For Tomato-23, happy (way too early, yeah I know) birthday.


Naruto © Kishimoto Masashi.

This is a work of fanfiction. No material profit is taken.

The title is taken from the movie Against the Sun.


against the sun

A Naruto fanfiction

.

.

Mereka bahagia, Sakura ingin berpikir demikian.

Memang, mereka masih harus banyak belajar hidup bersama sebagai pasangan suami-istri. Masih sering terjadi kesalahpahaman di antara keduanya, tak peduli sudah berapa tahun mereka menikah dan berapa tahun sebelum itu saling mengenal. Masih sering ada kata-kata tajam di puncak amarah yang tidak seharusnya diucapkan tetapi tetap saja terucap; berbagai hal yang perlu dikompromikan bersama; tentang siapa yang seharusnya mengepel lantai pagi ini dan siapa yang berani-beraninya menghabiskan irisan terakhir pie persik yang tersisa di lemari pendingin. Semua hal itu, dan mereka bahagia. Ada sup miso di pagi hari dan, terkadang ketika cuaca tengah bersahabat, teh oolong di sore hari: itu cukup.

Dan meski obrolan di meja makan keluarga mereka akhir-akhir ini melulu mengenai politik negeri yang tengah memanas dan kondisi peperangan di perbatasan yang justru semakin memuncak; bahkan meski ayah dan ibunya dipanggil aktif bertugas kembali dan satu per satu kakak-kakaknya dipindahtugaskan ke markas-markas militer di perbatasan, tepat di tengah-tengah medan perang, Sakura tetap teguh pada kepercayaannya. Meski ayah mertuanya, seseorang dengan pangkat setinggi mayor jenderal, tidak bisa berbuat apa-apa untuknya. Sakura benar-benar ingin percaya, tak peduli apapun yang terjadi nanti dan entah bagaimana caranya, mereka masih bisa bahagia.

Tetapi satu per satu dari mereka dipulangkan kepadanya; sudah dimandikan dan dikenakan seragam terbaik mereka; dibaringkan di dalam peti-peti kayu kokoh, senapan-senapan bergantian ditembakkan ke udara; eulogi panjang dari orang-orang yang tidak Sakura kenal dibacakan, sementara dirinya hanya bisa tergugu dan berbisik, "jangan tinggalkan aku" di depan foto-foto mereka.

Terkadang peti-peti itu tidak menyisakan apa-apa bagi Sakura, kecuali tanda identitas mereka yang tercoreng abu dan darah kering untuk Sakura genggam dan simpan sebagai pengingat. Sakura tidak membutuhkan kalung-kalung setengah rusak yang tidak ada maknanya itu untuk mengingatkannya. Lubang besar di hatinya menganga terlalu lebar untuk bisa dia lupakan begitu saja.

Mereka masih bisa bahagia, betapa Sakura ingin mempercayainya.

Surat tugas itu datang di puncak bulan Agustus yang panas.

Dua tahun sudah berlalu, tetapi masih belum cukup waktu bagi luka menganga di hati Sakura untuk mengering. Dia ingin berteriak, memaki, menghancurkan apa saja yang bisa dia hancurkan supaya bukan hatinya yang lagi-lagi harus hancur.

"Jangan pergi," pintanya, meski dia tahu akan sia-sia saja.

Suaminya, yang tengah tertunduk membaca detail penugasannya, menengadah dan beralih menatap Sakura dengan pandangan tak terbaca. "Kau tahu aku tidak bisa melakukan itu."

Sakura menelan ludah, berusaha menahan air mata yang mulai mengumpul dari sudut-sudut mata supaya tidak jatuh. "Tentu saja kau bisa," debatnya, suara pecah. "Kau hanya tidak mau melakukannya."

Untuk beberapa saat lamanya, suaminya terdiam. Tatapan matanya tegas, tak goyah barang sedikit pun meski di hadapan istrinya yang nyaris hancur. "Ya, kau benar," jawabnya tanpa bantahan, tak menawarkan penjelasan. Kejujurannya memang selalu yang paling menyakitkan.

Sakura memejamkan mata kuat-kuat, tidak peduli meski air mata mengalir deras di kedua pipinya. Biar saja kali ini dia terlihat lemah karena menjadi kuat tak ada bedanya baginya. Air mata adalah satu-satunya senjata yang tersisa baginya, meski dia tahu semua akan sia-sia. Sakura mengenal baik siapa suaminya, cinta pertamanya dan satu-satunya: yang teguh pada pendiriannya, patuh pada kewajiban-kewajibannya. Sakura tahu persis dimana loyalitas suaminya berada, yang bukan pada dirinya.

"Demi aku. Lakukanlah demi aku, kumohon," pintanya masih. Hatinya retak untuk kesekian kali. "Aku tidak meminta yang lain."

Suaminya memandanginya dengan tatapan kecewa—di saat itulah Sakura tahu dia telah kehilangan suaminya. "Bagaimana mungkin kau memintaku melakukan itu?"

Napas Sakura tercekat di tenggorokan. Dadanya sakit serasa dihimpit. Terlahir dalam keluarga yang kental dengan sejarah militernya dan menikahi pria yang juga dialiri oleh darah yang sama, Sakura tahu betul harga yang harus dibayarkannya. Dia hanya tidak menduga akan seberat apa jika harus menjalaninya seorang diri; ketika dirinya adalah satu-satunya yang tersisa untuk mengisi kekosongan rumah dan hatinya.

Ah lihatlah suaminya itu, begitu gagah dalam balutan seragam dinasnya, postur tegap dan tak ada keraguan dalam tatapan matanya. Dua puluh tujuh dan sudah seorang kapten. Perasaan bangga dan benci itu meletup-letup bersamaan di dada Sakura, saling berlomba, mengoyaknya tanpa ampun dari dalam.

Tetapi Sakura—Sakura sudah terlalu sering mengucapkan selamat jalan, selamat menunaikan tugas, dan tidak mendapatkan balasannya. Dia sudah tidak punya salam selamat tinggal yang lain. Sakura tidak sanggup jika harus kehilangan sekali lagi. Jadi untuk kali ini saja, dia tidak ingin menjadi satu-satunya yang tersisa; menunggui rumah kosong mereka dengan dada disesaki ketakutan; bertanya-tanya apakah jika dia membuka pintu nanti, dia akan kembali menyapa suaminya dengan sebuah okaerinasai atau haruskah dia berdiri seorang diri di bawah tatapan-tatapan yang mengasihani.

Jadi Sakura memutuskan: dia rekam baik-baik garis rahang tegas suaminya; dia ingat-ingat kembali bagaimana rasanya sapuan lembut bibir itu di kening Sakura tadi pagi, sudut miring senyum tipisnya yang langka, kalus di telapak tangannya yang menggenggam tangan Sakura. Sakura ingin mengingat banyak hal, tetapi juga ingin melupakan banyak hal lain.

Dengan tangan gemetar dan pandangan mata memburam oleh air mata, Sakura kemudian berkata, "kalau begitu, kita akhiri saja di sini."

Lagipula, pikir Sakura, kau tidak perlu khawatir kehilangan sesuatu yang memang tidak kau miliki.

Sakura berusaha membangun kembali hidupnya.

Tetapi apa memangnya yang bisa dia bangun dari puing-puing berserakan yang dulu adalah hatinya? Sebagian besar hari-harinya berlalu dalam kehampaan dan rutinitas monoton. Terkadang, perih di lukanya terlalu menyakitkan dan dia kembali kehilangan pegangan terhadap realita. Ketika itu terjadi, beberapa hari berlalu begitu saja tanpa sepengetahuannya. Sakura kini mengerti bagaimana rasanya ketika waktu tidak lagi berarti bagi seseorang.

Bagaimana kau membangun kembali kehidupanmu yang sebelumnya telah luluh lantak, hancur tak menyisakan apa-apa bahkan untuk sekadar dikenang? Sakura tidak tahu harus memulai dari mana. Hatinya pecah menjadi terlalu banyak kepingan, berceceran tak terselamatkan. Siapa yang akan membantunya memunguti kepingan-kepingan itu dan menyusunnya satu per satu? Barangkali, meninggalkannya sepenuhnya akan jauh lebih mudah daripada mencoba memasangnya kembali bagai potongan puzzle.

Dan tanpa dia sadari, daun-daun mulai menguning dan gugur; musim silih berganti, waktu tak pernah berhenti untuk berbelas kasih kepada dirinya. Masih saja, tak peduli berapa banyak waktu berlalu, ada luka-luka di hatinya yang tak juga terobati.

Kehidupan selalu punya cara untuk menghancurkan rencana-rencana.

Sakura kira dia sudah sembuh dari luka masa lalunya. Nyatanya, tidak semudah itu. Sudah hampir sepuluh tahun berlalu sejak surat duka pertama diterimanya, tetapi insignia yang terlalu familier yang tercetak di atas kertas surat itu masih menggores sama tajamnya dengan yang lalu-lalu. Dibacanya isi surat tugas yang dialamatkan kepadanya itu dengan dada terhimpit.

Tujuh tahun dalam babak baru hidupnya, Sakura mencoba sangat keras untuk memulai kembali kehidupannya. Dia mendapati dirinya meninggalkan masa lalunya, pergi jauh dari tempat kelahirannya, mengesampingkan impian sederhana masa kecilnya. Kini dia sudah tiga puluh empat tahun, dan semua orang mengenalnya sebagai seorang aktivis perdamaian dunia. Semua orang tahu betapa Sakura membenci peperangan dan skeptis terhadap para jajaran militer.

Sakura sudah mendengar mengenai kemenangan besar pasukan militer mereka pada konfrontasi terakhir dengan negara tetangga. Sakura tahu dengan tepat berapa banyak nyawa yang melayang, berapa banyak keluarga yang telah kehilangan suami, istri, anak, ayah, ibu. Sakura tahu berapa orang yang kini bernasib sama dengan dirinya: pulang ke rumah yang tak ada siapa-siapanya. Sakura juga tahu strategi brilian siapa di balik kemenangan mereka.

Jadi tentunya, Sakura tidak bisa menolak panggilan resmi untuk menjadi perwakilan liga bangsa-bangsa bersama beberapa perwakilan lain dalam upaya mediasi gencatan senjata kedua negara yang sudah saling adu kekuatan militer lebih dari satu dekade itu.

Dan tentu saja, kehidupan memiliki lebih banyak cara untuk menghancurkan rencana-rencananya yang lain.

Apa ada daftar tertentu mengenai apa yang bisa dan yang tidak bisa dibicarakan bersama seseorang yang berkategori mantan ayah mertua? Jika ada, Sakura membutuhkannya sekarang juga. Untuk sementara itu, dia hanya sanggup menawarkan senyum tipis. "Ah, letnan jenderal sekarang?"

Pria yang pernah menjadi ayah mertuanya itu menatap Sakura dengan sorot mata kebapakan yang familier. Tidak ada yang akan mempertanyakan disiplin dan tuntutan tinggi jenderal yang pernah memimpin regimen paling berdarah dan berbahaya dalam sejarah militer mereka itu. Tetapi bagi Sakura, pria itu tetaplah pria yang membiarkan dirinya naik ke atas pundaknya dan membawanya berkeliling halaman rumah sambil menirukan suara deruman pesawat terbang. Jika Sakura mengizinkan dirinya bernostalgia, memori itu masih menyisakan rasa hangat di dada.

"Maafkan aku." Pria paruh baya itu berkata, suara parau oleh emosi yang hanya samar-samar terpancar dari kedua mata gelapnya.

Senyum tipis Sakura yang tak seberapa memudar. Ada kelelahan dan kekalahan dalam sorot matanya yang redup. "Maaf, selalu saja maaf. Memangnya apa yang bisa diperbaiki dengan sebuah permintaan maaf?"

"Jadi ini tempat yang sudah menghancurkan hidupku," Sakura bergumam. Angin kering meliuk-liuk di sekitarnya, menerbangkan pasir hingga ke matanya. Tetapi, duga Sakura, cairan bening di pelupuk matanya menggenang karena alasan yang lain. "Hanya hamparan gurun tandus."

Markas regimen itu berada di wilayah perbatasan negara, berdiri menjulang sebagai garda terdepan pasukan militer mereka. Selama ini, Sakura tidak pernah benar-benar membayangkan seperti apa rupa markas militer yang telah merenggut begitu banyak nyawa itu. Yang jelas, bukan berupa gurun tandus yang terhampar sepanjang mata memandang dan tembok pagar beton yang membagi gurun itu menjadi dua bagian yang akan terbayang dalam benaknya. Bukan tempat yang tidak ada apa-apanya itu.

Ada desak kekecewaan yang memenuhi dadanya.

Bagaimana mungkin tempat yang tidak ada apa-apanya itu bisa merenggut begitu banyak hal dari hidup Sakura: kepolosannya, keluarganya, kebahagiaannya, masa depannya. Tempat ini, secuil tanah tandus tak berpenghuni ini—apa hebatnya tempat ini, sampai-sampai dia bisa merampas begitu banyak kehidupan dan menyisakan orang-orang seperti Sakura, tertatih-tatih memunguti pecahan hatinya yang tersisa tak seberapa.

Apa yang patut dibanggakan dari tempat ini? Apa yang perlu diperebutkan dari tanah tandus ini? Dia telah kehilangan seluruh hidupnya hanya demi segenggam tanah gurun panas itu. Betapa tak berharganya nyawa manusia di atas tempat ini.

Dia biarkan angin gurun yang kering memukul-mukul tubuhnya dan sinar matahari yang tak kenal ampun mendidihkan amarahnya. Sudah begitu lama dia mencari-cari jawaban: untuk apa, bagaimana, mengapa Sakura harus merasakan kehilangan demi kehilangan, dimana dia bisa menuntut keadilan kepada dunia. Masih belum dia temukan jawabannya.

Lama Sakura terdiam memandangi hamparan gurun dari tempatnya berdiri di atas tembok pembatas hanggar pesawat tempur, hingga sebuah teriakan penuh amarah memecah deru angin yang saling berpacu di telinganya.

"Apa yang kau lakukan di sini!"