A/N : Halo! Setelah sekian lama tidak tampil di FFN, akhirnya memberanikan diri untuk menulis fiksi ber-bab begini. Awalnya ragu, tapi biarlah www Sekalian menyembuhkan rindu pada kapal yang hampir tenggelam dalam hatiku, haha.
Selamat menikmati!
Tidak bisa
.
Love Live! Sunshine! Fanfiction
male!Matsuura Kanan x Sakurauchi Riko
Disclaimer : LLSS dan karakternya bukan kepemilikan Kuma Tulen
Warning : Perubahan gender di beberapa karakter, OOT, typo (mungkin), alur yang tidak diharapkan, terlalu pendek per bab, dan hal lain yang menurut kalian kurang
.
.
Enjoy
.
Dingin. Langitnya gelap. Seperti kapas, salju turun, sedikit-sedikit dan perlahan, tak bisa disalahkan jalan-jalan akan licin atau tertutup karena tumpukan benda putih nan dingin tersebut.
Pukul sembilan malam, tepi jalan tampak kosong pengguna. Mana mau berjalan kaki dengan hawanya yang mampu mencekik tulang sampai bulu kuduk berdiri semua? Memilih tetap hangat dan di dalam kediaman memang aman, tak perlu keluar bila bukan untuk masalah penting.
Bahkan Sakurauchi Riko juga mau dimanja oleh selimut hangat dan kotatsu di ruang televisi sembari menyeruput cokelat panas. Malas rasanya menyentuh piano dingin, bosan menatap not-not balok saat tangan butuh kehangatan. Riko hanya ingin di dalam rumah saja, menekuk diri dalam balutan bedcover-nya. Biasanya Chika juga terlihat dari balik jendela kamar, kali ini tak ada siluetnya yang terlihat, Riko pastikan ia sudah terlelap nyenyak.
Setiap insan mau kehangatan dalam cuaca seperti ini, dingin dimana-mana menciptakan sifat malas untuk berbuat sesuatu. Seharusnya begitu, malam ini Riko tak mau kemana-mana.
Nyatanya Riko menginjakkan kaki di pantai. Sendirian.
Riko gagal bermanja diri karena Matsuura Kaito.
Gadis surai scarlet itu terdiam sejenak saat Kaito mengirimnya pesan untuk menemuinya di malam begini yang dinginya tak tertahankan. Pantasnya Riko akan menolak dan menyarankan bertemu besok, namun Kaito mengatakan ini hal penting. Riko tertegun ragu, rasanya mau bilang 'tidak' sulit. Demi Kaito dia rela menantang dingin dengan berbalut pakaian hangat. Lantaran itu, penyelam surai biru gelap tersebut berjanji membawa sandwich dan teh hangat nanti untuknya. Kini Riko menengok kanan-kiri, mencari-cari dimana Kaito berada. Bukankah lebih baik Kaito sampai lebih dulu? Membuat seorang gadis menunggu sendirian malam-malam sangat berbahaya, tetapi Riko tak mau memusingkan itu.
"Riko-chan!"
Sontak menoleh ke kiri, Riko mendapati Kaito berlari membelah hawa. Setibanya ia mengamati Kaito dari atas hingga ke bawah, pakaian hangat dan satu syal meliliti leher. Napasnya tersenggal-senggal, tapi senyumnya begitu lebar. Riko tak tahu ada hal penting apa sampai Kaito tampak bahagia seperti ini, terlebih hanya ia seorang yang diajak bertemu. Syal hijau-merah kotak-kotaknya agak berantakan, Kaito buru-buru merapatkannya. Tak ada peluh, tetap Kaito merasa lelah. Mustahil rasanya di suhu rendah begini bisa berkeringat.
"Sudah lama menunggu?" tanya Kaito begitu berhasil mengatur napas, Riko menggeleng. Sepasang netra amethysnya mengedar.
"Um.. duduk di sana bagaimana?" Kaito mengacung pada dekat dermaga, ada banyak kursi panjang di setiap beberapa meter.
Riko mengiyakan. Mereka sama-sama melangkah, Kaito membelakangi Riko. Pianis itu tersadar, Kaito membawa tas ransel yang isinya pasti sandwich dan teh-nya, Riko terkekeh kecil. Gadis itu juga baru menyadari, ternyata rambut Kaito panjangnya sudah melewati telinga. Kalau diingat, dari ia kali pertama bertemu sampai saat ini, Kaito hanya memotong rambutnya sekali dan itu pun tidak banyak. Kadang Riko harus melihat Kaito menguncir rambutnya, tampak lucu bila dilihat dari belakang. Kini hanya tergerai, membiarkan menggelitik jenjang lehernya.
Mereka terduduk diam, barang kali keduanya ada urusan masing-masing dengan angannya, ada perdebatan batin mungkin. Mulut mereka mengatup, tak ada yang memecah hening. Riko menelungkupkan kedua tangan di atas pahanya, Kaito melipat kedua tangan di depan dada. Menunggu. Layaknya sedang menantikan kereta datang, duduk sembari meratapi apapun yang ada di stasiun. Hanya hamparan laut, bukit-bukit kecil menghiasi sudut-sudut panorama dan bukan situasi begini yang Riko harapkan. Ia melirik, "Kaito-kun."
Kaito menoleh, "A-ah, ya?"
"Hal penting apa yang mau dibicarakan?"
Iris Kaito agak meredup tanpa disadari, terlihat ragu untuk berujar, "Sebelum itu.. bagaimana kalau kita makan sandwich?"
Ranselnya ia pangku, merogoh makanan di dalamnya yang dibilang, dengan hati-hati. Empat potong sandwich, setermos sedang teh hangat, dan dua cangkir anti-pecah Kaito taruh di antara mereka. Mata Riko berbinar memandang betapa cantik sandiwich buatan Kaito, sedang kakak kelas di sebelahnya tergelak. "Kamu cinta sekali dengan sandwich ya?"
Riko mengulur tangan pada sepotong sandwich, menyantapnya pelan-pelan, "Sandwich itu enak, makanan murah dengan tampilan mewah. Pembuatannya juga sederhana."
Kaito mengangguk setuju, "Kamu habiskan saja itu semua."
"Ada empat, kita bagi dua. Kaito-kun dua, aku dua," ujarnya bersamaan dengan lahapan terakhir sandwich pertama Riko.
"Hahaha, iya. Terserah saja."
Kaito memilih menuangkan teh pada kedua cangkir, mengambil satu untuk dirinya dan menyuruput hati-hati. Padahal sudah ditemani teh hangat, tetap saja kepul asap dari mulut akibat dingin tak lekas pergi. Mereka berbincang setelahnya sambil mengemil kudapan, membicarakan berbagai hal. Riko memuji buatan sanwich Kaito sering dalam selipan pembicaraan.
Sampai akhirnya tak ada lagi topik untuk diangkat dan Riko kembali mengingatkan Kaito akan 'hal pentingnya'.
"Kalau Riko-chan mau, ambil saja sandwichku yang satu lagi."
"Eh? Tidak apa-apa?"
Kaito mengacung jempol, jemari Riko meluncur pada potongan sandwich terakhir. Bahagia sekali wajah seorang Riko, mendapatkan sandwich enak buatan seorang penyelam handal di Uchiura. Lain kali akan Riko tanyakan resep sandwich enak ini.
"Aku suka Riko-chan lho."
"Eh?"
Kaito melirik, tersenyum lembut kemudian, "Aku suka Riko. Suka sekali."
Dingin. Udaranya kering sekali sejak tadi. Riko merasakannya, amat sangat dirasa. Syal pink muda-nya tidak terlalu memberi pengaruh nyatanya, dingin tetap memeluk lehernya. Riko makin mengenyam dingin ini, seakan waktu melambat dan terus melambat. Tidak tahu, tiba-tiba semuanya terasa amat lelet. Ia tidak tahu, bagaimana Kaito mengatakan itu dengan entengnya.
"Kenapa?" Riko bersuara, memelan.
Kaito terkekeh, "Tidak tahu, kupikir cinta itu tanpa alasan kan?"
Sandwich terakhir diletakkan Riko, selera makannya lenyap sudah. Berganti mengepelakan tangan, dia menggigit bibirnya. Jadi ini hal pentingnya?
Rasanya begitu mustahil, tidak percaya.
"Sejak kapan?" suaranya agak parau, mendengarnya Kaito agak murung.
"Melihat permainan pianomu untuk yang kedua kalinya. Kau ingat? Di hari Selasa, dimana kamu sedang sibuk-sibuknya mencari lagu untuk Omoi yo hitotsu ni nare? Aku mau pulang, melewati ruang musik dan mendapatimu memainkan piano. Ada alasan saat itu kenapa aku tidak menghampirimu,"
Ah, mendadak Riko teringat sebuah keping memori kecil. Seingatnya di suatu Selasa sore, saat senja melatarbelakangi cakrawala dengan lembut. Saat itu Riko memang masih berkutat pada lagunya, mencorat-coret kertas demi mendapatkan not yang selaras. Sendirian, di ruangan musik yang cukup luas. Terduduk ia di bawah jendela, cukup sulit mendapatkan ide saat itu. Mana tahu di detik itu pula ada Kaito, katanya diam cukup lama di luar. Hanya memandang, tak mau masuk.
"Aku cukup terkesiap. Alunan lagumu menyentuh hatiku, padahal itu permainan singkat kurasa, untukmu mencari inspirasi lagu," lanjutnya. Riko bergeming.
Kaito tersenyum kecil, "Kau tahu, jatuh cinta itu mudah. Sulitnya saat harus menahan diri, agar tidak jatuh terlalu dalam. Terlena. Ada rasa takut sejatinya, pura-pura tegar dan tidak terjadi apa-apa—namun aku gagal."
Riko dibuat berpikir karena Kaito. Ia tak tahu mau membalas apalagi, di benaknya hanya ada kata-kata yang masih sulit dicerna olehnya. Pianis itu masih tidak percaya. Bagaimana mungkin?
Riko menggigit bibirnya kembali, suasana lagi-lagi seperti yang tidak diharapkan. Riko berhasil membuka mulut, tapi dipotong Kaito, "Aku—"
"Ryo no koto ga suki? ore wa shitteru yo."
Riko terperanjat, berangsur tersenyum masam, "Sasuga, Kaito-kun."
Ia tak mampu mengelak, tak mampu menyangkal. Sebuah fakta yang ia simpan rapat, dikunci di dalam ruang bernama hati. Bahkan Riko tak berniat untuk mengungkap, tak ada keberanian. Siapa kira pembuat koreo Aqours ini berujar dengan tersenyum, mengatakan hal tabu baginya. Mana ia kira Kaito akan sepeka itu. Tindakan? Riko tidak merasa menunjukan rasa sukanya lewat tindakan terhadap Ryo Watanabe. Uneg-uneg? Riko tidak mau nenceritakan ini kepada siapapun, bisa dibilang Kaito lah orang pertama yang mengetahui. Kaito mengatakan lagi, tatapan. Ia menyadari lewat tatapan Riko pada Ryo. Kalau diperbolehkan, Riko ingin tertawa dan menanyakan bagaimana ia pintar menafsirkan itu? Kurang ajar rasanya Riko tertawa saat ini, lagipula ia kehilangan seluruh moodnya.
Riko memeluk dirinya sendiri, barangkali bisa menemukan kehangatan di antara situasi menggantung mereka. Tak mau lagi memandang Kaito untuk saat ini.
"Sebenarnya begini, aku cuma mau mengatakannya sebelum kamu berangkat ke Tokyo minggu depan," Kaito memecah atmosfer lagi.
Lusa kemarin, Riko memang mengatakan akan menghabiskan liburan akhir tahun di Tokyo bersama keluarga besarnya. Lusa kemarin Aqours mengadakan pesta dadakan di kediaman Ohara Mari, pesta akhir yang tahun yang padahal hari dimana tahun berganti masih dua minggu lagi lantaran minggu depan sudah ada jadwal masing-masing dengan keluarga mereka. Pestanya meriah, tidak terlalu mahal—kecuali sup super expensive buatan Mari, mereka makannya saja sungkan. Setiap dari mereka datang membawa makanan, tak terkecuali. Faktanya ini kali kedua Riko memakan sandwich buatan Kaito, yang pertama ketika pesta itu. Lalu Riko mengambil asumsi, apakah Kaito sengaja membawa sandwich pada malam itu?
Riko bergeming untuk sekian kali, melumat seluruh pikiran dan hal-hal tidak disangka ini.
Kaito tersadar akan Riko yang mulai kehilangan binar-binarnya, tampak ingin kabur darinya. Miris, naas. Apakah keputusannya salah untuk mengungkapkan rasa ini? Jujur, tak terbendung sudah apa yang sudah Kaito tampung secara tak sengaja, terus menerus membuat danau, sungai, laut, sampai samudera yang disebut cinta. Kaito tidak pernah merencanakan ini sebelumnya, ia tak tahu mengapa hatinya tersandung pada sosok adik kelasnya tersebut. Cinta tanpa alasan, ada kalanya Kaito mempercayai kata-kata berkesan romantis itu.
Kaito membenak tidak lebih memberatkan Riko, memilih untuk segera mengakhiri percakapan. "Pengakuanku jangan dipikirkan ya. Aku cuma mau memberitahu. Setelah ini..," Kaito menjeda, "aku bantu Riko-chan untuk lebih dekat dengan Ryo."
Satu lagi sakit menghantam Kaito—tidak, pemuda itu tak lemah, ia kuat. Maka Kaito tetap tersenyum lebar, tulus, pada Riko yang masih belum merespon selain diam menyimak dan barangkali shock, lalu bermain dengan angannya. Penyelam itu bangkit, merenggangkan tubuhnya, melirik jam tangan. "Wah! Sudah hampir jam sepuluh. Kuantar pulang, Riko-chan."
Gadis itu terperanjat, menggeleng singkat. "Tidak perlu, rumahku dekat."
"He? Ayo sekalian." rujuk Kaito agak memaksa.
Riko menggeleng lagi, turut berdiri. "Rumahku benar-benar dekat," ia membalikan tubuh, seakan siap untuk melenggang pergi, "Terima kasih untuk pengakuan Kaito-kun dan dukungannya. Kalau begitu, aku permisi. Selamat malam, Kaito-kun."
Benar-benar melenggang pergi, setengah berlari tanpa menoleh. Berbicara dengan Kaito pun tanpa menatap mata, netra dengan netra tidak ada. Lambat laun punggungnya menghilang dari sorot pandang Kaito, tak ada lagi surai scarlet dalam jangkauannya. Kaito ditinggal dalam keadaan masih tersenyum lebar. Pemuda itu tak ada minat untuk pulang lebih awal, duduk kembali sembari berangan bersama laut dingin dan udara kering. Kaito tidak kecewa, tidak menyesal. Ini namanya konsekuensi, Kaito tidak tertegun atas perlakuan Riko tadi.
Begini saja cukup, Kaito tidak terlalu mengharapkan lebih dari Riko.
Kaito melirik kirinya, lanjut terkekeh kecil. "Harusnya kubiarkan dulu ia menghabiskan sandwichnya."
.
bersambung
.
A/N : Bagaimana pendapat kalian? Silahkan beri saran, kritik, dan pesan yang membangun sehingga di bab berikutnya bisa diperbaiki. Mohon bantuannya, minna
Terima kasih sudah membaca dan tunggu Kuma Tulen di bab serta fiksi-fiksi berikutnya
