Prequel 1: Melodi
Naruto © Masashi Kishimoto
Saya Cuma pinjam tokohnya
Warn: Typo, OOC, Mengandung unsur kekerasan, M untuk Gore
Adaptasi dari Cerpen "Melodi"
Semata-mata hanya ingin memudahkan pembaca
Kalau tidak suka dan tidak kuat silakan tekan tombol back
Enjoy reading
.
Melodi itu datang lagi.
Melodi itu menari lagi dalam pikiranku.
Melodi itu…
.
Pelajaran matematika kali ini sudah berakhir. Itu artinya pelajaran kami sudah selesai, dan waktunya pulang.
Kuhela napas kuat-kuat, mencoba menenangkan otakku. Sial. Susah sekali rupanya.
Hal absurd apa lagi yang akan terjadi hari ini?
Aku keluar kelas menuju tempat parkir sepeda di belakang kantor guru.
Semoga saja hari ini tidak ada hal buruk yang terjadi.
.
Barusaja aku menginjakkan diri ke dalam rumah. Bulu roma ku mulai berdiri ketika kudengar lagi. Melodi itu.
Ini jelas bukan melodi biasa, yang jarang ditemukan di rumah orang-orang. Ini bukanlah melodi dari mahakarya nya Beethoven ataupun suara emasnya Christina perri, penyanyi Favoritku.
Kau tahu, melodi ini bahkan lebih menakutkan dari lagu Reverse karya karlmayer.
Tubuhku yang menggigil, belum juga berhenti sampai aku masuk kamar, melepas baju seragam dan berganti baju biasa. Tidak. Tubuhku tetap begini, dan melodi itu masih juga tidak berhenti. Sialan!
Dan satu-satunya penawar dari semua ini hanyalah sebuah benda yang kini menempel di telingaku. Ya, apalagi kalau bukan Headset. Kuputar lagu keras-keras supaya melodi itu tak lagi kudengar. Karena ini pula aku memiliki sedikit gangguan pendengaran, mau bagaimana lagi. Hanya ini satu-satunya caraku melawannya.
Tapi, meskipun aku memakai headset dengan volume tertinggi, melodi itu tetap saja terdengar. Seakan menembus pendengaran ku, membuatku tak berdaya, seperti sekarang ini.
Kulihat jari-jari ku juga ikut bergemetar. Aku menggeram.
Kata 'sialan' kini menjadi teman dalam hidupku, dan aku kembali mengatakannya.
.
Aku terbangun dari tidur yang sangat-sangat ku syukuri, karena aku bisa melenyapkan melodi itu, walau hanya sekejap.
Kurasakan perutku pun ikut ber 'melodi'. Ah, benar juga. Aku belum makan sejak pulang sekolah tadi. Kuhela napas panjang ketika sayup-sayup ku mendengar melodi itu lagi, dari arah dapur.
Benar-benar! Bagaimana aku bisa makan kali ini?
Aku melongok ke dalam laci meja nakasku, mendapati beberapa lembar Yen di dalamnya. Aku menarik senyum tipis. Keberuntungan mungkin ingin bersamaku dulu,batinku.
Aku melangkah keluar, lalu membasuh wajah dari keran di luar rumah.
Aku selalu senang ketika keluar, karena hanya diluar rumah aku tidak mendengar melodi itu.
.
Aku diam, merasakan tubuhku yang lagi-lagi bereaksi dengan melodi itu. Jantungku, berdetak dengan tempo cepat. Tanganku, tubuhku bergemetar layaknya orang sakit demam.
Melodi itu semakin meningkatkan frekuensi dan intensitas suaranya. Tempo nya semakin cepat.
Kalausaja aku sudah bekerja, hal pertama yang kulakukan adalah pergi dari rumah ini, lalu menemui psikiater.
Karena rasanya aku tak ada bedanya dengan orang sakit jiwa.
.
Aku melirik kalender yang melekat pada dinding kamarku. Aku mengernyit.
Sudah berapa bulan aku merasakan hal ini? Sebulan? Dua bulan? Argh… aku samasekali tidak ingat.
Aku menggeser kursi putar, menduduki nya dengan malas.
Ah, benar juga. Aku belum memberitahumu satu hal.
Melodi ini sangat kejam dan mengerikan.
Sudah ku katakan sebelumnya, bahkan melodi ini mengalahkan lagu Reverse yang terkenal dengan kengeriannya itu. Apa lagi kalau didengarkan, ah maksudku terdengar oleh telinga mu setiap hari.
Perlahan setiap detik demi detik jalannya melodi ini menggelitik telingamu, lalu masuk dalam otak. Merembes dalam pikiran sehatmu, dan mengirisnya tipis-tipis secara perlahan.
Silakan saja bila kau ingin menggantikan posisiku dan mencoba merasakan sensasinya.
Tapi ku peringatkan padamu, aku tak bertanggungjawab bila sehari kemudian kau sudah dipasung, lalu diantar dengan mobil ambulans ke Rumahsakit Jiwa.
.
Hei, kau tahu apa yang sedang ku lakukan sekarang?
Biar kuberi tahu. Sekarang aku sedang duduk di belakang meja kamarku. Aku memandang keluar jendela sambil memutar-mutar boneka ballerina dari kotak musikku yang rusak dengan jari telunjuk.
Ya, tentu saja sambil mendengarkan melodi itu.
Mengapa kau merasa kebingungan? Hei, aku kini mulai menikmatinya. Melodi ini bukan lagi melodi kejam, mengiris pendengaran dan merobek pikiran.
Melodi ini indah sekali. Dia sukses membawaku melayang, merasakan euforia kebebasan dan kedamaian hidup.
Seakan melodi ini menggiring serdadu angin yang menggotongku ke empuknya awan putih.
Tanganku berhenti memutar boneka ini ketika melodi itu perlahan semakin jelas dan semakin mendekat menuju kamarku. Aku hanya bisa membalasnya dengan segaris senyum tipis.
Melodi itu semakin mendekat. Sepertinya ia tak sabar untuk menemui ku secara langsung. Yah, selama ini bukankah dia hanya memanggil-manggil ku saja dari luar kamar?
Aku berdiri, melihat bayanganku di cermin. Ah, baru pertama kali aku merasa bahwa aku sangat cantik dengan rambut seperti surai singa jantan ini.
Mataku berkantong hitam dalam, sangat seksi seperti panda.
Dan oh, lihatlah. Pipi tembam yang ku benci sejak dulu kini mulai mengempis.
Aku merasa sangat senang melihat diriku mempesona seperti ini.
Aku membuka lemari bajuku. Mengambil sebuah benda yang sangat seksi sepertiku, karena dia lumayan ramping, sangat tajam dan mengkilap.
Sepertinya ini cukup untuk sekedar mematikan melodi yang menghiburku ini.
Dengan pelan ku buka pintu kamar, mendapati seorang lelaki yang lebih tinggi dari ku. Tidak memakai baju dan hanya memakai celana panjang hitam. Tubuhnya sangat bau keringat.
Dan kau tahu? Dialah yang selama ini memainkan melodi itu untukku.
Matanya menyalang ketika melihatku membawa benda seksi duplikat diriku ini. Aku menari dengan penuh gembira, mengelilingi tubuhnya sambil setengah berlari.
Dan akhirnya tibalah saatnya. Upacara mematikan melodi.
Dia melemparkan batu pengasah menuju kepalaku, namun meleset. Aku terus mengelilingi nya, menurunkan kembaran ku yang orang-orang kurang waras menyebutnya pedang, sehingga ia berdecit menggores lantai.
Ia terbelalak ketika ia tak bisa lagi mengasah parangnya, karena batu pengasah tidak ada lagi di tangannya. Ia tak bisa lagi memutar melodi itu. Aku tersenyum penuh kemenangan.
"Apa yang akan kau lakukan, hm?"
Ia terlongo, tak bisa menjawab pertanyaanku. Senyumanku berubah menjadi seringai.
"Satu ayunan saja untukmu. Tenang saja, tidak akan sakit, kok. Dan akan segera mengantarmu ke dunia sana. Maka dari itu, bersiaplah!"
Aku sudah mendapatkan titik mati tubuhnya, dan…
"Selamat tinggal."
CRASHHH!
.
"Seorang laki-laki berumur dua puluhan tewas bersimbah darah dengan luka di bagian punggung dan tangan terpenggal oleh seorang perempuan berusia 17 tahun yang didiagnosa mengalami gangguan jiwa. Di lokasi kejadian ditemukan sebuah batu pengasah benda tajam dan sebuah Katana berukuran 100 centimeter.
Sampai sekarang belum diketahui dimana keberadaan pembunuh nya, dan… "
"ITU DIA! TEMBAK SAJA DIA!"
Sang Reporter yang meliput tepat di depan lokasi kejadian menoleh ketika melihat beberapa Polisi yang sedang bertugas lari dengan menembakkan pistol nya ke seorang gadis muda yang membawa barang belanjaan. Segera ia berlari, diikuti kameraman dan kru TV lainnya mendekati gadis tadi yang terbujur kaku menjadi mayat. Tubuhnya melemah seketika melihat darah yang bersimbah di depannya.
"Hei kalian, apa yang terjadi?"
Seorang gadis yang memakai baju lusuh, rambut kusut dan mata hitam berkantung menghampiri kerumunan dengan sebuah pedang di tangan.
"Hei, dia Sakura, kembaranku yang baru pulang dari luar kota. Kalian salah sasaran!"
Semua berpaling mendapati nya dengan wajah menyeringai.
"Kalian kah selanjutnya?"
.
"Darah mereka sangat pahit, aku tidak suka. Oh iya. Hei para pembaca, ingin mendengar melodi istimewa dariku?"
FIN
