Dislcaimer: Bangtan Boys (BTS) © Big Hit Entertainment. Seluruh anggota BTS milik Tuhan, diri mereka sendiri, dan keluarga mereka.
Main cast: Kim Taehyung, Jeon Jungkook.
Genre: Romance.
Rate: T.
Main pair: VKook / TaeKook.
Author's note: Saya tidak meraih keuntungan apapun dari fanfiksi ini. Fanfiksi ini mengandung percintaan sesama jenis. Jika Anda tidak menyukainya, silahkan tinggalkan laman cerita ini. Terima kasih~!
.
.
.0.0.0.
.
.
"Jim, aku pulang, ya."
"Ya. Hati-hati di jalan, Tae. Walaupun kota ini aman tapi, masih ada kemungkinan terjadinya kriminalitas."
"Ya, ya, ya. Aku tahu. Sampai jumpa besok. Pukul sembilan pagi, kampus."
Aku berjalan menjauhi pekarangan rumah Jimin, sahabatku. Kutengadahkan kepalaku. Kulihat bulan cembung yang menyinari malam. Arlojiku menunjukan pukul sepuluh lebih duapuluh menit.
Aku merapatkan jaketku dan menarik ritsletingnya sampai leherku. Malam ini terasa lebih dingin dari biasanya. Kupercepat langkah kakiku. Aku tidak ingin ketinggalan bus terakhir yang datang sekitar duapuluh menit lagi.
Jalanan tampak begitu sepi. Aku tahu, perumahan Jimin memang daerah sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang lewat jika sudah lewat jam sepuluh malam. Tempat ini memang cocok untuk orang-orang yang ingin menghindari keramaian kota atau mungkin mahasiswa yang sedang stres menghadapi skripsinya.
Kulihat arlojiku, sepuluh menit lagi tepat pukul setengah sebelas. Aku masih duduk menunggu di halte bus. Aku percaya, bus itu tidak akan pernah terlambat datang. Saat menunggu bus, perutku berbunyi. Aku baru ingat belum makan apapun sejak pulang dari kampus. Bukan, bukannya Jimin jahat tidak memberiku makan. Hanya saja aku menolak memakan makanan yang telah disiapkan olehnya. Aku yang sedang sibuk dengan skripsiku, akan melupakan rasa laparku dan juga waktu yang telah kulewati.
Aku merogoh tasku. Berharap ada sepotong roti yang seingatku baru kubeli di kantin siang ini. Syukurlah, roti itu ada. Aku membuka bungkusnya tidak sabaran dan melahap roti itu cepat-cepat.
Kulihat dari kejauhan, ada seorang laki-laki muda berjalan menuju halte bus ini. Dia yang mengenakan kemeja dan celana putih, tampak begitu mencolok di antara kegelepan. Poni karamelnya tertiup angin malam. Aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Cantik dan manis. Aku terpana olehnya. Dia tersenyum tipis padaku. Lalu duduk di sebelahku. Ia merogoh tas selempang putihnya. Ah, kenapa dia mengenakan pakaian serba putih begitu? Kuat sekali dia, sampai tidak memakai mantel ataupun jaket di malam sedingin ini, pikirku.
Aku membuang bungkus rotiku. Laki-laki itu tampak sibuk dengan buku catatan kecilnya. Bibirnya berkomat-kamit. Sesekali ia menutup buku itu dan memejamkan matanya, seperti ia sedang menghafal sesuatu.
Sudah pukul setengah sebelas lebih sepuluh menit dan bus terakhir masih belum sampai. Kami masih duduk di halte bus dengan keheningan yang menyelimuti kami. Aku berdeham sebentar sebelum membuka percakapan.
"Malam yang dingin, ya?" tanyaku, basa-basi. Kulihat ia sedikit terkejut, tetapi ia hanya mengganggukan kepalanya.
"Sendirian malam-malam seperti ini?" tanyaku lagi. Dia mengeluarkan sebuah pulpen dari tasnya dan menuliskan sesuatu di bukunya. Kupikir ia tidak mendengarku karena suara angin yang ribut sekali. Saat aku hendak mengulang pertanyaanku, dia menunjukkan hasil tulisannya padaku.
Aku baru sadar, ada alat bantu pendengaran di telinganya. Dia bisu dan tuli.
.
.
.0.0.0.
.
.
"Hei, Tae!" Kutolehkan kepalaku ke belakang, aku mendapati Jimin sedang berlari kecil ke arahku.
"Oh. Halo, Jim."
"Ada apa? Kau tampak tidak bersemangat, kenapa?" Jimin memukul pelan bahuku.
"Tidak apa-apa. Hanya sedikit tidak enak badan."
"Memang, cuacanya sedang tidak bagus. Semalam kenapa tidak mengabariku?"
"Ngantuk," jawabku singkat. Sampai di kelas aku menjatuhkan kepalaku di atas meja. Kepalaku rasanya pusing sekali sampai-sampai semua yang kulihat bergoyang.
"Tae, kalau kau tidak kuat ikut kelas, sebaiknya kau pergi ke klinik saja."
"Tidak, terima kasih, Jim. Aku akan tidur sebelum dosen Cho masuk."
"Baiklah kalau itu maumu."
Jimin sudah hafal betul dengan sifatku. Aku keras kepala dan ia tidak pernah memaksaku. Aku memejamkan mataku, mencoba tidur agar pusingku sedikit berkurang.
.
.
Aku sadar, laki-laki itu tuli sudah pasti ia tidak bisa bicara. Kubaca tulisan di bukunya.
"Aku bekerja paruh waktu di klinik dekat sini."
"Lalu, kau ingin pergi ke mana?"
Entah mengapa aku penasaran tentangnya atau aku hanya berusaha mencairkan suasana? Kupikir keduanya beda tipis. Lalu, laki-laki itu menulis lagi di buku catatannya.
"Aku akan pulang. Rumahku bukan di daerah sini."
Aku menganggukan kepalaku. Laki-laki itu selalu tersenyum tipis. Aku merasakan hatiku sedikit menghangat melihat senyumannya. Dia memiliki wajah yang cantik dan manis, bahkan lebih dari seorang perempuan. Kulitnya yang putih mulus itu membuatku ingin menyentuhnya. Ah, aku baru ingat, dia tidak mengenakan jaket ataupun mantel.
"Kenapa kau tidak menggunakan jaket atau mantel? Malam ini 'kan sangat dingin?"
Dia menulis lagi. Aku dengan sabar menunggunya. Kemudian kubaca lagi tulisannya yang rapi itu.
"Aku tidak kedinginan. Tubuhku tidak merasakan dingin."
"Benarkah?" tanyaku lagi. Aku baru ingat kalau di tas ranselku masih tersimpan sweater cokelat berkancing yang lumayan tebal. Kuambil dan kuberikan padanya.
"Kalau kau memang tidak merasa dingin, tidak apa. Tapi, cobalah pakai sweater itu. Aku tidak bisa melihat orang yang tidak memakai pakaian hangat di cuaca sedingin ini," ucapku. Dia memakai sweater pemberianku dan tersenyum manis padaku. Lalu, pulpennya kembali menari di atas kertas putih itu.
"Terima kasih. Aku merasa nyaman," tulisnya. Aku tersenyum sambil mengganggukan kepalaku. Bus yang kami tunggu pun datang. Ketika kami di dalam bus, aku bertanya pada supirnya perihal keterlambatan bus yang datang. Lalu, supir itu bilang, ada kecelakaan di halte sebelumnya. Seorang pemuda ditabrak mobil dan terlempar ke dekat halte sebelumnya. Pelaku yang menabrak tidak bertanggung jawab. Tabrak lari.
Aku menganggukan kepalaku paham. Kutolehkan kepalaku pada laki-laki muda yang bersamaku tadi. Dia sudah duduk di kursi penumpang dan kini ia tertidur pulas.
Aku tersenyum melihat wajah cantiknya yang tertidur pulas. Aku duduk di sebelahnya. Lama-kelamaan mataku terasa berat dan aku pun jatuh tertidur, sama sepertinya.
.
Begitu aku bangun aku sudah sampai di halte dekat apartemenku. Aku melihat ke sebelahku dan kosong. Penyesalan menggerogoti hatiku. Aku tidak tahu bahwa dia sudah turun di halte sebelumnya. Aku bahkan tidak sempat menanyakan namanya. Aku hanya bisa berharap, malam itu bukanlah malam pertama sekaligus terakhir aku bertemu dengan laki-laki cantik itu.
.
.
"Tae? Tae! Kim Taehyung!"
"Hah? Oh ada apa?"
"Dosen Cho sudah datang. Kau kuat ikut kelas? Tidak usah dipaksa kalau tidak kuat."
Aku merenggangkan otot tubuhku sebentar. Dosen tua itu sudah duduk di kursinya dengan tatapan intimidasi milikinya.
"Terima kasih, Jim. Aku masih kuat."
"Hm? Baguslah."
Setelahnya aku hanya mendengarkan dosen tua itu berceloteh ria di depan kelas. Sejujurnya aku tidak benar-benar mendengarkannya. Aku hanya pura-pura mendengarkannya, karena di pikiranku hanya ada laki-laki cantik yang kutemui semalam.
.
.0.0.0.
.
Sepulang kuliah aku mampir lagi ke rumah Jimin. Aku menyelesaikan skripsiku di rumahnya ditemani secangkir kopi hitam tanpa gula sekalipun.
"Tae, kau ini kenapa?"
"Apanya?" Aku balik bertanya tanpa mengalihkan pandanganku dari layar laptopku. Kuminum kopi hitamku itu hingga bersisa setengah.
"Setahuku kau tidak suka kopi hitam. Kenapa tiba-tiba?"
"Supaya aku kuat melotot semalaman," jawabku ngawur. Tidak sepenuhnya ngawur karena memang aku tidak ingin tertidur di bus seperti kemarin malam. Aku ingin tahu di mana rumah laki-laki cantik itu.
"Candaanmu tidak lucu. Serius, kau 'kan sakit, kenapa minum kopi hitam?"
Tanganku berhenti mengetik. Aku ingat, beberapa jam yang lalu tubuhku terasa tidak enak sekali. Berat dan kepalaku pusingnya minta ampun. Tapi, mengapa menjelang malam aku malah sehat-sehat saja?
"Mungkin efek bangun pagi secara paksa."
Jimin menganggukan kepalanya. Ia tidak berkomentar apapun lagi padaku dan masuk ke kamarnya. Tak berapa lama kemudian ia keluar dengan mantel tebal membungkus tubuhnya. Ia pamit padaku, pergi ke minimarket katanya. Bahan makanan di rumahnya sudah habis. Aku yang biasanya malas sekali keluar rumah malah memilih untuk ikut dengannya.
Kami pergi berdua. Aku mengerang ketika angin-angin itu terasa menusuk hingga ke tulang rusukku. Jimin pun tidak jauh beda denganku. Sampai di minimarket kami langsung menyeduh vanila latte. Petugas minimarket itu menggratiskan kopi hangat itu untuk kami berdua. Kami memilih untuk duduk di pojok minimarket.
Saat aku dan Jimin sedang duduk dan menikmati minuman kami, aku melihat laki-laki cantik itu. Dia sedang mengelap kaca klinik di seberang sana. Aku ingin sekali keluar dan menyapanya namun hujan lebat turun tanpa disangka-sangka. Sial sekali, pikirku. Setidaknya aku yakin, malam ini aku dan laki-laki itu akan bertemu kembali di halte.
.
.0.0.0.
.
"Terima kasih atas tumpangannya, Jim."
"Besok kau berkunjung lagi?"
Aku terkekeh. "Kalau iya, kenapa? Ingin aku tinggal di sini, ya?"
Jimin memeluk tubuhnya sendiri. Ia memasang ekspresi geli dan jijik padaku. "Justru aku malah kerepotan tiap kali kedatangan tamu sepertimu. Aku sih berharap kedatangan tamu yang cantik seperti si Seoltang."
Aku mendecih tapi, aku tidak benar-benar marah padanya. Awalnya juga niatku memang bercanda. Namun dahiku berkerut ketika mendengar kata "Seoltang" dari mulut Jimin.
"Seoltang? Siapa?"
"Oh iya, kau belum tahu, ya. Aku punya gebetan. Dia seorang pustakawan. Kami bertemu di perpustakaan kota."
"Oh, Ya Tuhan. Aku kasihan sekali padanya kalau begitu. Orang yang menyukainya adalah orang yang tidak menyukai buku."
"Bangsat kau, Kim."
Jimin bersiap melemparkan sepatu ke arahku. Aku melindungi kepalaku dengan kedua tanganku.
"Sudah-sudah. Aku pulang. Terima kasih telah memberikan tumpangan."
Aku berjalan santai menuju halte bus. Sama seperti malam sebelumnya, arlojiku menunjukkan pukul sepuluh lebih duapuluh menit. Lagi-lagi bulan cembung itu menyinari malam. Namun malam ini bulannya tampak lebih cembung dari yang kemarin. Jalanan juga tidak begitu sepi seperti kemarin. Bahkan beberapa orang masih berjalan di pinggir jalanan.
Aku melihat halte bus itu. Laki-laki cantik itu duduk di sana, dengan pakaian serba putihnya. Ia melihatku dan melambaikan tangannya.
Aku berlari kecil ke arah halte. Aku duduk lebih dekat dengannya, tidak seperti kemarin yang jauh-jauhan.
"Hai, bagaimana kabarmu?" tanyaku. Laki-laki itu mengeluarkan buku catatannya dan menulis.
"Aku baik. Kau sendiri?"
"Aku juga baik-baik saja." Meskipun tadi siang aku sempat tidak enak badan, tambahku dalam hati.
Hening menyelimuti kami selama beberapa detik. Aku menepuk dahiku cukup keras, sampai-sampai dia terkejut.
"Lupa berkenalan denganmu. Aku Kim Taehyung. Kau siapa?" Aku tidak ingin menyesal lagi. Setidaknya aku harus mendapatkan info tentang si cantik ini.
"Aku Jeon Jungkook. Salam kenal."
"Oh, Jungkook, ya? Sepertinya kau lebih muda dariku?"
Ia menulis lagi. "Seharusnya aku sudah kuliah tapi, hyung melarangku." Si cantik ini punya saudara kandung?
Baru saja aku ingin bertanya hal lain, tiba-tiba suara seorang laki-laki lain menginterupsi kegiatan kami.
"Jeon Jungkook!"
.
.
To be continue to chapter 2.
.
.
