Tittle : Y and J
Main Cast : Wu Yifan | Kim Jongin | Xi Luhan
Rate : M
A/N:
Saya peringatkan, yang masih dibawah umur untuk kembali ke halaman berikutnya.
Kalau nggak suka BOYxBOY, silahkan kembali.
.
.
.
Sarapan terdiri atas kentang persegi seperti balok, telur rebus yang jadi dua sisi, bersama salad yang porsinya lebih banyak dari dua jenis makanan lainnya. Cangkir tak jauh di dekat baki berkotak-kotak itu berisi air putih yang terisi penuh.
Pada akhir giliran tugas tiga tahunan, Wu Yifan sulit menghargai sarapan pagi. Untung baginya, jika hari ini adalah hari terakhir tugas. Rasanya tak ada bedanya dengan hari-hari lain yang menjemukan, tetapi tegang karena dengung konstan dan mengerikan dari ancaman yang mendekat.
Ketika walkie-talkie yang di jepitkan ke sakunya berbunyi, ia menyingkirkan makanan yang sudah berantakan tanpa memperhatikan baki kotak yang baru berkurang setengahnya. Panggilan itu tanda bagi awak yang bertugas untuk meninggalkan semuanya, termasuk sarapan.
Unit-unit evakuasi medis banga atas waktu reaksi mereka. Baik laki-laki maupun perempuan langsung bertindak. Meninggalkan semua yang sedang mereka lakukan.
"Ayo, Dragon," kata Hangeng, ketua awak unit.
Sesuai kebiasaan rumit tentara, Yifan diberi julukan Dragon. Awalnya, saat beberapa anggota pleton tau sedikit tentang tattoo naga di punggungnya dan juga bentuk tubuhnya yang tinggi dan kurus, mirip seperti 'naga' di film China. Sifatnya yang tegas, kaku, dan dingin tak luput dari julukan itu. Meski beberapa anggota pleton mengagumi Yifan karena selalu membela yang benar dan tertindas, tapi ada beberapa yang membenci karena dianggap pahlawan kesiangan.
"Aku yang bertugas," kata Yifan sambil melangkah menuju helipad. Dia dan Henry akan menerbangkan pesawat itu hari ini.
"Bangsat! Apa lagi yang kau tunggu?" desak Yifan, melangkah melewati Victoria. "Segera ke tempat pendaratan!"
Perempuan itu terpaku, mukanya pucat seperti marah. Ia tak beranjak, tapi mengikuti Yifan.
"Sir. Aku tidak suka umpatan itu."
Yifan tertawa singkat. "Kau akan terbang ke wilayah tempur dan mencemaskan umpatan? Tentara bisa mengumpat. Biasakan dirimu."
Victoria seperti akan menangis.
"Ayo segera pergi!" ucap Yifan lalu beranjak tanpa menoleh.
Ketua awak darat meneriakkan daftar periksa. Semua orang naik ke pesawat. Baju baja dan helm dipakai di atas pesawat untuk mempersingkat waktu.
Yifan menerima rincian tugasnya melalui earphone sambil memeriksa beberapa strategi pribadinya. Panggilan ini jenis yang paling mereka takuti –korban berasal dari tentara dan warga sipil. Helicopter Apache bersenjata akan mengawal pesawat-pesawat medis, karena lambang palang merah pada wajah dan setiap pintu kargo pesawat tidak akan ada artinya bagi musuh.
Dalam waktu beberapa menit, mereka terbang ke utara melintasi pegunungan penuh di Provinsi Kunar. Terbang dengan kecepatan tinggi melewati daratan yang dipenuhi puncak-puncak curam, hutan belantara, serta sungai-sungai dalam. Yifan merasa tegang dan gelisah. Hiruk pikuk yang berasal dari percakapan melalui headset memenuhi ruang helicopter.
Ini misi Yifan yang terakhir, jangan kacaukan.
Jantung Yifan sudah hafal selang waktu antara melihat kilatan dan munculnya tembakan –satu, dua, tiga detik dan pasti ada yang meledak.
Yifan dan Henry, pilot satunya, berkonsentrasi untuk memperpendek jarak antara heli dengan tempat panggilan. Helicopter mendekati titik penjemputan dan turun. Puncak-puncak pohon bergoyang maju mundur dihantam angin di bawah rotor utama. Yifan melihat orang-orang sipil dan tentara berlarian, sebagian menyebar mencari musuh, dan sebagian lagi menjaga orang-orang yang terluka sambil menunggu datangnya bantuan.
Ia menurunkan pesawat, melayang sedekat mungkin ke sasaran, tetapi tidak bisa mendarat. Ancaman dari balik pohon dan bukit yang mengintari wilayah itu tak bisa dianggap remeh. Medannya terlalu berat.
Hanggeng menggantung keluar dari pintu kargo, meluncurkan kabel penetrator melalui tangannya. Tandu-tandu diturunkan dan yang terluka terparah di tempatkan kedalam tandu terlebih dahulu.
Kilatan kecil menghantam helicopter. Semuanya berjatuhan, pecahan peluru, perlengkapan medis terbang berputar-putar. Lalu, semburan api menyapu helicopter, peluru-peluru membuat beberapa lubang di badannya. Saluran bahan bakar yang bocor menyirami ruang pilot. Yifan merasakan peluru menghantam kursinya yang berlapis baja.
Henry mencoba radio lain. Ekor merah asap granat merebah, menyapu bagian depan ruang pilot membuat saluran radio mati. Pesawat berputar-putar seolah di lempar dalam angin raksaksa. Lepas kendali. Henry segera mengambil alih kemudi helicopter dan mereka bergeser sedikit. Yifan terengah karena terkena kepingan material helicopter yang berterbangan. Heli membentur. Sentakan menghantam semua tulang ditubuhnya.
Jangan mati, ia berkata di dalam hati.
Rotor lepas terpelanting, membabat semua yang ada disekitarnya. Yifan mengulurkan tangan, meraih pundak Henry, dan ia bersyukur rekannya masih hidup.
Mereka berjongkok di belakang lengkungan pesawat yang porak poranda. Di tanah tampak berserakan peluru-peluru AK-47. Heli-heli Apache bersenjata sudah berhenti, mencari musuh di darat, menembaki kilatan moncong senjata di lereng-lereng gunung. Tanpa alat evakuasi, para awak terpaksa berlindung di mana saja sebisanya. Dengan kepala mendunduk, dalam hujan puing, mereka menggotong tandu ke rumah terdekat. Hanggeng tampak berlari dengan jongkok kecil menuju ke beberapa korban.
Yifan merobek lengan baju untuk menghentikan pendarahan pada seorang korban berusia remaja. Baru setelah menekankan kain ke salah satu lengan, ia melihat lengan itu memengang lengan laki-laki tua yang sedang terbujur lemah.
Yifan melihat cara si anak remaja membelai pipi pria tua itu. Keluarga. Keluarga memberikan makna kehidupan. Selain kakeknya, Yifan kurang mengenal keluarganya.
Tembakan para pemberontak mereda. Dua lagi awak heli datang dengan tandu dengan berlari. Semua mulai bertindak. Korban luka diangkat ke tandu, digotong dengan lengan yang tegang. Heli pertama berangkat degan bunyi meletus-letus dipenuhi muatan, lalu berayun seperti komedi putar.
Yifan ada di heli kedua, dengan Henry juga Hanggeng. Ia dapat melihat salah satu petugas operasi berkomat-kamit mengucapkan kata yang sudah di nantikan oleh semuanya; Bergerak.
.
.
Orang-orang berkerumun di sekeliling tenda kantin. Dua awak udara sedang bersiap berangkat lagi.
"Hey. Kau mau minum?" kata Henry sembari menegak kaleng soda dari tenda coca-cola. "Kudengar perintah pemberhentianmu sudah turun."
Yifan mengangguk. Benar-benar terjadi, ia akan pulang.
"Apa yang kau lakukan setelah kembali ke China?" tanya Henry.
Memulai dari awal, pikir Yifan. Kali ini melakukannya dengan benar. "Aku punya rencana besar."
Henry terkekeh sambil berjalan ke kamar mandi. "Kita semua juga punya."
.
.
Bagi Fei, untuk ukuran yang sekarat, Wu Lian terlihat sebagai laki-laki tua yang cukup riang. Tayangan paling bodoh salah satu TV China yang sedang ditayangkan membuat tawa Wu Lian yang khas menggelegar. Wu Lian baru-baru ini menerima kabar bahwa cucu laki-lakinya akan pulang dari perang di Afganistan, dan kabar itu menambah keceriannya. Wu Lian sudah tak sabar menantikan pertemuan mereka dalam waktu dekat ini.
"Aku sudah tidak sabar menunggu Yifan," kata Wu Lian. "Dia cucuku. Dan seharusnya dia sudah dalam perjalanan pulang."
"Aku yakin dia segera menemuimu." Fei meyakinkan, berpura-pura pada Wu Lian babelum menceritakan ini kepadanya sejam lalu.
"Apa Tuan Kim sudah menelpon hari ini?" tanya Wu Lian menengadah ke arah perawat pribadinya.
"Sudah. Dan beliau berkata akan datang ke sini malam ini."
"Kalau begitu, bisakah kau memasakkan makanan favoritenya?"
Fei mengangkat kedua alisnya.
.
.
Karena pemberhentian Wu Yifan dipercepat atas permintaan, namun, perjalanan pulang rasanya berlangsung sangat lama. Sesudah wawancara di salah satu media China yang menampilkan info-info tentara China yang pulang dari Afganistan setiap bulannya, akhirnya ia dipulangkan.
Yifan bergerak gelisah sesudah memencet dua kali bel di depan pintu apartemen kakeknya. Beberapa pria berpakaian serba hitam dan memakai kacamata hitam di dinding lorong apartemen kakeknya membuat ia sedikit mengerutkan keningnya.
Pintu apartemen terbuka, seorang pria tua beruban dengan mengenakan setelan jas hitam sedang tersenyum ramah padanya. Pria tua itu memandangi Yifan dari ujung kaki ke ujung kepala. Yifan dengan pakaian tentara lengkap dan tas hitam berisi beberapa pakaiannya.
"Kau pasti Yifan?" setelah tatapan intimidasi singkatnya, ia mempersilahkan Yifan masuk.
Ada beberapa pasang sepatu ballroom dan juga sandal seorang perempuan. Yifan mengira bahwa itu milik Fei, perawat pribadi kakeknya –kakeknya pernah bercerita saat mengirimkan surat. Di ruang makan, meja yang melingkar itu ditempati dua orang pria tua. Yifan tau itu kakeknya, Wu Lian. Dan juga seorang yang sedikit gemuk sedang membelakangi dirinya. Di belakang kakeknya juga ada seorang perempuan langsing dengan rambut lurus sebahu sedang berdiri memegang kedua tangan.
"Yifan. Bersihkan dirimu, setelah itu temui kakek."
Yifan mengangguk, tanpa rasa ingin tahunya tentang tamu kakeknya, ia berjalan menuju kamar mandi yang masih berada di belakang dekat dapur dan mesin cuci.
.
.
"Dia Wu Yifan. Cucuku satu-satunya."
Uluran tangan Yifan diterima baik dengan tamu pria kakeknya. Pria tua itu memandang Yifan lekat-lekat.
"Aku Kim Sungsoo." Pria tua itu memperkenalkan dirinya sendiri. Yifan mengangguk,
"Dia Perdana Menteri Korea." Celetuk Wu Lian,
"Maaf aku tak tau sebelumnya." Yifan membungkukkan badannya.
"Dia bertugas selama 3 tahun belakangan di Afganistan."
Pria tua bernama Kim Sungsoo itu terkagum, "Jadi, kau bekas tentara China yang bertugas di Afganistan?"
"Iya. Aku bertugas dibagian medis."
Sungsoo terdiam sejenak. Ia nampak berpikir dan memberi isyarat pada pria beruban sembari membisikkan sesuatu ke telinganya. Setelah beberapa lama mereka berbisik, Sungsoo segera memandang Wu Lian dengan tatapan memohon,
"Guru," ia memotong perkataannya sendiri, "Kau tau kan anak laki-lakiku?"
Wu Lian mengangguk kemudian memandang sebentar wajah lawan bicaranya yang duduk di seberang meja, kemudian mengalihkan pandangannya ke cangkir berisi teh hijau yang ia jepit dengan jemarinya sendiri.
"Aku ingin Yifan menjaga anakku," Sungsoo menatap sedikit takut pada Wu Lian, "Itu kalau guru membolehkan."
Yifan menampakkan air muka yang kebingungan. Seakan-akan ia bertanya kenapa ia terlibat dalam pembicaraan itu.
Wu Lian menganggukkan dagunya namun tatapannya tak goyah sama sekali. Masih menatap cangkir di pegangannya.
"Bagaimana denganmu Yifan?" tanya Wu Lian yang mengalihkan tatapannya pada cucunya.
"Jika kakek berkata 'ya' maka aku juga akan mengatakan 'ya'."
Kaku dan dingin. Itulah kesan pertama Kim Sungsoo berbicara pada Yifan, cucu dari gurunya.
Wu Lian bukan tidak kenal dengan keluarga muridnya, Sungsoo. Pria yang pernah memecahkan kasus tinggi skandal keuangan Lee Chang, skandal Walker Hill Casino itu sering meminta bantuan Wu Lian untuk mengamankan keadaan petinggi Korea di masanya. Wu Lian, walaupun berkewarganegaraan China, ia mampu mengawasi pergerakan-pergerakan mafia di Asia. Jadi, pada saat itu, keamanan Sungsoo dalam memecahkan kasus yang melibatkan petinggi negeri itu berada ditangannya. Wu Lian kembali berjasa pada Sungsoo ketika dirinya hendak di tembak ketika hendak menaiki mobil pribadinya saat kembali dari persidangan dengan mengerahkan beberapa anak buah handal Wu Lian.
.
.
Saat tersadar, Jongin mendapati dirinya terbaring di ranjang sempit. Lampu padam, cahaya lampu jalan yang masuk dari sela-sela jendela dengan gorden yang terbuka menerangi kamar. Dia hanya memakai celana dalam abu-abu. Tubuhnya berantakan di bawah cahaya lampu berwarna kuning. Ia melirik tempat di sebelahnya. Putihnya kulit Xi Luhan berbading terbalik dengan kulit tan miliknya. Luhan tak tertutup sehelai benangpun. Ia bahkan meringkuk kedinginan karena tak tertutup selimut yang telah jatuh di samping ranjang. Alat kelaminnya kelihatan. Buah dada laki-laki yang empuk menyentuh tangan Jongin tanpa sengaja.
Meski berbaring di ranjang bersama mahasiswa semester 4 itu, Jongin tak merasakan gejolak aneh. Ia bahkan berada di bawah umur laki-laki China itu.
Jam berapa sekarang? Jongin mengangkat kepala untuk melihat jam, namun tak ada jam dimana-mana. Xi Luhan terbangun karena pergerakan besar Jongin. Lalu merangkul leher Jongin dengan kedua tangannya. Tubuhnya lengket, mengandung benih kehidupan di sekujur tubuh kedua laki-laki itu.
Xi Luhan mengeliat di atas tubuh Jongin. Jongin dapat merasakan bulu kemaluan dan benda kepemilikan pria itu menggesek pahanya. Bulu yang tipis dan jarang. Membuat sensasi geli pada permukaan kulit Jongin.
"Aku harus pergi dari sini pagi-pagi, Luhan," Jongin berkata menatap wajah Luhan yang terlihat sedih, "Bisa gawat jika orang rumah tak menemukanku dikamar."
Luhan sekali lagi menggosokkan bulu kemaluannya pada paha Jongin, seakan-akan merangsang kembali laki-laki yang menggagahinya lima jam lalu.
Luhan menggeggam erat tangan Jongin. Jongin merasakan denyut enak di bagian bawah tubuhnya. Tetapi ia tidak ereksi. Penisnya sedikit mengeras karena pergerakan sensual dari Luhan.
Wajah Luhan sedikit mengeras. Ia menempelakan hidungnya dan mengendus bau badan Jongin yang menurutnya memabukkan sembari menciumi basah bahu Jongin. Ia menyungginkan seringai ketika kepala Jongin tampak bereaksi menggerakkan ke belakang.
"Tidak apa-apa kalau jadi keras," Luhan membisikkan, seolah-olah membaca isi hati Jongin. Kedua tangan Luhan yang sedari tadi memeluk Jongin kini memainkan reaksi tubuh Jongin dengan mengelus paha bagian dalam milik Jongin. Ia menarik celana dalam milik Jongin secara kasar. Tangan Jongin mengelus pinggang Luhan di belakangnya.
Dengan satu gerakan, tubuh Luhan berada di atas tubuh Jongin yang sedang terduduk. Ia berkali menggesekkan benda kepemilikkannya pada bawah pusar Jongin dengan perlahan. Bibir tebal Jongin mencium bibir Luhan tanpa pergerakan, sedetik kemudian, ia membuka bibirnya, mengijinkan lidah Luhan untuk mengabsen setiap deret giginya. Bunyi kecipak pada kedua bibir itu memenuhi kamar Luhan. Tak cukup dengan memasukkan lidah, tangan Jongin menahan kedua pipi Luhan kemudian menyedot udara yang ada di dalam mulut Luhan dan menciumnya dengan rakus.
"Ahh…"
Bibir Luhan membentuk kata-kata yang tidak bisa dibahasakan. Luhan memejamkan mata terpesona.
Jongin terbaring terlentang di atas ranjang, wajahnya menghadap langit-langit. Luhan melebarkan kedua kakinya di atas tubuhnya. Ereksi Jongin masih bertahan.
"Tak apa," kata Luhan. Dia mengangkang dan menempelkan alat kelaminnya pada perut Jobngin. Dia tampak tak merasa malu, "Mengeras bukan hal yang buruk."
Tubuh Jongin tak bisa bergerak, bahkan usahanya untuk bangkit sia-sia. Dia dapat merasakan berat tubuh Luhan dan juga dapat merasakan bahwa penisnya mengeras.
Kemudian, laki-laki itu menggeser badannya ke arah kaki Jongin. Sudah jelas apa arti gerakan itu. Rasanya mustahil penis Jongin yang beukuran lebih besar daripada milik Luhan memasuki lubang anus Luhan yang sekecil itu. Kesakitannya pasti luar biasa. Namun, keseluruhan penisnya sudah memasuki Luhan tanpa sisa. Luhan hanya meringis kesakitan dan kepalanya ia tundukkan di atas dada Jongin.
.
.
.
.
TO BE CONTINUED
