Hetalia Axis Power © Hidekazu Himaruya

Pasta With Bloodiness Sauce © Harumi Kitara

Rated : T from now, but later M for Gore...

Genre : Crime, Suspense, Friendship, rather Romance, I don't care.

OCs: Male!Indonesia: Yudhistira Abi Winaya

Male!Malaysia: Malik Abdul Hamid

Male!Singapore: Shina Chang

Warning : AU, Death Chara, OOC, OCs masih tiga, Gore, Kanibalisme (yang masih belum dikonfirmasikan(?) ada atau tidaknya), Not recomended for child, Gaje-ness, Alur yang nggak jelas, Miss Typos bertebaran kemana-mana dan dimana-mana, Human name used. Pembunuhan diumbar-umbar, Sho-ai atau mungkin sekalian YAOI/BL atau apalah anda menyebutnya, Super-Duper Pendek. Wanna leave it before something happen to you?

Summary: Berhati-hatilah melangkahkan kakimu, jangan sampai jatuh ke neraka. Berhati-hatilah pada orang asing, walau dia memiliki wajah malaikat. Berhati-hatilah pada apa yang kau makan, walau hanya sepiring pasta. Ah, lihatlah apakah itu benar saus pasta ataukah darahmu sendiri?

.

.

Don't Like, Please Click Back

.

.

Happy Reading, Minna! Enjoy...

.

.


.

.

Darah itu sebenarnya manis...

.

.


.

.

Mata biru langit dibalik kacamata itu menatap daftar makanan yang ada di hadapannya. Berpikir sejenak, barulah dia menyadari bahwa tak kan ada makanan yang cocok di lidahnya. Semuanya makanan Italia―padahal dirinya berharap dia akan makan beberapa potong sosis hari ini. Oh, ayolah, jika saja sang kakak tak merengek padanya dan menyita dompetnya untuk makan bersama, dia tak kan pernah datang kemari. Apalagi ditemani kedua sahabat kental kakaknya yang aneh-aneh ini. "Bruder, kurasa aku akan pulang. Sekarang."

"Hei, ayolah, West! Kapan lagi kita bisa berkumpul di sini?"

"Dia benar, mon ami... Sesekali berkumpullah dengan teman-teman kakakmu."

"Lagipula pelayan restaurante ini imut dan manis~"

Ludwig tak bisa menghindar dari bujuk rayu ketiga orang absurd di hadapannya. Dia hanya bisa mengerang kecil, membetulkan kembali letak kacamatanya dan kembali duduk di tempatnya, diam dan menjadi seorang anak manis. Oke, sebenarnya mereka datang ke sini bukan tanpa alasan, tentu saja. Ini adalah ide Francis―salah satu teman kakaknya yang paling mesum―setelah mendengar curhatan sahabatnya, Antonio, tentang seorang pelayan restaurant Italia yang menurutnya manis. Dengan bijaknya, Francis berkata pada sahabatnya itu, "Kalau begitu, ayo kita lihat seperti apa pelayan yang kau maksud itu, Antonio! Dan, bisa bawa adikmu juga, Gil? Sekalian ajak dia buat mentraktir kita, honhonhon..."

Dan, di sinilah ia, terperangkap di antara tiga makhluk absurd dengan dompet yang disita kakaknya tercinta. Mata biru azure itu menatap satu per satu wajah The Bad Touch Trio di hadapannya. Francis Bonnefoy yang mesum tingkat dewa, Antonio F. Carriedo yang 'idiotic-look-like' namun yandere hampir menyamai Ivan―salah satu teman sekelasnya yang bisa membuat siapapun merinding ngeri di sampingnya―dan kakaknya sendiri, Gilbert Beilschmidt yang narsisnya tiada tara. Setidaknya dia bersyukur, dirinya adalah orang yang paling waras di antara mereka berempat.

"Vee~. Mau pesan apa?"

Sebuah pertanyaan singkat mampu mengalihkan perhatian mereka semua. Ludwig menatap pemuda bercelemek putih di hadapannya, sebuah senyuman manis terukir di wajah pemuda itu yang tak kalah manisnya. Seorang pemuda Italia berambut cokelat dengan kriwil menjuntai dari rambutnya di sebelah kiri, memegang sebuah buku dan pena, siap mencatat semua pesanan sang pelangggan. Dia mengalihkan pandangannya pada Ludwig, tersenyum layaknya anak kecil. Mata amber itu menatap mata azure di balik kacamata itu sejenak, menatap dengan polos dan ceria. "Mau pesan apa, ve?," ulangnya lagi saat melihat Ludwig hanya terdiam tak merespon. Francis memperhatikan sang pelayan dengan hati-hati dari atas hingga ke bawah, ditariknya lengan Antonio kasar seraya berbisik, "Dia yang kau maksud? Manis sekali..."

"Bukan, dia adiknya...," jawab Antonio sesekali melirik pelayan itu yang hanya terdiam saling tatap dengan Ludwig. Ludwig menunduk dengan semburat merah di wajah kakunya, menghindari tatapan polos pelayan itu. Ah, sial! Kenapa ada pelayan semanis dia di dunia ini, sih? Dan kenapa jantung Ludwig berdetak tak karuan saat menatap mata amber itu? Satu kata. Ya, hanya satu yang langsung ingin diteriakkannya saat ini juga adalah, 'Sial!'. Sang pelayan yang kebingungan melihat tingkah Ludwig, hanya bisa terdiam di sana, masih memperhatikan pelanggannya itu. "Feliciano...," panggilan Antonio sukses merebut perhatiannya dari Ludwig, "Kakakmu mana?"

"Ve~. Fratello ada di dapur memasak risotto, vee~"

"Umm... Kalau begitu aku mau pesan risotto buatan kakakmu itu, dan..." Antonio menyikut perut Francis, bertanya dalam diam apa yang akan dipesannya. "Oh, aku pancetta saja...," ucap Francis dengan senyuman kecil, mencoba menutupi wajah mesumnya. Feliciano menuliskan semua pesanan itu di bukunya, "Bagaimana dengan anda, ve?," tanyanya sopan pada Gilbert. Yang ditanya hanya mendesis tidak jelas, "Kesese... Aku pesan cotolleta saja... Kalau kau, West?"

Ludwig mendongak pada kakaknya, menatapnya sejenak. "Umm... Aku belum memutuskan mau pesan apa...," ujarnya dengan suara yang sangat pelan. Feliciano yang mendengarnya hanya bisa tersenyum sumringah. "Bagaimana kalau aku yang memilihkan menunya, ve? Kau pasti suka tagliatelle, veee~," sarannya yang langsung diterima oleh Ludwig. Setelah semua selesai dicatat, Feliciano pergi dan menghilang di balik pintu dapur sambil bergumam 'veee' terus menerus. Ludwig hanya terdiam, menatap kosong pada pintu yang dilewati Feliciano tadi. Gilbert yang tengah memakan gelato yang sudah dipesannya dari tadi (jauh sebelum Feliciano datang), akhirnya menyadari keanehan pada sikap adiknya itu. Dengan seringaian jahil, dia terus menyuap gelato rasa strawberry itu.

Tak berapa lama, seorang pelayan keluar sambil mendorong trolley makanan ke arah mereka. Perawakannya sama dengan Feliciano, namun kriwilnya menjuntai ke atas kepalanya di kanan dan wajahnya selalu cemberut, membuat siapapun pasti tau dia bukan Feliciano. "Lovi~!," seru Antonio senang saat melihat yang mengantar makanan kali ini adalah orang yang ia cari. Pemuda yang dipanggil Lovi itu langsung saja men-deathglare –nya dan membentaknya keras, "Namaku Lovino! Sembarangan saja kau mengubahnya, bastardo!"

"Ah~. Itu 'kan panggilan sayangku, mi tomate~"

"Diam atau kusumpal mulutmu dengan tomat busuk!"

"Kejamnya, Lovi~."

Lovino nyaris melemparkan vas bunga yang ada di meja pada Antonio jika saja dirinya tak diinterupsi oleh Gilbert. "Wah, wah. Jadi ini pemuda 'manis'-mu itu, 'Tonio? Kesese...," ucapnya dengan nada jahil. "Walau tak semanis dan se-awesome Mattie –ku sayang, tapi dia lumayan...," ucapnya lagi, menggoda pemuda Italia itu. Diliriknya sesekali Lovino yang mulai memerah wajahnya karena malu dan marah. "Walaupun tsundere tapi dia manis seperti katamu, mon cher~..." timpal Francis, membuat wajah Lovino semakin memerah. "Ah, tentu saja. Aku tak kan pernah salah memilih orang, iya 'kan, Lovito~?" Sebuah pukulan yang mampu ditahan Antonio menjadi jawaban pertanyaannya. Dengan umpatan dalam bahasa Italia cepat, Lovino meletakkan seluruh pesanan di atas meja. Dia sempat memukul telak wajah Antonio sebelum pergi. Beruntungnya, restaurant sedang sepi dan tak ada satupun pelanggan lain yang melihat pertengkaran itu.

"Uhh... Lovino memukulku dengan segenap 'kasih sayang'-nya...," keluh Antonio seraya mengusap pipinya yang lebam akibat pukulan Lovino tadi, "...tapi aku makin suka, deh, mi amor~," sambungnya dengan riang. Wajahnya yang 'idiotic-look-like' semakin terkesan 'very-idiotic-looking-for-love', membuat teman-temannya merasa risih. Francis hanya melirik ke arahnya, menyuapi Antonio dengan pancetta –nya secara kasar. Antonio mati-matian mengunyah daging asap itu, menelannya dengan agak kesulitan. "H-hei!," seru Antonio setelah berhasil menelan bacon Italia itu dengan selamat. Mendengus kesal saat kedua sahabatnya tertawa geli melihatnya marah, dipukulnya lengan Francis dan Gilbert bergantian. Ludwig hanya ber-face palm ria melihat tingkah tiga orang yang lebih tua darinya itu bertengkar layaknya anak kecil. 'Tak sedewasa umur mereka,' gumamnya dalam hati.

Memilih untuk tidak memperhatikan ketiga orang yang tengah bertengkar itu, dia mengalihkan perhatiannya pada makanan di hadapannya. Sepiring pasta, dengan saus merah beserta potongan kecil daging dan rempah-rempah. Aroma wangi masakan itu mengundang selera, membuat Ludwig tak sabar untuk mencicipinya. Namun secarik kertas terselip di bawah piringnya lebih menarik perhatiannya, Ludwig memilih untuk mengambil dan membacanya terlebih dahulu. Sebuah surat yang sangat singkat, ditulis tangan oleh pelayan manis yang memikat hatinya.

Kubuatkan khusus untukmu, ve~. Semoga kau suka~.

-Feliciano Vargas

Ludwig tersenyum simpul membacanya, menyimpan surat itu dalam saku celananya diam-diam. Feliciano Vargas. Ah, nama itu akan terus diingatnya sampai kapanpun. Kini perhatiannya kembali tertuju pada pasta di hadapannya. Diambilnya sendok, lalu dilahapnya dengan rasa penasaran. Benar-benar luar biasa! Ludwig belum pernah mencicipi masakan seenak ini. Saus yang sepertinya jenis bolognese itu memiliki rasa yang enak, tidak terlalu kuat pada tomatnya, namun agak manis dan kental. Lalu dagingnya terasa kenyal dan enak, membuat Ludwig mencoba menerka daging jenis apa yang digunakan Feliciano dalam pastanya. Mungkinkah daging sapi, atau daging babi, atau mungkin... daging rusa? Entahlah, yang manapun itu, pasta ini terasa enak baginya.

Senyuman terus terukir di wajahnya setiap kali dia menyuap makanan itu ke mulutnya. Entah disadarinya atau tidak, Gilbert sedari tadi terus memperhatikannya dengan seringaian jahil terus terukir di wajahnya.

Sepertinya Ludwig harus siapkan mental untuk nanti...

.

.


.

.

...disadari atau tidak, pernyataanku tadi ada benarnya, bukan?

.

.


.

.

Gilbert langsung menerjang sofa sepulangnya dari acara makan―sekaligus melihat 'pemuda manis'-nya Antonio―itu. Mata ruby itu memperhatikan sang adik yang menutup pintu depan dan melangkah menuju lantai atas―kamarnya. Dengan nada jahil, dia berkata, "Kurasa kau tadi sangat senang bisa makan dengan kami.," ucapnya sambil menarik bantal kecil di atas sofa. "Iya, kan?"

"Tidak juga..."

"Jangan mengelak, West! Kau terus tersenyum saat memakan pasta itu!"

"Benarkah?"

Gilbert mengerang kesal melihat respon adiknya itu. 'Dasar kepala kentang nggak awesome!,' batinnya sebal. Namun sebuah ide jahil kembali memenuhi kepalanya, membuatnya memilih sebuah lelucon kuno. "Bagaimana kalau kita besok ke sana lagi? Bukankah pacarmu itu tadi sudah membuatkan pasta spesial hanya untukmu, hm?," tanyanya sukses membuat langkah Ludwig terhenti. Dia menjerit kegirangan dalam hati saat Ludwig menatapnya dengan kedua alis saling bertaut. "Apa maksudmu, bruder?," tanyanya dengan wajah sebiasa mungkin, menyembunyikan suaranya yang agak tercekat saat mengucapkannya. Namun, bukan Gilbert namanya jika dia langsung berhenti menjahili adiknya ini. "Itu, lho~! Ih, kau tak mungkin melupakannya, kan?," ucapnya dengan bibir mencibir, "...Feliciano Vargas~?"

Ludwig langsung mengalihkan perhatiannya jauh-jauh dari kakaknya saat dia merasakan wajahnya mulai memanas. Semburat merah itu samar-samar muncul menghiasi wajah kakunya, membuat Gilbert teringat dulu semasa Ludwig masih kecil dengan wajah imut-imut minta dicubit. Dan sekarang wajah imut-imut itu berubah menjadi wajah kaku tentara perang. Ludwig kembali menatap kakaknya, "Dia bukan pacarku, lagipula kami baru pertama kali ini bertemu..."

"OHH! Jadi ini cinta pada pandangan pertama yang awesome! So sweet~"

"Bruder, sudah kubilang aku―"

"Ludwig jatuh cinta! Ludwig jatuh cinta! Ludwig jatuh cinta!"

"Bruder, aku―"

Gilbert terus mengucapkannya berkali-kali di depan Ludwig, walaupun Ludwig sudah menyuruhnya untuk diam berkali-kali. Dia bahkan mengucapkannya dengan lantang sambil mengitari rumah, membuat Ludwig benar-benar jengkel padanya. "Ludwig jatuh cinta. Ludwig jatuh cin―uhmpft!―" Dia langsung berhenti saat tangan kekar itu membekap mulut besarnya itu. Dia memberontak sebisa mungkin saat dirinya kesulitan bernapas. Dipukulnya lengan adiknya itu, bahkan dia menggigit telapak tangannya keras-keras.

"Aww!"

"West! Kau dulu memang imut, tapi maaf saja, aku tak pernah tertarik pada incest!"

"Hah? Maksud―tunggu! Jangan bilang kau pikir aku―"

"Tidak! Aku memang awesome tapi aku masih tetap setia pada Mattie –ku sayang!"

"Bruder! Kau salah paham! Aku―"

"Jangan mendekat! JANGAN MENDEKAT!"

"Bruder..."

"AAAAAA! ADIKKU MAU ME-RAPE –KUUUUUU!," jerit Gilbert histeris saat Ludwig melangkah mendekatinya. Dia langsung berlari menerobos Ludwig menuju kamarnya, membanting pintunya keras dan menguncinya rapat, membiarkan adiknya membatu kebingungan di tempat. Bahkan dia menggeser lemari pakaiannya dengan susah payah ke belakang pintu, mengunci rapat jendelanya dan memastikan tak ada celah untuk adiknya memasuki kamarnya. Ludwig menghela napas panjang, melepas kacamatanya sejenak dan memijit pangkal hidungnya. Ha–ah, memang sulit baginya memiliki kakak senarsis Gilbert. Dan tugasnya sekarang adalah membuat rasa paranoid berlebihan kakaknya itu hilang bagaimanapun caranya...

Yeah, bagaimanapun caranya...

.

.


.

.

Terdengar lucu saat kukatakan aku ini terlalu berbahaya untukmu...

.

.


.

.

Pagi yang normal dijalaninya dengan teman-teman sekelas yang tidak normal. Mata biru langitnya menelusuri tiap kata dan angka dalam buku fisika itu, kontras dengan murid-murid yang lain yang sibuk dengan dunianya sendiri. Lihat saja Arthur dan Alfred yang memperdebatkan hal yang tak perlu, Ivan yang terus mengejar-ngejar Toris untuk diajak 'bermain', Lili dan Sey yang cekikikan tidak jelas di pojok kelas, Kiku yang entah tersambar petir dimana dengan seriusnya menggambar entah apa, Yong Soo dan Malik yang memperebutkan sebuah iPad milik Shina dengan kemampuan 'aku-mengakui' mereka, sedangkan Shina sedang meratapi nasib iPad barunya di'curi' dua temannya. Mereka semua tak begitu penting, memang. Tapi hanya satu orang yang benar-benar mengganggu konsentrasinya dengan duduk di kursi di depannya, menghadap dirinya dan menatapnya dengan intens.

"Sedang apa kau di sana, Yudhis? Bukankah kursimu ada di belakang?," tanyanya pada akhirnya, risih dipandangi sedari tadi. Yudhistira Abi Winaya―pemuda pindahan dari Indonesia itu―hanya menggeleng pelan, namun tatapannya masih tertuju pada pemuda di hadapannya. "Aku tak mengerti...," ucapnya tiba-tiba, mata chestnut itu terus menatapnya intens, "...kau kenal Feliciano dimana? Restaurat ―nya, ya?"

Ludwig menatapnya setengah kaget, semburat merah itu kembali menghiasi wajahnya. "Kau kenal dia?," tanyanya dengan suara serendah mungkin. Yudhis mengangguk kecil, menatap wajah temannya yang semakin lama semakin terlihat merah. Namun karena yang diajak bicara itu Yudhis, tentu saja pemuda Indonesia itu tak kan pernah menyadari apa yang terjadi padanya. "Ya. Dia adiknya Lovino―mungkin lebih tepatnya saudara kembarnya Lovino, aku tak tau pasti. Lagipula, hei, di 'kan di kelas sebelah!," ucap Yudhis membuat Ludwig setengah tak percaya. Oke, dia memang tak percaya, mana mungkin Feliciano ada di kelas sebelah sedangkan dia tidak tau sama sekali? Sebegitukah tertutupnya dia―atau bisa disebut dengan jarang sosialisai dengan berkunjung ke kelas lain,entahlah―hingga tak mengenali teman satu sekolahnya?

"Aku tak pernah melihatnya..."

"Dia baru pindah kemarin..."

Syukurlah, dia hanya ketinggalan berita.

"Lalu Lovino?"

"Dia temanku sewaktu sekolah dasar, dulu mereka tinggal di Indonesia... Setidaknya sampai orang tuanya meninggal..."

"Mereka yatim-piatu?"

"Ya. Mereka diadopsi wanita Hungaria yang langsung membawa mereka ke Budapest. Dan sekarang, tiba-tiba mereka ada di sini dan membuka restaurant Italia...," sahut Yudhis dengan wajah cuek seperti biasa.

Ludwig mengangguk kecil, melupakan sesuatu yang sangat penting untuk ditanyakan. "Kau tadi bertanya aku kenal Feliciano dimana, memangnya kau tau darimana?" Ya, baru saja dia ingat apa yang pertama kali ingin ia tanyakan. Yudhis yang hampir beranjak pergipun akhirnya duduk kembali ke tempatnya semula. "Dari kertas ini...," ujarnya seraya memperlihatkan secarik kertas yang terlipat rapi padanya, "...kau tadi membacanya lalu menjatuhkannya. Nih, kukembalikan!"

Diterimanya kertas itu dengan perasaan bingung yang berkecamuk. Alisnya saling bertautan saat melihat pemuda berambut hitam itu melenggang pergi. Aneh... Mana mungkin pemuda tukang gosip seperti Yudhis mau meninggalkan 'berita' seperti ini? Seperti ada sesuatu yang direncanakannya... Ludwig hanya mendesah pelan, memikirkan hal buruk yang akan terjadi. Semoga saja tak kan terjadi apapun... "Oh, iya, Ludwig...," ucap Yudhis tiba-tiba saat dia tengah melangkah menuju Malik dan Yong Soo di belakang kelas. "...sepertinya Feli lebih tertarik pada perempuan daripada pria macho sepertimu...," sambungnya dengan senyuman jahil terukir di wajahnya, membiarkan Ludwig yang membatu dengan wajah merah merona antara malu dan marah. Bagaimana tidak? Satu kelas menatapnya dengan bingung setelah mendengar suara Yudhis yang cukup lantang itu, membuatnya menahan emosi dan malu mati-matian dalam waktu bersamaan.

Setidaknya kakaknya kemarin lebih parah darinya...

.

.


.

.

...buktinya, kau jatuh dalam pesonaku...

.

.


.

.

To Be Continued

.

.

Hola~! Saya author baru di FHI! Salam kenal semuanya dan mohon bantuannya~! Setelah lama bergentayangan menjadi silent reader di sini, akhirnya saya ikut menuangkan ide absurd yang muncul setelah nonton Midnight Meat Train. Entah setan apa yang bikin saya kesambet buat nulis fic, saya juga nggak tau. Akhir kata(?), RnR, please?