"Kumohon Kuroko-kun, kalau bukan kau siapa lagi yang bisa?" Kata suara lembut milik seorang wanita yang sedang duduk seraya mengetukkan jarinya di atas koran yang terlipat di meja. Manik coklatnya memancarkan permohonan.

"Keputusan sudah bulat, dan aku tidak akan merubahnya." Pria bersurai biru langit itu tidak berekspresi walau tatapannya sarat akan penolakan. Peduli apa dia dengan urusan ini.

"Kau tahu Kuroko-kun, aku tidak pernah–jarang memohon terhadap bawahan." Kata Aida Riko. "Tapi kau adalah pengecualian karena bakat langkamu."

Kuroko hanya memutar mata semu. "Aida-san masih banyak wartawan yang cocok untuk meliput berita ini, dan juga kau tahu aku tidak akan melakukan hal yang kubenci." Suara itu menuntut.

Seakan tidak peduli dengan suara itu Riko tetap lanjut memaksa. "Tapi aku bisa meminta pimpinan memberi bonus–HEI! Kau mau kemana Kuroko-kun?!"

Kuroko yang sudah berbalik dan memegang gagang pintu kaca, melirik ke balik bahu untuk melihat atasannya yang sudah berdiri sambil mengeluarkan geraman.

"Aku tetap menolak. Maaf sudah bersifat tidak sopan." Kuroko membungkuk sopan lalu menutup pintu kaca. Sikap keras kepala Kuroko tak ayal membuat Riko sakit kepala.

Wanita dengan umur pertengahan tiga puluh itu kembali mengenyakan diri di kursi putar empuk sambil mengerang marah. Ditumpukkan kepalanya di atas tangan seraya manik coklat menatap foto yang terpampang di koran.

"Sudah seminggu lebih dan dia tidak mau menerima perkerjaan ini juga," tangan kirinya menumbuk keras pada koran yang tidak bersalah. "Sebenarnya maumu apa Kuroko-kun!"

Riko menggerutu tidak jelas. Kemarahan yang sudah menumpuk selama seminggu dikeluarkan dengan kata kasar yang hanya didengar oleh benda mati di sana, tidak peduli dengan dirinya yang berada di ruang berdinding kaca dan dilihat jelas oleh orang lain yang menatap heran.

Hari ini pun dia gagal membujuk Kuroko Tetsuya, dan rasanya dia sudah mencapai titik menyerah.

.

.

.

.

Loving The Journalist

Warnings : shonen ai, AU, OOC , OC, typo(s), alur yang terlalu cepat, Nonsense, bahasa yang tidak sesuai dengan EYD atau ambigu, penggunaan tanda baca yang abal-abal, dll

Kuroko no Basuke is Tadatoshi Fujimaki's. I do not own anything except the plot

Don't like don't read don't flame

Tolong baca sesuai umur.

.

.

.

.

Langit yang sama, nama hari yang sama, tapi kegiatan yang berbeda. Hari ini dia harus bergelut (lagi) dengan rengekkan Riko untuk meliput berita salah satu aktor yang tengah membintangi drama top. Entah sudah berapa kali atau memang Riko yang berpura-pura lupa tentang pernyataannya ketika dia masih magang di sana bahwa dia TIDAK akan sekalipun meliput seluk beluk kehidupan seorang aktor. Menurutnya masih banyak bahan berita yang lebih pantas daripada repot-repot mengikuti (stalk) mereka.

Kuroko sedang duduk meringkuk di kursi berlengan berlapis kulit di cafe, menonton YKH NEWS: Janji Shinzo Abe Mengenai Prioritas Ekonomi , pada televisi kubus berwarna hitam abstrak. Jari tangannya memainkan cangkir vanilla latte setengah penuh dengan jengah.

"Sebenarnya saya sudah yakin akan memenangkan pemilu ini, dan saya sebagai Perdana Mentri baru akan membereskan permasalahan ekonomi dan juga keamanan nasional Jepang." Ucapnya di layar televisi. Suaranya terdengar bangga yang tidak dibuat-buat.

"Tentu saja," Si pewancara mulai menaggapi, "tapi itu tidak akan mudah, kan? Maksud saya dengan masalah penurunan generasi yang akan mempengaruhi."

"Tidak masalah, saya merasa positif ekonomi negara kita akan naik setelah mengalami penurunan 0,5 persen dari kuartal sebelumnya lantaran penaikan pajak penjualan dan –"

Ponsel Kuroko bergetar. Kuroko mengeluarkan benda itu dari saku celananya. Dia melirik dengan kesal; dia sedang berkonsentrasi pada YKH NEWS dan ada orang yang mengganggunya.

From: Aida-san

Subject: None

Kuroko-kun, kumohon kembalilah. Maafkan aku dan kita bisa membicarakan ini baik-baik.

Karena masih marah, Kuroko menekan tombol "Delete". Matanya kembali terfokus pada televisi yang ternyata sudah berpindah saluran menjadi drama klise. Rasa stresnya kembali bangkit walaupun sudah meminum vanilla latte dan kabur dari tempat kerjanya.

"Ah, terserahlah." Gumamnya, rasa menyerah dan bersalah bercampur dalam kadar yang tidak perlu. Maniknya sesaat terfokus pada layar ponsel lalu dia menandaskan minuman yang sudah terlanjur dingin. Tangannya meraih dompet lalu meletakkan selembar lima ribu yen sebelum pergi meninggalkan cafe seraya menyapa petugas penjaga pintu.

Hembusan udara dingin es menyengatnya. Tubuhnya yang bisa dibilang sedikit kurus itu menggigil dan menarik mantel lebih ketat ditubuhnya. Trotoar yang dilaluinya terselimuti lapisan es tipis; membuatnya harus berhati-hati dalam melangkah atau dia akan berakhir seperti seorang ibu yang tergelincir ketika kelauar dari butik di seberang. Sekali lagi ponselnya bergetar dalam saku lalu dia menempelkan benda itu ke telinga dan disuguhkan pekikkan protes sahabatnya.

"Ya, ya, aku tahu kau juga kesal." Balas Kuroko. Sesaat dia termenung setelah menyadari harapan kosong yang tebersit di dirinya.

"Tapi ini gila, sekarang kan malam Natal!" protesnya dengan percuma, karena Kuroko tidak bisa melakukan apapun tentang hal itu. "Kupikir mereka akan memberikan kita hari libur pada tanggal dua puluh empat. Seperti tahun lalu!"

Kuroko menghela nafas yang berubah menjadi kepulan awan uap di depannya. "Ini masih siang, asal kau tahu saja dan mungkin Aida-san..." keraguan menguasai dirinya. Tidak yakin dengan spekulasinya ataupun dengan isi otak Riko. "–entahlah aku menyerah."

Hening sesaat lalu dilanjutkan dengan nada bingung. "Maksudmu... apa? Ah!" Kuroko sudah bisa menduga kata-kata yang akan diucapkan selanjutnya. "Saat baru kembali dari kantin aku mendengar dari orang bahwa kau membuat Aida-san marah. Wah edan! Apa kau akhirnya akan dipecat?"

Sialan... "Apa? Takao-kun senang kalau aku dipecat?" Tawa menggelegar di seberang sambungan.

"Hahaha, ayolah jangan terlalu serius seperti itu~" ucapnya dengan nada bercanda. Kuroko tidak menanggapi. "Tapi sungguh kawan, mungkin karena kau Aida-san menjadi badmood dan memundurkan hari libur kita." Takao menangkap erangan protes kecil dari Kuroko dan buru-buru minta maaf.

"Oh jadi lupa, aku harus meliput kebakaran pabrik tua di pinggiran kota bagian selatan. Mau ikut?"

Yang diajak melihat arlojinya, sesaat berpikir apakah tidak apa-apa menerima tawaran tersebut saat jarum panjang dan pendek bertemu di angka dua.

"Boleh juga," Kuroko berhenti melangkah tepat di depan zebra cross ketika lampu penyebrang jalan berubah merah. "aku ikut. Rasanya aneh dan canggung jika bertemu Aida-san sekarang, Takao-kun dimana?"

"Belum berangkat kok, kami masih siap-siap." jeda sesaat. "Kau sendiri dimana? Aku yakin tidak berada di kantor."

"Lima blok dari sana, aku akan menunggu di maji burger langgananku. Kau tahu, kan?"

"Oke oke, omong-omong kau akan mentraktirku kan?" suaranya terdengar antusias, Kuroko memutar bola matanya.

"Dalam mimpi." Balasnya ketus seraya memutuskan panggilan, lalu kembali berjalan di trotoar licin ditemani dengan rintikkan kristal salju.

.

.0.0.0.

.

"Kau tahu kan kalau sebentar akan ada meeting?"

Sebenarnya Takao tidak bisa menahan hasrat untuk tertawa ketika melihat ekspresi terkejut pada pria pemilik manik biru langit tersebut. Dia terkikik, seperti seseorang menggelitiknya.

"Begitu kah?" pegangan pada ponselnya menurun. Dia menyikut Takao untuk menghentikan tawa berisiknya. "tentang apa?"

"Wah, kau harus melihat ekspresi teman-teman yang begitu putus asa saat Aida-san dengan entengnya bicara." Lalu Takao terbahak saat mengingat ekspresi teman-temannya: murung, letih, kaku, pasrah, dan terus bermain dalam otaknya. Seperti menyaksikan proyektor.

"Oh," Kuroko merenung, dia berani mempertaruhkan seluruh uangnya jika Takao memiliki reaksi yang sama dengan yang lainnya. "kau juga begitu, kan?"

Takao mendengus. "Heh, mana mungkin! Di antara semuanya akulah yang paling bersemangat." Ucapnya dengan nada berat dan keangkuhan tiada tara. Dadanya dibusungkan lalu ditepuk-tepuk, seperti orang yang baru saja menyelamatkan permaisuri.

Tapi Kuroko tahu sahabatnya berbohong. Takao yang tak berani menatapnya menjadi bukti yang cukup.

"Yeah," Kuroko mengangkat bahu. Ponsel lipatnya kembali mencari bahan berita.

Keduanya berjalan sambil menukar lelucon, walau kebanyakan tidak ditanggapi Kuroko. Setelah menemani Takao meliput berita kebakaran itu mereka segera pulang ketika mendapatkan panggilan dari Miyaji Kiyoshi; reporter tampan tapi suka berbicara kasar pada orang lain tanpa pandang bulu. Katanya ada hal penting yang harus didiskusikan dan Kuroko berani menebak, semuanya akan dibicarakan dalam meeting tersebut. Dalam benaknya dia berdoa agar tidak bertemu Riko.

Lalu saat akan memasuki ruang meeting mereka dicegat oleh Furihata Kouki yang menyampaikan pesan dari Riko bahwa dia dan Kuroko harus berbicara empat mata. Dan disaat itu dia sadar, pekerjaannya berada di ujung tanduk.

"Good luck, bro!" Takao menyemangati. Kuroko tidak membalas ataupun menoleh.

Setelah berjalan semenit dia melihat Riko sudah menunggunya sambil melipat tangan, manik mereka saling beradu walau dinding kaca menjadi pembatas. Kuroko masuk lalu membungkuk sopan pada Riko. Dia berpikir mengapa mereka selalu berbicara di tempat yang sama.

"Jadi, apa kau tahu alasanku memanggilmu?"

Dengan kepura-puraan yang dibuat-buat dia menjawab:

"Tidak, aku tidak tahu."

Wanita itu mendesah pasrah. "Hah, begini Kuroko-kun, ini tentang masalah tadi siang dan ada baiknya kita bicarakan sekarang. Aku tidak akan mengubah pikiranku tapi untuk sekarang lebih baik kau menikmati libur dulu."

Sebelah alis Kuroko terangkat. "Maksudnya, Aida-san memberi kami hari libur?" dari pantulan dinding kaca dia melihat bayangan Takao. Sepertinya orang itu mengikutinya.

"Ya, sehari tidak lebih dan–"

"Maaf menyela Aida-san," tukas Kuroko. "tapi aku tetap menolak perkerjaan tersebut."

Riko tersenyum. "Itulah mengapa kami mengenalmu sebagai kepala intan. Jika kau menerima perkerjaan ini gajimu akan dinaikan lima kali lipat."

"Bukannya ini penyuapan?" Kuroko masih bersikap devensive.

"Well, itu terserah padamu," dia menyeringai tipis, "kalau jadi kau, aku tidak akan menolak."

Kuroko tidak dapat membalas perkataan Riko.

"Itu saja yang ingin ku sampaikan. Pikirkan baik-baik Kuroko-kun."

Riko mengakhiri pembicaraan, sebelum kemudian meninggalkannya dan bertegur sapa dengan Takao yang gagal menguping. Kuroko segera menghimpun pikiran-pikirannya, memutuskan tindakan apa yang tepat di tengah gelombang bingung dan frsutasi. Apa dia harus menerima atau tidak, itulah pertanyaan yang terus terulang dan membuatnya penat luar biasa.

"Wah, sepertinya kalian membicarakan hal yang penting." Takao dengan rasa ingin tahu yang tak dapat dibendung, bertanya dengan nada mengganggu.

"Bukan apa-apa," Kuroko otomatis berdusta, "Aida-san memberitahu ku bahwa kita akan mendapatkan hari libur."

"Itu kabar yang bagus," nada suaranya terdengar tenang, sangat terbalik dengan hatinya yang meletup-letup riang. "tapi kenapa ekspresimu masam begitu?"

Mendengar itu dia hanya tersenyum, tapi senyum dipaksakan. "Apa maksudmu? Aku senang kok." Lalu dengan insting ingin menjauh, dia berjalan melewati Takao yang sudah pasti akan memberi bejibun pertanyaan.

"Tet-chan kau mau kemana? Jangan pergi dulu!" terlambat. Tangan Takao menahan lengannya. "Setelah jam pulang nanti, kau mau kan ikut ke bar bersamaku?"

Kuroko terjebak. Dia lebih baik lembur selama seminggu daripada harus mendengar mulut lebar Takao

.

.0.0.0.

.

"Sebagai fans aku tidak bisa menerima ini," Takao meneguk birnya kasar, "bagaimana bisa keparat itu memanfaatkan kelemahan Chiharu untuk menyerang Hitoshi!" Takao tidak bisa tenang, Kuroko burusaha mengabaikan mahkluk paling berisik itu. Selama satu jam penuh (begitu perhitungan Kuroko) Takao terus berbicara panjang lebar, terus mencerocos tentang drama kesukaannya, bahkan sesekali menyumpah pada sang antagonist yang Kuroko tidak perlu peduli untuk mencari namanya. Ini resikonya memiliki sahabat maniak drama.

"Aku masih tidak percaya! Bagaimana bisa drama itu mengaduk-ngaduk perasaanku seperti ini." Pria itu meremas dadanya. "Padahal ini masih episode enam!" Takao kembali meraih gelas birnya, mengernyit ketika gelasnya sudah tiga seperempat kosong.

"Takao-kun, aku datang ke sini bukan untuk mendengar celotehan mu tapi untuk menikmati malam Natal." Kuroko akhirnya memberi komentar, Takao terbahak.

"Omong kosong!" Kuroko yakin sahabatnya sudah mabuk. "Mana ada orang menikmati malam Natal mereka di bar! Aku berani bertaruh bar ini akan tutup sebentar lagi."

Takao kembali meneguk birnya.

"Oh! Omong-omong aku penasaran, tugas apa yang diberikan Aida-san padamu?" tanyanya sesudah sendawa, Kuroko merutuknya. "Mustahil jika itu berkaitan dengan kemenangan Shinzo Abe."

Kuroko mencondongkan tubuh mendekat. "Kau mau tahu?"

"Tentu saja, kau pikir kenapa aku mengajakmu minum?"

"Baiklah," dia kembali bersandar pada sofa, maniknya seketika menajam. "jangan terkejut–tambah saja birnya kalau masih mau Takao-kun."

Takao menggeleng, dengan mata yang memerah dia membalas, "Tidak, tidak, aku tidak boleh mabuk. Bisa-bisa adikku marah." Suaranya berusaha meyakinkan.

"Aku akan mengatakannya," Kuroko menarik nafas, "Aida-san menyuruhku untuk meliput berita Akashi Seijuurou."

Takao spontan tertawa. Tidak tahan mendengar pernyataan Kuroko juga dengan ekspresi frustasi yang tak ditutupi di wajah putihnya.

"Bhuwahahahahaha–apa, meliput–apa? Jangan bercanda!"

"Aku serius, selama seminggu Aida-san terus memaksaku untuk meliput–"

Kuroko tidak melanjutkan kalimatnya saat Takao sudah bersandar lemah pada meja seraya menumbuk-numbuknya. Bahunya bergetar, suara tawa menggema di udara. Apa selucu itu?

"Astaga Aida-san mungkin lelah mencari cara lain untuk menaikkan rating view." Dia lanjut tertawa. "Memangnya dia lupa dengan sumpahmu saat kita magang?"

"Itulah mengapa aku mempertanyakan isi otaknya selama seminggu terakhir."dia menjawab menggunakan nada datar bercampur ketus.

"Kalau meliput soft news," Takao sudah kembali duduk tegak, dia menyeka air matanya, "kenapa tidak menyuruh Himuro-san saja? Dia kan ahlinya."

"Dia tetap kukuh, dan memberiku jeda dengan libur ini."

Takao mengangguk. Begitulah sifat Aida Riko dan sungguh disayangkan Kuroko menolak perkerjaan itu. Kalau saja mereka bisa bertukar tubuh sudah pasti Takao menerima perkerjaan itu.

"Yeah nasibmu payah–eh berbicara tentang Akashi Seijuurou, kau tahu rupanya seperti apa?"

Sebenarnya Takao tidak ingin bertanya, tapi Kuroko terkenal dengan sumpah bodohnya dan juga ponsel tahun 2007 nya, dengan kata lain dia terkenal kolot. Bisa saja dia tidak tahu aktor papan atas Akashi Seijuurou.

"Kalau aku bilang tidak, apa kau akan terkejut?"

Rahang Takao serasa jatuh di lantai.

"Apa kau manusia gua?" suaranya meninggi. Sebagai penggemar Akashi Seijuurou dia merasa terhina. "Bisa-bisanya kau tidak tahu!"

"Takao-kun–"

"Ngak! Aku kecewa denganmu."

"Memangnya salah jika hanya mengetahui nama orang tanpa mengetahui rupanya?"

"Kalau orang itu sinting, yah mungkin saja." Takao melipat tangan di depan dada, dia mendengus. "Baiklah, dengarkan baik-baik. Aku akan mengambarkan sosok Akashi Seijuurou."

Kuroko memutar mata, lalu–dengan terpaksa–mendengarkan omongan Takao sekali lagi. Tapi, penjelasan Takao sama sekali tidak menggambarkan sosok Akashi, malah dia mencurahkan segala perasaannya tentang drama Akashi yang baru saja dia tonton lewat ponsel.

"Apa kau tahu sekarang jam berapa?" potong Takao disaat dia menjelaskan betapa naifnya sang heroine.

"21.30, kenapa?"

"Ah, firasatku buruk." Takao mengecek ponselnya, sedikit menggerutu ketika melihat daftar pesan dan panggilan yang terabaikan.

"Jangan bilang keluargamu sudah memanggil?" tanya Kuroko, Takao membereskan barang-barangnya dengan panik.

"Shit! Aku tidak tahu ponselku dalam mode silent," Takao berdiri dari sofa setengah lingkaran itu, "aku harus pulang. Aku duluan yah."

"Mau kuantar?" tawarnya saat melihat sahabatnya berjalan terhuyung ke luar.

"Tidak, tidak–eh mau ikut ngak? Kau bisa menginap di rumahku kalau mau."

Kuroko tersenyum ramah, "Tidak usah, selamat Natal Takao-kun."

Mengamati Takao yang sudah sudah menghilang di antara salju yang berjatuhan, Kuroko meraih jus aplenya sambil mengamati keadaan bar yang mulai sepi. Mungkin yang dikatakan Takao ada benarnya, dan itu membuatnya gelisah. Dia hanya tinggal berdua dengan Nigou dan ingin menghabiskan Natal bersama seseorang. Merayakan Natal bersama keluarga Takao juga bukan pilihan yang tepat, terlebih jika adik perempuannya yang cerewat selalu ingin mengetahui selak beluk kehidupannya.

Kuroko menghala nafas, manik matanya menatap langit-langit. Dirinya termenung, dinginnya udara malam, dentingan jam tua, dan bisikan orang-orang sama sekali tidak mengganggunya.

"Merenung lagi Kuroko-kun?"

Kuroko menoleh, tersenyum tipis pada pemanggil. "Sudah tidak sibuk Kensuno-san?" godanya. Kedua kakinya sudah bergerak untuk menduduki kursi tinggi itu.

"Bicara apa kau Kuroko-kun? Mana mungkin aku sibuk dengan pelanggan hitungan jari?" Kuroko terkiki lalu memesan koktail wiski saat bokongnya bercumbu dengan kursi tersebut.

"Wah, sudah berapa lama yah kau tidak minum alkohol?"

"Yeah, tuntutan perkerjaan melarang kami mabuk." Bartender itu terbahak, lalu menyiapkan pesanannya.

"Tadi aku melihat Takao-kun, tapi tidak sempat menyapanya."

Kuroko tidak membalas, dia malah menyaksikan Kensuno meracik minumannya.

"Silahkan, satu koktail siap!" serunya. Kuroko mengendus dan menggoyangkan cairan itu perlahan sebelum meminumnya, dia tersenyum.

"Vanilla, ini koktail vanilla?"

"Kau suka?"

Kuroko mengangguk lalu menyesapnya perlahan.

"Oh, melihat ekspresi senangmu aku jadi teringat kegilaan kalian berdua dulu. Kau masih ingat?"

Tentu saja, saat Kuroko dan Takao bertingkah layaknya orang gila akibat rasa girang karena diterima KLB NEWS dan juga alkohol yang tak henti-hentinya diteguk. Mereka berdua harus izin sehari akibat pengar hebat.

"Itu dulu Kensuno-san, kami sudah dewasa sekarang." Dirinya mempertanyakan kepastian dari kalimatnya barusan.

Kensuno tertawa lalu meminta izin untuk melayani dua wanita yang baru saja duduk dua kursi dari dari Kuroko, tentu saja dia memberi izin. Kuroko menikmati minumannya dengan damai, jauh dari celoteh Takao dan semoga saja bar sepi ini akan menenangkannya. Tapi kenyataan tidak selalu manis.

Dua wanita itu terus berceloteh tentang Akashi Seijurou, seperti apakah mereka sudah menonton episode terbaru dramanya, konser tahun baru yang akan mereka datangi, sampai limited photobook yang akan mereka beli. Kuroko muak, dan itu sudah jelas. Kemanapun dia pergi Kuroko selalu mendengar nama Akashi, seakan beritanya sepenting berita perang dunia kedua. Dengan mood hati yang berubah, dia lebih memilih mabuk sekarang.

"Permisi, Kensuno-san aku memesan segelas vodka."

"K-Kuroko-kun, tapi..."

"Tidak apa-apa, aku janji tidak akan membuat kekacauan."

Dengan berat hati bartender itu menuruti pelanggannya. Beberapa saat kemudian minumannya tiba dan dia langsung meminumnya. Waktu berlalu dan intensitas minum Kuroko makin naik seraya mulut yang terus meracau akan masa lalu yang bangkit dari alam bawah sadar, efek alkohol mulai meracuni pikirannya.

"Sedang patah hati, yah?"

Suara itu mengejutkannya, lantas dia menoleh. Dengan pandangan sedikit berputar, dia bisa melihat warna merah mendominasi.

"Siapa kau?" sahutnya ketus seraya menaikkan sebelah alis. Dua wanita tadi tampaknya sudah pulang.

"Namaku tidak penting," orang itu tersenyum, "kau tampak berantakan."

"Tidakkah orang tuamu mengajari untuk tidak berbicara dengan orang asing?" sindir Kuroko, orang itu sudah duduk di sampingnya.

"Aku hanya ingin berteman," suaranya terdengar lembut, "karena malam Natal ini kuhabiskan seorang diri."

"Oh, entah mengapa kita memiliki nasip serupa." Kuroko kembali menyesap vodkanya, ini sudah yang ke enam. "Aku Kuroko Tetsuya, kau?" sesaat manik matanya bertegun pada manik belang orang itu.

"Sei, panggil saja begitu."

"Baiklah kau mau apa? Pemilik bar ini sedang berada di gudang."

"Dia menitipkan tempat ini padamu?"

"Bisa iya bisa tidak." Kuroko kembali minum. Kensuno kembali dengan keranjang sarat akan bir.

Pikirannya tidak dalam keadaan normal sehingga dia tidak benar-benar keberatan berbicara dengan orang asing. Sei dan Kuroko berbicara untuk sementara waktu, sekedar basa-basi sosial, sampai akhirnya Kuroko percaya Sei hanya ingin berteman.

"Kau belum menjawab pertanyaanku sebelumnya, apa kau sedang patah hati?" Sei sudah memesan sebotol bir saat Kensuno menawarkannya.

Karena Kuroko sudah mempercayainya, maka dengan santai dia menjawab:

"Oh lebih buruk," pria surai biru itu kembali memesan vodka, "aku mencurahkan segala kekesalanku terhadap demam Akashi." Dia langsung menandaskannya ketika minuman itu tersajikan. Kerongkongannya serasa terbakar.

"Demam Akashi?" tanya Sei balik, Kuroko mengangguk mantap.

"Ya, kau tahu aktor bernama lengkap Akashi Seijuurou? Namanya selalu terdengar dimanapun dan sialnya aku harus mencari berita keparat itu." sebenarnya Kuroko orang yang sangat jarang memakai kata makian, tapi jika alkohol mengambil alih, maka etiket pun terlupakan.

"Kau paparazzi?" Sei menyesap birnya, manik mereka saling bertukar pandang.

"Bukan, aku wartawan."

"Ceritakan lebih banyak."

Lalu Kuroko menceritakan segala perasaannya kepada teman ngobrolnya. Bagaimana atasannya Riko yang memaksa, teman-temannya yang edan, sampai komentar pribadinya untuk Akashi Seijuurou. Anehnya Sei akan membalas perkataannya dengan terkikik, atau mengomentari hal-hal –yang menurutnya lucu– tentang Akashi Seijuurou.

"Padahal dia cuma aktor biasa, kenapa orang tergila-gila dengannya?" tanya Sei, dalam hati dia tertawa menanyakan hal tersebut.

Kuroko tersenyum, dirinya berusaha melawan kehendak mata yang ingin terpejam. "Kau membaca pikiranku yah Sei-kun?"

Sei tertawa setelah menyesap birnya.

Lalu pembicaraan mereka terus berlanjut, bahkan sampai menyindir hal-hal jurnalistik. Kuroko terkagum-kagum bagaimana Sei mengerti suka duka dunia jurnalistik.

"Wah, kau pasti wartawan. Kerja dimana?"

"Bukan, aku pengangguran." Dustanya. "Kenapa memangnya?"

"Sei-kun seakan mengerti dunia jurnalistik, sayang kau pengangguran." Gelas vodka Kuroko sudah lama terlupakan. Dia mengintip arlojinya saat Sei menyesap bir keduanya, sedikit terkejut melihat jarum panjang dan pendek akan bertemu di angka dua belas.

"Ah, nyaris jam dua belas." Dengan terburu-buru dia menghabiskan sisa minumannya. "Aku harus pulang sekarang, Nigou pasti gelisah."

Sei ragu dengan perkataan Kuroko. Melihat tubuhnya yang doyong dan bisa ambruk kapan saja makin menambah keraguannya. "Kau mabuk, yakin bisa mengemudi?"

"Aku tidak membawa kendaraan," Kuroko berdiri dari kursinya, menatap Sei dengan mata sayu, kakinya terasa sangat lemas. "senang berbicara denganmu Sei-kun, lain kali–"

Dan dalam kedipan mata Kuroko sudah ambruk di lantai. Sei segera menghampiri dan mengguncang tubuh itu.

"Ah, jadi dia sudah tidak sadar yah?" Sei spontan menoleh, Kensuno menopang dagunya, "aku tidak menyangka dia mampu menghabiskan delapan gelas vodka, biasanya hanya dua gelas saja."

"Apa akan ada orang yang menjemputnya?"

"Tidak tahu, tadi dia datang bersama temannya tapi sudah pulang."

Sei mendesah setelah berpikir sejenak, lalu meraih dompetnya dan mengeluarkan selembar uang.

"Permisi anak muda," maniknya menelaah terhadap Sei. "tapi wajahmu rasanya familiar."

Sei tersenyum, lalu menopang tangan Kuroko di bahunya setelah meletakkan uang di meja. "Begitulah."

Lalu pengetahuan itu perlahan mengendap. Manik Kensuno membola saat menyadari orang tersebut. Surai merah darah, manik mata merah emas, dan selembar seratus dolar U.S. Demi Tuhan, siapa yang tidak mengenalnya?

"Ka-kau bukannya–"

Sei meletakkan jari telunjuk di depan bibir, memberi isyarat untuk diam dan tidak memberitahu siapapun, lalu berjalan keluar di mana mobilnya sedang menunggu di tempat parkir. Dengan lembut dia meletakkan Kuroko di kursi penumpang, lalu berangkat sebelum kemudian menanyakan alamat rumahnya yang dibalas dengan menggigau. Perjalanan itu tidak diam dan tidak berisik, dengan Kuroko bergumam ke Sei dari waktu ke waktu.

Akhirnya mereka sampai di hotel, karena Sei bingung harus mengantarnya kemana dan rumahnya juga bukan pilihan bagus untuk menghabiskan malam, terlebih malam kudus ini. Setelah memesan kamar dia mengendong Kuroko menuju ruangan tersebut, yang sialnya terletak di lantai enam dan membuatnya menggunakan lift. Dia membuka pintu dan dengan kewalahan meletakkan Kuroko ke tempat tidurnya, menutupinya dengan selimut, dan memberi jeda untuk mengagumi paras cantiknya.

Dia cantik sayang pemabuk, pikir Sei.

Lalu dia membuat langkah untuk pergi, memberikan yang lainnya privasi. Sei sudah memesan kamar lainnya untuk ditempati, takut-takut Kuroko terbangun dan salah paham jika mereka tidur berdua–walau sebenarnya tidak apa-apa karena keduanya lelaki.

"Selamat malam." Bisiknya. Dia baru saja akan pergi tapi batal ketika mendengar erangan Kuroko.

"Hei, kau tidak apa-apa?" Sei mendekat, lalu terkejut saat tangan Kuroko memegang pergelangan tangannya. Orang itu masih setengah sadar, tapi cengkamannya kuat.

"Jangan pergi," Kuroko merubah posisi menjadi duduk, matanya setengah terbuka, "bukannya kau tidak punya teman menghabiskan malam Natal?"

Sei tidak menjawab, lebih tepatnya dia tidak bisa menjawab.

"Temani aku," suaranya terdengar berat, tapi memohon, "aku kesepian."

Karena keadaan mabuk, dia menariknya ke bawah dan mencium si surai merah. Sei tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya, tidak menduga dengan gerakan itu. Ciuman itu tidak dalam dan tidak berat, hanya mempertemukan kedua bibir itu cepat. Alasan yang terbayang di dalam otak Sei adalah: Kuroko langsung melakukan apa yang dia inginkan, jelas bahwa dia benar-benar mabuk untuk melakukan hal seperti itu.

"Maaf," Sei berkata setelah terlepas dari ciuman, "tapi–"

Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Sei terpaku pada sosok si wartawan, paras cantiknya benar-benar menghipnotis, seperti femme fatale yang menjerat mangsa menggunakan kecantikannya.

Surai biru langitnya.

Bibir merah tipisnya.

Nafas yang terengah-engah.

Biner biru laut memancarkan nafsu birahi yang tak disembunyikan.

Demi neraka, melihat sosok menggoda ini sudah mampu membuat kejantanannya bergetar. Dia meneguk saliva kasar, dan menyadari bukan dia saja yang dalam kondisi sialan ini.

"Tolong aku Sei-kun," kedua tangan Kuroko mengalung pada lehernya, jarak mereka hanya beberapa centi, "aku kepanasan."

Sei diam seraya mengumpulkan kewarasannya di tengah gelombang nafsu yang mendesak. Dia, aktor bernama lengkap Akashi Seijuurou harus berbuat apa? Dia tidak bisa berhubungan sex dengan orang yang baru ditemuinya tadi, jika ini ketahuan media mungkin saja reputasinya dalam bahaya. Tapi setiap ada malaikat selalu ada iblis. Dia juga–entah mengapa–tidak bisa menolak suguhan di depannya.

"Kumohon."

Suaranya datarnya berubah menjadi desahan, mata sarat dengan pengharapan dan nafsu yang ingin dituntaskan. Saklar Akashi sudah ditekan.

You know what? Persetan, dia akan mengikuti nafsu binatangnya terlebih dahulu, masalah reputasinya bisa dipikirkan nanti. Dan lagi pula–

"Jika itu maumu," dia mengelus pipi Kuroko seduktif, "Tetsuya."

.

.

.

.

–kesempatan baik seperti ini lebih baik jangan ditolak, kan?


To Be Continued


A/N: hai hai, gimana kabarnya? Masih pada sehatkan sebelum menghadapi Teiko arc /eh?

So yeah... Opi bawa rate M, karena banyaknya keluhan dari temen-temen yang pengen. Ff ini juga lahir dari renungan singkat dan juga drama abang uhuk- Lee Jong Suk- uhuk. Semoga pada seneng dengan ff ini /waks

Review please~