Pair: Gaara x Tenten

Genre: Romance, Fantasy, a bit of Humor—might more or less than "a bit"

Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto, She is a Psychic © Izumi Nairi :D

Rate : K+

Story's note : AU, court-centric, some out of character—I hope no…


She is a Psychic

Chapter 1

.

Kening sang putra mahkota sedikit berkerut. Meski demikian, dia tetap bergeming sembari mendengarkan penjelasan dari ibunya yang dengan semangat melahap bubur ayam yang masih mengepulkan asapnya itu. Wajah Sang Ibu Suri terlihat senang dan bahagia meskipun masih pucat, dan dia dengan bijaksana tak ingin menghilangkan hal itu segera.

"Dia gadis yang sangat ramah, baik hati, dan cantik. Kalau tersenyum, dia jauh lebih cantik lagi," ujar perempuan berambut pirang itu. "Wajahnya mengingatkanku pada ibuku sewaktu masih muda, dan di sana dia juga merawat anak-anak kecil dengan sabar dan telaten. Dia sangat mengagumkan!"

Wanita paruh baya itu sama sekali tidak memerhatikan mimik wajah anaknya yang mulai merasa bahwa ibunya seperti sedang mempromosikan suatu barang. Namun karena dia adalah calon kaisar yang bijaksana dan budiman, dia tidak serta merta memotong ucapan ibunya yang masih menggebu-gebu.

"Aku sangat terpesona. Dan kalau nii-san-mu itu masih di sini, mungkin aku akan kebingungan sekali." Begitu melihat tatapan anaknya yang menajam, dia segera buru-buru berkata, "Aku sama sekali tidak menyesal memiliki menantu seperti Shion-chan, sama sekali tidak. Aku juga merasa gadis ini tidak cocok untuk Kankurou-kun, jadi jangan salah paham."

"Aku tidak bilang apa-apa."

Wanita itu mengernyit. Lalu matanya beralih menuju ke pintu yang tertutup. "Matsuri-san! Bisa ke sini sebentar?" panggilnya.

Sesosok gadis muda berambut coklat memasuki ruang kediaman Karura. Matanya yang gelap sempat bertemu pandang dengan sang putra mahkota, namun gadis itu buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah Karura. Senyumnya terkembang saat berkata, "Ada yang bisa saya bantu, Yang Mulia?"

"Ya, ada sesuatu," kata Sang Ibu Suri. "Pertama, aku sudah selesai makan—jadi kau bisa membereskan alat makanku, kemudian aku ingin minta tolong satu hal padamu."

Dengan ragu-ragu, Matsuri berkata, "I-iya?"

"Kau adalah pelayan pribadiku selama ini, dan aku sangat berharap banyak padamu," desah Karura, yang mengatakan dengan nada seolah-olah mereka akan berpisah selamanya karena Matsuri membuatnya sedih dan harus dihukum di penjara. Namun nadanya berubah tajam saat dia berkata, "Sangat."

Hening.

"Setelah kematian Tennō-heika beberapa waktu yang lalu, aku sangat ingin melihat ketiga anakku mendapatkan pasangan yang benar-benar tepat bagi mereka, Matsuri-san. Aku sangat tahu tentang diriku, dan bisa kulihat aku semakin tua dan rapuh."

Matsuri mengangguk dalam diam. Tidak seperti halnya sang putra mahkota yang terlihat mau memprotes ucapan ibunya itu. Tapi, sebelum sempat membuka mulutnya, Karura segera menyela.

"Temari-chan dan Kankurou-kun sudah memiliki pasangannya masing-masing. Maka dari itu, sebelum terlambat, aku ingin melihat putraku yang satu ini juga demikian."

Mata sang putra mahkota melebar. "Kaa-san—"

Karura menatap Matsuri penuh pengharapan. "Panggilkan Kakashi-sama, dan katakan padanya untuk mencari gadis itu. Dia yang menjemputku di Hutan Rusa, jadi dia pasti tahu siapa gadis itu. Aku benar-benar sangat berharap."

"Kaa-san—"

"Baik, Yang Mulia," sela Matsuri tanpa sadar, sembari memundurkan badannya perlahan sambil membungkuk. Tangannya yang membawa nampan yang terdapat mangkuk bubur yang telah kosong isinya itu sedikit bergetar, namun dia tetap tersenyum.

Setelah pintu tertutup, laki-laki muda itu menatap ibunya dengan mata jade-nya yang dingin.

—"—

Laki-laki berambut putih itu menatapnya dari balik semak-semak. Mata hitamnya bisa melihat gadis berambut coklat itu tengah membimbing beberapa anak berbaju kumal menulis kanji di teras rumahnya. Salah satu temannya—mungkin dia lebih tua—menyapu halaman rumah sambil sesekali tersenyum ramah ada anak-anak itu. Dan seorang ibu-ibu berkimono putih sedang duduk bersila sembari menatap mentari pagi di ujung teras di dekat semak tempatnya bersembunyi.

Saat pertama kali menemukan tempat ini, dia merasa kalau ini bukanlah tempat yang tepat untuk dihuni oleh calon permaisuri raja. Meskipun terlihat asri karena tetanaman yang tumbuh di halaman depan dan belakang rumah itu—pohon cemara tua yang menaungi hampir seluruh atap rumah itu, tanaman-tanaman musim semi yang bunganya berkembang indah, serta semak-semak belukar yang seakan menjadi pagar rumah itu—tapi tetap saja tak membuat rumah itu lebih dari sederhana. Rumah panggung itu terbuat dari kayu, beratapkan genting yang rapuh dan usang. Jendelanya terbuka lebar, seperti tangan yang ingin meraih hangatnya mentari pagi.

Meski demikian, ada sesuatu yang membuatnya sedikit gentar untuk mendatangi wanita yang paling uzur itu dan memintanya memperbolehkannya membawa gadis berambut coklat itu ke Istana. Dia tahu mungkin mendapat penolakan, tapi bukan sesuatu yang patut dikhawatirkan. Namun tetap saja, itu tak membuatnya lebih berani dari sebelumnya.

Pandangannya teralih saat mendengar suara tawa dari gadis yang sedari tadi dia amati. Dari sana, dia melihat gadis bercepol dua itu tertawa geli saat melihat pipi salah satu muridnya tercoreng tinta untuk menulis kanji. Matanya sedikit berbinar, dan dia tahu kenapa Sang Ibu Suri sangat menginginkan gadis itu.

Tanpa dia ketahui, gadis yang tengah menyapu itu mendekat ke arahnya. Langkahnya yang tak terdengar membuatnya semakin tak diketahui laki-laki itu. Beberapa detik kemudian, gadis itu mendesis, "Kau…"

Mereka semua menoleh, kecuali gadis berambut coklat itu. Gadis yang memegang sapu itu tidak bergerak, begitu juga dengan laki-laki yang terpuruk di depannya karena terkejut.

"Ada apa, Yugao?" tanya ibu-ibu itu tenang. Pandangannya kembali ke arah timur, namun sekarang dia tersenyum. "Bertemu teman lama?"

"Bukan apa-apa, Tsunade-sama," ucap gadis berambut ungu itu lembut pada wanita paruh baya yang masih duduk tenang. Lalu tatapannya mengganas saat mendelik pada laki-laki di hadapannya. Tanyanya dingin, "Apa yang kau lakukan di sini, Kakashi-sama?"

"Jangan begitu… sebagai tamu, bukankah kita harus menghormatinya?" ujar Tsunade lagi. "Hatake-san, kemarilah."

Kakashi yang sudah bisa mengendalikan kekagetannya, segera berdiri, lalu menatap Yugao sekilas sebelum berjalan menuju wanita yang memanggilnya itu. Keningnya sedikit berkerut saat melihat wajah wanita itu menoleh ke arahnya. Bukan rupanya, melainkan ekspresi sang wanita itu kala menatapnya. Seperti mereka sudah lama saling mengenal.

"Ehm." Lelaki itu merapikan pakaiannya yang sedikit berantakan, lalu melanjutkan, "Aku ke sini untuk me—menemui gadis berambut coklat itu."

Wanita itu terdiam sesaat, kemudian berkata datar, "Gadis itu masih sangat belia, Hatake-san. Bahkan kalau dibandingkan dengan Yugao yang lebih dewasa, gadis itu memang masih belum pantas mendapatkan kehormatan yang luar biasa seperti dipinang oleh seorang putra mahkota." Mata coklat mudanya menatap Kakashi dalam. "Aku tidak mengatakan aku tidak menyetujuinya, tapi bukankah lebih baik menunggu beberapa tahun lagi?"

Kakashi terdiam. Dia bisa mendengar suara gumaman kecil di belakangnya.

"Aku tidak mengerti. Padahal aku sudah berusaha keras," ujar gadis berambut ungu tersebut pada seekor kelinci putih yang melompat-lompat di dekat kakinya. "Benar, kan, Ururu?"

"Yugao-nee-san berlebihan. Harusnya hukuman menyapu halaman setiap hari selama sebulan membuatmu lebih sabar lagi," komentar sebuah suara dengan nada jahil. "Lagipula, dia tidak sejahat yang kukira."

"Kau hanya mengira, Tenten-chan. Yang harus kau lakukan adalah 'mengetahui'. Dan itu membuatmu diakui oleh Tsunade-sama," kata Yugao sembari tertawa kecil. "Lebih baik lagi, kau bisa turun ke kota."

"Mungkin, tapi aku tidak terlalu suka kota," tukas Tenten. "Dari ceritamu, aku bisa membayangkan kalau kota bukanlah tempat yang selalu terlihat menyenangkan. Aku suka di sini."

"Begitu?"

"Ya, tentu saja. Ada kau dan Tsunade-sama, soalnya."

Gadis bercepol dua itu kembali mengalihkan perhatiannya ke arah anak-anak yang memandang kedua gadis berbeda umur itu dengan tatapan setengah bingung, setengah geli. Sebelum salah satu di antara mereka secara tak sadar bertanya-tanya apa yang terjadi, dia segera melanjutkan pembelajarannya.

"Jadi…" kata Tsunade akhirnya. Suaranya berubah menjadi masam saat berujar, "Apa yang akan terjadi kalau Tenten tidak pergi?"

Di balik topeng yang menutupi separuh wajahnya, Kakashi berubah waswas.

"Mungkin Kōgō-heika—atau sekarang Ibu Suri?—akan sangat kecewa. Dia begitu berterima kasih karena Tenten tak sengaja menemukannya di hutan karena tersesat saat dia tengah beristirahat di daerah ini." Tsunade menghela napas panjang begitu dia menatap mata Kakashi. "Aku tentu tidak bisa memaafkan diriku karena mengecewakannya. Terlebih setelah dia melewati kesedihannya semenjak berpulangnya Tennō-heika."

Kakashi mulai mengerti apa maksud dari perkataan Tsunade, namun dia tak bisa membiarkannya begitu saja. "Kalau begitu, satu-satunya cara agar membuat Ibu Suri tidak kecewa adalah melihat putranya berdampingan dengan gadis yang sudah menolongnya."

Tsunade terdiam.

"Satu-satunya. Dan ini benar-benar permintaan dari Yang Mulia," tambah Kakashi.

"Aku tidak bisa memutuskannya, Hatake-san. Tapi tentu gadis itu bisa mengambil langkah untuk hidupnya," kata Tsunade sembari mengulum senyum. Dia mengedikkan kepalanya ke arah Tenten, kemudian kembali berucap, "Jangan memaksanya."

Laki-laki berambut putih itu berbalik. Ragu-ragu, dia mendekati Tenten yang tampak tak peduli. Saat dia baru membuka mulut, gadis bercepol dua itu tersenyum.

"Saya tidak mengerti."

Kakashi bergeming. Matanya melirik Yugao yang menyapu di dekat pohon cemara. Melihat itu, gadis berambut ungu itu membalasnya dengan menunjukkan tinjunya. Kakashi menelan ludah.

"Hatake-sama," panggil Tenten.

Pria bermarga Hatake itu mengalihkan pandangannya ke arah gadis bercepol dua yang memanggilnya. Dengan tatapan ramah dia berkata, "Kau sudah mendengar sendiri. Jadi… apa kau mau?"

Tenten mendesah perlahan. Dia memejamkan matanya, dan menampakkan senyum lebarnya kala ia berkata, "Baiklah kalau begitu."

Kakashi berbinar. Dia menatap Tenten dalam-dalam, seakan begitu merindukan perkataan itu terucap dari bibir gadis itu. Batinnya sudah berseru senang, dan kalau Sang Ibu Suri ada di sini, dia yakin beliau akan serta merta memeluk gadis bercepol dua itu. Baru beberapa detik keharuan menyelimuti kalbunya, Tenten menoleh ke arahnya dengan tatapan penuh makna. Kali ini, perasaan was-was kembali muncul dalam dirinya.

"Saya punya satu permintaan—ehm…permohonan, dan saya harap Istana mau mengabulkannya."

.

to be continued…

.


Author's note: Ohayou… senangnya bisa buat fic lagi—setelah beberapa waktu limit ide dan menyia-nyiakan liburan dengan nonton kartun terus, akhirnya bisa buat fic ini (^^) Kalau ada kesalahan—apapun itu—maafkan saya. Mungkin ada beberapa typo(s), tapi nggak tahu di mana. Selain itu, saya agak ragu dengan genre dan rate-nya, jadi kalau salah, mohon segera beritahu, Insya Allah segera diganti… Kritik dan saran akan diterima dengan senang hati (^_^) Arigato gozaimashu…