[Dance, Dance, Dance]
#NulisRandom2017
Izaya menulis:
(Teruslah menari, teruslah menari, teruslah menari; abaikan irama, abaikan gerakan-gerakan tak senada, abaikan, abaikan. Berdansalah dengan penuh kegembiraan.
—seperti sepatutnya.)
Kau akan menemukan dirimu kehilangan arah, lalu.
Izaya tersenyum.
Dan kau akan datang padaku.
Ya, sesuai rencana.
Kau akan memintaku untuk mengajarimu bagaimana cara menari.
Izaya menggerak-gerakan tali—tali yang terhubung pada boneka tanpa wajah. Boneka-boneka bergerak tak menentu, bergerak menghancurkan irama. Mula-mula tawanya pelan, kemudian meledak. Tangan ditarik ke atas, menghempaskan boneka-boneka yang kini mengapung di udara, lalu jatuh, tenggelam ke dalam akuarium, digigiti ikan-ikan.
Aku akan mengajarimu, tentu, sampai kau tak mampu mengimbangiku, sampai kau menyerah dan hancur.
Semua ini terlalu sederhana bagi Izaya, permainan-permainan kecil yang perlahan memberi efek besar ke seluruh Ikebukuro. Butterfly effect—tapi menuju keporak-porandaan tatanan kehidupan. Ia lebih senang menyebutnya tarian tak berirama, tarian yang mengantarkan manusia pada kaki-kaki yang saling menginjak. Tapi tidak apa-apa, tetaplah menari, tetaplah melanjutkan kekacauan. Izaya akan dengan senang hati menikmati kehancuran bersama secangkir kopi dan kepala Dullahan.
[Aku tahu, aku tahu … sejak awal aku tak pernah suka padamu. Kau biang di balik segala ketidak-beraturan. Kau adalah kutu yang merayap di atas kepala orang-orang, menghisap darah perlahan-lahan, mengendalikan—ah, ya, kau mengontrol segala tindakan manusia yang kau kehendaki.]
Izaya tertawa. Keras. Haha. Tapi aneh.
[Sekarang, masihkah kau bertanya kenapa aku tidak menyukaimu?]
Tidak.
[Masihkah kau bertanya kenapa aku ingin kau lenyap dari Ikebukuro?]
Ya.
[Kenapa?]
Izaya memandangi kepala Dullahan di tangannya, membolak-balik, memutar-mutar. Ia melihat sesuatu mengapung di bawah sana—papan reklame—lalu mendarat menuju tempatnya duduk. Tapi semua itu seperti masa kilas balik yang tidak jelas, seperti mencoba mengingat mimpi, tidak pernah pasti bagaimana persisnya.
Kenapa?
Barangkali karena kaulah satu-satunya manusia—oh, bukan, tapi monster, yang sangat ingin aku buat menari tanpa irama; menari, menari, menari, aku ingin kau hilang arah dan datang padaku. Tapi tidak. Kau bahkan tidak pernah menari sebanyak apa pun aku mengajakmu menari. Kau belum menari, bagaimana bisa aku pergi dari sini.
Izaya mendengar Shizuo tertawa di dalam kepalanya.
[Bagaimana kalau menari bersama?]
Aku tidak ingin hancur.
[Kau sudah hancur.]
Heh … benarkah.
[Ya, kau sudah hancur karena terus-menerus menari agar aku ikut menari.]
Kalau begitu, mari menari bersama.
[Tentu, tentu, sampai kau lebih hancur lagi dan lenyap selamanya dari hadapanku.]
Papan reklame nyaris mengenai batok kepala. Izaya terpelanting. Mimpi—apakah ini mimpi. Izaya tidak tahu, tidak peduli. Kedua kakinya tak mampu berhenti. Kedua kakinya bergerak-gerak tak menentu; menari, menari, menari, hingga mati rasa. Izaya lalu memandang nanar ke arah monster di atas kepalanya. Hanya membutuhkan beberapa detik sebelum ia mengapung ke udara, terlempar jatuh ke dalam akuarium, dan digigiti ikan-ikan. Kali ini Shizuo yang tersenyum.[]
12:40 AM – 5 June 5, 2017
Durarara © Ryohgo Narita
