"Sayang..."
Gadis itu membuka matanya cepat. Membuat ia merasa pusing sebelum akhirnya mengerjap. Tirai masih tertutup, Kurenai belum membangunkannya. Itu artinya ia masih boleh sedikit lebih lama terbaring untuk sekedar diam atau melanjutkan mimpi tertunda yang tidak ia ingat isinya apa.
"Sayang?"
Panggilan itu menjadi alarm di pagi ini. Ketukan tidak terdengar, hanya panggilan bernada lembut yang terkesan sangat dewasa.
"Kau sudah bangun?"
Ia menenggelamkan dirinya dalam selimut tebal berwarna ungu pucat.
"Hinata?"
Ia tidak melihat. Namun telinganya mampu mendengar bunyi knop pintu yang berusaha dibuka. Hinata diam saja. Rasa ngantuk menguap bersama dengan jarum jam yang perlahan bergerak. Ia tidak ingin tidur, tidak pula ingin beranjak.
"Kaa-san harus pergi, "
Ia meraih bantal. Menindihnya pada kepala guna mengundang senyap. Tapi suara itu masih mampu terdengar meski pelan.
"Sampai jumpa, "
Tidak.
Ia merasakan pandangannya buram. Sebagian dari rambutnya yang panjang menjuntai menutupi separuh wajahnya yang gusar. Matanya terpejam, napasnya tidak tenang.
Jangan pergi Kaa-san.
Kemudian sesuatu yang basah menjadi penanda, untuk mengawali harinya.
.
.
.
.
.
Disclaimer :
Naruto © Masashi Kishimoto
Hinata Hyuuga & Uchiha Sasuke
OOC, Typos.
.
.
.
Loved is not Enough
.
.
Chapter 1 : Tentang Kasih Sayang
Hinata keluar kamar pada pukul tujuh. Tampilannya terlihat segar dengan sapuan bedak tipis dan sedikit guratan lipbalm. Ia melangkah dengan ringan. Menenteng tas yang tidak terlalu berat, ia beranjak menuruni tangga.
"Ohayou, Ojou-sama."
Seseorang yang tengah merapikan karangan bunga menjadi orang pertama yang ia temui di pagi yang tidak terlalu cerah ini, meskipun bukan suara wanita itu yang pertama kali didengarnya. "Ohayou Kurenai, "
Berjalan konstan, tujuannya pintu keluar. Namun tepat di undakan pintu langkahnya terhenti, ketika tawaran Kurenai memerlukan jawaban. "Anda tidak sarapan?"
Hinata sudah lupa kapan langkahnya berbelok ke ruang makan. Ia hanya akan melewatinya, lalu pergi ke halaman depan rumahnya. Menepis waktu menunggu Kou yang setia dengan mobilnya. Lalu bergegas pergi ke sekolah.
"Aku sarapan di sekolah."
Meski begitu, Kurenai tidak pernah lupa untuk memasak setiap paginya. Menyiapkan makanan lalu bergegas menuju kamar Hinata di lantai dua. Membangunkannya. Lalu Hinata akan melengos begitu saja tanpa pernah menyentuh sarapannya.
Meski begitu, Kurenai selalu memasak dengan menu berbeda di setiap harinya. Berharap Hinata mau untuk sekedar menyicipi kudapan manis itu atau meneguk susu. Kurenai hampir lupa kapan meja makan itu terasa hangat. Kurenai tidak mengerti. Yang ia tahu, majikannya tengah melarikan diri dari rasa sepi. Ketika hanya ia yang menikmati sarapan pagi. Tanpa ada dentingan sendok dan piring yang beradu selain milik gadis itu.
.
.
.
.
.
Hinata pulang lebih lambat dari jam yang telah Kurenai hafal. Begitu pula dengan Kou yang sedari tadi menganggur ketika majikannya memintanya untuk absen dari kegiatan rutinannya di hari ini. Untuk menjemputnya. Kurenai khawatir, ketika matahari sudah tidak terlihat lagi selain langit yang berwarna orange membiaskan sinarnya.
Hujan enggan datang, sekalipun saat ini Tsuyu sedang berlangsung. Sore yang cerah namun Nonanya enggan menunjukkan eksistensi. Membuat khawatir ia yang sedari tadi menunggunya. Atau makanan yang ia buatkan untuk kedua kalinya di hari ini tidak akan tersentuh lagi.
Kurenai mengusap keringat di pelipisnya dengan punggung tangannya ketika sebelah tangan yang lain telah memberikan air pada tanaman bunga chrysanthemum berwarna putih. Ia menyipitkan matanya, berusaha menangkap refleksi seseorang yang terbias cahaya matahari.
Lalu seulas senyum lega tergambar di wajahnya yang masih terlihat muda di usia kepala empat. "Okaerinasai Ojou-sama, "
Hinata mengangguk dengan langkahnya yang terlihat ringan. Ada senyum yang tersamarkan kilau senja namun masih mampu di tangkap manik ruby wanita itu. Ia merasa gembira, karena masakan yang ia buat tidak akan berakhir menyedihkan.
.
.
.
.
.
Hinata meminta dibuatkan jus ketika waktu menunjukkan pukul delapan. Ia meminta jus mangga dengan ekstra gula. Namun kurenai menolaknya, ia menawarkan just strawberry setelah sebelumnya Hinata menolak untuk dibuatkan teh lemon saja.
Bukan apa-apa, Kurenai hanya mengkhawatirkan kesehatan majikannya. Ini tsuyu, dan Hinata yang notabenenya beraliran darah yin, tidak cocok meminum minuman yang sari buahnya menyatu dengan ampasnya, itu akan dengan mudah membuatnya terserang flu.
Baru satu ketukan, Hinata sudah menyuruhnya masuk. Kurenai agak merasa silau ketika dua lampu sekaligus tampak menyala di kamar Hinata yang didominasi warna-warma lembut.
"Matikan satu lampu, Ojou-sama. Ini tidak baik untuk kesehatan mata anda."
"Hai hai sebentar lagi."
Gadis itu tengah sibuk dengan sesuatu di atas kasurnya. Ia duduk bersila. Kurenai baru bisa melihat kegiatannya dengan jelas ketika ia menaruh minuman berwarna pink itu di atas nakas di samping tempat tidur gadis lavender itu.
"Nee Kurenai, coba lihat!"
Kurenai mengulum senyum. Hinata mengangkat sebuah gantungan kunci berupa boneka beruang kecil berwarna coklat. Memakai gaun mini berenda berwarna pink panta.
"Kawaii."
"Um! Suki da!"
Tidak ada yang lebih melegakan selain wajah Hinata yang menebarkan aura ceria. Hinata adalah gadis pendiam, namun diamnya semenjak beberapa waktu ke belakang semakin menjadi. Hinata berada di bawah tekanan. Dan ia menyimpan segalanya sendirian.
"Anda menyukai boneka itu, atau orang yang memberikannya?" Goda Kurenai yang dihadiahi pekikan kecil gadis berambut panjang dengan gaun tidurnya yang terlihat kekanak-kanakan.
"Sai-kun?"
"Um!" Hinata menelisik boneka itu, khawatir ia menemukan sediki saja noda ataupun goresan dari benda yang lebih berharga dari i-phonenya yang bernilai tinggi.
Kemudian ia membuka kotak yang sangat familiar di mata Kurenai. Wanita itu mematung dalam posisinya, mengawasi tingkah polah majikannya dengan kedua tangan mendekap nampan. Dari posisinya ia bisa melihat beberapa macam benda yang tidak bisa terhitung dengan kedua jari tangan. Sebagian besar Kurenai ingat, sebagian lagi Kurenai lupa dari siapa Hinata mendapatkan benda-benda itu.
Lalu Hinata melangkah menuju sebuah pintu dengan kotak tadi yang dipegangnya. Kamarnya begitu luas. Ada dua pintu berpernis coklat pekat yang selalu tertutup rapat, mungkin terbuka di saat tertentu jika perlu. Yang satu adalah toilet, satunya lagi adalah lemari. Hinata memasuki salah satu pintu itu dan menghilang dari jangkauan mata Kurenai.
Wanita itu belum berniat beranjak, bukan karena tidak mendapat perintah untuk itu, hanya saja ia belum memberi nasihat dan ucapan selamat beristirahat belum keluar dari bibirnya yang selalu mengenakan lipstik berwarna merah cabai. Hinata kembali dengan tangan hampa. Melangkah ke arahnya dan menenguk jus pesanannya.
"Setidaknya anda harus menunggu selama tiga puluh menit sebelum terlelap."
Hinata mengangguk sebagai jawaban. "Hari ini menyenangkan sekali,"
Kurenai memposisikan dirinya sebagai sahabat yang mendengarkan cerita majikannya, bukan lagi sebagai pembantu dengan usia yang terpaut jauh dengan majikannya.
"Kami pergi ke Yuenchi, dan dia membelikanku sovenir tadi." Hinata mendekap gelas tinggi itu dengan kedua tangannya. "Bukankah dia baik?"
Kurenai tersenyum seraya mengangguk. Senyum kepercayaan yang selayaknya di berikan oleh seorang Ibu untuk anak gadisnya yang tengah di mabuk asmara. Seharusnya begitu.
"Ah dia menambah koleksi barang berhargaku, " Ungkapnya seraya menjatuhkan diri di atas ranjang. Ia meraih laptop yang selalu tersimpan rapi di meja lain di samping ranjangnya.
"Aku ingin bermain sebentar, "
"Kalau begitu saya permisi." Kurenai membungkuk, "Selamat beristirahat, Ojou-sama."
Tidak ada sahutan selain anggukan. Karena Hinata telah asyik dengan dunianya sendiri.
.
.
.
.
.
'Kaa-san tidak akan mengunjungimu. Selamat berakhir pekan sayang.'
Hinata melempar benda canggih miliknya dengan asal. Tidak berniat membalas ia hanya menatap semesta kelabu yang terlihat menakutkan.
"Kenapa Anda tidak menyalakan lampu?" Kurenai berdiri di ambang pintu, menatap punggung Hinata dari posisinya.
"Biarkan seperti ini. "
Pintu kaca yang menjadi sekat antara balkon dengan ruangan tempatnya kini duduk dan memangku dagu dengan kedua tangannya. Entah sejak kapan ia menyukai langit malam.
"Baiklah, " Kurenai menyerah. Saran tidak akan diterima di saat Hinata mendapat mood yang kurang baik. Ia berniat pergi dan berbalik.
"Tunggu."
"Ya, Ojou-sama?"
Hinata berdiri dan melangkah pergi, membiarkan pintu kaca itu terbuka. Membuat tirai transparan melambai-lambai diterbangkan angin malam.
"Aku tidak menemukan pocky."
Kurenai terperanjat seolah tersadarkan akan sesuatu yang penting, "Saya akan membelinya sekarang-"
"Tidak."
Hinata melewati Kurenai begitu saja, "Aku saja yang pergi, lagi pula malam ini sayang untuk di lewatkan jika hanya duduk-duduk saja di rumah."
"Akan saya beritahu Kou-san agar-"
"Tidak." Hinata kembali memotong ucapan Kurenai dengan kata yang sama, "Aku ingin jalan-jalan. Lagi pula swalayan tidak jauh dari sini bukan?"
Kurenai menimang, ia ingin mencegahnya tapi ia tidak tega membiarkan Hinata diam di rumah. Kesedihan akan memberatkannya jika ia terus diam saja. Dengan dalih seperti itu, Kurenai menyetujui walau tau ke arah mana tujuan majikannya bermuara.
"Berhati-hatilah, Ojou-sama."
"Hai hai."
Lalu Hinata berlalu, dengan mantel abu dan debaman pintu.
.
.
.
.
.
Hinata sudah mendapatkan apa yang ia inginkan. Bahkan lebih dari itu. Ia juga membeli beberapa camilan lain dan juga buah yang tidak ia temukan di rumah. Atau mungkin buah yang belum sempat Kurenai beli karena kesibukan lain untuk mengurusi rumah.
Hinata hanya memakai pakaian yang terlalu santai di balik mantel abunya. Ia juga mengenakan sandal tipis sebelum ia lupa malah akan pergi keluar rumah dengan menggunakan sandal beludru berwarna ungu.
Hinata menengadah, menantang langit kelam dengan matanya yang pucat. Bohong jika malam ini indah hingga terlampau sayang untuk dilewatkan. Ini malam kelabu yang mengerikan, angin berhembus kencang semenjak Hinata keluar dari pagar rumahnya. Dan clakclikcluk tetesan air kini membasahi ia dan belanjaannya.
Ia sesalkan tidak pulang cepat, atau setidaknya membawa payung. Ia juga lupa membawa smartphonenya semenjak ia menaruhnya asal karena kesal. Ia harus bergegas karena hujan turun semakin deras, atau paper bag dalam dekapannya akan hancur di bawah pasukan air hujan yang menghantam.
Hinata setengah berlari. Di tikungan gang sempit ia mengambil inisiatif untuk mengambil jalan memotong. Juga menghindari hujan, yang kemungkinan akan turun sedikit diantara celah-celah bangunan gelap yang sudah tidak terpakai. Satu belokan lagi dan ia akan sampai di jalan terbuka yang besar, menuju rumahnya yang menunggu. Namun sialnya ia melupakan jalan mana yang harus ia ambil. Itu jalan pintas yang sudah tidak pernah ia pakai lagi sejak lama sekali.
Terburu oleh pasukan air langit, Hinata melangkah mengambil arah tanpa pikir panjang. Namun jalanan yang ia lalui begitu lengang dan sepi, tidak begitu luas dan terasa begitu panjang. Hinata tidak tahu ia kini berada di mana. Belanjaannya tidak begitu ia pikirkan. Ia merasa panik bahkan cipratan genangan air yang ia injak mampu membuatnya terperanjat. Ia sesalkan untuk pergi ke luar di malam ini.
Ia merasa terjebak di dalam sebuah labirin, gang sempit tak berujung, ia tidak temukan jalan normal beraspal. Yang ia temukan hanya gang-gang gelap tanpa penerangan.
Dari kejauhan, di tengah ketakutan, Hinata melihat siluet tinggi berdiri membelakangi. Ia tidak bisa berpikir lagi, ia lekas berjalan setengah berlari menghampiri seseorang yang kini ia ketahui orang iu bergender laki-laki dari postur tubuhnya yang tegap.
Langkahnya terhenti tepat beberapa inci dari pemuda yang masih berdiri. Hinata mengeryit ketika pemuda itu membiarkan tetesan air membasahinya, menjatuhi rambutnya, menuruni coatnya yang panjang berwarna hitam, dan berakhir di jalanan yang mereka pijak. Tidak ada yang aneh,hanya saja pemuda itu membiarkan hujan menyerbunya, membiarkan payung dalam genggaman tangannya tertutup.
"Su...sumimasen, "
Hinata berusaha kuat agar tidak tergagap, namun nyatanya gagal. .
"I...ini di di...mana?"
Pemuda itu lebih tinggi darinya. Rambutnya berwarna navy dan kulitnya seputih kulit Hinata yang susah payah ia perlu perwatan untuk mendapatkannya. Kepala pemuda itu menoleh dengan gerakan pelan, lalu tatapan dari matanya membuat Hinata mengambil langkah mundur dengan refleks.
Me...merah?
Hinata mengerjap, ia ingin melarikan diri namun itu akan sulit. Jika itu ia lakukan hanya akan memperburuk keadaan. Ia akan kehilangan kesempatan untuk bisa pulang. Hinata pada akhirnya memberanikan diri menghampiri pemuda itu lagi.
"Go...gomen, " Hinata membungkuk, lalu kembali ke posisi berdiri namun masih tetap menunduk. Ia diabaikan. Tidak ia temukan respon. Matanya mengintip dari sela poninya yang lebat. Ia menemukan pemuda itu yang tengah menatapnya lekat, dari atas ke bawah. Lalu ke atas lagi. Seolah menilai penampilan gadis itu dengan tatapan tajam dari jelaga yang memantulkan cahaya. Sinar remang dari lampu yang menyusup lewat celah-celah gang.
Tunggu.
"Siapa kau?"
"Hyuuga Hi...hinata."
Pemuda itu mengeryitkan dahinya. Tidak puas dengan jawaban Hinata.
"A...aku tersesat dan aku tidak tahu i...ini di mana." Hinata memberikan jeda sebelum melanjutkan, "Bisakah a...anda menunjukan ja...jalan d...dan, "
Hinata melirik payung hitam yang pemuda itu genggam, "Memberi s...saya tumpangan."
Diamnya pemuda itu membuat ia takut.
"K...karena ini hu...hujan dan anda membawa payung."
Masih diam.
"I...itu juga kalau anda ti...tidak keberatan."
Hinata merasa upaya yang ia lakukan sia-sia.
"Baiklah."
Dan jawabam pemuda itu di luar ekspektasinya.
.
.
.
.
.
Sasuke.
Uchiha Sasuke.
Begitulah yang pemuda itu katakan ketika Hinata menanyakan identitasnya. Berdasarkan pengakuannya, ia adalah penghuni rumah di sekitar perumahan elit yang di tempati Hinata.
Ia adalah seorang mahasiswa yang tengah rehat dari masa kuliahnya. Usianya satu tahun di atas Hinata, ia mengenyam pendidikan di luar kota sehingga Hinata baru menemuinya. Lagi pula, ia adalah warga pindahan satu tahun ke belakang. Hinata menutup diri dari sosialisasi, sehingga ia baru memgetahui eksistensi pemuda itu kini.
Setelah acara mengantar Hinata malam itu, pemuda itu lekas pergi dengan alasan sudah terlalu larut jika berkunjung. Sebagai gantinya, Hinata meminta pemuda itu untuk datang ke rumahnya di waktu luang, dan pemuda itu benar-benar datang pada keesokan harinya.
Lalu mereka menghabiskan hari yang panjang dengan perbincangan ringan. Semakin hari, intensitas pertemuan mereka sudah tidak terhitung lagi. Seperti hari ini, Hinata duduk di hadapan tuts-tuts piano sambil memainkan salah satu gubahan karya komposer Yuki Kajiura. Hinata bersenandung di bagian yang paling ia suka.
ama soltia mari miltia
sai toltia maria imarita
soltia mari miltia
sai toltia maria imarita
"Lagu apa itu, Hinata?"
Seseorang berdiri, menyandarkan sebelah badannya pada piano hitam yang menimbulkan bunyi nada yang tidak ia kenali. Memang pada dasarnya, pemuda bukan orang yang handal dalam seni, Terlebih seni musik.
"Kalafina,"
Belakangan ini, Hinata tidak lagi memainkan musik seorang diri. Selalu ada sosok asing yang menemani. Walaupun berkali pemuda tampan itu mengakui, ia tidak suka musik dan menyanyi. Namun begitu, ia tidak sering kali menunggui Hinata hingga selesai dengan permainannya. Selalu begitu.
Hinata terhenti menyanyikan beberapa baris lirik karya komposer fenomenal itu. "Nee, ne, Sasuke-kun, ongaku ga suki desuka?"
"Kirai."
Jawab Sasuke sekenanya. Hinata berdiri, melangkah mendekat ke arah Uchiha itu, "Tsumaranai."
"He?" Sasuke menatap Hinata yang lebih rendah darinya.
Hinata tidak pendek, hanya saja Sasuke yang memiliki ukuran tubuh lebih tinggi dari pemuda seusianya. Jelas sekali bahwa Hinata tengah menantangnya. Mengatainya membosankan. "Apa kau tidak bosan?" Sasuke melempar pandangan ke luar melalui pintu kaca yang tirainya terbuka seutuhnya. Mengalihkan topik pembicaraan.
"Tidak kok. Selama aku bisa bermain piano."
"Tapi aku bosan."
"Lalu apa yang kau inginkan, Sasuke-kun?"
"Yuenchi."
"Ah! itu pasti sangat menyenangkan! Aku terima tawaranmu." Hinata terlihat antusias.
"Siapa yang mengajakmu?"
"Apa?" Hinata tidak tuli, hanya saja ia ingin memastikan bahwa Sasuke tidak sejahat itu. Kemudian ia lekas tersadar, memicingkan matanya seraya berkata "Apa yang Sasuke-kun katakan?"
"Ya ya ya." Sasuke memutar matanya bosan, tidak berniat mencari masalah dengan Hinata, "Sepuluh menit. Lalu kita berangkat."
"Hai!" Hinata berlalu, diikuti Sasuke yang keluar dari ruangan itu.
Hinata menghentikan langkahnya, lantas berbalik menatap Sasuke yang mengekor di belakangnya. "Ne, Sasuke-kun?"
"Hn."
"Kau sangat baik. Terimakasih."
.
.
.
.
.
to be continued
.
A/N : Silahkan sampaikan segala hal yang anda temukan dan rasakan dalam fanfic ini. Pertanyaan juga ditampung kok.
.
aZhuraaaa, 30 Desember 2015
