Destiny Island
Naruto (c) Masashi Kishimoto
Warning: Extremely OOC, Death Chara, Twincest
"... Rii-kun!"
Aroma lautan menyengat hidung. Butiran-butiran kasar berangsur-angsur terasa di kulit kaki, tangan, leher, bahkan menelusup ke setiap inchi kulit yang tertutup pakaian. Dari dalam tubuhnya, sesuatu memaksa untuk dimuntahkan. Mata itu terbuka, bersamaan dengan rasa asin yang menyembur. Kerongkongannya terasa panas, lalu seseorang tiba-tiba menghambur memeluknya,
"Rii-kun, yokatta!"
Sasori mengerjap. Dilihatnya kepala dengan rambut merah muda sebahu itu tenggelam di dadanya, menangis sesenggukkan. Kondisinya tidak jauh beda. Basah kuyup, tubuh penuh pasir. Sasori melihat ke depan, di mana lautan bebas terhampar sejauh mata memandang.
"Sakura...?" suaranya parau, perlahan-lahan indera visualnya semakin jelas, memperlihatkan sosok yang tidak lain adalah adik fraternalnya, "Kita..."
"Badai itu menenggelamkan speed boat yang kita tumpangi. Aku... Aku takut! Aku pikir hanya aku yang s-selamat... T-tapi, ketika aku menyusuri pantai... Aku menemukanmu. Kukira kau sudah mati!" ungkapnya tergugu. Sasori mengelus kepala gadis itu. Kecelakaan yang mereka alami pasti sangat membuatnya syok.
Sasori ingat. Sebelumnya, Sasori bersama Sakura dan beberapa teman yang lain sedang dalam perjalanan menuju sebuah pulau wisata. Untuk mencapainya, mereka harus menggunakan speed boat. Awalnya cuaca tampak cerah saat mereka menaiki perahu cepat itu, tapi di tengah perjalanan, langit mendadak mendung. Awalnya mereka pikir hanya akan turun hujan biasa. Tapi ternyata badai justru menghantam mereka.
"Di mana kita?" tanyanya. Sakura menggeleng, tak tahu jawabannya. Lidahnya mulai kelu. "Bagaimana dengan yang lain? Naruto? Hinata? Sasuke-"
"A-aku tidak menemukan yang lain!" isak Sakura, "A-aku juga baru sadar di pesisir, dan ketika bangun... y-yang kupikirkan hanya mencarimu!"
Sasori mencelus. Benar-benar suatu keajaiban mereka berdua masih hidup dan entah bagaimana caranya bisa terdampar di satu pulau yang sama. Menyadari itu, Sasori langsung mendekap erat Sakura. Jika bukan karena kebetulan yang luar biasa, badai itu pasti sudah memisahkan mereka.
"Ayo, kita tidak bisa terus diam di sini," Sasori mencoba bangkit. Siapa tahu keajaiban yang sama juga terjadi pada salah satu teman mereka yang lain? Selain itu, mereka harus tahu tempat macam apakah pulau yang terlihat kosong ini. Cepat atau lambat mereka akan membutuhkan asupan makanan dan minuman.
Dengan saling berpegangan tangan, kedua insan tersebut memasuki area pepohonan lebat yang berada di belakang mereka.
Tanpa mengetahui meski keduanya memiliki perasaan yang sama, keinginan yang ingin dicapai bisa saja sangat jauh berbeda.
.
.
.
"Apakah ini takdir?"
Sakura bertanya suatu malam. Saat itu mereka duduk di depan api unggun yang dibuat oleh Sasori. Sudah satu minggu, dan mereka tidak menemukan satu pun manusia di pulau ini selain mereka berdua. Tidak ada pula perahu yang terlihat melintas. Sepertinya ombak telah membawa keduanya cukup jauh untuk terdampar di sebuah pulau terpencil.
Mungkin satu-satunya yang membuat Sasori bisa bernapas lega adalah sejauh ini dia tidak melihat tanda-tanda adanya binatang buas.
"Takdir?" ia mengulang pertanyaan Sakura. Gadis itu mengangguk, lalu menyandarkan kepalanya ke pundak Sasori,
"Lihat, kita terdampar di pulau seindah ini berdua saja. Seolah-olah kita memang sudah ditakdirkan untuk bersama."
Pemuda itu mengeluarkan tawa sarkastik untuk menyembunyikan rasa malunya,
"Fuh... Nani sore?"
Alih-alih menjawab, Sakura malah mendorong tubuh kembarannya itu hingga terbaring ke permukaan tanah. Cahaya api unggun menari-nari, menyinari mereka dan batang-batang pepohonan yang mengelilingi keduanya. Sasori merasakan ujung-ujung jemari Sakura yang menyentuh rahangnya bak baru dipanaskan dalam kobaran api,
"Oi, Sakura... "
"Tidak ada siapa pun di sini, kan?" gadis itu berbisik, menyisipkan jemari tangan kirinya ke tangan Sasori,
"Aku tahu itu, tapi... " sebuah ciuman ringan memotong kata-katanya. Sasori tidak membalas. Hanya telapak tangannya yang merespon genggaman sang adik.
Bukannya Sasori tidak menyukainya. Sejak awal, mereka memang... Memiliki hubungan yang tidak wajar. Setelah beberapa waktu dan pertimbangan, keduanya memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Menganggap itu tak pernah terjadi dan memulai awal yang baru. Sasori dengan Hinata, Sakura dengan Sasuke... Begitu cara mereka berusaha untuk saling melupakan. Tiga tahun berlalu. Sayang, waktu sedemikian lama tak cukup untuk memudarkan rasa itu.
Tak peduli seberapa kuat mereka mencoba untuk berpindah hati, jauh di lubuk hati yang paling dalam, Sasori dan Sakura masih sangat terikat.
Meskipun begitu, Sasori masih memiliki cukup perasaan manusiawi untuk memikirkan soal Hinata. Apakah ia masih hidup atau tidak? Bagaimanapun gadis itu masih pacarnya. Dan di saat genting seperti ini, di sinilah ia. Mengambil kesempatan untuk melakukan tindakan pengkhianatan. Lebih-lebih, dengan darah dagingnya sendiri.
"Suki na no (aku menyukaimu), Rii-kun... Bahkan sampai saat ini pun perasaanku masih sama..." lirih Sakura. Ada sebuah kesedihan dalam nada bicaranya. Kerinduan yang tertahan. Terpaksa dikubur begitu lama. Terus mengendap, bertumpuk, bertumpuk dan terus bertumpuk. Hingga akhirnya kini, di bawah langit malam yang penuh bintang, keduanya kembali berhadapan dengan apa yang selama ini mereka pendam.
"Kita akan terbakar, tahu... "
"... Kamawanai yo (Tidak masalah). Selama aku bersamamu."
Kali ini tawa yang meluncur dari bibir Sasori terdengar getir. Ia kembali duduk dengan Sakura di pangkuannya, menatap lekat mata gadis itu yang terpendar warna kekuningan dari cahaya api.
"Ore mo omae no koto ga mada suki da, (aku juga masih menyukaimu)," suara Sasori terdengar rendah, "Tapi, aku tidak ingin takdir kita berdua sebegitu tragisnya dengan terdampar di sini sampai mati."
"Kita tidak akan mati, Rii-kun," katanya dengan sorot mata berbinar, "Lihat sekelilingmu. Hampir semua tanaman di sini jenis yang aman dikonsumsi. Sumber air tawar juga sudah kita temukan. Kita buat saja tempat berteduh dari kayu-kayu dan dedaunan kelapa. Kalau masalah survival, kau sudah belajar banyak dari klub pendaki gunung di kampus."
"Tidak," Sasori menjawab tegas, "Kita akan pulang. Entah bagaimana caranya," lanjutnya seraya berdiri. Dia tidak mau berdebat lagi soal hal ini. Sasori berjalan mendekati pantai, mengabaikan Sakura yang memanggil-manggil namanya. Bukannya Sasori tidak peduli pada perasaan gadis itu, akan tetapi dia tidak boleh lengah hanya karena satu kesempatan yang belum jelas bagaimana ke depannya. Risikonya terlalu besar.
Dasar Sakura... Apa, sih, yang dia pikirkan? Batin Sasori. Tentu saja dia ingin bersama dengannya, tapi bukan seperti ini. Pemuda itu menoleh ke belakang. Sinar api unggun yang dibuatnya masih terlihat menyala-nyala. Sayangnya Sasori masih ingin sendiri, biarkan saja gadis itu merenungkan kembali apa yang sudah dikatakannya. Sasori tahu bagaimana beratnya bertahan di alam liar, apalagi mereka tak punya persiapan apa-apa. Berbicara memanng lebih mudah ketimbang mengerjakan.
Sasori menerawang ke lautan luas di hadapannya. Airnya begitu bening, pasirnya pun putih bersih, nyaris tanpa karang. Saat siang hari, kau bahkan bisa melihat bayanganmu di bawah air saat berenang, juga sekelompok ikan-ikan kecil yang bergerombol. Sesekali mata Sasori menangkap kehadiran ubur-ubur. Salah satu alasan yang membuatnya sebisa mungkin menjauh dari berenang di pantai.
Ketika berbalik, hutan yang rimbun akan menyambut penglihatan. Pulau ini jauh lebih besar ketimbang perkiraan mereka berdua. Sasori dan Sakura sudah menjelajah cukup jauh, di mana mereka menemukan beberapa hal menarik seperti gua, mata air, danau kecil, bahkan sekawanan meerkat yang sangat jinak. Banyak juga pohon buah-buahan dan umbi-umbian yang dapat dimakan. Sekilas, pulau ini terlihat cocok untuk dijadikan lokasi berkemah. Kalau saja teman-teman mereka ada di siniā¦
Tampak indah, aman dan tentram? Memang. Itu sekarang. Bagaimana jika musim dingin tiba dan mereka masih terjebak? Bagaimana kalau ternyata persediaan makanan mereka tak cukup selama musim dingin? Sasori tak ingin membayangkannya. Lalu mengapa Sakura justru menganggapnya sebagai sebuah kesempatan bagi mereka untuk menjadikannya rumah?
Kebiasaan. Dia terlalu cepat dalam mengambil keputusan, pikirnya. Makanya dulu, dialah yang pertama kali menginisiasi untuk mengakhiri hubungan mereka. Sasori masih ingat betapa terpukulnya Sakura saat itu. Butuh waktu baginya untuk kembali bersikap sebagaimana biasa. Berpura-pura tak pernah ada konflik di antara mereka. Hanya dengan mengingat saja dadanya terasa begitu sesak.
Dan sekarang situasi menyebabkan mereka kembali ke awal. Kalau bisa, Sasori tak ingin menyakiti Sakura lagi, tapi dia juga tak bisa begitu saja mengikuti egonya untuk bisa berdua dengan Sakura tanpa kekhawatiran soal pendapat dunia tentang mereka.
Keluarga. Teman-teman. Mereka masih memilikinya jauh di seberang sana.
"Sakura?" Sasori kembali setelah merasa pikirannya cukup tenang, dan malah menemukan tempat mereka menghangatkan diri barusan telah kosong, "Sakura! Kau di mana?!" serunya, tapi tak ada jawaban.
"Chikuso!" umpat Sasori, ini pasti gara-gara pembicaraan mereka tadi.
Buru-buru diambilnya obor bambu yang dia buat beberapa hari lalu, berharap Sakura belum terlalu jauh karena tak yakin obor itu bisa bertahan lama. Dipanggilnya terus nama sang adik tanpa berhenti bergerak, memeriksa semua tempat yang biasa mereka datangi.
Nihil. Sakura tak ada di mana pun.
Kalau sejauh ini, kami belum menelusurinya, batin Sasori sembari menelan ludah. Kini ia sudah berada di danau kecil, tempat terjauh yang dapat mereka jangkau untuk sekarang. Di depannya masih ada wilayah hutan yang belum terjamah. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi jika ia masuk lebih dalam.
"Siapa peduli apa yang akan terjadi padaku?!" Sasori memaki dirinya sendiri, lalu mulai melangkah masuk. Ini tidak akan terjadi kalau saja dia bersikap lebih halus.
"Sakuraaa!" teriaknya lagi, tak peduli pada hewan-hewan kecil yang berhamburan takut mendengar suaranya. Mendadak hujan rintik-rintik turun. Sasori tak bisa melihat apapun di atasnya kecuali rimbun dedaunan dan pantulan mata para meerkat, di malam hari makhluk-makhluk itu terdengar mengerikan. Gerimis dengan cepat berubah menjadi hujan, dan sebelum Sasori benar-benar kehilangan jalan, ia memutuskan untuk mundur.
Pemuda itu segera berlari menuju gua, melindungi dirinya dari guyuran hujan. Di saat seperti ini jangan sampai ia jatuh sakit.
"Di mana kau, Sakura?" gumamnya merasa bersalah. Sasori bersandar pada dinding batu di belakangnya. Hari ini mereka mengumpulkan banyak persediaan untuk bertahan, dan itu cukup melelahkan. Mata Sasori mulai terasa berat. Ia pun terlelap, dibuai oleh irama dan aroma hujan yang terus menetes.
.
.
.
Menjelang pagi, Sasori menemukan Sakura sedang berenang di danau. Sepertinya gadis itu sudah kembali saat Sasori masih tertidur, makanya ia bisa begitu mudah mengucapkan selamat pagi,
"Ohayou, Rii-kun," sapa Sakura, berenang ke tepian danau.
"Sakura, kau ke mana saja semalam?" tanyanya marah bercampur khawatir, "Aku mencarimu ke mana-mana!"
"Gomen ne... Kita berdua sama-sama marah," sahutnya. Sasori memalingkan wajah dari figur adiknya yang tidak berpakaian itu. Air di danau sangat bening hingga ia bisa melihat semuanya. "Tapi... Kau benar. Sepertinya kita tidak bisa di sini selamanya. Perempuan sepertiku mana bisa pakai baju yang sama setiap hari, haha..." Sakura meringis, melihat ke arah T-shirt, celana pendek dan sepasang underwear yang teronggok di atas bongkahan batu. Dia berencana mencucinya nanti.
"Ini tidak akan mudah," ujar Sasori, Sakura menoleh,
"Apanya?"
"Kita berdua," pemuda itu mengepalkan tangan, "Aku mengerti kalau kau ingin kita seperti dulu lagi. Tapi baik kita tetap di sini atau berhasil pulang sekali pun, situasinya akan sama-sama sulit."
Sakura terdiam sesaat.
"... Sou. (Begitu.)"
Sasori melihat Sakura menyelam ke dalam air. Gerakannya begitu lincah. Ia terlihat seperti penguin yang berenang dengan sangat gesit. Lalu Sakura kembali ke permukaan, membiarkan tubuhnya mengapung dengan posisi menghadap ke atas. Memandangi langit biru dan awan putih yang berarak dengan gerakan lembut,
"Rii-kun, kau tidak mau ikut berenang bersamaku?" tanyanya, melihat Sasori yang masih berdiri mematung. Pemuda itu mencuci muka sebentar di sisi danau, kemudian berbalik pergi. Hari masih pagi. Masih banyak yang harus ia lakukan.
"Aku akan membuat sesuatu untuk sarapan. Jangan pergi tanpa bilang-bilang padaku lagi!" peringatnya. Sakura tak menyahut dan kembali menyelam.
Tak lama kemudian, Sasori kembali dengan membawa beberapa umbi liar. Mereka membakarnya dan mulai mengisi perut dalam diam, sibuk mengunyah dan berpikir masing-masing. Sakura menyeletuk,
"Rii-kun, seandainya Hinata sudah tak ada, apa yang akan kau lakukan?"
Sasori berhenti mengunyah. Dijawabnya tanpa menoleh sama sekali,
"... Tidak peduli seberapa besar kau membencinya, kau tidak boleh berharap dia sudah mati."
"Aku tidak berharap," dalih Sakura, "Aku hanya bertanya. Lagipula kita juga tak tahu bagaimana kabarnya sekarang."
"..."
"Rii-kun, kenapa kau diam saja?"
"Aku hanya melihat Hinata sebagai teman baik, kalau itu yang ingin kau cari tahu," tukas Sasori, membuat sang adik terkesiap. "Aku mencintaimu, Sakura. Tapi bukan berarti aku mau menjadi manusia gua lalu melihatmu mati kedinginan dan kelaparan saat musim dingin tiba."
Mata Sasori tampak tajam saat mengatakannya. Dia benar-benar serius soal risiko yang akan mereka hadapi jika menetap terlalu lama di sini. Herannya Sakura malah tertawa. Gadis itu tampak begitu lega,
"Yokatta. Kukira kau membenciku."
Sasori mengalihkan pandangannya,
"Mana mungkin aku membencimu..."
Sakura berpindah duduk ke samping pemuda itu, ingin berada sedekat mungkin di sisi Sasori. Dengan sebilah ranting, ia membalik-balik umbi liar yang terbakar di dalam api unggun. Aroma umbi bakar memenuhi gua yang mereka tumpangi,
"Meski keadaannya kurang mendukung, aku sangat bersyukur bisa ada di sini bersamamu," ungkapnya dengan pipi yang merona, "Rasanya seperti mimpi. Sudah lama sekali semenjak terakhir kali kita bisa seperti ini."
"Aa. (Ya.)"
Gadis itu menggandeng lengannya, merasa puas dengan respon yang ia dapatkan, "Rii-kun, aku tahu ini terdengar egois... Tapi, selama kita di sini, bisakah kita kembali seperti sebelumnya?"
"..."
"Karena Rii-kun juga mencintaiku, kan? Satu-satunya yang menghalangi adalah orang-orang yang tidak tahu apa-apa itu. Sama sepertimu, aku juga takut, makanya aku tidak punya alasan untuk menolak... " gumam Sakura, mengenang kembali masa-masa di mana semua orang menggunjingkan kedekatan mereka.
Mereka membenci Sakura, memberi klaim bahwa ia memonopoli Sasori. Sementara yang lain menganggap Sasori aneh karena tak pernah melihat Sakura sebagai serangga pengganggu.
Kebencian pun kembali bergemuruh. Bercampur dengan amarah, sedih dan kecewa. Hasilnya, dekapan di lengan Sasori semakin menguat, diikuti sebuah kecupan lembut di bahu pemuda itu,
"Tapi di sini... Di tempat yang tak ada siapapun kecuali kita... "
Dalam satu gerakan cepat, Sasori menangkap wajah gadis itu di kedua tangannya, melayangkan sebuah ciuman yang membekap mulut sang adik kembar. Bak berniat balas dendam atas peristiwa semalam, Sasori menekannya untuk berbaring. Tanpa mengurangi jarak sedikit pun, napas mereka menjadi satu. Kalau bukan karena tuntutan oksigen, mungkin Sasori akan terus menguasai gadis dalam genggamannya.
Karena dunia tidak akan pernah berpihak pada kita.
"Rii-kun... " Sakura mengaitkan kedua kakinya di pinggang Sasori, sebuah isyarat untuk mempertahankannya agar tetap seperti ini. Agar ia tak pergi ke mana pun.
"Sakura... Bagaimana dengan Sa-?"
"Ssshh," gadis itu meletakkan telunjuknya di bibir Sasori yang basah, "Setiap kali aku bersama Sasuke-kun, yang ada di dalam kepalaku hanyalah Rii-kun."
Mereka saling berpandangan, menyelami isi hati masing-masing yang mulai menampakkan wujud aslinya di setiap sentuhan dan ekspresi. Sakura menempelkan keningnya ke kening Sasori, berharap pikiran mereka dapat menyatu,
"Selama ini aku berpura-pura baik pada Hinata dan Sasuke-kun, tapi sebenarnya aku tidak peduli. Hanya demi menyenangkan semua orang, kita sendiri justru menderita," cairan bening mengalir dari mata zamrud itu, "Sudah cukup bagiku... Menahannya seorang diri..."
Lidah Sasori kelu melihat bulir-bulir bening itu jatuh ke permukaan bumi yang kasar. Menambah luka-luka lecet di permukaan kulit mereka. Bahkan wajah Sakura pun mengalami goresan di sana-sini. Diusapnya air mata itu dengan sebuah senyuman getir.
Sebuah dosa? Ya, Sasori tak bisa menyangkalnya. Jika dosalah yang ia takutkan, niscaya ia tidak akan pernah memulai segalanya. Mata-mata itulah yang membuatnya memutuskan untuk berhenti. Mata para manusia yang tidak pernah bisa memahami mereka. Dan tidak pernah mau tahu mengapa dan bagaimana hal semacam ini bisa terjadi.
Lalu sekarang, di tengah-tengah lautan yang luas ini, di sebuah pulau tak berpenghuni ini, siapakah yang berhak menghakimi mereka?
"Aku harap aku bisa menjadi seseorang yang egois kapan pun aku mau," bisik Sasori. Mengabulkan permintaan Sakura dengan sebuah ciuman panjang.
Ah, aku harus mencari cara untuk pulang...
Walau sulit baginya untuk berpikir jernih, Sasori sadar kenikmatan ini hanyalah sementara. Selama mereka di sini... Ya, hanya selama mereka di sini. Selepas itu, mereka akan kembali seperti biasa. Kembali berpura-pura. Mereka akan berlagak seolah berduka akan nasib Hinata dan Sasuke, lalu segera mencari pengganti yang takkan pernah bisa mengisi kekosongan di hati keduanya.
Tapi itu tidak masalah. Dia hanya ingin menikmati waktu bersama Sakura. Di pulau ini, selagi ia masih memiliki kesempatan.
Di ujung lain dari pulau yang sama, dua figur manusia turut berbaring. Jemari mereka tampak kaku, mulai membiru. Sayup-sayup riak ombak terdengar bersahutan, menggulung butiran pasir yang berwarna tak biasa. Warna itu terbentuk dari aliran suatu likuid ke pesisir akibat kontur pantai yang menurun. Sebuah cairan merah pekat, garis-garis tak beraturan yang berbau anyir. Menguarkan memori tentang jiwa yang perlahan-lahan terkikis.
Aroma darah.
To be continue...
Inspirasi utama: The Sims 2 Castaway.
Lmao game yang begitu innocent kuubah jadi twisted di sini XD
Btw aku lihat SasoSaku cukup populer di fandom ini sebagai adik kakak. Entah itu platonik atau bukan. Jadilah aku mutusin buat nulis di sini. Padahal tadinya mau di Vocaloid aja, tapi belakangan fandom itu berasa sepi
Seharusnya ini jadi oneshot, tapi karena takut pembaca bosan karena kepanjangan, aku bikin jadi multichapter aja. Aku juga bakal bikin versi original-nya di akun Wattpad-ku, tapi ini kutulis sebagai ff Naruto, kok.
Lanjut atau nggaknya tergantung respon pembaca yaa. See you!
