Chapter 1 : the meaning of φ

Riza Hawkeye membuka matanya, ketika ia baru sadar, ia berada di tempat yang serba putih, lalu seseorang yang sudah cukup tua datang menghampirinya.

" Ho..jadi kau sudah bangun ?" tanyanya

"Aa..di..di mana aku ?"

"Di mana ? Kau masih ada di dunia ini. Beruntung sekali, kau masih hidup, padahal kau sudah divonis mati.." ucapnya.

"A..aku ? Aku mati ?" tanya bingung, lalu mencoba mengingat-ingat kembali kejadian waktu itu.

--flash back—

"Hawkeye ! Awas, dibelakangmu !" teriak seorang colonel muda padanya, bersamaan dengan suara ledakan kencang dan panas yang mengenai tubuhnya. Rasanya amat panas, dan sakit, namun, beberapa saat kemudian ia sudah tidak merasakannya lagi.

Hampa… kosong…..gelap….dingin…. sendirian…

Semua perasaan itu merasuki dirinya, sampai saat ia tersadar dari mimpi buruknya itu.

--End flashback—

"Ya…a..aku baru ingat.." lalu ia menyadari sesuatu dan memegangi perutnya. "Bagaimana dengan keadaan mereka ?"

"Mereka baik-baik saja…kukira mereka juga akan mati…" jawabnya dengan tanpa ekspresi. "Jadi ! mau kutarik kembali surat kematianmu ? Kira-kira besok mau diadakan upacaranya. Mungkin masih sempat meng-cancel-nya. Lagipula, ada seorang colonel muda yang terlihat hampir gila menerima kematianmu." Katanya, mendeskripsikan Roy padanya.

"tidak. Dokter, tolong buat surat kematianku…" pinta Riza tiba-tiba padanya. Lalu ia membisikan sesuatu pada telinganya.

"APA! Kau gila, mau berbuat seperti itu ! Tapi, asalkan itu memang permintaanmu dan ada imbalannya, aku bisa memanipulasikannya kok…" ia tersenyum licik.

-- Di hari penguburan --

"Riza…." Bisik Roy pelan sambil menunduk. Ia berusaha untuk menjadi kuat…dan semakin kuat lagi agar suatu hari kelak ia bisa menjadi fuhrer. Dianggapnya, hal itu merupakan target hidupnya yang terutama..…sayang, baru saat ini ia menyadari, kehilangan kembali seorang sahabat baginya.

Hari itu, merupakan awal kelam bagi Roy, yang hari itu juga dipromosikan menjadi Brigadier General. Dan saat itu juga, ia bersumpah, lebih kuat lagi…lebih….lebih..dan lebih, agar suatu hari ia bisa menjadi Fuhrer, sesuai harapannya….Riza…dan Hughes…

5 tahun kemudian

"Selamat…selamat, ya … Sekarang anda sudah menjadi Fuhrer Mustang.." ucap Havoc memberi selamat padanya. "Mau ditraktir apa kita, sir ?"

Roy tersenyum. "Makan ? atau jabatan ?" tanyanya usil.

"tentu jabatan dong…" sahutnya cepat. "Ya sudah deh.. soal traktir kami tagih nanti saja… kau pasti mau mengunjungi nya…, ya kan !"

Roy mengangguk lalu terdiam. Ia berjalan sendirian meninggalkan HQ dan pergi ke pemakaman.

"Riza.. sekarang aku sudah ada di puncak. Padahal, setelah kematian Hughes, kau berjanji akan selalu bersamaku…ikut denganku, hingga kita mencapai puncak. Tapi sekarang ?" bisiknya pelan, sejalan dengan titik-titik air membasahi nisan lieutenant nya yang sudah berdebu itu.

Tiba-tiba ia merasa mendengar, merasakan, melihat Riza kembali. Rasanya seperti video yang diputar ulang, memenuhi benak Roy.

"Sir, tolong kerjakan tugasmu…"

"Ho…mau merasakan nikmatnya senapanku ini, menembus kembali tepat 1 mm disamping kepalamu ?"

"AKu akan selalu berada di sisimu, melindungimu, Roy.."

"Sudah tahu jawabannya, mengapa masih bertanya ?

"Aku tidak akan pernah mau menggenakan rok mini itu, hidung belang ! Dasar pervert !"

Roy sempat tertawa kecil mengingatnya. Sekarang ia sudah menjadi fuhrer, tapi sudah tidak lagi tertarik untuk membuat peraturan rok mini di Military karena ketidakadaannya… Sepi… Sendirian…

Chapter 2 : Reina & Ray

"Mama ! mama !" teriak Reina. "sini…sini…lihat !"

"Iya…tunggu sebentar !" kata Lisa yang repot memasak sambil mematikan kompor. "Ada apa sih..?"

"ini..ini….lihat !" katanya sambil memperagakan sesuatu. Reina mengambil kertas, lalu menggambar sesuatu. Saat ia memegang kertas itu, timbul cahaya kuning, kemerahan, lalu timbul percikan api dari tangannya, membakar habis kertas itu sampai gosong. "Hebat, kan.."

"Re…Reina ! Bagaimana kau bisa berbuat seperti itu ?"

Reina menunduk. "Ini tidak baik, ya ?"

"Bukan..bukan begitu…. Tapi…"

"Kenapa ?"

"Enggak. Mama bangga kok, sama reina !" lalu Lisa mengelus rambut anak perempuannya itu. "Ngomong-ngomong, Ray kemana ?"

"Tadi ia sedang bermain-main di taman. Enggak tau. Aneh….masak sukanya main pistol-pistolan…"

"Ya sudah… sana, jemput dia. Bilang sudah mau makan siang !"

"Iya.." katanya lalu bergegas pergi menjemput kembarannya itu. Mereka berdua, Reina dan Ray dilahirkan kembar, tapi bukan kembar identik. Yang satu cewek, yang satu cowok.

"Dasar…dia benar-benar anakmu…" bisik Lisa sambil memandang ke sebuah foto yang ia simpan di tempat yang tak akan diketahui kedua anaknya.

"Kakak !" panggil Reina. "Ayo pulang ! Mama sudah membuat makan siang untuk kita !"

"Iya…tunggu !" teriaknya sambil mengisi ulang pistol peluru karet yang ada dalam genggamannya.

Cha…cha….cha…. Hampir semua tembakannya mengenai daun-daun kering yang ada di atas pohon.

"Wow..hebat !" puji seorang laki-laki muda dengan baju biru-biru yang sedari tadi memperhatikannya. "Kau umur berapa, nak ?"

…Ray dan Reina tidak menjawab. "Mama bilang tidak boleh ngobrol dengan orang yang tidak kita kenal." Kata Reina polos pada orang itu.

Orang itu tertawa. "Oke..oke… aku Roy mustang. Kalian bisa panggil aku paman Roy."

"aku Ray, dia Reina, adikku." Katanya sambil memperkenalkan diri. Rambut Ray yang berwarna hitam kelam tertiup angin, seakan-akan roy melihat tampak dirinya waktu kecil, hanya saja…mata itu… Matanya yang berwarna cokelat hazzle mengingatkannya akan lieutenant nya dulu.

Lain dengan Reina. Sekali ia melihatnya, ia langsung mengingat akan Rizanya yang sudah meninggal beberapa tahun lalu itu…Rambutnya pirang, panjang menggerai di bahunya. Bedanya hanya pada warna matanya yang berwarna hitam kelam, bagai miliknya. Perasaan rindu itu pun muncul menyelubungin hatinya.

"Paman…paman….paman tidak apa-apa ?" tanya Reina, melihat Roy yang terdiam melihat mereka berdua.

"eh..tidak..tidak…" kata roy mencoba berbohong.

Kedua anak itu menatapnya dengan lekat.

Roy terdiam. Pintar juga mereka…sepertinya tidak bisa dibohongi… "Ya..aku hanya mengingat kenangan lama, kok…"

"Kalau begitu, mau kuperlihatkan sesuatu ?" tawar reina.

"Boleh…apa itu !"

"ini !" katanya mengabil ranting pohon, menggambar sesuatu dengan itu, dan mengeluarkan percikan api, sama seperti yang barusan ia perlihatkan pada mamanya.

Roy menatap kehebatan anak itu dengan tidak percaya. Ya ! Ia berbakat menjadi alchemist ! Siapa tahu, nanti di permerintahannya butuh orang kuat seperti dia…

"Hebat ! Hebat ! Tapi memang, belum seberapa sih…" Roy lalu mengeluarkan sarung tangan putihnya, lalu menjentikkannya, dan mengeluarkan percikan api seperti yang biasa ia lakukan. Percikan api yang telah membunuh banyak orang waktu kejadian Ishbar.

"Wwaaww…" ujar mereka berdua kagum. "Hebat ! Paman ini siapa sih ? Tukang sulap ?"

BRAK ! enak saja…national alchemist yang terkenal ini, sekaligus fuhrer, dipanggil tukang sulap jalanan…"Bukan….aku alchemist." Katanya sambil tersenyum.

"Fuhrer Mustang !" teriak salah seorang bawahannya dengan sebuah cerutu menempel dalam mulutnya, yakni yang amat kita kenali, jean Havoc. "Bagaimana sih….kucari dari tadi, ternyata main-main di taman…gemana nasib bangsa kita ini nantinya…."

"Iya…iya…aku bukan sedang bermain-main. Buktinya aku menemukan sesuatu yang bernilai…."

Havoc melongo, dan tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh fuhrernya itu . "Ya sudah, sir..what eper deh… yang penting, sekarang tugasmu yang sudah menumpuk menanti."

"Iya..iya…bawel, ah !" katanya kesal. "Ya sudah, anak-anak… selamat tinggal." Katanya sambil menyalami Ray, yang lalu ia selipkan pesan kecil ditangannya ketika sedang berjabat tangan.

"Terimakasih, om !" teriak mereka.

Om?! Memang aku sudah se-tua itu, ya ! pikir Roy dalam mobilnya yang sedang melaju ke central HQ.

--malam harinya--

"Mama….papa kita, siapa sih…" tanya Reina polos ketika lisa sedang menidurkan mereka berdua.

DEG ! Lisa tersentak. Tak ia sangka anaknya akan menanyakannya secepat ini. Padahal semuanya sudah ia usahakan sembunyikan dari mereka berdua.

"ke..kenapa memangnya…?" tanya Lisa, berusaha menutupi kekagetannya.

"Enggak..cuma mikir aja….kalau papa kita si paman Roy, mungkin aku bisa mengeluarkan percikan api sehebat dia…" jawabnya kembali.

Roy ! Ya….sudah sekitar 5 tahun yang lalu, terakhir Lisa melihat wajahnya. Sekarang, ia sudah bukan Lieutenant nya lagi. Ia bukan Riza sayangnya lagi…. Setidaknya saat itu lisa bersyukur, Reina tidak menanyakan siapa ayah mereka.

"Oh iya, mama… nama papa siapa sih ? Di sekolah, aku satu-satunya yang tidak bisa menjawab saat ditanyakan" ujar Ray menyentak Lisa kembali. Dasar….baru tadi ia berpikir mereka tidak sampai menanyakan namannya…

"Umm….memang kalian tidak puas ada mama ?" tanyanya.

"Tidak. Kita puas, kok…kita sayang banget sama mama…." Ujar mereka berdua secepatnya.

Lisa tersenyum, lalu memeluk kedua anak kembarnya itu. "Ayo, sudah malam. Cepat tidur. Besok kalian harus pergi ke sekolah !"

Si kembar mengangguk. "Selamat malam, mama…"

"Ya…mimpi indah, ya…" lalu ia mengecup dahi mereka satu, persatu, sebelum kemudian mematikan lampu.

"Kakak…kakak…kalau boleh memilih… kau mau papa yang seperti apa ?"

"seperti Train Heartnet yang ada di Black cat dong !" jawabnya cepat.

"Dasar…bukan yang maya seperti itu, tahu ! kau tuh bener-bener maniak menembak, ya.."

"Iya..iya…sebentar…kupikirkan lagi…."

"Aku pikir…papa yang cocok untuk mama…."

"Paman Roy !" teriak mereka bersamaan, lalu mereka tertawa.

"ya…coba kalau papa kita paman Roy… sepertinya ia orang yang amat baik, ya…." Ujar Reina pada kakaknya.

"tunggu, tadi ia bilang bahwa Ia adalah fuhrer dan national alchemist, kan…. Kayaknya aku pernah mendengar nama itu, deh…." kata Ray sambil berpikir sejenak. Ia mempunyai kemampuan untuk mengingat apa yang sudah ia baca, walau tidak terlalu hebat sekali ingatannya, seperti Schiezka, yang ada di library HQ, tapi, hal itu cudah cukup mengagumkan bagi anak seusianya. "Ya ! aku ingat….dia itu kan….president negara ini….flame alchemist, yang terkenal itu…enggak heran dia bisa mengeluarkan percikan api.."

"Woh… asyik banget kalau punya papa kayak gitu,yaa… yang jadi anaknya, kayaknya enak tuh…" kata Reina sambil berangan-angan. "tapi aku juga udah seneng kok…punya mama Lisa."

"Iya…" Ray membenarkan.

"tunggu sebentar..kalau mama menikah dengan paman Roy, maka kita bisa jadi anaknya, kan… Kakak, kau masih punya nomor telepon yang diberikan paman Roy tadi ?"

"ada sih…" jawabnya singkat, lalu menyadari sesuatu; yaitu rencana yang mungkin sedang dipkirkan oleh adiknya itu. "Hey..hey…apa yang kau pikirkan, Reina ?"

"kakak tenang saja…aku pasti bisa membuat mereka jadian." Katanya nakal. "Sini !"

Ray memberi catatan nomor telepon yang diberi Roy padanya tadi.

-- 02.00 a.m Local time --

Roy sedang tertidur lelap, ketika sebuah deringan telepon membangunkannya.

"Apaan nih…baru jam 2 pagi… Gila kali ya ada orang yang nelpon subuh-subuh gini…" dampratnya sambil mengantuk, lalu berjalan ke arah telepon dan mengangkatnya.

"Ha..halo..bisa bicara dengan Roy Mustang ?" tanya gadis kecil itu ragu-ragu.

"HoaAahh….yap. saya sendiri." Katanya lalu menguap. "Ini siapa, ya ?"

"umm..Ini Reina yang tadi pagi.. itu.." katanya pelan agar tidak membangunkan mamanya yang sudah tertidur.

"oh..Reina..Kenapa?"

"enggak..Paman Roy besok ada waktu kosong?"

"yup. Knapa?"

"kalo gitu,bisa dateng gak, ke taman yang tadi besok siang?"

"boleh. Memang ada apa si?" tanyanya penasaran.

"... Mau minta tolong latihin keluarin api, biar sejago paman. Mau kan!" katanya dengan nada memelas.

"ya udah.Bye-bye!"

"yup. Makasih om!"

hey, aku dipanggil om! Aduh..Memangnya aku setua itu! Dasar… udah ah…tidur lagi…

Roy memutuskan untuk kembali ke tempat tidurnya, meneruskan mimpinya tadi.

Chapter 3 : Riza !

"Mama, pulang sekolah nanti, kita main ke taman dulu, ya…" pamit Ray dan Reina pada Lisa.

"Ya udah…jangan lama-lama. Belajar yang rajin !" teriaknya pada anak-anak yang berjalan pergi ke sekolah mereka.

-- pulang sekolah --

" Kau pikir ini akan berhasil, Reina ?" tanya ray sedit takut, sambil berlatih menembak lagi di taman.

"Yup. Paman Roy bilang ia akan datang. Ia tidak mungkin bohong" tatapan matanya penuh kepercayaan.

Ray mengarahkan tembakannya, dan tak ! satu daun mati lagi jatuh. "tapi kita kan baru kenal dia kemarin. Enggak mungkin ia datang buat memenuhi permintaan anak kecil." Sahutnya dingin. "Emang kita siapanya dia, sih ?"

Reina terdiam sebentar. "Enggak tahu… saat melihatnya, rasanya ada perasaan seperti 'aku mengenalnya' tapi aku juga enggak gitu ngerti sih…" sahutnya enteng.

"Déjà vu ? pada siapa ?" tanya Roy tiba-tiba menghampiri mereka. Reina terperanjak kaget dan kontan, hampir hendak memukulnya, namun tertahan ketika ia melihat, siapa yang datang.

"Paman Roy !" teriak mereka hampir bersamaan.

"Neh ! Kenapa kalian kaget begitu ?"

"Enggak..enggak…" mereka berbohong. Panjang umur loeh… baru kita omongin udah dateng,

"ya sudah, Reina. Kau sudah siap untuk berlatih ?"

Reina mengangguk. Roy lalu mengajak mereka ke dalam taman yang masih rindang pohon-pohonnya dan letaknya agak kedalam, sehingga mereka bisa berlatih dengan nyaman tanpa merusak fasilitas umum.

"Pertama, apa kau sudah mengerti tentang dasar-dasar dari alchemy ?" tanyanya.

Sinngggg.. mereka melongo. "Apaan tuh, alchemy ?"

"Kau tidak tahu Alchemy tapi bisa mengeluarkan api dengan sebuah lingkaran transmutasi !" giliran Roy yang tiga per empat berteriak karena kaget.

Reina menggeleng. "Gak tuh…"

"Ya sudah" kata Roy sambil mengusap-usap rambutnya sendiri. "AKu akan memberikan pelajaran dasarnya saja. Alchemy adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang bla…blaa…blla…bla….."

"Mengerti !" tanyanya setelah mengakhiri penjelasan panjangnya.

"Lumayan…"

"Bagus. Dari pada teori, aku lebih suka langsung ke prakteknya aja. Begini cara mengeluarkan api" katanya lalu menjentikan jari, dan dalam sekejab, keluar cahaya merah, kuning, yang menyambar.

"Woh..suge..!"

"Ayo. Sekarang giliranmu mencoba !" katanya.

Mereka berdua berlatih keras hingga sore hari, sedangkan Ray yang menunggui Reina, terus asyik menembak daun-daun kering di atas pohon.

"Paman..." tiba-tiba Reina memanggilnya.

"Kenapa ?"

"Paman sudah punya anak ?" tanyanya polos.

"Belum." Weh…punya istri aja kagak… pikirnya dalam hati.

"udah punya istri ?"

"Belum…"

"Kenapa ? kan paman terkenal ?" tanyanya penasaran. Justru melupakan tujuan awalnya.

Roy tersenyum kecut. "tidak bisa… paman hanya ingin bersama orang yang paman sukai."

Apa penjelasanku terlalu rumit untuknya ? Dia kan hanya seorang anak kecil.

"siapa orang itu ? Kenapa paman tidak bersama dia saja ?" Reina semakin penasaran .

Roy sedikit berjongkok, lalu tersenyum. "Tidak bisa… ia sudah tidak ada lagi di dunia ini.. Sudah pergi jauh… Tapi, suatu kali nanti, paman juga pasti akan menyusulnya…"

"Lho ? Ke mana ? Mama juga bilang ayah kami sedang pergi jauhh…" ceritanya polos. "Siapa tahu mereka sedang pergi ke tempat yang sama, ya !"

Roy berdiri, lalu mengadah ke langit. "Di dunia ini, ada yang namanya kehidupan…ada yang namanya kematian… semua itu berjalan sesuai dengan siklus alam yang ada, dan kita tidak bisa mengaturnya." Katanya menjelaskan. "… berpisah dengan orang yang kita sayangi memang menyakitkan…"

Reina menunduk. Turut bersedih. Walau masih kecil, ia cukup mengerti bagaimana perasaan ketika ditinggal orang yang ia sayangi. Pernah, dulu ketika kelinci peliharaannya mati, ia menangis seharian dan mengurung dirinya di dalam kamar selama seminggu. Rasanya sedih..

"Sudahlah…jangan bersedih." Hiburnya sambil menaruh tangannya di pundak anak itu. " oh iya…ini.. ambil untukmu !" katanya sambil menyodorkan sebuah sarung tangan berwarna putih, sudah cukup lama, namun masih terlihat bagus.

"Apa ini ?" tanyanya.

"Itu sarung tangan kesayanganku yang dulu kugunakan saat pertama kali aku belajar mengeluarkan api. Sekarang sarung tangan itu sudah kekecilan untukku."

"Kan ini termasuk barang kesayangan paman…kenapa untukku ?"

"Enggak…mungkin Riza yang menuruhku memberikannya untukmu… Mungkin gara-gara kalian ini mirip sekali, ya !"

"Riza…nama orang yang paman sayangi itu ?"

Roy mengangguk, sambil menyembunyikan mukannya yang sedikit memerah. "Dulu ia lieutenant ku. Sarung tangan kanannya sudah kuberikan kepadanya. Jadi kupikir lebih baik memberikan kirinya untukmu."

"Terima kasih banyak paman !" sahutnya sambil membungkuk memberi hormat.

"ya..ya..tidak usah begitu, kok.." katanya yang merasa sedikit risih. "sudah sore… Mamamu tidak mencarimu ?"

Reina menepuk dahinya. Saking asyiknya ia ngobrol, hingga ia lupa waktu. Padahal, ia sudah bilang pada lisa bahwa ia tidak akan berlama-lama di taman. Wah..celaka…mama bisa marah deh… pikirnya dalam hati.

"Reina !" terdengar teriak Lisa mencarinya.

"Wah..gawat…"

"Kenapa ?"

"Enggak..takutnya mama marah.."

"Kalau begitu, biar aku yang bicara.." tawar Roy padanya, lalu mereka bersama-sama datang mendekati Lisa.

"Rei.." ia hendak berteriak, saat dilihatnya, ternyata Reina sudah ada, ditambah lagi…bersama ex-Colonel Roy Mustang !

lisa segera membungkuk memberi hormat pada Fuhrer Mustang. "Selamat sore, sir" katanya lalu kembali ke posisi semula.

"Ri…Riza ?" tanyanya tak percaya. "Lieutenant Riza…hawkeye ?"

"Bukan, fuhrer, sir. Saya Lisa."

"lisa, ya…" katanya dengan nada sedikit tidak percaya. Bagaimana tidak, dari warna rambut, warna mata, semuanya percisss dengan Rizanya itu.

Hey, are you crazy or somethin'? Riza sudah mati 5 tahun yang lalu. Dan yang ada di depanmu sekarang ini adalah penampakannya ? Bego ! Mana ada hal seperti itu…tapi…..Tak mungkin aku pernah bisa melupakn tampangnya. Apa gara-gara aku terlalu rindu padanya..hingga aku jadi Riza-complex kayak gini ! Enggak lagi !

"fuhrer, sir ! anda tidak apa-aoa ?" tanyanya cemas.

"Ah…iya…iya enggak kok.. Aku hanya mengingat kenangan lama. Oh iya…mereka ini anak-anakmu ?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

Lisa mengangguk. "Mereka anak kembar. Maaf telah merepotkan anda, sir."

"Tidak…tidak…. Justru aku senang bisa menemukan anak berbakat seperti mereka. Apa anda yang melatih Ray dan Reina ?"

"Tidak…"

"Ho..kalau begitu, apakah ayah mereka berbakat dalam menembak, atau setidaknya seorang alchemist ?" tanyanya penasaran.

Lisa menghela nafasnya. Pertanyaan-pertanyaan ini termasuk pertanyaan yang paling ia benci. Antara berbohong…atau tidak. Ia terdiam.

"TIdak bisa menjawab.. ! Kalau begitu, tidak apa-apa kok…" Roy tersenyum padanya.

"terima kasih, sir. Ray ! Reina ! ayo pulang."

"Mau kuantar ?" tawarnya pada Lisa.

"Tidak..terima kasih, sir. Bukannya pekerjaan anda banyak ? Anda tidak mungkin menyelesaikannya kalau tidak harus bergadang…"

hey…tahu dari mana ia… setahuku, tidak ada orang lain di luar military yang tahu kalau aku paling malas mengerjakan paperwork dan harus bergadang untuk menyelesaikannya.

"Tidak apa-apa…ayo !" katanya lalu mengandeng tangan Lisa.