong OFD yang Castaway tapi setelah aku perhatiin yang itu daerahnya terlalu terpencil dan gabisa dicari detail di google map ;-; makanya jadi pake Cheongsan yang ada di deketnya.

2) ff ini sebenernya terinspirasi sama lagunya Ed Sheeran Castle on the Hill. Aku literally gabisa berenti bayangin skenario pake lagu itu, yah walaupun pada akhirnya eksekusi cerita aku sama sekali beda sama yang pertama aku bayangin pake lagu itu /sigh/ referensi yang lain (kurasa kalian udah tau) lagu Campfire nya Seventeen yang aku jadiin acara tahunan buat anak-anak Cheongsan hehehehehe.

3) Kenapa Seungcheol sampe Mingyu di sini sekelas, cuman buat kepentingan cerita aku wkwkwk soalnya ribet kalo mereka gak satu angkatan. aku sebenernya sama sekali gak tau apa anak-anak di Cheongsan juga sekolahnya kayak yang aku gambarin di sini. Semua murni imajinasi

4) Ada apa dengan Seungcheol dan Jeonghan? well, itu gak akan aku jawab di note ini wkwk. itu buat cerita nanti

5) Kenapa gak semua anak Sebong ada di ff ini? Hansol sama Joshua dimana? /.\ ehe semua bakal muncul kok. Hansol sama Josh nanti punya peran masing-masing di sini.

6) aku berusaha gambarin setting dan kehidupan mereka seakurat mungkin, tapi biar gimanapun pasti banyak yang gak sesuai. pls do tell kalo ada yang kurang pas atau janggal menurut kalian

terakhir, aku tahu kalian mungkin benci aku karna malah post ff baru lagi seolah aku gapunya dua utang tapi ff ini sebenernya udah kukerjain dari desember dan mau dipos pas ulang tahun carat cuman aku sibuk banget dan blm selesai nulis dan sekarang ffnya udah kepanjangan jadi aku break down jadi beberapa chapter. Janji ini updatenya bakal cepat ;-; btw ini perasaan aku aja apa ffn emang sekarang udah sepi sama meanie shipper? :") pada kemana? :""""

tell me what you think of this please :") lanjut apa hapus aja?