Disclaimer : Hetalia belongs to Hidekaz Himaruya

Alternate Universe. Possibly an incest.

AN : Yes, I love Scotland. And yes, I enjoy write about him a bit too much. Tapi aku tidak yakin dengan apa yang aku tulis, pasti telah terjadi konspirasi antara otak dan jari-jariku! :(


"…apa itu?"

Sepasang mata emerald memicing, memandang tajam pada buntalan kain bergerak dalam gendongan wanita gipsi di hadapannya.

"Adikmu."

Kedua alis tebalnya terangkat heran. "Lalu?"

Wanita dengan kepala tertutup bandana menghela nafas panjang, mengangsurkan buntalan kain yang ia bawa kepada anak laki-laki bermata emerald tersebut. "Rawat dia."

Dia bangkit, menerima buntalan itu dengan tangan sedikit gemetar. Ia memandang sebentar sejumput surai pirang yang menyembul dari lapisan kain, mengerutkan keningnya. Kemudian kepalanya terangkat, sepasang matanya tampak berkaca-kaca.

"Ibuku―" Bibirnya yang bergetar tak mampu melanjutkan.

Wanita gipsi menganggukkan kepala. Tangannya terangkat, meremas pundak anak laki-laki itu pelan.

Bulir air mata menetes untuk pertama kali setelah lima tahun lamanya, diikuti lengkingan tangis dan berontak kecil buntalan kain dalam gendongannya. Air matanya mengalir deras seperti mata air di tengah gunung, membentuk alur yang membingkai wajahnya; menetes turun bergabung dengan air mata adiknya. Ia mendekap erat buntalan kain berisi adiknya.

Kemudian melangkah gontai meninggalkan gubuk wanita gipsi, dan sosok tubuh yang terbujur kaku di dalamnya.


Ia pernah tinggal dengan ayah dan ibunya di sebuah rumah mungil di pinggir hutan. Bahagia, awalnya. Kesehariannya dilalui dengan petualangan bersama ayahnya. Menyusuri belantara hutan, belajar berburu. Ayahnya, pria berambut merah darah, hanya tertawa jika anak panahnya melesat cepat dan menancap pada batang pohon, dengan burung dara yang jadi targetnya mengepakkan sayap terbang tinggi. Kemudian ia akan membersut kesal dan tersandung akar pohon, menggigit bibir bawahnya meningkari titik-titik air yang terkumpul pada sudut matanya. Anak laki-laki tidak menangis, begitu kata ayahnya. Pria itu akan mengulurkan tangan dan membantunya berdiri, menepuk punggungnya pelan. Ia hanya diam dan mendengus. Tentu saja, begitu balasannya. Dan mereka akan pulang dengan membawa hasil buruan, tangkapan ayahnya. Sementara ibunya, seorang wanita berambut pirang keemasan, akan menyambutnya dengan pelukan dan senyum hangat, membersihkan kerak lumpur pada ujung celananya. Ia akan bertanya, bagaimana harimu nak? Seraya mengusap pergi debu dari pipinya yang memerah. Kemudian ia akan memamerkan cengirannya dan menepuk dadanya bangga, aku berhasil menangkap seekor angsa! Ayah dan ibunya akan tertawa dan mengacak rambut merahnya.

Setidaknya ia bahagia selama 10 tahun awal hidupnya.

Terakhir ia menangis adalah saat usianya 7 tahun. Kala itu ranting kering menggores dahinya, tepat di atas alis kirinya. Perih sekali. Darah mengalir bercampur dengan air matanya. Anak laki-laki tidak menangis, begitu ayahnya berucap, menyeka lukanya dengan sapu tangan. Ia meringis dan menganggukkan kepala, menarik nafas dan memaksa kelenjar air matanya berhenti bekerja. Hanya darah mengering pada pipinya, tidak ada lagi bekas air mata.

Anak laki-laki tidak menangis, kata-kata itu selalu terngiang dalam telinganya.

Bahkan ketika ayahnya ditemukan dalam keadaan mengenaskan―serangan brutal dari seekor beruang―ia hanya menatap dengan mata nanar. Tidak ada air mata, sedangkan ibunya berteriak histeris kemudian jatuh tak sadarkan diri. Yang ia tahu, ia harus menggantikan ayahnya dan menjaga ibunya yang tengah hamil tua. Ia menggali kubur untuk ayahnya seorang diri, hingga ujung-ujung kukunya berdarah dan telapak tangannya terkoyak. Ia sendiri yang memancangkan batu nisan tanpa nama dan menaburkan kelopak-kelopak mawar merah di atas makamnya, yang bercampur dengan darahnya.

Ia tidak menangis. Anak laki-laki tidak menangis.

Ibunya bukan laki-laki. Ibunya seorang wanita lemah dengan perut membuncit. Ia menangis tiap lima menit. Ia menangis tiap menyentuh barang-barang buatan tangan ayahnya, yang berarti, semuanya. Anak laki-laki tidak menangis, hanya itu yang ia ingat dari mendiang ayahnya. Ayah tak pernah bilang perempuan tidak menangis, jadi ia membiarkan ibunya tenggelam dalam kesedihan. Sementara dirinya akan melanjutkan hidup dan menjaga ibunya, serta janin dalam perutnya. Ia memiliki peran ganda; sebagai dirinya, dan sebagai pengganti ayahnya.

Memainkan dua peran terbukti berat dan menyiksa. Usianya dua belas tahun dan ia masih belum pandai berburu. Apalagi memasak. Daging angsa yang biasa tersedia pada meja makan tak ada lagi. Hanya ayam yang masih kecil, warnanya coklat kehitaman terlalu matang. Pahit, bahkan ia sendiri meludahkan apa yang ia makan. Ia berusaha semampunya, sementara ibunya terlanjur patah hati. Makanan yang masuk ke dalam mulutnya lebih sedikit dari yang ia muntahkan. Hingga tangisannya berubah menjadi teriakan kesakitan, dengan leleran darah pada kedua kakinya. Kalau saja ia telah tumbuh besar dan kuat, ia akan menggendong ibunya ke gubuk wanita gipsi; bukan menuntunnya berjalan tertatih, erangan mengikuti tiap langkahnya.

Teriakan ibunya tak terdengar lagi. Ah, pasti ia kelelahan dan jatuh tertidur setelah melahirkan, begitu pikirnya. Sepasang mata emeraldnya sama sekali tak terlihat basah dan berkaca-kaca. Ia lelah, tapi memejamkan mata bukan pilihan terbaik saat ini. Hingga wanita gipsi keluar dari gubuknya dengan buntalan kain dalam gendongannya.

Dan secara tidak langsung mengabarkan kematian ibunya.

Ia selalu curiga keberuntungan tak pernah berpihak padanya. Terutama sejak kematian ayahnya tiga minggu lalu. Kalau harus berperan ganda, ia masih bisa. Kalau harus mengerjakan tugas dua orang sekaligus, ia masih sanggup. Tapi bagaimana dengan tiga? Bagaimana ia berperan menjadi dirinya sendiri, merangkap sebagai ayahnya, sekaligus ibunya? Bagaimana mungkin?

Air mata pertamanya menetes setelah lima tahun terpendam.


Usia Arthur baru satu tahun saat Allistor meninggalkannya sendiri di dalam rumah, sementara ia pergi berburu dan mencari buah-buahan di dalam hutan. Ia pulang setelah menjual hasil tangkapannya di pasar untuk membeli susu dan roti, serta buku bekas tentang cara merawat bayi.

Ia menghela nafas dan meletakkan belanjaannya di atas meja dapur, lalu duduk dan membuka lembar demi lembar buku yang baru ia beli. Kalau ibu, pasti tidak membutuhkan buku panduan seperti ini. Apalagi wanita itu pasti telah mendapatkan pelajaran penting selama membesarkan Allistor. Sedangkan dirinya, ia belum pernah punya adik sebelumnya, dan tidak ingat apa saja yang dilakukan ibu saat ia masih sangat kecil. Maka ia akan membutuhkan sedikit petunjuk dari buku ini.

Dia sedang membaca bagian makanan bayi saat tangisan Arthur terdengar memecah sunyi. Allistor meletakkan bukunya dan membawa beberapa butir buah beri bersamanya, meniti anak tangga menuju kamarnya di lantai dua.

"Hei Nak, kau lapar?" Ia berhenti di samping boks bayi, menyapa adiknya dengan muka datar.

Sejenak tangisan Arthur terhenti. Sepasang mata emerald bulat yang basah memandangi Allistor. Ia baru akan membusungkan dada bangga karena tanpa dirinya melakukan apa-apa, adiknya cukup tahu diri untuk tidak berisik. Ternyata ia salah. Tangisan adiknya kembali pecah.

Sudut matanya mengejang.

Padahal ia begitu lelah dan ingin segera pergi tidur dengan tenang.

"Shh, shh, berhenti menangis, anak manis."

Ia menggoyang-goyangkan boks bayi yang ia buat sendiri dan meraih botol susu di atas meja. Tapi rupanya Arthur memutuskan untuk bersikap sulit, menepis botol susunya bahkan sebelum Allistor dapat menempelkan dot dengan mulutnya.

Ia menghela nafas lelah, merogoh saku bajunya dan mengeluarkan buah beri.

"Kau mau ini? Buah beri?"

Sejenak tangisan Arthur kembali terhenti. Tangan mungilnya terulur, mencoba meraih. Allistor hampir tersenyum dibuatnya, apalagi saat adiknya menggenggam buah beri dengan jari-jarinya yang gemuk. Ia pikir ia telah berhasil membuat Arthur diam, tapi lagi-lagi ia salah. Arthur membuang buah berinya dan menangis keras-keras.

"Sebenarnya apa yang kau inginkan?!"

Ia mengacak rambut merahnya dengan gerakan frustasi. Buah beri yang susah payah ia petik dari wilayah sebaran beruang coklat menggelinding mengenai ujung sepatunya yang berlapis lumpur. Sedangkan lengkingan tangis bayi terdengar semakin keras.

Sudut matanya mengejang.

"Diam kubilang!"

Allistor mengambil gulungan kain dan membungkam mulut adiknya. Pipinya menggembung, memerah. Sepasang mata emerald yang serupa dengan miliknya basah, membulat lebar, terus mengalirkan air dari sudut-sudutnya. Kemudian tangan mungil memberontak, mengepal dan mengayun di udara. Tangisannya tak terdengar lagi, tapi rontaan tubuh mungilnya semakin menjadi. Kemudian melemah dan melemah. Kehabisan tenaga, kehabisan nafas; hingga akhirnya berhenti. Mata Arthur setengah terpejam. Seperti tersadar dari mimpi buruk, Allistor menarik kain yang membungkam mulut adiknya. Matanya membulat. Dengan panik ia memindahkan tubuh mungil adiknya ke dalam gendongannya, membuainya. Jubahnya diremas, lalu terdengar tangis parau memecah cekaman. Ia menghela nafas lega dan terus mengusap-usap punggung adiknya.

Berperan menjadi dirinya sendiri, ayahnya, dan ibunya; ia masih bisa. Tapi kalau harus sekaligus menjadi adiknya, ia tak akan sanggup.