Your Nightmare is My Daydream
By: Azumaya Miyuki
A Hunter x Hunter Fan Fiction.
Disclaimer: Hunter x Hunter © Togashi Yoshihiro.
Kau hanyalah sepucuk harapan
Yang sudah hancur terpecah dan terbelah
Kau ditakdirkan untuk menjadi sampah
Hatimu akan terus terhina dan menderita
Akhir hidupmu
Ada pada untaian tali-temali
Yang tersangkut di ujung jari-jemariku
Alam bersedih
Ketika kau tersenyum
Dalam dosa dan dendam kesumat
Apa gerangan yang menyebabkan
Pusaran mimpi itu terputus?
Itu adalah tawamu
Apa gerangan yang membuat
Putaran mimpi itu hancur?
Itu adalah kebahagiaanmu
Bagai belahan jiwa
Yang sudah terbuang…
Kekuatan seperti apa
Yang mampu mengekangmu?
Tersesat di jalan kegelapan
Tak kenal arah tujuan
Cahaya seperti apa
Yang mampu menyucikanmu?
Terlunta di jalan kematian
Tak kenal indahnya dunia
Kau hanyalah seonggok boneka kegelapan
Yang raganya terbuat dari tanah dan darah
Kau dilahirkan tanpa rasa kasihan
Tugasmu hanya membunuh dan mendendam
"Aku… ingin berteman dengan Gon," ucapku sambil menggenggam jari-jariku dengan tubuh gemetar. "Aku ingin menjadi sahabatnya."
Aniki, berdiri di depanku sambil tertawa mencemooh tanpa ekspresi, seolah-olah keinginanku tadi begitu naïf.
"Jangan bergurau, Killua. Seluruh keturunan keluarga Zaoldyeck ditakdirkan untuk membunuh orang, bukan untuk berteman dengan siapapun. Kau tidak boleh punya angan-angan konyol seperti itu."
Aku diam. Tanpa banyak cakap, aku segera membalikkan badanku dan berlari, menghindari tatapan tajam aniki.
Aku ingin bersahabat dengan seseorang, apa itu keinginan yang bodoh?
Aku benci hidup di dalam keluarga jahanam ini!
Gerbang depan kulewati. Kubungkam Zeburo yang menanyaiku bertubi-tubi. Kuancam dia agar tak mengadu pada ibu robot itu. Aku menapaki jalanan sunyi di depanku, dengan sebongkah amarah yang bergelora di dalam dada…
Ting! Sejumput ingatan masa kecil tiba-tiba mencuat di dalam otakku…
Kejadian tujuh tahun yang lalu. Sebuah momen yang membuatku muak akan diriku sendiri.
"Pembunuh! Pembunuh!" sekelompok anak seusiaku melempari dengan kerikil.
"Kenapa mengataiku seperti itu? Aku bukan pembunuh!" teriakku. "Aku hanya ingin bermain dengan kalian. Boleh?"
"Tidak!" mereka melempar batu yang lebih besar dan tajam ke arahku. Darah mengucur dari dahiku. "Kami tidak sudi berteman dengan pembunuh seperti kau! Mati saja kau sana! Dasar pembunuh!"
Anak-anak itu lantas pergi menjauhiku sembari mencibir. Aku menatap kepergian mereka dengan bola mataku yang menghitam.
Darah merah segar menghiasi ujung-ujung kuku jariku. Aku menjilatnya hingga bersih. Puas telah membunuh anak-anak bermulut kurang ajar tadi, aku pun beranjak.
"TUNGGU!"
Langkahku terhenti tatkala gerombolan pria dan wanita dewasa datang menyerbuku. Beberapa dari mereka memeluk mayat anak-anak yang kuhabisi tadi sambil menangis. Mungkin mereka adalah orang tua anak-anak itu.
"Pembunuh! Kembalikan anakku!" seorang wanita berteriak. Aku menatapnya lurus.
"Kalau kau merasa sedih kehilangan anakmu, susul saja dia," aku mengulurkan tangan kananku yang berkuku setajam samurai. "Mau kubantu?"
Tanpa menunggu jawaban yang hendak terucap dari bibir mereka, aku langsung mencabut nyawa mereka satu persatu. Tangan dan bajuku kotor bersimbah darah.
Seraya bersiul, aku pulang menuju rumah, hendak membersihkan diri.
Sejak saat itu, aku mulai merasa membunuh adalah kegiatan yang menyenangkan. Seperti kata aniki, darah pembunuh keluarga Zaoldyeck telah mengalir di seluruh tubuhku, tercetak di setiap urat-uratku, dan meresap hingga ke kulitku.
Yah, kukira aku akan selamanya bermandikan kegelapan seperti ini. Sampai ia, seorang anak yang bodoh dan lugu, mencoba untuk sedikit menarikku dari dunia neraka ini.
Dan sekarang, daripada aku berlama-lama di sini, lebih baik aku segera menemui Gon.
Kuketuk pintu kayu di hadapanku perlahan. Jantungku berdebar menanti pintu dibuka.
Sepuluh detik berlalu. Tidak ada respon. Aku mengetuk pintu sekali lagi, lebih keras.
Kutunggu satu menit. Tetap tak ada respon. Aku berdiri dengan geram. Oh, ayolah! Sudah bagus aku tidak menjebol paksa pintu rumahmu ya, Gon!
"Eh? Killua?"
Sebuah suara bening memanggil namaku dan menyadari kehadiranku. Aku menoleh, dan mendapati Mito-san tengah berdiri tak jauh dariku, dengan pakaian terusan sewarna langit yang membuatnya tampak anggun. Kedua tangannya menggenggam belasan bunga aster ungu yang bertangkai panjang-panjang. Dia tersenyum lembut ke arahku.
"Sedang apa kau di sini?" wanita muda itu bertanya lagi. "Mau ketemu Gon, ya?"
"Iya," aku mengangguk sekilas.
"Gon sedang memancing di sungai. Mungkin akan pulang sebentar lagi. Masuk saja dulu. Akan kubuatkan teh untukmu."
"Terima kasih. Maaf merepotkanmu, Mito-san."
Mito-san mengambil kunci rumah dari saku pakaiannya dan langsung membuka pintu. Ia menaruh bunga di genggamannya dengan perlahan di atas meja. Melihatku memandang berkeliling dengan wajah linglung, Mito-san lalu mempersilakanku untuk duduk.
"Lama tak bertemu, Killua. Kau kelihatan lebih kurus," celoteh Mito-san sembari menyeduh teh. "Ah, apa hanya perasaanku saja, ya?" wanita muda itu tertawa kecil. Aku benar-benar rindu akan suara tawanya yang menyenangkan. Aku senang mendengar Mito-san tertawa dengan bersemangat.
Mito-san menuangkan teh di dalam gelas keramik putih, lalu menyodorkannya kepadaku. Uap mengepul di atas gelas. Aku meniupnya dan segera meminum teh itu pelan-pelan. Rasanya segar.
"Oh ya, apa yang menyebabkanmu bertandang ke sini, Killua? Kau tidak sedang bertengkar dengan orang tuamu, 'kan?"
Teh yang belum sempat kutelan nyaris muncrat. Untunglah aku dapat menahannya. Mito-san menyadari perubahan drastis dari air mukaku.
"Killua, ada apa?" tanya Mito-san lembut. Ia memegang tanganku dengan hangat. Aku jadi salah tingkah. "Ceritakanlah padaku segala hal yang mengganjal di hatimu."
Kurasa Mito-san adalah orang yang tepat untuk menceritakan masalahku. Tanpa pikir panjang lagi, aku segera menceritakan uneg-unegku.
"Aku… ingin berhenti jadi pembunuh. Tapi aniki bilang, hal itu mustahil. Aniki juga bilang kalau aku tidak boleh berteman dengan Gon, karena suatu hari nanti aku akan tergerak untuk membunuhnya."
Mito-san tampak kaget, tapi ia segera tersenyum. Ia mengelus rambutku.
"Punya keinginan untuk menjadi orang baik saja sudah menjadi point plus untukmu, Killua. Jangan khawatir. Aku dan Gon siap mendampingimu."
Mito-san lalu memelukku dengan erat. Aku jadi malu. Andai saja aku punya ibu yang pengertian seperti Mito-san… Andai saja aku punya keluarga sehangat ini, pasti hidupku akan bahagia...
Dan yang pasti, keluarga ini takkan menggiringku untuk menjadi seorang pembunuh sadis. Aku yakin itu.
~ To Be Continued ~
~ Note:
Hai, hai minna-san!
Lama tak bersua, apa kabar?
Akhirnya bisa juga menyelesaikan chapter pertama dari fanfic terbaru ini… padahal, awalnya cerita ini mau saya bikin one-shot lho! Eh, ternyata tidak berhasil… hahaha… tak apalah…
Oh ya, ngomong-ngomong, mengenai puisi abal di bagian paling atas, itu adalah 'ungkapan' hati Ilumi terhadap Killua. Saya udah lama menulis puisi tersebut, kira-kira bulan September 2009, setelah mendapatkan inspirasi dari lagu 'Yami Ningyo' yang ada di bagian paling awal musical Hunter x Hunter 'The Nightmare of Zaoldyeck'.
Terus, kalimat 'kalau kau merasa sedih kehilangan anakmu, susul saja dia', saya modifikasi dari komik Bulb karya komikus Indonesia.
Ah, satu lagi… di fanfic ini saya menggunakan partikel 'kau', bukan 'kamu' lagi. Karena rasanya aneh aja kalau seseorang yang sadis seperti Killua ngomong 'aku-kamu' sama orang lain… hahaha…
Oke, saya tunggu review dari minna-san sekalian, ya! #evilsmile
Arigatou gozaimasu…!
-Azumaya Miyuki-
