C


MNEMONIC © Joonseo-Han ( Surat Kaleng )

K+

Multichapter

Romance, Hurt/Comfort, Family, Marriage life, Angst

Inspired by 10080 © EXObubz_ and Baby's Breath © Jindeul

Chanyeol-Park and Baekhyun-Byun, Rest of EXO member

Saat mereka terpisah, dan terpisah untuk yang kedua kalinya. Saat semua sudah terlambat, barulah dia menyadari, kehilangan bukan suatu hal yang mudah.

" 1, 1, 2, 3, 5, 8, 13 …"

Mengingat dalam keterbatasan, dia berusaha meraba – raba dalam kegelapan pikirannya.

"Phi."


- Part One -


[ 1 ]

Baekhyun menengadah, mata sipitnya makin menyipit saat tanpa sengaja sinar matahari yang merembes dari sela – sela dedaunan menimpa retinanya. Lelaki mungil dengan tinggi 178 cm ini memejamkan kedua matanya, menikmati setiap desir angin yang lewat dan memanjakannya.

Dia tidak tahu apa yang membuatnya bisa sampai ditempat ini.

Hanya saja yang dia tahu, kedua kakinya memaksanya berjalan hingga ketempat ini. Tempat dimana hanya ada satu pohon apel yang tumbuh ditengah – tengah padang ilalang disekelilingnya.

Baekhyun meremas ujung kaos tipis putih yang dipakainya, jauh dilubuk hatinya dia merasa sangat tidak asing dengan tempat ini, tempat yang membuatnya merasakan kehangatan lain selain sinar matahari yang menyengat.

Tapi sungguh, betapa dia ingin mengingat. Dia hanya menemukan lorong buntu.

Dia bahkan kadang tidak ingat, namanya sendiri siapa.

Bahkan dia tidak mengenal siapapun, kecuali kakak laki – lakinya.

.

.

.

Chanyeol mendongak, langit sudah berwarna abu – abu kehitaman sejak jam makan siang tadi, yang dilakukannya hanya segera berjalan dengan cepat hingga dia bisa sampai dirumahnya tanpa takut setetes air langit membasahi tubuhnya.

Entah kenapa juga dia meninggalkan mobilnya dirumah.

Pemuda tampan ini tersenyum, dia memang pintar. Dia sengaja menyumpalkan payung lipat merah didalam ranselnya, untuk jaga – jaga pikirnya tadi pagi setelah melihat siaran tentang cuaca pagi hari tadi. Entah kenapa dia merasa hari ini akan hujan.

Kaki panjangnya melangkah dengan cepat melewati beberapa orang yang saling berlomba menghindari hujan yang turun rintik – rintik. Chanyeol mendengus kesal saat hujan tidak mengizinkannya sampai dirumah dalam keadaan kering. Buru – buru dia mengeluarkan payung lipatnya dan membukanya lebar – lebar tepat saat hujan makin menderas.

Dia melangkah, menghindari genangan air yang ada disetiap sisi jalan, sambil berkomat – kamit agar tubuhnya tetap kering hingga dirumah.

Chanyeol memperlambat gerak lajunya, ada perasaan aneh menelingkupinya saat melihat seorang pemuda tengah berlindung dari hujan di emperan toko yang tutup.

Bukan.

Bukan karena kasihan.

Chanyeol menghentikan kedua langkah kakinya, menghambat pergerakan beberapa pejalan kaki yang terus – terusan menembus hujan dengan payung hitam maupun putih mereka. Dia mengabaikan setiap kalimat rutukan yang hampir semua ditujukan padanya.

Percayalah, Chanyeol bukan tipe orang berbaik hati memberikan tumpangan untuk orang yang sama sekali tak dikenalnya, satu pemikirannya. Dia lebih baik segera pulang kerumah, dan tidak memperdulikan tubuh kecil yang mengigil itu.

Tidak ada untungnya memberi rasa kasihan.

Tapi, gerak tubuhnya berlawanan dengan impuls yang dikirim oleh otak Chanyeol. Kedua kaki panjang bak jerapah-nya itu tiba – tiba saja bergerak melangkah – menyeberang keseberang jalan - mendekati tubuh yang duduk meringkuk memeluk dirinya sendiri itu, setelah melihat wajah pemuda itu.

Wajah yang sangat familiar untuknya. Wajah yang begitu dirindukannya, Chanyeol masih mengenalinya semua.

Tanpa dinyana – nyana, bibir Chanyeol mengucapkan selarik kalimat dengan suara lirih – suatu kalimat yang sangat dihindarinya selama musim penghujan - "Butuh tumpangan?"

.

.

.

Tes.

Baekhyun memutar tubuhnya. Awan hitam tampak bergulung sepanjang penglihatannya. Dia tahu, sebentar lagi akan turun hujan deras. Dan angin telah memberitahunya; angin membawa terbang bau hujan yang melegakan rongga pernafasannya. Kaki kecil Baekhyun menuntun tubuhnya untuk segera berlari mencari tempat berteduh terdekat, itu lebih baik daripada dia harus berhujan – hujanan untuk menemukan rumahnya.

Justru itu, dia tidak tahu dimana rumahnya.

Matanya menatap emperan toko yang sudah tutup, dia berlari – lari kecil untuk sampai ditempat itu menghindari tetesan yang sudah mulai membesar dan makin deras. Baekhyun memeluk kedua lengannya – sejauh ini, hanya itu yang bisa dilakukannya untuk mendapat kehangatan setelah duduk meringkuk.

Sungguh, sekarang dia kebingungan. Dia memutar kepalanya, mengingat – ingat dimana jalan yang harus ia tempuh untuk sampai ketempat dimana selama ini dia terkurung, rumah. Orang – orang akan menyebut rumahnya sebagai surga, tapi tidak untuk Baekhyun – pemuda berusia dua puluh sembilan tahun ini –

Tempat yang disebut rumah oleh kakaknya – seorang pria yang sudah berumah tangga – tak ubahnya seperti rumah sakit – Baekhyun membenci rumah sakit, terutama obatnya –

Dia tidak sakit. Itu yang ia yakini selama lima tahun terakhir ini, tapi entah kenapa hidupnya seperti ditopang oleh obat – obatan kimiawi itu.

Sepertinya begitu, meskipun dia berusaha mengingat apapun yang ingin dia ingat, pada kenyataannya dia tidak bisa. Ingatannya terasa sangat berbatas seolah ada dinding yang menekannya dari segala penjuru arah.

Dan sekarang, dia hanya bisa berharap kakaknya merasa kehilangan dirinya dimeja makan saat makan malam dan akan pergi untuk mencarinya, ya semoga saja seperti itu.

Baekhyun makin merapatkan kedua tangannya saat dingin mulai menyapa kulitnya.

"Butuh tumpangan?" Baekhyun mendongak, matanya mengerjap melihat sosok laki – laki yang mempunyai tinggi diatas rata – rata tengah memegangi payung merah didepannya. "A-ah, kalau kau tidak mau juga tidak apa - apa." Pemuda asing dimata Baekhyun ini mengaruk tengkuknya.

"Kau siapa?" Baekhyun berujar, tubuhnya refleks berdiri. Sungguh dia benci saat seperti ini, dia masih harus mendongak untuk menatap wajah pemuda itu.

Alis tebal pemuda itu tertaut "Maaf? Apa kau sama sekali tidak mengenalku?"

Baekhyun menggunakan kedua tangannya – mengibaskannya didepan dada – seolah berkata 'bukan-bukan-seperti-itu'

"Ah aku merasa tidak asing dengan wajahmu." Baekhyun mencicit.

Pemuda itu menggeleng "Tidak seharusnya kau memang mengenaliku."

Baekhyun memandangi pemuda itu dari atas kepala hingga ujung kakinya yang berbalut sneakers hitam "H-hey, tenang saja. Aku bukan orang jahat. Aku akan mengantarmu pulang." Ujarnya dengan nada panik.

Pemuda mungil yang memakai kaos lengan panjang berwarna putih ini mengigit kuku jari telunjuknya yang agak panjang "Itu masalahnya. Aku tidak ingat dimana aku tinggal."

"Apa kau amnesia?"

Baekhyun menarik kedua alisnya menyatu "Tidak. Tentu saja tidak. Aku sama sekali tidak sakit."

Pemuda itu mengendikkan bahunya sekilas, lalu menunjuk dengan ekor matanya pada payung yang masih ia gengam. Pemuda yang lebih kecil menganguk, berharap dia akan kembali ke rumah, rumah yang dia rindukan; dalam artian yang sebenarnya, rumah yang menjadi tempatnya berlindung dan berpulang.

Entah dimana itu.

Dia tidak akan pernah tahu dan ingat dengan ingatannya yang berbatas.

.

.

.

"Aku Chanyeol."

Baekhyun mendongak dan menemukan kedua mata bulat itu berbinar kala menatapnya. Pemuda brunette ini hanya menganguk, melangkahkan kedua kakinya – berusaha menyamai langkah kaki Chanyeol yang lebar – dengan cepat, dia menunduk, menatapi genangan air.

"Siapa namamu?" Baekhyun yang sibuk merapal nama –Chanyeol- dengan bibir kissable-nya kembali menoleh. "Eum? Ba.. eh..aku lupa siapa namaku." Baekhyun menggunakan tangannya guna memukul – dengan pelan – dahinya, berusaha mengingat – ingat.

Chanyeol kembali menatap kearah depan dimana terlihat punggung orang – orang lalu mengandeng tangan kecil Baekhyun; menghentikan pergerakan tangan Baekhyun yang masih saja memukuli dahinya sendiri.

"Kita mampir kerumahku dulu. Kau harus berganti pakaian, sepertinya."

Mata sipit Baekhyun mengerjap "Kau bukan orang jahat kan?"

"Bukan." Chanyeol menatap redup kedua bola mata Baekhyun yang terlihat sayu sekarang ini, tidak terlihat bagaimana binar cerahnya seperti dulu.

"Aku tidak akan pernah membuatmu terluka, Baek." Chanyeol berucap lirih setelah melihat punggung Baekhyun sudah sepenuhnya masuk kedalam rumah minimalisnya.

.

.

.

"Kau punya banyak album pernikahan." Baekhyun menyamankan posisi duduknya pada sofa warna lembayung, jemari lentiknya dengan lincah membuka album foto itu mengacuhkan sosok Chanyeol yang berdiri dibelakangnya.

"Eum? Siapa orang ini? Ah, sepertinya dia mirip denganku."

'Bukan hanya mirip, Baek. Itu memang dirimu.'

"Byun Baekhyun. Dia cantik." Baekhyun berkomentar, kedua matanya berubah menjadi seperti bulan sabit saat tersenyum seperti itu, membuat salah satu organ tubuh Chanyeol kembali berdetak dengan irama berbeda. Sebuah perasaan ngilu yang sampai sekarang masih saja dirasakannya; perasaan ngilu yang membuat sensasi yang berbeda pada jantungnya.

'Walaupun semakin tua, dia tetap akan selalu cantik.'

"Park Baekhyun, bukan Byun Baekhyun. Tapi tidak lagi…" Chanyeol menunduk, menghindari air mata yang sudah mengumpul dipelupuk matanya yang siap kapan saja keluar.

"Kenapa? Ah, aku seperti tidak asing dengan nama itu."

"Ada alasan tertentu, kami berpisah. Dan sudah lima tahun aku tak mendengar kabarnya. Seharusnya begitu.." diakhir kalimat, Chanyeol terdengar seperti mengumam.

Raut wajah Baekhyun berubah sendu, tanpa sengaja tangannya mengengam erat tangan Chanyeol yang terkepal "Maafkan aku, aku telah mengungkitnya."

Suasana berubah menjadi canggung, Chanyeol sibuk mengamati leleran air hujan yang menuruni kaca besar yang ada didepannya. Dia sibuk mengingat – ingat masa lalunya mengabaikan sosok pemuda mungil yang sudah kembali membuka – buka album foto dengan sampul berwarna caramel itu.

Baekhyun.

Sosok disampingnya membuatnya teringat awal kisah mereka, kembali terbang melintasi waktu.

.

.

.

Cheongpungho Lake, Cheongpung-myeon, Jecheon-si.

22 April 2006

"Apa kau mau menerimaku sebagai kekasihmu, Byun Baekhyun?"

Pemuda mungil itu mengernyit heran "Siapa kau? Apa kau mengenalmu?"

"Aku mengenalmu, tapi sepertinya kau sama sekali tidak mengenalku. Tapi kita adalah teman satu jurusan. Apa kau sama sekali tidak pernah melihatku?"

Baekhyun – pemuda manis dengan surai cokelat kayunya itu – bingung dengan kedatangan seorang pemuda yang tiba – tiba saja menyatakan cinta padanya saat dia sibuk mengambil gambar ditepian danau Cheongpungho, pemuda yang menyodorkan padanya sebuket bunga berwarna putih, yang Baekhyun tidak tahu apa namanya itu.

"Tidak pernah. Dan apa maksudmu menyatakan cinta padaku?"

Keduanya dilanda keheningan. Hanya angin musim semi berhembus agak kencang menerpa dua anak laki – laki yang saling berdiri berhadapan ditepian danau, tepat dibawah pohon Sakura yang tengah bersemi dengan bunga warna putihnya, dan angin membawa segerombolan kelopak bunga yang berguguran.

Pemuda yang lebih tinggi berdehem kecil, membersihkan tenggorokannya dari serak "Tentu saja, karena aku menyukaimu."

Baekhyun mulai bersikap acuh, dia memalingkan pandangannya dan mulai menyibukkan diri dengan SLR-nya, mengabaikan pemuda yang masih menaruh mata padanya.

"Kau tahu siapa aku kan?" Baekhyun menatap pemuda itu. Tatapannya tajam tanpa perasaan sama sekali.

Pemuda itu menganguk semangat, meletakkan buket bunga yang sedari tadi dibawanya diatas bangku kayu yang ada disana, sesaat setelah melihat Baekhyun duduk disana.

"Tentu saja. Kau adalah Byun Baekhyun, dan aku adalah Park Chanyeol."

Baekhyun melempar pandangan sengit kepada Chanyeol – pemuda tinggi dengan rambut ikalnya itu – "Aku sama sekali tidak bertanya siapa namamu, idiot."

"Aku ini seorang laki – laki, dan tentang siapa namamu, aku sama sekali tidak peduli." Lanjutnya.

"Aku juga tidak perlu mengintip bagian dalammu, dan tanpa kau beritahu sekalipun, aku sudah tahu kamu itu seorang laki – laki, Baekhyun."

Suara dengusan Baekhyun terdengar begitu jelas. "Pergilah. Kau menganggu."

Tapi si pemuda bernama Chanyeol itu bersikeras berdiri ditempatnya, enggan mengangkat kakinya pergi dari tempat itu, mata bulatnya masih senantiasa mengamati gerak – gerik si pemuda mungil itu.

"Jawab pertanyaanku." Pinta Chanyeol sambil mengambil kembali buket bunga yang tergeletak dibangku.

"Bunga iris putih untukmu, dengan kelopak bunganya yang berjumlah tiga. Sesuai deret Fibonacci."

"Aku tidak peduli dengan bunga apa yang sedang kau bawa itu. Dan apalagi itu! Persetan dengan deret-mu itu."

Chanyeol memandang sendu pada Baekhyun, binarnya terasa meredup "Perasaanku murni seperti yang dikatakan oleh bunga – bunga ini." Kedua tangan besar Chanyeol, membawa buket bunga yang dihiasi dengan pita warna baby blue mendekat kearah hidung mancungnya yang proposional itu, pemuda itu terlihat menghirup wangi yang menguar dari bunga berwarna putih dengan kelopak berjumlah tiga itu.

Baekhyun diam tidak bersuara sama sekali, kedua matanya yang sipit terus menatap Chanyeol yang sekarang agak berdiri menjauh dari tempatnya berpijak.

"Aku menyukaimu, Baekhyun."

Satu kalimat yang membuat pendirian Baekhyun terasa goyah "Lalu kau mau apa?"

Chanyeol berjalan mendekat kearah Baehyun, membuat pemuda itu tampak memasang kuda – kuda untuk melangkah mundur "Jawab pertanyaanku. Apa kau mau menjadi kekasihku?" tangan Chanyeol meraih pergelangan tangan Baekhyun saat merasa pemuda itu hendak melangkah mundur, Chanyeol memberikan buket bunga itu kedalam gengaman jemari Baekhyun, menatap Baekhyun dengan tatapan mata yang terlihat sangat serius.

Jujur saja, Baekhyun merasa gugup. Dia tidak pernah sedekat ini dengan siapapun. Catat itu, baik wanita ataupun pria.

"Tapi aku tidak menyukaimu sama sekali." Baekhyun memekik, saat dia merasa kegugupannya mulai mengalahkan image-nya yang seperti batu karang yang ada dipantai.

Tangan besar Chanyeol yang masih menelingkupi pergelangan tangannya terasa begitu mengisi kepingan dari Baekhyun.

"Dan aku bukan seorang gay!" Baekhyun menjerit kini. Dia makin panik saat tubuh kecilnya terdorong kebatang pohon Sakura yang ada disana. Chanyeol mengabaikan ketakutan yang terpancar sangat jelas pada kedua bola mata sehitam jelaga milik Baekhyun.

"Itu sama sekali sstidak menjawab pertanyaanku, Baek."

"Aku tidak ingin hidupku terkucilkan, hanya karena aku seorang pecinta sesama jenis."

"Apa itu artinya kau menerimaku?"

"Arrrhh!" Baekhyun menjerit frustasi, tanpa terduga, dia sanggup mendorong tubuh besar Chanyeol yang menghimpitnya "Dasar idiot! Aku sama sekali tidak memberikan jawaban. Aku sama sekali tidak mempunyai perasaan untukmu."

"Aku sama sekali tidak meminta jawaban kau menyukaiku atau tidak. Cinta bisa datang kapan saja tanpa pemberitahuan, Baek. Dan aku mempercayai apa yang kuyakini selama ini."

Baekhyun mengerang "Baiklah. Aku menerimamu. Dan segera enyah dari hadapanku sekarang."

"Tidak akan. Aku akan selalu ada disampingmu, hanya sampai kau benar – benar bosan akan keberadaanku. Kau memintaku pergi, bukan karena kau bosan, Baek."

Bukan wajah bersemu yang didapatkan Chanyeol, hanya wajah datar Baekhyun yang kembali terpasang begitu cepat menutupi wajah cantiknya.

"Idiot."

.

.

.

Seakan kembali tertarik pada lubang hitam, membuatnya kembali kedunia nyata saat mendengar suara orang sedang bernyanyi dengan terbata, dan seekor burung Beo sejenis African Grey Parrot yang ada diruang tengah terus – terusan meracau dengan sebuah kalimat ' kwak. kwak. aneh. '

Chanyeol menoleh dan mendapati sosok Baekhyun sedang berdiri didepan pintu kaca besar yang menghubungkan langsung ke halaman belakang "You're only my one way, Ojing neoreul wonhae naega, ni gyeote isseume kamsahae, You're the only one babe " pemuda mungil itu memiringkan kepalanya, dari rautnya dia terlihat kebingungan. Chanyeol berdiri dari sofa dan perlahan berjalan mendekati pemuda itu, mata bulat Chanyeol memejam seiring indera penciumannya menangkap aroma white musk yang menguar dari tubuh Baekhyun.

Chanyeol menyukainya.

Setelah lima tahun tak bersua, dan tiba – tiba mereka dipertemukan kembali dengan keadaan yang benar – benar berbeda, dimana Baekhyun tak lagi mengingat seperti apa masa lalunya.

"Aku hanya mengingat lagu ini." Suara nyaring Baekhyun terdengar, membuat Chanyeol mau tak mau membuka matanya, mengurangi intensitasnya dalam menghirup wangi tubuh Baekhyun yang tidak pernah berubah daridulu.

Chanyeol mengerjap. Dia mengingat semua dengan sangat baik, lagu ini. Lagu yang berulang kali dia nyanyikan untuk Baekhyun; dengan suara sekedarnya. Dia ingat bagaimana Baekhyun tidak menyukainya, dia berulangkali berteriak dengan suara keras agar Chanyeol berhenti menyanyikan lagu itu.

Heaven.

"Seseorang pernah menyanyikan lagu itu dengan suaranya yang buruk rupa. Hahh.." Baekhyun menghela nafas panjang, lalu tertawa, suaranya terdengar getir "Aku tidak ingin melupakan memori yang bisa kuingat ini. Hanya ini satu – satunya yang bisa kuingat."

Suasana menjadi redup dengan aura kesedihan yang menelingkupi atmosfer ruang tengah ini, Baekhyun menunduk, dia mengigit bibir bawahnya membiarkan sebutir air mata menuruni pipi mulusnya yang sekarang terlihat begitu tirus.

Matanya tak lagi berbinar seperti dulu, sinar mata yang begitu menarik Chanyeol kedalam pesona Baekhyun.

Mata itu terlihat sayu, tanpa ada kehidupan didalamnya.

Chanyeol mengangkat tangannya, sejurus kemudian tangannya hanya mengantung diudara saat mendengar lantunan kalimat dari bibir tipis Baekhyun yang membuatnya seakan menjadi patung.

"Aku terlambat untuk menyadari bahwa aku mencintainya." Baekhyun terisak. Kedua tangannya menutupi wajah cantiknya, yang semakin membuat Chanyeol terpukul adalah saat melihat cincin pernikahan mereka yang masih terpasang di jari manis Baekhyun.

Dia semakin tersudut saat membuat Baekhyun menangis. Sungguh ini pertama kalinya dia melihat Baekhyun – yang notabene seorang yang berhati batu – menangis seperti ini.

Bahkan lidahnya pun terasa kelu hanya untuk berbicara "Tenanglah. Jangan menangis lagi."

Chanyeol membiarkan syaraf pada tubuhnya bergerak tanpa perintah, membiarkan tubuh raksasanya mendekap penuh kehangatan pada si mungil "Jangan menangis.." Chanyeol berbisik pada telinga kanan Baekhyun, dan mengecup pucuk kepala pemuda brunette itu.

.

.

.

Mungkin ada yang salah dari seorang Byun Baekhyun.

Dia pernah berkata bahwa dia sama sekali tidak menyukai pemuda tinggi dengan giginya yang berjajar rapi itu – bernama Park Chanyeol si penyuka buah pisang – saat pemuda itu menyatakan perasaannya tahun lalu.

Dan sekarang, satu tahun lebih mereka telah menjalin hubungan.

Seperti ikan salmon yang berenang menentang arus. Mereka berdua mempertahankan hubungan percintaan mereka ditengah hinaan maupun caci maki dari keluarga kedua belah pihak.

Chanyeol pernah berkata, Baekhyun adalah seorang yang munafik.

Dan Baekhyun sama sekali tidak menampik apa yang dikatakan oleh Chanyeol.

Karena memang seperti itu adanya; karena Baekhyun mengakuinya.

Dia memang membutuhkan Chanyeol disampingnya, bukan sebagai seseorang yang pantas untuk mendapatkan hatinya.

Hanya sebagai …. -

"Sebuah kebutuhan."

Chanyeol tersenyum kecut, tangannya sibuk mengores pensil pada kertas berwarna putih itu.

Seseorang yang duduk disampingnya memutar bola matanya; merasa jengah. Pemuda tinggi dengan rambut pirangnya itu memainkan smartphone-nya sambil sesekali mengamati Chanyeol yang tengah membuat sketsa wajah Baekhyun.

"Kau tampan, teman. Ada beberapa wanita yang mengincarmu, dan mereka menyukaimu, kenapa kau tidak memilih saja salah satu dari mereka?" sungutnya.

"Aku tidak tertarik dengan wanita. Kau tahu itu dengan sangat jelas. Dan terima kasih telah menyebutku tampan, sejak bayi aku sudah tampan melebihimu."

Pemuda itu mendengus "Baiklah; sepertinya kau memang benar – benar seorang gay. Ada beberapa laki – laki cantik yang juga menaruh hati padamu yang lebih baik daripada si Byun itu."

Chanyeol tidak menghentikan pergerakan pensilnya sama sekali seperti tadi "Sudah kubilang. Aku hanya percaya takdirku adalah Baekhyun, Kris. Dan berhentilah membual seperti itu."

Kris – nama pemuda itu – tergelak, menatap tajam Chanyeol; meskipun yang ditatap tak peduli sama sekali "Jangan berpikir idiot, dasar bodoh! Tidak ada takdir semacam itu. Pada akhirnya kau harus menikah dengan seorang perempuan."

Pensil yang dipegang Chanyeol berhenti; tepat saat Chanyeol akan menebalkan garis mata.

Perkataan Kris tepat membuatnya sesak, seakan oksigen makin berkurang.

"Pemuda Byun itu sama sekali tak baik untukmu."

Tepat saat itu Baekhyun lewat didepan keduanya, pemuda mungil itu hanya melihat sekilas kearah mereka lalu kembali berjalan menjauh seakan mengangap perkataan Kris hanyalah sebuah angin yang berhembus sesaat.

"Benarkan? Dia sama sekali tidak menyukaimu. Bahkan mempedulikanmu."

.

.

.

Dia tidak peduli.

Seolah – olah membutakan diri pada kenyataan.

Dia sudah punya cahaya sendiri.

Baekhyun.

Pemuda itu yang menjadi pijar cahayanya.

"Aku sudah memikirkannya berulang-kali."

Baekhyun tidak mengalihkan pandangannya dari jalanan yang cukup ramai dengan beberapa kendaraan pribadi maupun umum yang hilir mudik dan sekotak susu strawberry yang tengah dinikmatinya; susu yang dibelikan Chanyeol setelah mereka mampir disebuah minimarket setelah menghadiri acara wisuda mereka.

Mereka sudah lulus dari bangku kuliah mereka.

"Dan aku serius, Baek."

Tidak ada respon sama sekali. Chanyeol menghela nafas, dia gugup.

"Aku tidak ingin berbelit. Apa kau mau menyisakan sisa hidupmu untuk bersamaku?"

Dan kali ini, Baekhyun menjauhkan sedotan dari kotak susu strawberry-nya guna menoleh kearah Chanyeol; sungguh Chanyeol ingin berteriak karena berhasil membuat Baekhyun mengalihkan perhatiannya yang berharga dari sekotak susu strawberry.

"Kau gila."

"Dan seharusnya kau tahu, kau yang membuatku seperti ini."

"Menikah tidak seperti saat kita menjalani masa singkat berpacaran, Yeol. Dan itu tidak main – main."

Chanyeol menarik sudut bibirnya "Apa itu berarti kau mau menikah denganku?"

Si mungil hanya mendesah kalut "Idiot."

Keduanya diam, masih menyelami pikiran masing – masing, hanya terdengar suara ketukan ujung sepatu converse yang dipakai Baekhyun. "Aku akan sibuk menjadi seorang bintang.."

Chanyeol menoleh "Ya, kau adalah bintang dihatiku."

Baekhyun memukul lengan pemuda raksasa itu dengan sangat keras; tak ayal membuat Chanyeol mengerang kesakitan, sungguh tangan Baekhyun benar – benar kuat. Mata sipitnya memaksa melotot "Aku bicara serius, Park Dobi!"

"Aku akan mendengarkanmu, Park Baekhyun.. " satu cubitan bersarang dipinggang Chanyeol, mengakibatkan pemuda itu mengeliat kesakitan.

"Aku sudah menjadi trainee, dan beberapa bulan lagi aku akan diorbitkan."

Chanyeol menatap Baekhyun dengan kedua mata bulatnya, memperhatikan setiap larik kata yang keluar dari bibir sewarna cherry itu, memperhatikan setiap gerakan kala bibir itu mengumandangkan lantunan kalimat.

"Intinya, kau malu mempunyai pacar laki – laki. Begitu Byun Baek?"

Satu kalimat sedingin es mampir kegendang telinga Baekhyun, membuat si kecil itu tersentak "Ya begitulah.." dia hanya mengumam kecil.

Chanyeol menaikkan alisnya "Hah? Kau bicara apa barusan?"

.

.

.

Sungguh, Baekhyun sama sekali tidak tahu mengapa dengan mudahnya dia menerima saat Chanyeol memasangkan cincin berukir nama pemuda raksasa itu pada jemari manisnya.

Dan dia hanya menurut saat pemuda itu menariknya kedalam pelukan. Hangat, Baekhyun mengakui. Ada desir yang membuatnya nyaman saat kulit mereka saling bersentuhan. Tapi tetap saja, Baekhyun menolaknya.

Suara tawa renyah Chanyeol seperti terngiang – ngiang pada indera pendengarannya. Membuatnya sulit tidur, dan yang dilakukannya hanya berguling guling diatas ranjangnya dan terus – terusan mengamati jari manisnya; yang kini sudah terhiasi dengan cincin pertunangan.

Dan dia akan segera menikah.

Selang tiga bulan setelah dia diorbitkan, dan cukup menjadi seorang idol baru yang terkenal.

Dia harus menyembunyikan statusnya.

Bahwa dia akan menikah, dan calonnya adalah seorang laki – laki; sama sepertinya. Dan itu harus dirahasiakan dari publik.


- tbc -