DISCLAIMER

EVERY CHARACTER BELONGS TO HAJIME ISAYAMA

Karena jika semua karakter ini milik saya, sudah dipastikan Petra dan Levi hidup bahagia lol

DILARANG KERAS MENIRU ATAU MENGATASNAMAKAN CERITA INI

PURE FROM MIYUTANUKI

MAAFKAN KEKURANGAN ATAU KESALAHAN PENULISAN

KITA MASIH BELAJAR

Enjoy the story~


CHAPTER 1


Keseharian perempuan berambut cokelat muda itu dilalui tanpa ada kejadian yang memukau. Ia bangun di pagi hari, menyiapkan diri menyambut hari, membuat sarapan, pergi bekerja, berbincang mengenai hal baru yang rasanya tak terlalu mengejutkan, pulang dengan sushi di tangan, lalu menyantap makan malamnya ditemani oleh serial tv yang belum ia selesaikan malam kemarin.

Namun rasanya sangat kosong.

Rambutnya yang diikat secara acak dengan bobby pinyang disematkan di poninya, pakaiannya longgar dan celana pendek yang hamper tenggelam di balik pakaian longgar tersebut. Sulit sekali mengatakan jika ia menggunakan celana pendek jika ia sedang berdiri, seakan ia bahkan tak menggunakan apapun di balik pakaiannya yang longgar itu.

Ia berhenti menyuapkan sushi kedalam mulutnya dan bersandar untuk kembali fokus pada apapun yang sedang ia lihat di layar televisi. Sudah beberapa minggu terakhir ia merasa begitu kosong tanpa alasan yang pasti.

Sebelumnya ia belum merasakan sebuah kekosongan seperti ini. Ia menikmati kehidupannya selayaknya manusia lain. Namun akhir-akhir ini rasanya dunia berubah menjadi kelabu tanpa ia sadari. Petra memicingkan matanya untuk menyadari bahwa suara melengking itu berasal dari dapur, menandakan air sudah panas.

Bergegas ia segera menuangkan air panas ke dalam mug berisikan teh favorit nya. Chamomile akan membuatnya tenang di hari-hari seperti ini. Asap mengepul menunjukan cairan tersebut masih dalam kondisi panas hingga akhirnya aroma teh berada di sekelilingnya. Petra menghirup udara dalam-dalam dan mencoba untuk rileks sejenak. Membiarkan bahunya sedikit menekuk dan akhirnya ia melemaskan seluruh tubuhnya.

Apakah ini karena berakhirnya hubungan dirinya dengan Erwin?

Pemikiran itu terlintas di benaknya namun ia segera menggelengkan kepala. Mereka sudah berakhir cukup lama, tak ada lagi yang bisa diharapkan karena kini Erwin sudah memiliki yang lain.

'Siapa tadi namanya?'

'Hanji?'

Batinnya sudah mulai lelah dengan pembicaraannya sendiri. Erwin sudah berbahagia dengan perempuan bernama Hanji. Jika tidak salah mereka akan bertunangan dalam waktu dekat. Salahkan teman kantornya yang berbicara mengenai hal tersebut di dekatnya walaupun dengan berbisik. Tapi sungguh, ia memiliki telinga for god sake. Perempuan itu merupakan seorang ilmuwan. Hanya itu yang ia dengar, tidak kurang dan tidak lebih.

Jika memang rasa kosong ini memang merupakan efek dari berakhirnya hubungan mereka, mengapa baru terasa sekarang? Ketika ia sudah jelas tidak lagi memiliki perasaan berlebih pada Erwin dan yang tersisa hanyalah rasa hormat pada atasan.

Sekali lagi ia meneguk teh yang sudah hangat itu, merasakan setiap tetesan mengalir kedalam tubuhnya dengan aliran hangat menggugah ketenangan. Matanya sudah menyerah untuk tetap terbuka. Ia menghabiskan tetesan terakhir teh tersebut dan membuang kotak sushi lalu mematikan televisi. Rasanya ia harus segera mengistirahatkan tubuh saat itu juga karena jika moment ini terlewat, ia tahu bahwa ia tak akan bisa tidur hingga burung berciut keesokan harinya.

Ia mendapatkan posisi nyaman di balik selimut tebal. Kehangatan di tambah kenyamanan merupakan sebuah surga yang tak terkira baginya. Maka saat itu juga, ia sudah tenggelam kedalam dunianya.


'…tra? Petra?'

'Brengsek! Kembalilah, kumohon.'

'Kembalilah, Petra.'


Matanya terbuka secara paksa dengan tubuh yang tegang. Secara perlahan indra pendengarannya bisa mendengar ciutan burung-burung di luar jendelanya dan ia sadar bahwa kini sudah pagi.

Ia duduk dan merasakan tubuhnya yang masih tegang. Mimpi itu tidak menggambarkan apapun, hanya suara yang ia dengar. Suara seorang pria yang begitu rendah namun terdengar sangat putus asa. Namun suara itu jelas bukanlah suara Erwin. Suaranya belum pernah ia dengar di ruang lingkup pertemanannya namun suara itu membuat sesuatu di dalam dadanya berdegup kencang, terjebak dalam adrenalin yang tinggi.

Apa yang terjadi di dalam mimpi itu pun ia tidak tahu dan ia pikir itu hanyalah sebuah mimpi buruk belaka.

Tapi apakah itu dapat dikategorikan sebagai mimpi buruk jika hanya mendengar suara seorang pria yang menginginkannya kembali?

Hal bodoh lainnya.

Tapi lebih bodoh lagi rekan kerjanya yang kembali membincangkan mengenai Erwin dan Hanji secara berbisik di belakangnya.

"Aku pikir kalian sudah bosan dengan berita itu."

Eren berhenti berbicara dan menatap Petra dengan ragu lalu tersenyum canggung padanya. Mikasa yang menjadi lawan bicaranya hanya mengangkat bahu dan dengan tampang yang luar biasa datar ia melirik Eren sejenak dan menatap Petra.

"Ia tidak berhenti berbicara pada ku mengenai hal itu karena Auruo senpai selalu mengungkitnya ketika berada di common room."

Auruo, pria itu lagi.

Ia lebih senang berada di sekitar Gunther atau Erd ketimbang pria yang jelas-jelas senang menirukan orang lain itu. Pernah suatu saat Auruo menirukan gaya Erwin selama sebulan penuh dan itu membuatnya harus menahan rasa jengkel setiap hari.

"Benar apa yang dikatakan senpai, seharusnya kau sudah bosan dengan hal itu." Tampik Historia membuat Eren mati kutu.

"Tapi, apa senpai pernah bertemu dengan wanita itu?"

Petra memutar tubuhnya dan sembari meneguk teh di cangkirnya, ia mengangkat sebelah alis. Menandakan bahwa ia tidak mengerti siapa yang dimaksud oleh Eren.

"Hanji-san."

"Oh, aku belum pernah bertemu dengannya."

Senyuman di wajahnya bukanlah senyuman palsu. Itu adalah senyuman yang selalu ia lemparkan pada siapapun dan semua orang di ruangan merasa lebih lega karena ketua tim mereka ternyata sudah berhasil merelakan mantan kekasihnya.

"Aku memiliki fotonya."

Connie mendekat dan berseru pada Petra, menunjukkan foto seorang wanita berkacamata yang sedang menggunakan jas lab. Terlihat biasa saja namun itu tentunya bukan urusan dirinya. Petra mengangguk dan menepuk bahu Connie.

"Bukankah sekarang ada baiknya kalian kembali bekerja? Waktu istirahat sudah berakhir."

Mereka menatap jam di dinding dan segera kembali ke posisi mereka. Petra mengembuskan napas panjang dan berjalan keluar ruangan. Ia tahu bahwa saat ini Gunther dan Erd sedang berada di dekat vending machine, mungkin mereka bisa membantu dirinya yang kini sedang merasakan sesuatu yang aneh.

"Oi Petra."

Petra cukup melambaikan tangannya dan berjalan gontai kearah kedua temannya itu.

"Jarang sekali aku menemukan seorang Petra Ral murung hingga berjalan gontai seperti itu."

"Aku terbangun secara tiba-tiba karena suatu hal."

Gunther dan Erd saling bertukar pandang tak mengerti dan menyerahkan sekaleng minuman bersoda pada Petra. Berusaha membuat wanita itu menjelaskan apa yang baru saja ia katakan.

"Di dalam mimpiku ada seseorang yang memanggilku untuk kembali, namun perasaan yang kurasakan sangatlah hampa. Terasa sangat nyata dan itu membuatku terganggu."

"Ini bukan mengenai Erwin, bukan?"

"Tidak. Suara itu jelas bukanlah suara Erwin. Kepalaku pening tapi mimpi itu tidak bisa ku lupakan."

"Jarang sekali seseorang bisa mengingat mimpinya sejelas itu."

Petra hanya mengangkat bahunya dan meneguk minuman bersoda di tangannya. Ia berharap mimpi itu tak lagi menghantuinya.

Namun ternyata selama satu minggu penuh, setiap malam, setiap ia memejamkan mata untuk beristirahat, mimpi itu selalu menjadi alasannya untuk terbangun secara mendadak dengan tubuh yang tegang. Ia tak mendapatkan waktu istirahat yang optimal dan moodnya sudah hancur berkeping-keping hingga ia menjadi sedikit keras dan tidak fokus di kantor. Walau tetap saja bagi seseorang bernama Petra Ral, hal ini tak akan menjadi perusak seluruh pencapaiannya di kantor.

Pagi ini dengan wajah suram ia membuka pintu depan dan menemukan truk di depan pagarnya. Tidak tepat di depan pagarnya, hanya saja sepertinya seseorang pindah ke rumah disampingnya. Pantas saja tak ada lagi teriakan-teriakan keluarga menyebalkan yang sering mabuk di malam hari. Ia sangat berharap memiliki tetangga baik hati, saat itu juga ia mengubah ekspresinya menjadi lebih cerah. First impression selalu menjadi penilaian utama pada semua pertemuan. Ia harus melakukan sebaik mungkin.

Matanya menangkap sosok pria yang tak lebih tinggi dari dirinya sedang berdiri menyandar di depan pagar sementara pegawai berusaha membawa barang-barang pria itu kedalam rumah. Pria berambut hitam itu hanya menunduk memainkan ponselnya.

Ekspresinya tak terlalu bersahabat dan aura yang dikeluarkan pun cukup menyeramkan. Sejenak Petra memilih untuk tak menghiraukan pria itu dan langsung pergi bekerja. Namun demi kenyamanan kehidupannya di masa depan, setidaknya ia harus menyapa.

"Hi."

Pria itu mengangkat pandangannya dan memicing ke arah Petra. Sorot matanya begitu tajam hingga membuat wanita itu mematung, tak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

"Um, Aku tetanggamu. Petra Ral. Jika ada sesuatu yang membuatmu bingung silahkan bertanya padaku." Ujarnya sembari menunjuk rumahnya sendiri lalu mengulurkan tangan pada pria yang benar-benar tak lebih tinggi darinya.

"Tch."

Wait, what?

Apa ia baru saja melakukan kesalahan hingga pria itu mendecih tepat di depan wajahnya?

"Levi."

Hanya begitu lalu pria itu tanpa menyahut uluran tangannya segera masuk ke dalam rumah yang akan ia tempati.

Ia tidak bisa berekspektasi lebih pada pria brengsek seperti itu. Terima kasih sudah membuat moodnya semakin memburuk.


A/N

Hello Rivetra People~

Ini pertama kalinya aku buat Fanfiction tentang Rivetra, maybe it will become little bit OOC but I try my best.

Feel free untuk memberikan review, baca juga cerita lain di akun ini ^^

Warm regards,

Matsushina Miyura