Radio lama menyentakkan suaranya pada helau hening pada ruangan tersebut, berderit seperti tengah terbatuk-batuk dan tidak adanya suatu gejolak apa pun lagi dari balik mesin-mesinnya yang tua dan berkarat.
Min Yoongi. Pria berkulit pucat itu duduk sambil setengah menunduk, menatap pada orang tuanya dan pria yang duduk di belakang meja bergantian. Orang tuanya, khususnya ibu, yang matanya sembab dan sedang memagut hidung, mencengkeram tangannya, seolah sedang memberikan semangat lewat genggaman itu.
"Satu tahun?"
Min Yoongi beralih, menatap pada pria di belakang meja, sebuah kilat menyentak keluar dari manik yang kelihatan gelisah itu. Rasa bersalahnya mungkin, atau ia memang selalu seperti itu.
"Satu tahun, aku tidak bisa bicara apa-apa lagi. Keputusan kalian untuk melanjutkan pengobatan atau tidak."
Min Yoongi, matanya berkedip dua kali, bukan untuk menahan air matanya, namun untuk memperjelas bahwa ia sedang melihat kedua orang tua Min bersidekap dan saling memeluk.
Sialan, logikanya mengumpat, menggerung roda amarah yang datang entah dari mana. Aku yang mau mati dan mereka yang berpelukan.
Seratus dari harapan Yoongi adalah keluar dari tempat ini, bisa merokok dan minum di bar dan merayu seseorang untuk dijadikan malam seks pertamanya. Harusnya ia duduk di depan sebuah supermarket, melempar botol ke jendela tetangganya, atau ikut sebuah pesta ganja di suatu tempat.
Itu skenarionya, atau harusnya begitu. Tuhan tidak begitu adil untuk memilih mana skenario yang disukainya dan mana yang tidak.
Kebanyakan yang terjadi malah terlalu membosankan dan ia hanya bisa bernapas satu tahun untuk melanjutkan hidupnya. Kanker sialan. Kenapa hal ini tidak terus berada saja di dalam televisi, kenapa harus benar-benar terjadi di dunianya?
"Kau baik-baik saja, Yoon?" ayahnya bersuaranya, serak, hampir tidak terdengar.
"Oh, ya. Syukurlah kalian sadar aku di sini."
Orang tuanya tertawa, itu lucu, karena Yoongi ikut tertawa dan dia senang merasakan tangan ibunya merangkul tengkuknya dan membawa sebuah kecupan di dahi, sambil merasakan hangat yang menyerap masuk ke dalam pori-pori.
Ingatkan dia, satu tahun lagi, dan cerita ini akan tamat.
.
.
.
.
.
"Kau cemberut."
"Apa aku harus tersenyum?"
Maniknya terlempar pada Jihoon yang mencembik di samping tempat tidur, semua hal tentang Min Yoongi menurun pada yang lebih muda. Mulai dari tinggi badan, makanan kesukaan, musik, piano, gitar, komposer, sampai hobi barunya belakangan, cemberut.
"Kau serius mau merokok?" Jihoon berkata, suaranya tercekat sambil ia menyelipkan dua batang rokok ke bawah tangan Yoongi.
"Aku sudah sekarat, ini salah satu keinginanku sebelum mati."
"Kau tidak sekarat, jantungmu masih bekerja."
"Kalau tidak namanya mati, genius."
Kemudian ia merebut pematik dari tangan adiknya yang lain, yang agak susah direbut karena Jihoon menyerngit dan hampir menyentakkan benda itu untuk tetap berada di dalam genggamannya. Tetap saja, Yoongi berhasil merebutnya.
Ia baru saja menempelkan salah satu rokok, dijepitkan oleh bilah bibirnya yang pucat pasi, ketika sebuah suara menelan seluruh pikirannya itu dan Yoongi –dan Jihoon– tersentak sampai pematiknya jatuh dari genggaman dan menghentam tepian besi tempat tidur yang mendentingkan-denting.
"Serius, kau mau merokok di sini, tuan?"
Yoongi menoleh, 'tuan' menyinggung dirinya, ia terlalu muda untuk itu dan panggilan itu membuatnya seakan hidup lebih lama padahal umurnya baru delapan belas, sembilan belas dan dia mati, dia tidak boleh dipanggil tuan.
"Ada tiga orang pasien lain yang masih bernapas di sini, kalau kau tidak keberatan," kata suara itu lagi, dengan sinis, walaupun wajah pemiliknya tidak nampak kesal, hanya suaranya saja yang terdengarkan menyindir-nyindir.
"Aku sekarat," si pucat menyela, suara merongrong, seolah menantang laki-laki di tempat tidur di sebelahnya untuk mengatakan yang lebih pedas lagi.
"Itu bukan alasan untuk bisa meracuni tiga orang teman sekamarmu."
Terdengar sebuah tawa yang tercekik, tertahan di tenggorokan. Jihoon yang tertawa, karena kakaknya kelihatan seperti batu tua berlumut yang baru saja dihentamkan oleh meteroit raksasa. Sambil laki-laki itu menggenggam rokoknya dan menaruhnya di bawah ranjang, terpikirkan bahwa mungkin ia harus menyembunyikan hal itu dari orang tuanya.
"Terima kasih, ke bertiga merasa dihargai," kata laki-laki di sampingnya, sebuah senyum menggilas seluruh ketus yang tadi memenuhi suaranya yang rendah dan pelan. "Namaku Jimin."
"Yoongi."
"Aku Jihoon."
"Hai Jihoon, jangan berikan rokok pada kakakmu lagi."
Jimin dan Jihoon tertawa, bukan sesuatu yang terlalu lucu tapi paling tidak keduanya merasakan geli membuncah dan kedua-keduanya tidak tahan untuk tidak menggeramkan tawa. Hanya Yoongi saja yang terdiam sambil mengulum bibir.
"Kenapa bocah sekarat? Kau punya harapan lain sebelum mati?" Jimin bertanya, dia tidak merasa tidak enak untuk mengatakan hal itu, senyumnya mengembang lagi seolah itu memang sesuatu yang ringan untuk dibicarakan.
"Aku bertaruh kau lebih muda dariku," Yoongi mendengus, menenggelamkan diri dalam-dalam, menendang selimutnya menjauh supaya Jimin tahu keketusannya. Tapi Jimin tertawa lagi, entah untuk mengejek atau karena memang merasa semua hal itu lucu.
Atau Jimin gila.
"Tidak ada yang lebih muda dan lebih tua, delapan puluh persen orang di sini dalam keadaan tidak baik dan kita sama-sama mau mati, jadi lupakan saja perbedaan umur. Omong-omong, kau baru di bangsal sini," Jimin berceloteh, Jihoon memperhatikan karena Yoongi rasa ia mulai suka dengan polah Jimin.
"Kau sakit apa?" Jihoon bertanya, bukan sebuah pertanyaan yang bagus, dan Jimin mengerutkan kening untuk pertama kalinya sejak lima menit yang lalu. Rambut brunettenya tersibak ke belakang sementara poni-poninya jatuh ke samping dengan dramatis, tapi ia tersenyum lagi, dan kerutan di dahinya hilang.
"Leukimia," ia menjeda, kemudian menggumamkan sesuatu seperti 'hng ...' cukup lama sampai ia berbicara lagi dengan suaranya yang seringan kapas. "Tapi membaik semenjak beberapa tahun terakhir, aku tidak mau optimis tapi aku yakin aku bisa keluar dari sini. Dokter tidak mengeluarkan vonis apa-apa, dan itu tandanya baik, biasanya dia bilang hidup kita sebentar lagi, tapi dia tidak bilang apa-apa padaku."
Anak ini banyak omong, berisik, Yoongi mengumpat. Tapi mungkin hanya dia saja yang mengumpat, yang lain mendengarkan, bahkan pasien yang lain, sambil tersenyum.
Apa ada buga matahari di wajah Jimin? Kenapa dia bisa jadi sangat menarik saat Yoongi hanya mendengarkan celotehan bayi raksasa?
Yoongi ingin bilang dia punya waktu satu tahun untuk hidup, tapi itu urungkan. Begitu kata itu akan keluar, dia merasa bahwa mengatakan itu hal yang bodoh, mengatakan bahwa hidupmu sesingkat itu, pamer jenis macam apa itu. Lagi pula apa yang harus ia susun dalam kalimatnya?
Aku satu tahun lagi hidup, menyenangkan bisa bertemu Tuhan secepat ini, jadi aku bisa pergi ke surga. Berdoalah kalian juga begitu, karena kita akan mengadakan reuni besar-besaran.
Iya kalau Yoongi tidak jadi hantu gentangan, siapa yang tahu?
Semua hal baik yang terjadi pada Jimin, tidak selalu terjadi pada Yoongi. Tidak pernah malah. Ia tidak pernah membaik dan ia tidak pernah bisa keluar dari rumah sakit. Kecuali kalau ia sudah benar-benar akan mati, ia akan berteriak pada dokter untuk mengeluarkannya dari sini karena kalau ia menggentayangi sebuah tempat, ia ingin itu rumahnya, bukan rumah sakit.
"Kau tipe yang pesimis," kata Jimin lagi, poninya yang lain jatuh saat ia bergerak untuk bangun dari rebahnya, kemudian dibawa oleh otot-ototnya yang kaku, tubuhnya, ke sisi ranjang sampai ia menghandap Min Yoongi dan adiknya.
"Kenapa?" tanya Yoongi, alisnya berkerut tidak suka.
"Karena kau ingin merokok dan kau ketus pada orang lain," Jimin berkedip, kemudian terkekeh.
Dia polos atau bodoh? Min Yoongi pikir Jimin tipe orang yang keduanya. Polos dan bodoh dalam waktu yang sama.
"Aku tidak bodoh," seolah tahu pikiran Min Yoongi, mengerikan. "Aku menebak."
"Hei Jimin," Yoongi menjentikkan jarinya, ia memandang adiknya yang bingung dan Jimin yang sok. "Kau mau ke atap?"
"Atap?"
"Aku mau bunuh diri kau mau ikut?"
Jimin mengulum bibirnya dan matanya membulat, tidak terucap sepatah dua patah kata, namun kemudian ia menggelengkan kepala dan tersenyum. "Ayo, aku yang akan mendorongmu."
Yoongi tersenyum.
Tertawa malah.
Anak ini menyebalkan, pikir si pucat, tapi Yoongi mulai menyukainya.
.
.
.
.
.
.
.
TBC
