"J, kau serius akan kembali ke Seoul?"
"Tentu saja aku serius, John. Kau tahu sendiri aku harus menemukan dia, dan satu-satunya petunjuk yang kumiliki adalah fakta bahwa dia kini menetap di Seoul. Aku tidak punya pilihan lain."
"Tapi koneksimu kan luas, J. Kau bisa—"
"Yang luas itu koneksi ayahku, John. Lagipula, aku ingin menemukannya sendiri, dengan usahaku sendiri, dan bukannya dengan menyuruh orang lain."
"Begini, aku bukannya ingin menahanmu atau apa, aku tahu betapa berartinya dia untukmu, tapi kita membicarakan Seoul. Seoul. Mimpi terburukmu ada di sana, J."
"Aku tahu. Aku tahu mimpi terburukku ada di sana. Tapi aku tidak ingin menjadi pengecut. Prioritas utamaku sekarang adalah untuk menemukannya, dan tidak akan ada yang bisa menghentikanku."
Lelaki bersurai cokelat itu menatap sahabatnya yang duduk di hadapannya dengan raut khawatir, sebelum akhirnya ia menghela napas dan menganggukan kepalanya, lalu menepuk pundak sahabatnya itu. "Aku dan Mark akan mengantarmu ke bandara, J. Musim panas nanti, kami akan datang ke Seoul untuk mengunjungimu. Dan kau harus ingat untuk—"
"Meneleponmu setiap hari tanpa absen satu haripun. Kalau tidak, kau akan langsung membeli tiket ke Seoul dan mendobrak pintu rumahku. Ya, tentu saja aku ingat. Kau sudah mengatakannya lebih dari seribu kali seminggu ini. Kau lama-lama terdengar seperti ayahku, kau tahu?"
"Aku hanya melakukan tugasku sebagai sahabatmu, dumbass."
"Dumbass? You too, mate. You too."
Soul City
Jaehyun, Jung x Taeyong, Lee
Romance, Drama, Hurt/Comfort
NCT © SM Entertainment
Jaehyun menghela napasnya lega begitu ia berjalan keluar dari pesawat tempatnya menghabiskan waktu selama 14 jam terakhir itu. Pantatnya terasa keram karena terlalu lama duduk di atas kursi, dan karenanya ia hampir melompat gembira dari duduknya begitu ia akhirnya mendarat di bandara internasional Incheon, dan ia dipersilakan untuk beranjak dari tempat duduknya dan berjalan keluar dari pesawat. Dan yang membuat Jaehyun merasa lebih senang lagi adalah karena proses pengecekan paspor, visa, dan lain-lain tidak berjalan terlalu lama. Pantas saja bandara internasional Korea Selatan ini dinobatkan sebagai salah satu bandara tercepat dalam masalah customs processing.
Akhirnya aku kembali setelah tiga tahun lamanya, Jaehyun berucap dalam hati ketika ia menginjakkan kaki di bagian depan bandara Incheon, semua proses sudah beres dan sekarang tugasnya hanyalah menunggu orang yang akan menjemputnya, lalu mengantarnya menuju rumah lamanya di Seoul. Rumah yang tidak pernah ia kunjungi lagi dalam kurun waktu tiga tahun belakangan.
Saat ini sedang musim dingin di Seoul, dan dinginnya tidak main-main. Jaehyun sendiri bisa melihat napasnya dalam bentuk asap setiap kali ia menghembuskan napas, dan meskipun Jaehyun sudah mengenakan empat lapis pakaian, ia tetap merasa kedinginan. Ia bahkan sudah mengenakan sarung tangan dan syal, tapi ia tetap merasa kedinginan.
Karena cuaca dingin dan fakta bahwa orang yang seharusnya menjemputnya itu tidak kelihatan batang hidungnya sama sekali, mood Jaehyun yang awalnya baik itu kian memburuk tiap menitnya. Dari dulu Jaehyun tidak pernah suka dingin, dan ia pernah bermimpi ingin tinggal di negara tropis saja, negara-negara yang tidak ada musim dinginnya seperti Singapura atau Thailand. Tapi apa daya, takdir Jaehyun berkata lain.
"Jaehyun!"
Setelah kurang lebih 30 menit menunggu, akhirnya terdengar suara yang sudah Jaehyun nantikan sejak tadi. Ia langsung menoleh ke arah suara tersebut berasal, dan senyumnya merekah begitu melihat sosok yang benar-benar ia rindukan itu. Bahkan kekesalannya karena cuaca dingin dan penjemputnya yang telat langsung menghilang begitu ia melihat sosok sepupunya tersayang itu.
"Joonmyeon hyung!"
Jaehyun tidak ingat kapan ia terakhir kali memanggil seseorang dengan sebutan hyung. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia berbicara menggunakan bahasa Korea dengan seseorang selain ayahnya. Dalam tiga tahun terakhir, Jaehyun berusaha keras untuk melupakan tanah airnya sendiri dengan tidak pernah menggunakan bahasa Korea, menyuruh semua orang untuk memanggilnya dengan nama panggilannya di Amerika, dan juga menjauhi ayahnya sendiri. Semua untuk melupakan semua kenangan pahit yang ada di tanah kelahirannya ini, Korea Selatan. Atau lebih tepatnya, Seoul.
Tapi disinilah Jaehyun sekarang, di tempat yang selama tiga tahun belakangan ini ia hindari habis-habisan. Jaehyun kadang suka bertanya-tanya, apakah takdir memang memiliki hobi untuk mempermainkan manusia seenak jidat.
"Maaf aku terlambat," Sepupu Jaehyun yang umurnya lebih tua enam tahun dari Jaehyun itu berkata ketika ia sudah berada cukup dekat, napasnya tersengal-sengal, kelihatan jelas bahwa ia habis berlari. "Tadi aku harus mengantar Yixing dulu ke rumah sakit, penyakitnya kambuh lagi."
"Apakah sekarang Yixing hyung baik-baik saja?" Meskipun Jaehyun tidak pernah pulang ke Korea Selatan dalam tiga tahun belakangan, ia tetap tahu tentang Zhang Yixing, seorang pemuda asal China yang juga merupakan kekasih dari sepupunya itu. Keduanya sudah berhubungan selama dua tahun, dan Joonmyeon selalu mengajak Yixing bersamanya setiap kali ia pergi ke Amerika untuk mengunjungi Jaehyun. Karena itulah Jaehyun bisa kenal dan dekat dengan Yixing. Menurut Jaehyun, Yixing merupakan pemuda yang benar-benar baik, meski kadang kekasih sepupunya itu penyakit lupanya sudah tak tertolong lagi. Kekasih Joonmyeon itu memang benar-benar pelupa. Ia bahkan pernah lupa namanya sendiri.
"Ya, dia baik-baik saja," Joonmyeon menganggukan kepala, senyum lebar tercetak di wajahnya sebelum ia tiba-tiba menarik Jaehyun ke dalam pelukannya. "Aku benar-benar senang kau kembali, Jae. Sungguh. Aku benar-benar rindu tinggal bersamamu di rumah lama."
"Hyung, lagakmu ini seperti kita tidak pernah bertemu sekalipun selama tiga tahun, deh," meskipun Jaehyun berkata seolah-olah ia menganggap kelakuan sepupunya itu konyol, Jaehyun tetap membalas pelukan Joonmyeon. Dalam hati, Jaehyun juga mengakui bahwa ia rindu tinggal bersama dengan sepupunya itu. Meskipun Joonmyeon selalu mengunjunginya tiap tahun di Amerika, Jaehyun tidak pernah merasa cukup, dibandingkan dengan keadaannya dulu sebelum ia pindah ke Amerika, dimana ia tinggal dengan Joonmyeon di rumah lamanya, dan mereka bisa melihat dan bermain dengan satu sama lain setiap hari. "Aku juga rindu tinggal bersamamu, hyung."
Joonmyeon melepas pelukannya pada Jaehyun, lalu ia meraih salah satu tas yang dibawa oleh Jaehyun. Jaehyun tidak membawa banyak barang dari Amerika, total barang bawaannya hanya satu koper dan satu tas, dan itu semua karena dulu ia meninggalkan sebagian besar barang-barangnya di rumah lamanya di Seoul. Jadi ia tidak perlu repot-repot membawa banyak dari Amerika. "Siap pulang?"
"Siap tidak siap, hyung," Jaehyun tersenyum tipis. "Tiga tahun, hyung. Sudah tiga tahun aku berusaha keras untuk melupakan semua hal yang terjadi di Seoul. Sudah tiga tahun aku berusaha keras untuk menghindari semua hal yang bisa mengingatkanku akan kenangan-kenangan pahit tentang kota ini. Sebenarnya sekarang aku ingin langsung membeli tiket pulang ke Amerika, kembali ke zona nyamanku, dan bersikap seolah-olah tidak terjadi apapun. Tapi aku tidak bisa. Aku harus menemukan dia. Harus, hyung."
Joonmyeon meremas pundak adik sepupunya itu, seolah-olah ingin memberikannya kekuatan. "Kau tahu, Jae? Menurutku keputusanmu untuk kembali ke Korea Selatan adalah keputusan yang tepat. Masalah itu seharusnya dihadapi dan diselesaikan, Jae, bukannya dihindari dan diabaikan. Tenang saja, ada aku di sini. Aku akan membantumu semampuku. Baik untuk menemukan dia, maupun untuk menghadapi semua kenangan pahitmu di sini."
"Terimakasih, hyung. Kau memang yang terbaik."
"Ah, tidak usah memujiku begitu, Jae. Aku jadi malu, kau memang sepupu yang—"
"Hyung."
"Ya?"
"Kau yang memang bertambah pendek atau itu hanya perasaanku saja?"
"Sialan."
"Pagi, Jae!"
"Yixing hyung?"
Jaehyun yang baru saja turun dari kamarnya yang terletak di lantai dua menatap sosok lelaki ramping yang merupakan kekasih sepupunya itu dengan kaget, kaget karena ia tak menyangka bahwa Yixing sudah akan ada di rumahnya pagi-pagi begini.
Kemarin setelah ia tiba di rumah lamanya, Jaehyun langsung masuk ke dalam kamarnya dan memberitahu Joonmyeon bahwa ia akan tidur seharian, kelelahan karena penerbangan selama 14 jam dari Washington, D.C ke Seoul. Dan Jaehyun memang benar-benar tidur seharian, dan baru bangun pagi ini, tepat jam delapan pagi. Untungnya hari ini hari Minggu, dan ia tidak harus masuk sekolah.
Omong-omong soal sekolah, Jaehyun benar-benar tidak merasa bersemangat sedikitpun untuk kembali melanjutkan pendidikannya di Korea Selatan. Ia ingat bahwa ayahnya hanya memperbolehkannya untuk kembali ke Seoul kalau ia berjanji ia juga akan melanjutkan pendidikannya di sekolah umum di Seoul, padahal Jaehyun sudah berniat ingin homeschooling saja. Jaehyun terpaksa setuju, dan ayahnya langsung mendaftarkannya di salah satu sekolah terbaik di Seoul, sekolah milik teman baik sang ayah, Sekang High School. Karena umurnya, Jaehyun otomatis ditempatkan di tingkat dua sekolah tersebut.
"Kau wangi, Jae. Sudah mandi, ya?"
"Yixing hyung kok ada di sini?"
"Kenapa memangnya? Kau tidak ingin aku berada di sini, begitu? Astaga Jung Jaehyun, kau jahat sekali!"
"Bukan itu maksudku!" Jaehyun buru-buru memperbaiki ucapannya. "Maksudku, aku heran kenapa hyung sudah ada di sini, padahal sekarang masih jam delapan pagi."
"Oh," Yixing tertawa kecil. "Kemarin sore aku sudah boleh keluar dari rumah sakit, lalu aku minta Joonmyeon untuk menjemputku dan membiarkanku menginap di sini. Aku ingin menginap karena aku benar-benar rindu padamu. Omong-omong, kau ini memang benar-benar, deh. Mentang-mentang aku dan Joonmyeon tidak punya waktu untuk mengunjungimu enam bulan belakangan ini, kau juga tidak pernah menghubungi kami sama sekali. Kau kira kami tidak akan khawatir?"
Jaehyun tertawa canggung, merasa bersalah karena ia terlalu sibuk enam bulan belakangan sampai lupa menghubungi sepupunya itu sama sekali. "Maaf, hyung. Aku lupa sangking sibuknya di sana."
"Tidak apa-apa, aku paham. Tapi jangan sampai kau ulangi lagi," Yixing berkata, meraih tangan Jaehyun dan menariknya untuk duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan. "Ada sup rumput laut, ikan, dan kimchi untuk sarapan. Kau mau, kan?"
"Tentu, sudah lama aku tidak makan masakan Korea untuk sarapan," Jaehyun berkata, teringat bahwa ia selalu makan roti atau sereal sebagai sarapan selama masa tinggalnya di Amerika. Meskipun Jaehyun berusaha keras untuk menghindari topik apapun tentang Korea Selatan ketika ia tinggal di Amerika, kadang-kadang ia mau tak mau mengakui bahwa ia rindu masakan Korea, terutama jajanan-jajanannya, seperti soondae dan odaeng. "Tapi hyung, setelah sarapan aku ingin jalan-jalan sebentar ke luar. Tidak apa, kan?"
"Tentu, tentu."
Yixing menghidangkan nampan yang diatasnya tertata sup rumput laut, ikan, kimchi, dan semangkuk kecil penuh nasi putih. Jaehyun memakannya dengan bersemangat, dan ia sudah menghabiskan sarapannya 15 menit setelah Yixing menghidangkannya.
"Jae, kau sedang kelaparan atau kau memang doyan?"
"Dua-duanya, hyung," Jaehyun bangkit dari duduknya, lalu membawa semua peralatan bekas makannya menuju bak cuci piring. Jaehyun awalnya berniat untuk mencuci semuanya sendiri, tapi Yixing buru-buru menghentikannya. "Tidak usah repot-repot, Jaehyun. Kau lebih baik jalan-jalan ke luar sekarang, mumpung masih pagi dan udaranya masih segar."
"Terimakasih, hyung," Jaehyun berkata, lalu ia berjalan menuju pintu depan rumahnya dengan Yixing yang mengikuti di belakangnya. "Aku tidak lama. Oh ya, Joonmyeon hyung mana? Aku kok tidak melihatnya daritadi."
"Ia masih di dalam kamar, masih tidur," Yixing menjawab. "Sepertinya ia kelelahan."
Jaehyun mengangguk-anggukan kepalanya seraya memakai sepatunya. Sebelum ia benar-benar keluar dari rumahnya itu, ia menengok menatap Yixing dengan seringai jahil di wajahnya. "Aku kira Joonmyeon hyung yang top, tapi ternyata Yixing hyung, ya? Hyung hebat juga, bisa membuat Joonmyeon hyung kelelahan begitu."
Jaehyun langsung mengambil langkah cepat keluar, dan ia langsung menutup pintu rumahnya itu, tak ingin mendengar teriakkan Yixing. Suara Yixing memang cukup lembut, tapi suaranya bisa berubah cempreng kalau sudah berteriak.
Jaehyun menatap sekeliling, dan ia menghela napas begitu menyadari bahwa tidak ada yang benar-benar berubah. Semuanya masih sama. Semua tanaman di depan rumahnya, warna cat rumah-rumah yang berada di sekitarnya, sampai tumpukan salju yang berada di jalanan di depan rumahnya itu tampak sama dengan keadaan jalanan tersebut musim dingin tiga tahun yang lalu, musim dingin terkutuk yang membuat Jaehyun membenci musim dingin, yang membuat Jaehyun ingin melupakan tanah kelahirannya.
Jaehyun melangkahkan kakinya hati-hati menyusuri jalanan, dan meskipun Jaehyun sudah mengenakan pakaian empat lapis seperti kemarin, cuaca masih terasa dingin. Bahkan terasa lebih dingin, karena sekarang masih pagi dan belum banyak orang berkeliaran di luar rumah. Mungkin Jaehyun harus mencoba memakai enam lapis pakaian lain kali.
Sepanjang perjalanan, lelaki dengan tubuh tinggi itu sibuk melihat kesana-kemari, berkenalan ulang dengan lingkungan yang sudah ia tinggalkan selama tiga tahun lamanya. Anehnya, meskipun sudah tiga tahun tidak pernah berada di sini, lingkungan ini masih terasa familiar bagi Jaehyun. Seakan-akan ia tidak pernah meninggalkan lingkungan ini selama tiga tahun.
Jaehyun tiba di belokan di ujung jalan, belokan dengan pohon menjulang yang diselimuti oleh salju. Ia baru akan berbelok ketika tiba-tiba pohon di atasnya bergetar, menumpahkan salju di atas kepalanya, dan juga terdengar suara benda jatuh dan rintihan yang menyusul. Semua terjadi begitu tiba-tiba dan ketika Jaehyun berhasil memproses semuanya, ia disambut oleh seorang lelaki yang tampaknya seumuran dengannya, terduduk di atas jalanan yang tertutupi salju dengan wajah yang meringis kesakitan, dan seekor kucing di pelukannya. Jaehyun juga baru sadar bahwa terasa sensasi dingin yang lebih lebih dari sebelumnya, terlebih di atas kepalanya.
"Kau tidak apa-apa?" Sahabat Jaehyun di Amerika memang tidak salah memberinya julukan gentleman J, karena Jaehyun memang tipe lelaki baik yang selalu peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Kalau di drama Korea, Jaehyun adalah tipe-tipe second male lead yang terlalu baik dan tidak pernah mendapatkan si pemeran wanita utama. Dan karena kebaikan Jaehyun itulah, bukannya mengeluh karena rasa dingin di kepalanya, Jaehyun malah mengulurkan tangan pada lelaki asing yang terduduk di depannya itu.
Lelaki itu tampaknya tidak begitu menyadari keberadaan Jaehyun sebelumnya, karena Jaehyun yakin ia melihat tatapan kaget dalam mata lelaki tersebut sebelum tergantikan dengan tatapan datar. Lelaki itu bangun tanpa menyambut uluran tangan Jaehyun, dan Jaehyun langsung menarik tangannya kembali begitu sadar bahwa tawarannya untuk membantu telah ditolak secara halus.
"Mm, kau tidak apa-apa?" Jaehyun bertanya lagi.
Lelaki itu hanya menganggukan kepalanya, bahkan tanpa menatap Jaehyun. Ia malah sibuk membersihkan salju yang mengotori pakaiannya dengan satu tangan, sedangkan tangan lain sibuk memegangi kucing berwarna putih yang menurut Jaehyun sangatlah lucu itu.
"Kau jatuh dari pohon, kan?"
Anggukan kepala kedua.
"Apa kau yakin kau benar-benar tidak apa-apa?"
Anggukan kepala ketiga.
"Kau yakin tidak ada tulang yang retak?"
Anggukan kepala keempat.
"Lagipula kau mau apa sih, naik-naik pohon segala? Kalau sekarang sedang musim semi atau musim panas mungkin aku maklum, tapi ini musim dingin, dan kau bahkan memakai jaket berlapis-lapis yang tidak memudahkanmu untuk naik-naik pohon."
Lelaki itu mengangkat kucing dengan dua tangannya dan menunjukannya pada Jaehyun, seolah-olah mengatakan bahwa ia naik ke atas pohon karena kucing yang berada di genggamannya itu. Jaehyun sesungguhnya ingin bertanya lebih lanjut, selain karena ia memang masih penasaran dengan kelakuan aneh lelaki asing ini—siapa coba manusia berpikiran sehat yang mau naik ke atas pohon saat musim dingin hanya karena seekor kucing?—ia juga ingin mendengar suara si lelaki.
Tapi sebelum Jaehyun dapat bertanya lebih lanjut, lelaki itu keburu berbalik, berjalan pergi meninggalkan Jaehyun dengan kucing di gendongannya, tanpa mengucapkan apapun pada Jaehyun, bahkan tanpa bungkukan kecil sebatas tanda kesopanan. Jaehyun yang ditinggal hanya bisa menatap punggung lelaki yang perlahan menjauh itu dengan tatapan bingung, sebelum akhirnya lelaki itu menghilang di ujung jalan.
"Aneh," Jaehyun bergumam. "Benar-benar aneh."
Tapi lelaki itu tampan juga. Manis sih, sebenarnya.
Jaehyun menampar pipinya sendiri dengan pelan begitu ia sadar apa yang baru saja ia katakan dalam pikirannya itu. Ia menggeleng-gelengkan kepala seolah-olah berusaha mengembalikan akal sehatnya, dan berbalik ke arah jalan menuju rumahnya, memutuskan untuk menyudahi jalan-jalan hari ini. Setelah lelaki itu pergi, Jaehyun baru bisa fokus pada rasa dingin di kepalanya, dan karena Jaehyun benci dingin, ia lebih memilih untuk kembali ke rumah dan meringkuk di dalam kamar.
Tapi memang benar, kok, lelaki tadi itu memang benar-benar manis.
Jaehyun menghadiahi dirinya sendiri satu tamparan lagi di pipi. Dan kali ini agak terlalu keras, karena Jaehyun sendiri berteriak kesakitan karenanya.
To Be Continued.
Hm. Saya balik-balik bukannya ngelanjutin Arranged Marriage malah bikin FF baru, dengan pair baru pula :') Saya akhir-akhir ini lagi kesengsem (?) banget sama NCT, bias saya Taeyong dan pair favorit saya Jaeyong. Makanya saya pengen bikin FF dengan cast mereka sekali-kali, dan ketika ide FF ini dateng, saya ngga ragu-ragu lagi buat bikin ehehe.
Itu sebenernya SuLay pengen saya bikin anak NCT, tapi kayaknya anak NCT lebih pas buat karakter lain aja, daripada sepupunya Jaehyun. Awalnya saya bingung mau bikin sepupu Jaehyun siapa. Awalnya pengen Yunho, tapi ngga jadi, dan akhirnya jadi lah Joonmyeon. Sekalian nyelipin pair favorit di EXO lah ya. Lagian Joonmyeon emang rada mirip sama Jaehyun, jadi cocoklah jadi sepupu gitu.
Ya, jadi, semoga kalian suka sama fanfic ini. Rencananya di fanfic ini saya juga mau masukkin pairing NCT yang lain, tapi belum tau mau pairing apa. Kalian bisa kasih saran buat pairing yang kalian pengen liat di fanfic ini melalui review yaa, saran saya terima sepenuh hati, hehe.
Thankyou for reading!
