Bond

.

Warning: AU, OOC, Misstype.

Disclaimer: Uchiha Itachi, Hyuuga Hinata, dan seisi desa Konoha adalah milik Om Masashi

.

1

.

Dunia ini sempit. Ayah selalu bilang begitu jika dia bertemu dengan teman lamanya yang berambut putih. Kalau tidak salah, namanya Kakashi. Waktu itu aku masih kecil, jadi tidak terlalu ambil pusing. Sialnya, lima tahun berikutnya, ketika aku berusia sepuluh tahun, dia kembali ke Konoha dan menjadi kepala polisi di kota ini.

Aku tidak menyebut kata sial itu tanpa sebab. Karena dia, ayahku yang juga seorang polisi yang ditempatkan di departemen obat terlarang berubah jadi orang yang super sibuk. Aku lebih suka kepala polisi yang dulu, gemuk dan suka bermalas-malasan. Bukan contoh polisi yang baik, aku tahu, tapi dia setidaknya tidak membuat waktu-berkualitas-aku-dan-ayah berkurang.

Sejujurnya, pekerjaan sebagai seorang polisi itu keren. Tentu saja; menangkap penjahat, menolong orang, bebas menggunakan senjata (Setidaknya pistol), dan seragam mereka juga keren. Tapi, jadi anak seorang polisi itu sama sekali tidak keren. Aku sering ditinggal, bahkan saat malam hari. Andai ayah tahu betapa kesepiannya aku.

Aku tidak punya ibu karena ayah belum pernah menikah. Katanya, aku dipungutnya di suatu malam bersalju. Waktu itu, ada orang yang menekan bel rumahnya, dan ketika dia membukanya, aku yang waktu itu masih bayi menyambutnya dalam kehangatan seadanya kardus bekas televisi. Cerita itu diceritakan saat aku berusia enam tahun.

Menyedihkan, ya? Ayah macam apa sih, yang menceritakan hal setragis itu pada anak kecil yang bahkan masih tersendat untuk menghapal tabel perkalian?

Tapi, itulah ayahku. Orang yang jujur tanpa basa-basi.

Aku benar-benar hormat dan sayang padanya. Aku bersyukur dia mau merawatku. Maksudku, halo? Dia adalah pria dua puluh satu tahun yang single dan sangat sibuk. Dia bisa saja menitipkanku di panti asuhan, tapi dia tidak melakukannya. Saat aku tanya kenapa, dia cuma tersenyum sambil menerawang ke langit-langit ruang tamu.

"Entahlah. Waktu itu kau begitu kecil dan tidurmu nyenyak sekali. Aku jadi ingat masa kecilku."

Aku tidak terlalu puas sebenarnya, tapi bagiku itu sudah cukup.

Setidaknya, hingga saat ini.

Malam hari, apartemen yang isinya cuma aku sendiri, angin di luar berteriak ribut, dan di dalam, rasa hangat seperti mencengkram punggung. Aku ketakutan. Itu karena seorang anak dari klan Akimichi menceritakan kisah seram di sekolah tadi pagi. Menyebalkan. Awas kalau aku bertemu dengannya besok.

Omong-omong, sepi sekali di sini.

Aku menarik selimut dari kamar dan membawanya ke sofa di ruang tamu. Aku ingin nonton hingga ayah pulang.

Tidak ada acara yang menarik. Aku menekan remot hingga kotak elektronik itu kehilangan cahayanya.

Aku benar-benar benci sendirian di rumah. Aku ingin punya teman yang bisa kuajak bercanda saat ayah pergi, yang bisa menemaniku waktu ketakutan. Aku pernah mengutarakan kalau aku ingin punya seorang saudara, mungkin laki-laki, tapi perempuan juga boleh. Apapun yang ayah suka.

Tapi dia tidak mengizinkannya.

Dia bilang, aku saja sudah cukup baginya.

Menyebalkan. Pria itu benar-benar keras kepala. Dia butuh seseorang untuk sedikit mencairkan hatinya yang seperti batu itu. dia butuh seorang pendamping, teman yang akan membantunya melewati hidup.

Dia butuh seorang isteri.

Aku butuh seorang ibu.

Sempurna, 'kan?

Kalau ada seorang ibu, aku tak akan kesepian lagi. Biar ayah tidak pulang seminggu, asal ibu ada di sampingku. Aku juga bisa meminta ibu memberikanku seorang saudara untuk diajak bermain. Mungkin dia tidak keberatan.

Dan saat-saat yang paling kutunggu adalah, di saat nanti aku dan ayah bertengkar, aku ingin ibu berdiri di pihakku.

Pasti menyenangkan.

Intinya, aku ingin punya ibu.

Rumah pasti akan terasa ramai saat itu nanti tiba.

Tapi sekarang rumah ini masih sunyi.

Mendengar radio mungkin tak salah.

Suara penyiar perempuan menyambutku. Ah, ternyata ini sesi curhat.

Aku langsung meraih telepon dan menghubunginya sambil berdoa semoga aku beruntung.

Dan dia menyahut dari seberang.

Ternyata aku memang beruntung.

Jangan tanya kenapa aku ingin sekali curhat. Aku cuma anak sepuluh tahun yang masih duduk di kelas lima sekolah dasar. Menjalani hidup yang berat seperti ini, aku butuh pelepasan. Aku ingin mengeluarkan semua beban yang membuat nafasku berat. Biasanya aku cerita pada ayah, tapi karena masalah yang satu ini tentang ayah, aku tidak berani bicara langsung padanya. Jadi, yah, seperti ini akhirnya.

"Hallo?" suara wanita itu menyahut di ujung saluran.

Aku berdehem keras, gugup. "H-halo?"

Ada jeda sejenak. Aku bisa mendengarnya yang kebingungan. Mataku mencari jam yang tergantung di atas pintu kamar. Sebelas tiga puluh malam.

Apa yang aneh dengan menerima telepon dari seorang anak umur sepuluh tahun waktu hampir tengah malam di dalam sesi yang seharusnya hanya dinikmati oleh orang dewasa?

"Halo?" pernyiar itu berkata lagi.

"Halo," aku ingat dia memperkenalkan namanya di awal sesi sebagai seorang Suzuka, "Nona Suzuka, aku Fugaku."

"Oh…" dia seperti kehabisan kata. Aku benar-benar ingin tertawa.

"Aku ingin curhat," kataku terus terang.

Lagi-lagi jeda.

Apa aku sebegitu anehnya?

"Ya? Cerita saja. Aku dan semua pendengar KonoFM mendengarkanmu, sweetie."

Yuks! Sweetie? Serius? Aku itu keren dan the drop dead sexy one. Murid perempuan di sekolahku bilang begitu.

"Fugaku? Berapa umurmu?"

"Sepuluh."

"Okay, ceritalah."

Tenggorokanku sedikit gatal, jadi aku berdehem lagi agak kecil. Lalu aku memulai ceritanya.

.

"Namaku Fugaku. Aku punya seorang ayah yang sangat sibuk. Dia baik, hanya saja kurang peka dan terlalu serius. Aku sangat sayang padanya meski ia jarang ada di rumah. Aku tidak menyalahkannya. Aku tahu itu bukan keinginannya."

"Apa kau hanya tinggal berdua dengan ayahmu?" penyiar itu meyahut.

"Ya," aku mengangguk, "Tapi aku lebih sering tinggal sendiri."

"Kalau begitu, bagaimana dengan makanmu? Sekolah? Siapa yang mengurusmu?"

"Seorang wanita tua yang tinggal di sebelah rumah selalu datang ketika ayah tidak rumah. Sepertinya ayah memintanya untuk membantuku menyiapkan keperluan sekolah dan mengisi perut." Aku tertawa sebentar. "Wanita itu baik, sayang dia terlalu tua untuk ayah."

"Begitukah?"

"Ya."

"Lalu?"

Entah sejak kapan sesi curhat ini berubah jadi interogasi. Tapi biarlah. Begini juga tidak masalah.

"Lama-lama berada di situasi seperti ini, aku juga jadi berpikir, seandainya aku punya saudara, atau mungkin ibu, aku tidak akan sendiri lagi di malam-malam seperti ini. Aku ingin seorang ibu." Kataku kemudian.

Mungkin aku terlalu serius bercerita, atau aku terlalu menikmati sesi curhat ini. yang manapun, karena hal itu, aku tidak mendengar pintu yang terbuka. Aku melihat ayah dengan jas tebalnya berdiri di ambang pintu dengan pandangan menelisik. Aku buru-buru menutup telpon.

"Siapa yang kau hubungi malam-malam begini?" ayah masuk sambil melepas jaketnya. Aku suka ayah yang begini, jika ia memakai jaket tebal itu, dia jadi terlihat lebih tua dari usia yang seharusnya. Dia masih tiga puluh satu tahun, tapi kadang terlihat seperti orang tua lima puluh tahunan.

"Tidak, aku hanya menghubungi Shikaku."

"Si Nara? Memang dia masih bangun?" alis ayah terangkat sebelah sambil melihat jam tangannya. "Kenapa belum tidur?"

"Menunggu ayah."

"Benar?"

Dia tidak percaya.

"Aku takut tidur sendiri. Choza tadi membuat cerita hantu di sekolah."

"Dan kau menelepon si Bocah Nara, mengganggu tidurnya untuk menemanimu?"

Aku cemberut. "Kalau iya, kenapa?" aku malah menantang.

Ayah tertawa, lalu mengacak-acak rambutku. Rasanya sudah lama tidak disayang seperti ini. "Ayah, aku kesepian," kataku waktu ayah membawaku ke kamar. "Aku ingin teman. Aku butuh seorang ibu."

Langkah ayah berhenti sebentar sebelum kembali berjalan. Dia membaringkanku di ranjang, menarik selimut hingga batas dagu, dan memadamkan lampu. "Tidak semudah itu mencari seorang ibu," katanya padaku sebelum akhirnya menghilang di baik pintu.

Menyebalkan. Kenapa dia seolah lari?

.

Hari ini ayah dapat libur dan kami berdua akhirnya memutuskan untuk pergi ke taman ria di pusat kota. Mainan di sana keren-keren. Aku paling suka rumah hantu, tapi tidak dengan roller-coaster. Wahana itu membuat perutku mual.

Saat siang, kami singgah di salah satu food court. Aku makan burger porsi anak-anak dengan kola sebagai minumannya. Sementara ayah makan ayam goreng.

Junk-food.

Biasanya, ayah tidak mengijinkanku makan makanan ini. Tapi hari ini pengecualian. Ayah sendiri yang bilang. Dia bahkan yang berinisiatif mengajakku makan di sini.

Obsesiku pada ibu dan saudara hampir terlupa ketika aku mendengar suara tangisan seorang anak kecil, yang lebih muda dariku tentu saja. dia anak perempuan yang manis. Rambutnya coklat panjang, matanya besar, dan hidung serta pipinya memerah. Di depannya, ada seorang perempuan yang juga berambut panjang, berusaha membujuknya.

Mereka berdua cantik.

Aku bukan pria mata keranjang. Mereka berdua memang cantik.

Penasaran, aku mendekat. Sepertinya gadis kecil itu sadar kalau dia diperhatikan orang lain. Dia melihatku sebentar, lalu melihat kola yang kubawa dengan pandangan ingin. Aku mengangkat alis, "Kau mau ini?" tawarku padanya.

Dia mengangguk malu-malu.

Wajahku jadi panas.

"Rika ingin kola seperti itu?" wanita yang ada di depannya bertanya lembut. Anak perempuan itu lagi-lagi mengangguk. "Kalau gitu, berhenti menangis. Setelah itu, akan bibi belikan."

"Janji?"

"Iya," sahutnya, kemudian menoleh untuk melihatku. Dia tersenyum, hangat. "Terima kasih," katanya tulus.

"Ya."

"Aku Hyuuga Hinata. Dia Hyuuga Rika. Kau siapa?" dia perempuan yang ramah.

"Fugaku," jawabku, "Uchiha Fugaku."

.

Hyuuga Rika dan Hyuuga Hinata.

Hyuuga Hinata itu baik. Senyumnya membuatku tenang. Aku iri pada Rika yang bisa menggenggam tangannya. Seperti apa ya rasanya digenggam olehnya? Apa akan terasa aman? Terlindungi? Aku jadi membayangkan bagaimana jika aku menggenggam tangan kirinya? Sementara di tangan kanannya, ada tangan ayah yang besar.

Aku ingin dia bertemu dengan ayahku.

Aku ingin dia jadi ibuku.

"Fugaku?"

Aku berbalik untuk melihat ayah yang baru kembai dari toilet. "Ayah, aku ingin ibu."

"Hah?"

"Aku sudah punya calonnya."

Matanya semakin terbelalak lebar.

Aku jadi ingin tertawa. Dia seharusnya tahu kalau seorang Uchiha seperti dia tidak pantas punya wajah konyol seperti itu. Biar bagaimanapun, dia kan kepala salah satu divisi di kepolisian Konoha? Namanya sudah terkenal.

Uchiha Itachi seharusnya punya ekspresi wajah yang lebih keren dari ini.

Iya, 'kan?

.

TBC

.

A/n:

Satu lagi fiksi aneh dari seorang Marine, si amatiran yang nekad mempublish fiksi karena rindu sama Hinata dan Itachi. Semoga yang membaca gak terlalu kecewa. ^^V #peace

Salam,

Marine